Friday, June 8, 2007

Pelajaran dari Hamas dan Hosam (Kristen dan Muslim Palestina)-Koran Tempo 11 Maret 2006

Koran Tempo,Sabtu, 11 Maret 2006
http://www.korantempo.com/korantempo/2006/03/11/Opini/krn,20060311,58.id.html
Pelajaran dari Hamas dan Hosam
Tom S. Saptaatmaja
Teolog

Hamas dan nasib Palestina terus menjadi perhatian media dunia. Setelah 19 tahun memilih jalur perang melawan Israel, Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah), yang didirikan pada 1987, memilih jalur politik dengan mengikuti pemilu legislatif pada 25 Januari 2006. Hamas merebut 76 dari 132 kursi parlemen. Yang menarik, di antara 76 kandidat Hamas yang terpilih ke parlemen, ada satu nama aneh. Dialah Hosam al-Taweel, 40, warga Kristen Palestina yang terpilih dari distrik Gaza. Hosam dikenal sebagai kolumnis harian Al-Quds dan aktivis gerakan internasional Young Men's Christian Association selama 30 tahun di Gaza. Sejak awal, banyak yang skeptis Hosam bakal didukung massa Hamas, yang dikenal radikal. Tapi dia mampu merebut satu kursi dari jatah enam kursi untuk minoritas Kristen di Palestina. Lima lainnya dikuasai kandidat Fatah.

Apa makna dan relevansi kemenangan Hamas dan kemunculan Hosam bagi kita? Seperti kita tahu, isu apa pun menyangkut Palestina selalu bergema di Indonesia. Kita memang punya komitmen pada perjuangan rakyat Palestina. Tidak aneh jika demo-demo menyuarakan perjuangan mereka sering digelar di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Tapi sayang bahwa kita sering salah kaprah dalam memandang masalah Palestina, khususnya dalam perjuangannya melawan penjajahan Israel. Maka kemenangan Hamas dan terpilihnya Hosam bisa kita jadikan inspirasi untuk memberikan pendidikan politik dan sikap toleransi, sehingga perbedaan agama tidak menjadi kendala bagi sebuah perjuangan menentang kezaliman.

Di mana salah kaprah itu? Sering umat muslim dan kristiani di Indonesia keliru dalam mempersepsikan negara Israel dan bangsa Palestina. Beberapa orang kristiani menganggap negara Israel identik dengan bangsa Israel yang disebutkan dalam Alkitab, sehingga mereka justru tidak bersimpati pada perjuangan Palestina. Di sisi lain, sebagian muslim di sini berpikir bahwa negara Israel adalah negara Kristen yang menindas bangsa Palestina. Tak aneh, tokoh agama seperti Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi sering menegaskan bahwa konflik di Palestina bukanlah konflik antara Islam dan Kristen.

Harus kita pahami, Israel adalah sebuah negara modern sekuler dengan ideologi politik Zionisme. Secara teologis dan ideologis, Israel modern berbeda dengan konsep "bangsa Israel" dalam Alkitab atau Al-Quran. Salah persepsi ini perlu diluruskan karena dalam konflik Israel-Palestina yang jadi korban justru warga Palestina yang Islam dan Kristen. Sering kali juga tidak disadari oleh umat kristiani dan muslim di sini bahwa banyak warga Arab dan Palestina beragama Kristen yang berdoa, menyanyi, dan membaca Alkitab dalam bahasa Arab. Kekristenan mereka bukan buah dari para misionaris Barat, melainkan langsung sejak zaman Yesus. Bahkan, 600 tahun sebelum Islam, mereka sudah jadi Kristen.

Meskipun minoritas, makna dan posisi Kristen Palestina begitu signifikan. Mengingat mereka begitu menderita di bawah pemerintahan Zionis Israel (sejak 1948), belakangan banyak yang memilih berimigrasi ke Amerika Serikat dan ke tempat lain. Tidak aneh, belakangan banyak seruan agar dunia Kristen memperhatikan nasib mereka. Sebab, kalau Kristen Palestina tidak ada, akan ada yang kurang dalam sejarah kekristenan karena kedekatan mereka dengan Yesus dan sejarah awal Gereja. Tekanan ekonomi pada Palestina oleh AS atau Israel akan menyengsarakan mereka, baik Islam maupun Kristen.

Jadi semoga kini menjadi jelas bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan politis bagi kemerdekaan dan kesejahteraan, tanpa menonjolkan peran agama tertentu. Karena itu, solidaritas kita dengan mereka seharusnya terdorong oleh alasan kemanusiaan dan bukan semata alasan agama. Namun, jika agama hendak dibawa-bawa, kita bisa melihat bahwa sebenarnya tidak ada masalah serius dalam relasi antara umat kristiani dan muslim Palestina. Malah kita mungkin bisa belajar dari mereka tentang toleransi, saling menghargai dan menghormati. Contohnya, sosok seperti Hosam yang Kristen justru bisa berkolaborasi dengan Hamas.

Menarik kiranya dicamkan pendapat Hosam yang disampaikan kepada media: "Kami semua, Islam dan Kristen, sama-sama menginginkan Palestina yang merdeka. Nenek moyang kami (Kristen) juga pernah bekerja sama dengan pemimpin Islam Salahuddin (al-Ayyubi) melawan tentara salib. Kami juga sama-sama menderita di bawah pendudukan Israel. Tapi, yang pasti, kami saling menghargai keyakinan masing-masing. Kakek saya pernah menjadi anggota General Palestinian Government yang menentang resolusi PBB soal pembagian Palestina menjadi Arab dan Yahudi pada 1948"(Al-Jazeera.net, 25 Januari 2006).

Bukan hanya di level perjuangan politik, kerja sama antara Islam dan Kristen Palestina terjadi dalam aspek kehidupan lain. Misalnya, 70 persen universitas Kristen dihuni mahasiswa Palestina Kristen. Jika di sini ada yang mengharamkan mengucapkan Natal, Hamas biasa memberikan kado Natal kepada warga Kristen Palestina. Apalagi dalam tradisi Palestina juga ada silaturahmi erat antara warga Islam dan Kristen pada setiap hari raya seperti pada Idul Fitri dan Natal. Pada Natal 2005, misalnya, Presiden Mahmud Abbas juga ke Gereja Kelahiran Yesus di Bethlehem. Ini kedatangan pertama kali pemimpin Palestina ke gereja itu, mengingat sebelumnya Israel menerapkan larangan bagi Arafat sejak 2001. Meski Arafat tidak bisa datang, di gereja itu selalu tersedia satu kursi kosong dan sebuah kafiyeh untuk menghormati Arafat, yang wafat pada 11 November 2004.

Bahkan nama Kristen Palestina selalu merupakan campuran antara nama Islam dan Kristen. Contohnya mendiang Edward Said, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB disebut sebagai Pembela Islam di Barat meski dia Kristen. Perpaduan nama ini menyiratkan spirit harmoni dan kerukunan yang bukan basa-basi. Pokoknya, relasi mereka tidak ada masalah. Bishara Awad, yang Kristen Palestina sekaligus dekan di Bethlehem Bible College, juga menyetujui hal ini. Mereka juga punya moto, "Pertama-tama kami adalah bangsa Palestina." Jadi jangan mencoba membenturkan Islam dan Kristen terkait dengan isu Palestina.

koran

Wednesday, June 6, 2007

Jilbab, Gereja dan Sekularisme Sinar Harapan 28 April 2004

Jilbab, Gereja, dan Sekularisme
Oleh Tom S. Saptaatmaja
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/28/opi02.html


Rancangan Undang-Undang (RUU) baru tentang pelarangan jilbab, salib dan topi Yahudi di sekolah-sekolah negri telah disetujui parlemen Prancis dengan suara 494 mendukung, 39 menentang. Selanjutnya RUU itu akan diajukan ke majelis tinggi, Senat, untuk disepakati. Sekitar pertengahan Maret, RUU itu akan dikembalikan ke parlemen untuk persetujuan terakhir yang lebih bersifat formalitas. Pelarangan itu berlaku efektif September tahun ini. Sekitar 70 persen rakyat Prancis mendukung RUU ini, termasuk 40 persen perempuan Muslim Perancis seperti diperlihatkan jajak pendapat.
RUU ini membangkitkan reaksi kemarahan di dalam maupun di luar Prancis, terutama dari dunia Islam. Terlihat beberapa elemen muslim di Tanah Air juga giat melakukan demo di kedubes dan konjen Prancis memrotes hal tersebut.
Yang menarik pihak gereja di Prancis juga menentang pelarangan itu. Gereja Katolik Prancis dan gereja denominasi lain di negri mayoritas Katolik itu beroposisi menentang pelarangan itu, karena dianggap melanggar HAM (10/12/03). Paus Yohannes Paulus II juga mengecam, karena itu menunjukkan betapa makin otoriternya sistem sekularisme yang dianut pemerintah Prancis.
”Comission On International Religious Freedom” (CIRF) atau Komisi Kebebasan Keagamaan International juga menyatakan keprihatinan atas rencana larangan atribut keagamaan itu. Michael Young, Ketua lembaga setengah resmi dari Amerika tersebut meminta pemerintah Bush untuk mendesak pemerintah Prancis agar menjamin kebebasan berekspresi dalam beragama. Sikap Gereja ini malah berbeda dengan sikap Syeikh Agung Al-Azhar Prof Dr Mohamed Sayed Tantawi yang justru menyetujui larangan tersebut.
Pro kontra pelarangan itu sebenarnya bukan baru saja muncul dalam beberapa bulan terakhir seperti banyak diberitakan media kita. Pada tahun 1989 misalnya juga pecah kontroversi soal jilbab yang berbuntut tiga gadis berjilbab dikeluarkan dari sekolah ”College de Creil” di Osie tahun 1989. Ketika itu Kardinal Lustiger, Uskup Agung Paris juga berseru: ”Janganlah kita berperang melawan anak-anak itu” (Caping ”Sekuler’ oleh Goenawan Mohamad, Tempo 27/1/02).
Tetapi disyahkannya RUU pelarangan itu sebenarnya merupakan puncak gunung es dari kekecewaan mayoritas masyarakat Prancis atas makin menguatnya gejala komunitarianisme. Ini yang jarang dikemukakan di media kita. Misalnya seorang jendral melaporkan dalam wajib militer, wanita muslim menolak latihan P3K dengan peserta pria. Para suami muslim menolak jika istrinya yang sakit di rumah sakit diperiksa dokter pria.
Para pasien itu juga minta masakannya dimasak koki muslim. Para siswi menolak pelajaran olahraga dengan pakaian sport minim. Dalam pelajaran biologi, para murid Islam menolak diajarkan Teori Darwin. Dalam kasus pengadilan, warga muslim menolak karena dianggap tidak sesuai dengan Qur’an dan sebagainya.
Tidak heran jika Konsul Kebudayaan Prancis di Jakarta Gilles Garachon mengharapkan agar masyarakat Indonesia dapat memahami sudut pandang pemerintah Prancis dalam pelarangan ini. Menurutnya, undang-undang ini bukan untuk mendiskriminasi salah satu agama, tetapi justru untuk mendukung toleransi dan menghindari terjadinya diskriminasi serta gesekan antarumat beragama.

Kenyang Konflik Agama
Keputusan pelarangan itu memang terlahir untuk melindungi prinsip ‘laicite’, salah satu konsep pembentukan Republik Prancis yang tercantum dalam Konstitusi 1905. Prinsip itu terlahir karena Prancis sudah kenyang dengan perang dan konflik antara agama (Katolik vs Protestan, Kristen vs Yahudi). Maka RUU itu sebenarnya hanya untuk menjaga sistem integrasi pemerintah sekuler Prancis yang harus punya satu wadah yang adil dan sama bagi beragam umat beragama di Prancis.
Meski demikian pelarangan jilbab (salib, topi Yahudi) hanya berlaku di sekolah negri. Di sekolah swasta, hal itu tidak berlaku. Maka Gereja Katolik termasuk paling lantang menentang, karena selain dianggap melanggar kebebasan dan HAM, sekolah-sekolah Katolik juga akan menjadi korban pertama dari kebijakan itu. Diperkirakan akan terjadi ‘eksodus’ para siswi muslim ke sekolah-sekolah Katolik.
Karena itu, kebijakan pelarangan itu mau tak mau memang membangkitkan kembali polemik lama dari para agamawan dalam menyikapi sekularisme dan sekularisasi. Bagi umat Katolik dan Yahudi Prancis memang sudah bisa menerima prinsip ‘laicite’ sesuai Konstitusi 1905. Tetapi bagi umat Islam, yang baru datang ke Prancis Pasca-Perang Dunia II, sekitar 60% keberatan dengan kebijakan itu. Berarti masih ada 40% yang bisa menerima.

Memang kontroversi menyangkut sekularisme dan sekularisasi telah menimbulkan polemik besar yang cukup berkepanjangan di kalangan intelektual muslim.
Akibat polemik tersebut muncul dua kelompok dikotomis dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang keras sekularisasi yang dianggap identik dengan sekularisme.
Kelompok kedua disebut kelompok reformis, suatu kelompok yang menolak sekularisme sebagai suatu paham tertutup yang anti-agama, tetapi menerima sekularisasi. Menurut kelompok reformis ini, sekularisasi diartikan sebagai upaya pembebasan masyarakat dari kehidupan magis dan takhyul dengan melakukan desakralisasi alam.
Sekularisme sebenarnya berarti ideologi yang memperjuangkan bahwa dunia ini punya otonomi sendiri (oto=sendiri, nomos=hukum). Pihak agama jangan pernah ikut campur tangan masalah politik dan pemerintahan. Kenapa negara-negara Eropa getol menerapakan sekularisme? Karena sebelum masa ”Aufklarung” (Pencerahan), dengan ideologi teokrasinya, Gereja terlalu mengurusi semua bidang kehidupan.
Akibatnya Galileo hampir mati konyol karena punya teori yang berbeda dengan pandangan gereja. Jadi sekularisme sebenarnya merupakan reaksi balik atas teokrasi Gereja yang berlebihan.
Meski demikikan perlu dibedakan antara sekularisme yang moderat dan yang ekstrem. Pemerintah Inggris dikenal sebagai sekuler yang moderat karena tetap menghargai kebebasan beragama, termasuk dalam pemakaian jilbab. Pemerintah sekuler Turki misalnya termasuk agak ekstrem karena meski mayoritas warganya muslim, jilbab juga dilarang di kantor pemerintah.
Yang paling ektrem adalah sekularisme ala negri-negri komunis almarhum, karena secara prinsipiil dan metodologis mereka menolak memasukkan pengertian Tuhan sama sekali dalam teori dan praktik. Malah dari Revolusi Prancis 1789 sampai Revolusi Bolshewik 1917 bergerak slogan anti-agama: ”Agama adalah candu bagi masyarakat”.
Karena sekularisme menolak Tuhan, maka kata ini dimaknai secara peyoratif atau negatif.
Meski demikian sekularisme harus dibedakan dari sekularisasi. Sekularisasi adalah gerakan sosial yang memperjuangkan proses dunia ini sedang menuju pada otonominya sendiri, tapi masih mau mempertimbangkan dan memperhitungkan peran Tuhan.
Menurut Friedrich Gogarten dalam bukunya Verhangnis und Hoffnung der Meuzeit, Stuttgart (1955), sekularisasi adalah kelanjutan sah dari iman Kristen. Karena berkat kepercayaan akan penyelamatan yang datang dari Allah manusia dibebaskan dari penjara pemahaman dunia religius mitis.
Apalagi iman Kristen juga mendorong manusia untuk mengusahakan dunia dan realitasnya agar dunia menjadi sesuatu yang berharga. Menurut Gogarten, manusia itu milik Allah, tetapi harus hidup di dunia. Untuk itu manusia harus punya sikap yang tepat di hadapan Allah dan dunia.
Sikap yang tepat adalah membiarkan Allah tetap Allah dan dunia tetap dunia. Jangan menukar kedua hal itu. Atau dalam bahasa Cak Nur, yang ‘ukhrawi’ jangan diduniawikan, sebaliknya yang duniawi jangan diukhrawikan.
Meski demikian, secara jujur harus diakui bahwa sikap Gereja (khususnya Katolik) sendiri sebenarnya terlihat masih ambivalen dalam menyikapi sekularisasi. (Kalau terhadap sekularisme, jelas Gereja menolak). Menurut Thomas F.O’Dea dalam The Sociology of Religion, hal. 88, Gereja merupakan pendorong utama sekularisasi sekaligus penentangnya (”The Church was both sponsor and opponent”).
Ketika George W. Bush gemar sekali mengusung simbol-simbol agama dalam kebijakan pemerintahannya, para teolog dan agamawan Katolik di Amerika menyebut ada bahaya bagi sistem pemerintahan sekuler di Amerika.
Sementara itu di sisi lain, Paus seringkali mengungkapkan kegelisahannya bahwa sekularisasi yang sudah membawa kemajuan di bidang iptek itu akhirnya justru menjadi sekularisme, ideologi yang anti-agama dan Tuhan. Cuma Gogarten mengingatkan sekularisasi tidak akan bisa dihadang atau dihapus dengan mengkristenkan (meng-agamakan) dunia kembali. Karena itu
seperti dikatakan Rektor Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, para pemimpin agama baik Islam maupun Kristen dan masyarakat lain seharusnya duduk bersama. Sikap sekularisme anti-religius yang sering didasarkan pada mispersepsi dan distorsi haruslah dihadapai secara bersama-sama (Republika, 5/2). Jadi jangan sampai umat beragama di sini justru bisa diadu domba oleh soal ini.

Penulis adalah, Teolog, Alumnus Seminari St Vincent de Paul.

In Memoriam Paus Yohanes Paulus II Jawa Pos 4 April 2007

Jawa Pos, 4 April 2005
In Memoriam Paus Yohanes Paulus II
oleh Tom Saptaatmaja *
http://yesaya.indocell.net/id736.htm
Paus Yohannes Paulus II, salah satu Paus yang menjabat paling lama dalam sejarah, meninggal dunia pada usia 84 tahun. Paus kelahiran 18 Mei 1920 itu wafat di kediamannya di Vatikan Sabtu malam, 2 April 2005, pukul 21.37 waktu setempat atau Minggu pagi, 3 April 2005, pukul 02.37 WIB, dengan dikelilingi sejumlah pembantu paling dekatnya yang berasal dari Polandia. Paus berdarah Polandia itu dipilih 16 Okotber 1978, Senin sore, tepat pukul 18.18 waktu setempat, menggantikan Paus Yohannes Paulus I yang hanya memerintah selama 33 hari.

Mengiringi kepergian Paus, TV, radio, hingga koran dipastikan memberikan liputan besar kepada tokoh yang popularitasnya melebihi selebritis dunia itu. Apalagi, tokoh bernama asli Karol Josef Wojtyla tersebut merupakan tokoh yang memiliki modus vivendi, tokoh yang bisa dibaca dari segala sudut baca.

Karena yang lain sudah banyak dibahas, saya hendak melihat sosok yang dianggap meruntuhkan komunisme di Eropa Timur itu dari perspektif dunia Islam. Sebab, yang satu ini jarang dibicarakan di media kita.

Mengapa? Sebab, dalam kunjungannya ke 123 negara di dunia, Paus ternyata tidak hanya menjumpai umatnya, tetapi juga umat dari beragam agama, termasuk umat Islam. Pada 1988, Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim menjadi negara ke-76 yang dikunjungi Paus. Bagi sosok yang ditinggal mati orang tuanya sejak umur 9 tahun itu, Islam dan umat muslim punya posisi signifikan.

Pertama-tama, di tengah pandangan minor di Barat, yang suka mendegradasi Islam sebagai agama teror, Paus dengan nama panggilan Lolek itu pernah mengungkapkan, Islam adalah agama keselamatan dan cinta damai.

Karena itu, Paus selalu mengajak muslim dan umat Kristiani yang punya kehendak baik untuk berlomba-lomba mendatangkan kebaikan bagi dunia ini, yang kini rawan dari segala macam ancaman teror, konflik, dan perang.

Ketika (Presiden) Gus Dur bertemu Paus Yohannes Paulus II 5 Februari 2000 lalu, keduanya berbicara tentang semangat dialog agama dan rasa kebersamaan di antara Islam dan Katolik. Paus juga menyebut konflik di Ambon atau Poso bukan konflik Islam-Kristen, tetapi sebagai konflik sosial yang sebenarnya lebih disebabkan faktor-faktor di luar agama, seperti persaingan ekonomi. Ketika perang Iraq, Paus juga lantang mengecam kepongahan pemerintahan Amerika.

Kedua, Paus juga berpandangan, Islam sebagai agama yang setara dengan Kristen. Itu bukan pendapat saya, tetapi pendapat Ibrahim M. Abu Rabi, profesor studi Islam di Hartford Seminari Amerika, tempat Menko Kesra Alwi Shihab pernah menjadi dosen tamu.

Menurut Ibrahim, At heart, the Pope comes to the conclusion that Islam has to be treated as a religion in its own right, and he therefore does not call openly for the conversion of Muslims to Christianity.

Jadi menurut Paus, Islam adalah agama yang memiliki kebenaran sendiri (otonom) yang harus dihormati. Karena itu, Paus tidak pernah mencoba menjadikan orang Islam berganti agama jadi Kristen. Itu perlu ditekankan karena seperti kita tahu, Kristen atau Nasrani memiliki banyak denominasi atau aliran.

Katolik sebagai mainstream besar dalam agama Kristen tegas menghargai Islam dan menolak segala pemaksaan berpindah agama dengan beragam dalih. Tentu saja, Paus atau Gereja Katolik tidak bisa berbuat apa-apa jika gereja-gereja di luar Katolik gencar melakukan Kristenisasi di negara-negara Islam.

Ucapan pengakuan Paus itu bukanlah basa-basi, tetapi diwujudkan langsung dalam tindakan nyata. Bayangkan setelah diktator Mussolini tidak mengizinkan masjid dibangun di atas Kota Roma, Paus Yahonnes Paulus II justru mengizinkan berdirinya masjid di kota Roma pada awal dekade 1990-an. Yohannes Paulus II juga menjadi Paus pertama yang pernah memasuki masjid ketika mengunjungi Masjid Ummayah di Damaskus dalam lawatannya di Syria pada 2000 lalu.

Malah pada saat memimpin misa di gereja kelahiran Nativity Betlehem pada 23 Maret 2000 dan terdengar azan dari sebuah masjid dekat Manger Square, di luar Gereja Kelahiran Kristus Betlehem, Paus duduk serta diam.

Mendiang juga meminta para pembantunya yang terdiri atas beberapa kardinal, uskup, dan pastor untuk berdiam diri mengikuti sikapnya hingga azan tadi berakhir. Umat, termasuk Presiden Palestina (saat itu) Yasser Arafat dan istrinya Suha yang duduk di jajaran terdepan dari umat, langsung bertepuk tangan.

Terkait perjuangan Palestina, Vatikan selalu berada di garis depan sebagai pengecam Israel. Tidak heran ketika mendengar wafat Paus, juru bicara Hammas juga mengungkapkan duka cita (TV7, 3 April).

Ketika di Eropa Barat terjadi kemerosotan moral sehingga gereja-gereja di sana banyak yang kosong, Paus juga selalu menjadikan Islam sebagai model untuk dicontoh. Paus memuji kekhusyukan doa umat muslim yang setia dengan lima waktunya.

Karena itu, Paus tidak senang jika di Barat umat Islam direpresi dan didiskriminasi. Ketika ribut-ribut soal pelarangan jilbab di Prancis, Gereja Katolik tampil sebagai penentang utama. Paus memang termasuk lantang dalam memperjuangkan kebebasan beragama sehingga dia mendorong dijadikannya Eropa sebagai kawasan kondusif bagi semua umat beragama, termasuk Islam. Buktinya, entah itu karena sikap Paus atau bukan, populasi Islam di Eropa tahun-tahun belakangan ini meningkat tajam.

Di Inggris, ada 1,3 juta, Jerman 3,2 juta, Prancis 4,2 juta, dan Amerika 7 juta. Beberapa pemerintah, seperti Inggris dan Prancis, bahkan membuat badan untuk melindungi kepentingan muslim, seperti perlindungan dari tindak kebencian (The Economist, August 10-16 2002).

* Tom Saptaatmaja, teolog, pegiat lintas agama, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang dan seminari St Vincent de Paul.

Koran Lumpur Berjuang Sendiri-Sinar Harapan 18 April 2007

Korban Lumpur Berjuang Sendiri
Oleh Tom S Saptaatmaja
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0704/18/opi01.html

Sejak lumpur menyembur di Sumur Banjar Panji 1 Desa Siring Porong gara-gara eksplorasi Lapindo Brantas pada 29 Mei 2006 lalu, apa yang telah dilakukan pemerintah? Lewat keputusannya No. 13 Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang mulai bekerja 8 September 2006 dan resmi berakhir pada 8 Maret 2007, tapi kemudian diperpanjang hingga 8 April 2007.
Timnas ditugaskan untuk menghentikan semburan lumpur, membuang lumpur ke laut, melakukan penanggulan, memperbaiki infrastruktur. Semua tugas itu dinilai gagal.
Lalu usai berakhirnya Timnas, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dipimpin Sunarso, seorang mayor jenderal yang juga staf ahli di Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), di mana Aburizal Bakrie merupakan menterinya. Belum apa-apa, kerja BPLS sudah disambut dengan prasangka, setidaknya oleh para korban lumpur.
Buktinya, ratusan warga korban semburan lumpur panas Sidoarjo terus melakukan aksi untuk rasa di Ibukota. Senin, 16 April, mereka yang sebagian besar warga perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perum TAS) berbaris dari Tugu Proklamasi menuju ke Istana Merdeka. Mereka menuntut keadilan, utamanya diberikan ganti rugi tuntas 100 persen, dan dibayarkan satu bulan setelah demo tersebut. Mereka ogah menerima pembayaran ganti rugi secara mencicil yang dimulai dengan uang muka 20%.
Memang sebagian korban lumpur lain, khususnya dari 4 desa sudah ada yang menerima 20% dari ganti rugi, tapi sejujurnya mereka kebat-kebit apakah pada tahun depan Lapindo akan melunasi 80% sisanya mengingat tidak ada perjanjian hitam di atas putih yang bisa menjerat Lapindo secara hukum, seandainya Lapindo ingkar janji.
Jadi di hati mayoritas korban lumpur hingga saat ini masih penuh keraguan dan kecemasan. Yang pasti hanya masa lalu mereka bersama desa beserta segenap isinya yang telah tenggelam akibat lumpur. Semula ada 4 desa tenggelam, kini hampir 8 desa tenggelam.

Berjuang Sendirian
Keengganan Presiden untuk tidak mau menerima pendemo dari korban lumpur di atas semakin membuktikan bahwa pemerintah terkesan setengah hati menyelesaikan persoalan lumpur. Ini tentu sangat menyakitkan korban yang sejak awal hanya berjuang sendiri.
Memang sudah banyak anggota DPR, bahkan DPRD Jatim membentuk panitia khusus lumpur, tapi sebenarnya anggota dewan hanya memperjuangkan dirinya sendiri. Seperti kita tahu, pembentukan pansus seperti itu berarti ada dana yang cair untuk kocek mereka sendiri. Maka makin lengkaplah kesendirian para korban yang sejak awal hingga kini tidak pernah mendapatkan perhatian dan solusi tuntas dari pemerintah atau dewan.
Mari kita simak perjuangan awal bagaimana para korban lumpur bisa memperoleh tempat pengungsian yang representatif. Hasilnya, mereka ditempatkan di Pasar Baru Porong yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan untuk tempat tinggal.
Berbulan-bulan mereka harus tinggal di sana dengan berbagai problematika sosial dan ekonomi. Bayangkan satu MCK (mandi, cuci, kakus) di Pasar Baru Porong untuk 500 orang lebih. Pendidikan anak-anak terganggu, dan sebagian besar warga harus kehilangan penghidupannya. Penderitaan sedikit berkurang manakala tuntutan mereka agar PT Lapindo memberi dana kontrak dipenuhi.
Namun penderitaan yang lebih besar menghadang para korban, yaitu penderitaan akibat kehilangan harta paling berharga berupa tanah dan rumah. Rumah adalah inti dari kehidupan, karena dari rumahlah semua proses kehidupan diawali.
Manakala rumah hilang, pada hakikatnya sebagian dari proses kehidupan para korban lumpur ini juga turut hilang. Pada titik krusial ini tidak ada satu pun lembaga di luar para korban serius tergerak untuk membantu mencari jalan keluar agar sebagian proses kehidupan yang hilang bisa mereka dapatkan kembali. Lagi-lagi, mereka harus berjuang sendirian.
Yang mengenaskan, di tengah penderitaan mereka, justru ada tangan yang tega berbuat nista. Bayangkan bantuan dari para donatur yang dikelola Satuan Pelaksana dan Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo untuk para pengungsi di Pasar Baru Porong ada indikasi dikorupsi. Indikasi itu terlihat dari jatah nasi sekali makan yang seharusnya Rp 5.000, ternyata yang diberikan hanya seharga Rp 3.000. Beberapa korban seperti ditayangkan sebuah stasiun televisi terpaksa membongkar gudang bantuan di Pasar Baru Porong, karena bantuan dari donatur atau dermawan tidak pernah sampai ke mereka.

Audit Independen
Uang transportasi untuk antarjemput anak korban lumpur yang sekolah juga disunat sehingga banyak anak yang “keleran” akibat tidak dijemput. Pengadaan MCK di tempat pengungsian pun, dananya konon “diembat”, sehingga satu MCK di tempat pengungsian itu dipakai untuk ratusan orang.
Malah yang paling heboh, dalam perbincangan dengan dengan pakar hukum lingkungan Unair Dr Suparto Wijoyo, penulis mendapatkan informasi kemungkinan terjadinya penyelewengan akibat Timnas Penanggulangan Lumpur tidak mempunyai laporan keuangan.
Bayangkan dalam masa kerja Timnas selama tujuh bulan itu, timnas telah menghabiskan dana sekitar US$ 79,8 juta atau sekitar Rp 718,2 miliar yang berasal dari kocek Lapindo Brantas. Sebelum Timnas, Lapindo sudah mengeluarkan dana sebesar Rp 667,8 miliar.
Mengherankan, bahwa untuk penggunakan dana sebesar itu timnas tidak dimintai pertanggungjawaban, ketika masa kerjanya telah berakhir. Pantas semua anggota timnas dulu tidurnya saja di hotel berbintang, yang tak jauh dari tempat tinggal penulis. Kini muncul tuntutan agar diadakan audit independen.
Memang ini masih sebatas indikasi. Apalagi kerepotan juga muncul, apakah lembaga publik yang dibentuk berdasarkan Keppres seperti timnas, tapi keuangannya disokong swasta (dalam hal ini Lapindo) bisa dijerat secara hukum oleh KPK. Pertanyaan ini harus dijawab oleh para ahli hukum.
Bagimanapun kita patut cemas, sebab bantuan untuk korban tsunami Aceh atau korban bencana Yogya saja terbukti bisa dikorupsi. Kepolisian daerah Jatim kabarnya tengah menyelidiki kasus ada tidaknya indikasi korupsi yang dilakukan Timnas Penanggulangan Lumpur.
Belajar dari kasus tersebut, beberapa pihak menuntut BPLS punya akuntan atau tim audit guna mempertanggungjawabkan setiap dana operasional yang kabarnya akan diambilkan dari APBN. Jika memang ada indikasi korupsi yang dilakukan timnas, makin lengkaplah perjuangan dan penderitaan para korban lumpur Sidoarjo.

Penulis adalah aktivis kemanusiaan, tinggal di Surabaya.

Mengenang Munir-Tempointeraktif

Mengenang Munir
Senin, 11 September 2006 | 18:03 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/09/11/brk,20060911-83785,id.html
Tom S. Saptaatmaja
TEMPO Interaktif, Jakarta:Tidak terasa sudah dua tahun Munir wafat atau tepatnya dibunuh. Sekadar menyegarkan ingatan, pada 7 September 2004 Munir diracun dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam. Selama ini, Suciwati, istri Munir, mencoba mencari tahu dalang pembunuhan pejuang hak asasi manusia tersebut.

Yang memprihatinkan, apa yang dilakukan Suci kadang justru mendapat cibiran dan dipertentangkan dengan masalah lain. Penulis masih menyimpan opini seorang penulis Surat Pembaca, Retno Sawitri, dari Jalan Nanas, Bandung, yang mengkritik cara-cara Suci. "Bagi Suci dan kawan-kawan, mengungkap kematian tokoh HAM sekaliber Munir adalah megaproyek vital yang berskala internasional, karena hukum Indonesia dianggap tidak pernah memadai. Kematian Munir adalah mahapenting untuk diinternasionalisasi. Apalagi kalau sampai dikesankan menjual kasus tewasnya Munir ke lembaga-lembaga politik dan lembaga hukum asing, jelas bisa menimbulkan antipati. Jangan sampai timbul kecurigaan adanya agenda terselubung di belakang misi Mbak Suci (Koran Tempo, 4 Juli 2006).

Tentu pendapat itu sah-sah saja dilontarkan, tapi si penulis jelas tidak proporsional lagi ketika mempertentangkan kasus Munir dengan para korban bencana di Yogyakarta. Korban Yogya harus dibantu, tapi kasus Munir jangan dilupakan. Jadi pendapat seperti itu menjadi cerminan betapa kita memang gampang sekali lupa akibat cara pandang yang hanya sepotong-sepotong dan tidak holistik dalam memandang permasalahan Munir ini.

Karena itu, upaya Suci menyuarakan kasus ini ke mancanegara bisa dipahami, karena kita memang terkenal sebagai bangsa yang suka mengidap amnesia, sehingga nyawa orang yang dihilangkan, seperti Munir atau para aktivis lain, kita anggap sebagai soal sepele. Betapa memprihatinkan bahwa dewasa ini banyak peristiwa masa lalu yang amat signifikan untuk diingat justru gampang masuk dalam keranjang sampah dan dilupakan begitu saja. Akibatnya, kita gagal becermin pada masa lalu sehingga dengan mudah terjebak dalam kesalahan yang sama di masa kini dan masa depan. Yang memprihatinkan jika kemudian sosok yang telah melanggar HAM dan mengakibatkan banyak korban nyawa, sekarang justru dipuja-puja sebagai pahlawan. Sementara itu, sosok yang telah memperjuangkan HAM kaum tertindas, seperti Munir, justru dilupakan.

Kasus Munir jangan dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri. Kasus Munir memiliki rangkaian dengan kasus-kaus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut catatan Lembaga Studi Advokasi (Elsam, 2004), banyak pelaku peristiwa masa lalu juga masih gelap. Sebut saja peristiwa pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), pembunuhan misterius terhadap kaum kriminal di berbagai kota (1983-1986), peristiwa Tanjung Priok (1984), penangkapan dan penyiksaan Kelompok Usro (1985-1988), peristiwa Lampung (1989), penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jemaat HKBP (1992-1993), kasus Haor Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993), pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993), Operasi Militer II di Aceh (1989-1998), pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995), peristiwa 27 Juli (1996), tragedi 13-15 Mei 1998 dan tragedi Semanggi I dan I, serta pelanggaran berat di Aceh dan Papua.

Alih-alih bertanggung jawab, pemerintah dan negara justru cenderung "menggantung" semua peristiwa itu dalam kegelapan penuh misteri. Negara ini memang terkenal dalam pembiaran para korban kekerasan negara (state violence) dalam kegelapan serta pembiaran para aktor intelektual dan pelaku tragedi itu tetap bisa ongkang-ongkang kaki tanpa hukuman sama sekali (impunitas). Meski polisi berjanji mengusut peristiwa peracunan Munir, bisa dijamin ujung-ujungnya hanya akan menggantung dalam kegelapan yang absurd. Memang Pollycarpus Budihari Priyanto (Polly), terdakwa kasus pembunuhan Munir, sudah dipenjara, tapi jangan lupa pembunuh aslinya masih bebas berjalan-jalan di alam terbuka.

Tidak tahu mengapa negeri ini suka memberi kekebalan hukum kepada para begundal yang hidupnya sudah dibasahi darah para korban. Pantas Suciwati menulis pertanyaan yang amat menyentak ketika menulis surat untuk Presiden. "Meskipun Bapak telah menyerukan agar semua pihak terbuka terhadap investigasi kasus ini, seruan ini tak lebih sekadar imbauan. Kalau Bapak sebagai seorang presiden saja tidak digubris, bagaimana masyarakat sipil yang tidak punya kuasa apa pun? Akankah kredibilitas bangsa kita dipertaruhkan untuk membela para pengecut yang telah menghilangkan nyawa orang lain?" (Surat Buat Presiden SBY, Tempo, 8 Mei 2005).

Munir memang pejuang HAM sejati, karena memperjuangkan semua orang yang ditindas tanpa memperhitungkan agama dan rasnya. Tidak mengherankan ketika dimakamkan di Batu, Jawa Timur, yang menangisi Munir adalah orang dari beragam etnis dan agama. Memang almarhum adalah sosok muslim yang rahmatan lil alamin, sehingga warga nonmuslim pun merasakan jasanya. Dalam wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla, Munir meyakini Islam harus menjadi rahmat bagi semesta. Untuk itu, Islam harus menjadi energi bagi kaum tertindas untuk melawan penindasan, tapi bukan dalam bentuk perang melawan agama tertentu. Munir menemukan Islam mengakui bahwa dalam relasi sosial ada ketidakadilan. Ada yang menzalimi, ada yang dizalimi. Islam harus berpihak kepada yang dizalimi. Jadi Islam tidak berpihak kepada Islam, tapi kepada yang dizalimi demi menciptakan keadilan (Kompas, 6 Oktober 2004).

Munir memang sudah dua tahun meninggal. Seseorang yang telah berjasa ketika telah tiada justru tampak kian berharga, khususnya bagi orang-orang yang telah ditolongnya. Tapi kita jangan terjebak dalam rasa nostalgia yang naif. Sebab, dalam setiap ingatan akan Munir, kita harus mengenang pula ribuan nama yang nyawanya dicabut atau dihilangkan dengan semena-mena oleh para penguasa di masa lalu. Anehnya, penguasa yang ada sekarang hanya membiarkan hukum serta lembaga peradilan kita dikuasai para mafia, sehingga hukum kita penuh dengan sandiwara menyakitkan bagi para pencari keadilan, seperti Suci dan Ikatan Keluarga Orang Hilang.

Maka setiap kali mengenang almarhum Munir, kita juga harus mengenang para korban HAM lain. Dalam kenangan seperti inilah kita selalu disadarkan bahwa masih belum ada keadilan bagi Munir dan para korban HAM lain. Dengan demikian, kita tak akan bosan untuk terus berjuang melawan kekuasaan lalim. Menurut Milan Kundera, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.

Tom S. Saptaatmaja, Teolog