Tuesday, October 9, 2012

Seribu Hari Gus Dur, Frans Seda dan NKRI, Mingguan HIDUP 7 Oktober 2012


Tidak terasa, sudah 1000 hari, kita ditinggal dua sosok besar negeri ini.Pertama KH Abdurrahman Wahid yang 1000 harinya jatuh pada 25/9/2012.Kedua Frans Seda yang 1000 harinya  pada 26/9/ 2012.
Seperti diketahui, Gus Dur yang lahir 4/8/1940, wafat pada Rabu (30/12/2009) dan dimakamkan di Jombang pada akhir tahun 2009.Sedangkan Frans Seda yang lahir di Flores, 4/10/1926,  meninggal pada 31/12/2009. Almarhum dimakamkan San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (2/1/2010).Selain Menkeu di awal Orde Baru (1966-1968), Frans juga   Menteri Perkebunan (1963-1964) dan Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Gus Dur dan Frans merupakan putra terbaik bangsa ini.
Jembatan
Banyak hal bisa ditulis tentang kedua tokoh ini. Namun, yang menonjol bahwa hidup keduanya ibarat jembatan yang menghubungan banyak orang dari segala lapisan, dalam upaya untuk membangun kehendak baik, mengembangkan semangat dialog, menjalin talisilaturahmi,  memperjuangkan  perdamaian dan kerukunan di sebuah dunia yang rentan terjadi kekerasan, konflik dan kesalahpahaman.
Relasi yang intens antara Gus Dur dengan Gereja,  dimulai ketika terjadi kerusuhan Situbondo pada 1996 (Greg Barton, “Gus Dur:The Authorized Biography of Abduraahman Wahid”,2002, hal 287 dan 288).Dalam kerusuhan yang ditujukan pada gereja dan umat kristiani itu, Gus Dur sebagai Ketua PBNU bahkan berani meminta maaf..
Namun kerusuhan itu membawa hikmah, mulai terjalinnya komunikasi antara umat Islam, khususnya kaum Nahdlyin dengan umat kristiani. Gus Dur berpesan pada tokoh dan umat kristiani:”Anda kehilangan sejumlah gereja yang indah tapi Anda memiliki sesuatu yang lebih berharga, yakni hubungan yang lebih baik dengan umat Islam”.
Mendiang Frans Seda  tentu sependapat dengan pesan Gus Dur. Karena sejak dulu, setiap anggota gereja seperti Frans justru didorong berkomunikasi dengan pihak lain, sebagaimana diamanatkanKonsili Vatikan. 
Dalam  dokumen Nostra Aetate (NA), yang merupakan salah satu dokumen penting yang dihasilkan Konsili Vatikan II, Gereja Katolik berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam. Bahkan menyangkut relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat: ”Mengingat dalam peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk melupakan dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar manusia” (Dokumen Nostra Aetate, Roma 28/1/1965). 
Perbedaan Bukan Kendala
Komunikasi antara Gus Dur dan kaum Nahdliyinnya dengan gereja,  yang didalamnya ada peran Frans,semakin membaik dari hari ke hari.Perbedaan mendasar dalam ajaran iman tidak menjadi kendala.Karena sesungguhnya baik Islam atau Katolik memiliki komitmen yang sama pada kemanusiaan, meskipun ada perbedaan terkait dogma atau akidah.
Perbedaan itu memang tidak perlu diubah. Perbedaan itu justru rahmat Sang Pencipta, agar kita yang berbeda suku, ras, agama dan golongan justru bisa saling mengisi dan berbagi kebaikan.
Jadi  perbedaan tidak pernah menghapus peluang untuk membangun tali silaturahmi, persaudaran sejati dan mengupayakan hal-hal yang positif bagi masyarakat.Dengan demikian, agama tidak jatuh menjadi slogan atau terdegradasi menjadi alat untuk memecah belah umat manusia, namun memberi kontribusi positif bagi kehidupan kita.
Rasanya spirit Gus Dur atau Frans yang selalu bisa menghargai perbedaan, guna mengupayakan kebaikan bersama, masih begitu relevan dengan kondisi negeri kita hari-hari ini. Kita prihatin menyaksikan masih ada kekerasan atas nama sentimen SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang marak belakangan ini. Maka spirit atau ide-ide kegamaan, kemanusiaan dan kebangsaan Gus Dur atau Frans jangan ikut terkubur. Indonesia membutuhkan lebih banyak Gus Dur dan Frans Seda yang lain, agar tetap satu dalam damai, kasih dan persaudaraan, dalam NKRI  yang berdasar Pancasila.

*)Kolumnis dan Aktivis Lintas Agama

Monday, September 17, 2012

Refleksi 1000 Hari Wafat Gus Dur, Koran Tempo, 15-9-2012: MERAWAT SEMANGAT MENGHARGAI PERBEDAAN Artikel Tom Saaptaatmaja ke 977


Pada 25 September 2012, genap 1000 hari Wafat Gus Dur. Terkait ini, baik sebelum maupun sesudah tanggal tersebut, digelar peringatan di berbagai tempat, antara lain di kediaman almarhum di  Ciganjur Jakarta. Seperti diketahui, Gus Dur wafat pada Rabu (30/12/2009) dan dimakamkan di pemakaman Bani Hasyim di Pesantren Tebuireng, Jombang pada akhir tahun 2009. Di makam itu juga telah disemayamkan Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur dan Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. 

Pasca pemakaman itu, merebak usulan Gus Dur ditetapkan sebagai pahlawan nasional.Namun  usulan ini belum bisa direalisasi oleh pemerintah.Kelak bila dinyatakan sebagai pahlawan, dia akan menyusul kakeknya Hasyim Asya'ari (Pendiri NU) dan Wahid Hasyim,  ayah Gus Dur yang sudah dinyatakan sebagai pahlawan nasional.

Namun sejatinya Gus Dur selalu menjadi pahlawan dalam hati siapapun yang mengaguminya. Dalam kamus bahasa Indonesia (Balai Pusaka, 199), pahlawan diberi makna  sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbannya dalam membela kebenaran atau  pejuang yang gagah berani.

Dan di sepanjang hidupnya,  Gus Dur selalu heroik dalam cara berpikir, meski tetap bersikap  moderat.Gus Dur juga selalu bertindak bak pahlawan karena konsistensi perjuangannya pada topik keagamaan, kemanusiaan, pluralitas dan demokrasi.

Kita tidak mungkin meniru almarhum.Biarlah cuma ada satu Gus Dur di muka bumi ini. Yang wajib kita lanjutkan adalah cara hidup, pemikiran dan perjuangannya, bagaimana almarhum selalu membela mereka yang dipinggirkan dan ditindas. Bagaimana Gus Dur mengajarkan tentang keterbukaan guna menjunjungi tinggi harkat dan martabat manusia.

Dan di atas semuanya, bagaimana Gus Dur selalu heroik tiap  membahas tentang pluralitas dan demokrasi yang masih menjadi perjuangan panjang bangsa kita. Ibaratnya lautan, Gus Dur menjadi sosok yang mampu  menampung dan memahami pemikiran atau entitas apapun. Gus Dur tak pernah alergi pada perbedaan. Semasa masih menjabat jadi Presiden, mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001, Gus Dur pernah berkata:”setanpun boleh bertamu di Istana”.

Dialog dan Silaturahmi

Oleh karena itu, dialog, diskusi dua arah dan bukan monolog, selalu digemari oleh Gus Dur. Tidak heran menurut Mbak Yenny, putri almarhum, semasa hidupnya yang membentang selama 69 tahun, nyaris setiap hari Gus Dur selalu punya agenda menerima tamu atau bertamu ke siapa saja. Tiada hari tanpa tamu dalam kehidupan Gus Dur. Semangat mengedepankan dialog,  bersilaturahmi atau berkomunikasi inilah yang perlu kita lanjutkan.

Bahkan, walau sudah tiada, tampaknya Gus Dur seperti terus berkomunikasi dengan mereka yang mengaguminya. Simak saja, di makam Gus Dur yang berada di bagian belakang pekarangan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, ratusan bahkan ribuan orang dari berbagai kalangan tiap hari ramai berjiarah di kompleks pemakaman yang luasnya hanya 100 meter persegi itu. Tahun 2011 lalu, jumlah peziarah di makam Gus Dur diperkirakan mencapai satu juta orang.

Yang menarik, bukan hanya Umat Islam atau warga Nahdliyin saja yang berziarah. Nyaris  semua lapisan, golongan dan agama ada di antara deretan para pejiarah di makam Gus Dur. Ada  pastor, pendeta, biku, penganut Hindu, Budha, umat kristiani dan penghayat aliran kepercayaan atau yang sekuler dan agnostik sekalipun.

Para pejiarah beretnis Tionghoa juga tampak selalu ada, entah yang beragama Konghucu,  Tao atau yang lain.Secara khusus etnis Tionghoa memang sangat berutang budi pada Gus Dur, yang digelari dengan sebutan Bapak Tionghoa Indonesia dan Bapak Pluralisme Indonesia. Harus diakui, karena jasa Gus Dur, segala bentuk diskriminasi, termasuk apa yang disebut pembunuhahan budaya Tionghoa (“cultural genocide”)  yang dilakukan pemerintah Orba dihapus. Memang  sejak Soeharto berkuasa pasca 1965, semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Inpres No 14/1967. Etnis Tionghoapun dipinggirkan dan akhirnya hanya berkutat di bidang ekonomi.Berkat Gus Dur, etnis ini akhirnya kembali dianggap setara dengan anak bangsa yang lain dalam rumah yang bernama Indonesia.

Macam-macam motif orang yang hadir dan berdoa di makam Gus Dur. Namun kebanyakan, para pejiarah memang dipenuhi dengan rasa kagum, rasa hormat dan rasa syukur atas jasa-jasa almarhum bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Merawat dan Merindukan

Dengan kata lain, ramainya para peziarah lintas agama di makam Gus Dur seolah hendak mengungkapkan kerinduan akan hadirnya kembali sosok Gus Dur yang begitu menghargai keragaman dan perbedaan.

Kerinduan semacam ini tentu saja  masuk akal, mengingat negri kita dahulu dikenal sebagai negri yang ramah atas berbagai macam perbedaan (suku, agama, ras, antar golongan atau SARA).Bahkan toleransi dan penghargaan kita pada keberagaman diapresiasi di mana-mana. Namun sayang, hari-hari ini, negeri yang pernah dikenal sebagai negri yang ramah pada perbedaan, kini seolah mengalami kemerosotan sehingga kerap dilanda amarah dan amuk massa karena  kurang  menghargai perbedaan.Seolah perbedaan menjadi musuh.Kebhinekaan menjadi cela yang disesali.

Simak saja, beberapa tempat ibadah disegel dan aksi kekerasan atau teror juga terus menyasar kemana-mana.Orang gampang saling menyesatkan,mengkafirkan bahkan membunuh karena perbedaan agama atau keyakinan.Kekerasan dan spirit komunalisme merebak di seantero negeri.Tawuran antar pelajar/mahasiswa, bentrok antar kampung atau serangan ke kelompok minoritas yang dainggap sesat, menjadi fenomena sehar-hari.

Mengingat Gus Dur tak mungkin dihidupkan kembali, jelas spiritnya yang selalu menghargai perbedaan, harus kita rawat dan pelihara. NKRI dalam bahaya, ketika tiada lagi  penghargaan pada perbedaan, mengingat keragaman adalah keniscayaan kita.

Maka kita yang mengagumi sosok dan pemikiran Gus Dur,  jelas perlu ambil bagian dalam merawat  spirit atau semangat Gus Dur yang inklusif di atas.Sebab penghargaan pada perbedaan dalam dunia yang beragam dewasa ini, terlebih di negeri kita merupakan kunci bagi terciptanya perdamaian dan persaudaraan sejati dan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Dan masa depan Indonesia, bahkan dunia amat tergantung pada sejauh mana pemikiran yang menghargai perbedaan dan keragaman terus diberi ruang. Terimakasih Gus, para Gusdurian akan selalu merindukanmu.

Permohonan Maaf Saya:Di Koran Tempo 15 September, ditulis peringatan 1000 hari wafat Gus Dur jatuh pada 17 September 2021, padahal sesusungguhnya jatuh pada 25 September 2012.

Friday, September 14, 2012

12 September 2012 Farooq Tariq: Mengabaikan fundamentalisme agama merupakan kejahatan (Sumber Indoprogress.com)

PERKEMBANGAN pesat konflik kekerasan komunal-sektarian saat ini, sudah mencapai tahap yang sangat mengkhawatirkan. Pelaku kekerasan ini bukan hanya memperoleh ruang untuk bergerak secara fisik, tapi juga ruang kebebasan untuk mempropagandakan garis ideologinya. Menariknya, tidak ada respon yang cukup dari kalangan kiri terhadap aksi-aksi politik dan ideologi kaum Islamis itu.

Bagaimana seharusnya kaum Kiri merespon kekuatan Islamis saat ini, terutama seksi radikalnya? Berikut ini, percakapan Zely Ariane dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR) dengan Farooq Tariq, juru bicara nasional Partai Buruh Pakistan (Labour Party Pakistan), dalam satu kesempatan pada akhir Juli 12012, di Manila, Filipina.

Zely Ariane (ZA): Terdapat peningkatan jumlah kelompok-kelompok Islam fundamentalis reaksioner yang mengancam agama minoritas, kaum perempuan, dan kelompok-kelompok LGBT serta prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. Aktivitas mereka menciptakan atmosfer yang baru, yang membuat kami harus menanggapinya dengan serius. Saya ingin mendapatkan kesan dari apa yang sedang kawan-kawan perjuangkan di Pakistan, sebagai sebuah partai sosialis dalam menanggapi secara serius isu ini.

Farooq Tariq (FT): Setelah 9/11 2011, fundamentalisme agama menjadi meningkat. Semua upaya kekuatan imperialis mengatasi berbagai aktivitas kaum fundamentalis dengan cara-cara muliter telah gagal. Fundamentalisme dalam berbagai bentuk telah berkembang. Mereka tumbuh sebagai kekuatan politik, mereka tumbuh menjadi kekuatan yang sangat militan, kelompok-kelompok baru bermunculan, cara-cara baru serangan bunuh diri telah terjadi tak saja di Pakistan dan Afganishtan, bahkan meluas ke beberapa negara Afrika, dan juga Indonesia. Dan serangan tersebut disebarkan oleh kaum fanatik keagamaan sebagai suatu jalan perlawanan.

Fundamentalisme sebagai suatu kekuatan harus direspon atas landasan politik, ia mesti dianggap serius. Jangan kita anggap bahwa imperialisme akan melakukannya untuk kita dengan merepresi dan membunuh mereka, melalui serangan pesawat pembom, melalui perang terhadap teror ala mereka, dan seterusnya. Osama bin Laden dibunuh, tetapi tidak gagasannya, gagasannya masih hidup. Osama bin Laden yang baru telah tampil ke muka, dengan nama dan aktivitas lain. Apakah aktivitas mereka berkurang setelah kematian Osama? Tidak. Berbagai hal menjadi semakin buruk setelah kematiannya, karena kematian Osama dielu-elukan oleh Amerika Serikat sebagai suatu kemenangan bagi mereka. Presiden AS langsung siaran dan mengatakan bahwa kematian Osama dapat menjadi akhir dari fanatisisme. Namun kita bisa menyaksikan bahwa sejak 15 Mei 2011 setelah kematian Osama, kaum fundamentalis tidak mengurangi aktivitasnya. Mereka bangkit dalam berbagai bentuk, butuh sedikit waktu saja bagi mereka mereorganisasikan diri. Di Pakistan terdapat lebih banyak serangan bunuh diri, terdapat lebih banyak kaum fundamentalis dengan berbagai wujudnya, dan kami menyaksikan peningkatan mereka di lapangan parlemen. Di Mesir mereka memenangkan kekuasaan, mereka hanya kalah sedikit di Libya, mendapatkan lebih banyak dukungan di Aljazair, Tunisia. Jadi kita dapat melihat kemajuan yang mereka lakukan, juga di Indonesia. Pertumbuhan fundamentalisme harus dianggap sangat serius oleh kaum kiri.

Saya dapat katakan di sini bahwa kami memiliki perdebatan yang panjang di dalam partai tahun 1998-1999 dan 2000 tentang perkembangan fundamentalisme. Terdapat dua kecenderungan dalam partai, pertama yang mengatakan bahwa pertumbuhan fundamentalisme dirancang oleh kekuatan imperialis, dan kapanpun mereka mau fundamentalis dapat dicampakkan. Kecenderungan ini mengatakan bahwa kaum fundamentalis dipromosikan oleh imperliasme, dan mereka akan selalu dikontrol oleh imperialis. Ini sebelum 9/11. Saya adalah salah satu pimpinan di partai yang mengatakan bahwa fundamentalisme akan maju dengan pesat, karena krisis kapitalisme, dan karena ketidakmampuan partai-partai kapitalis mengatasi persoalan rakyat. Sehingga fundamentalisme akan dilihat menjadi semacam alternatif. Saya tidak menyadari sejauh mana mereka akan melaju menyerang AS, seperti 9/11.

Dikatakan oleh beberapa kawan bahwa fundamentalisme layaknya sebuah balon berisi udara: kau tusukkan jarum maka ia akan meledak, udara akan keluar dan balon akan menyusut ke ukuran aslinya. Kami bilang tidak, ini bukan sebuah balon, ini adalah suatu masalah nyata, monster yang nyata, dibesarkan oleh kekuatan imperialis namun telah lepas dari kontrolnya. Kita lihat 9/11 dan lalu di tahun 2002, fundamentalisme untuk pertama kalinya di Pakistan mendapatkan lebih dari 50 persen suara. Sebelumnya, mereka tidak pernah mendapatkan suara lebih dari tiga atau empat persen. Mereka tidak bisa mengalahkan rekor ini di tahun 2008 karena beberapa faktor. Terdapat oposisi dari kami dan beberapa kekuatan fundamentalis melakukan boikot pemilu sementara beberapa lainnya berpartisipasi. Sehingga kekuatan fundamentalis terpecah pada pemilu 2008. Memberi jalan pada mayoritas PPP (Partai Rakyat Pakistan) di parlemen.

Namun inilah fenomena nyata yang harus kita hadapi. Dan kaum kiri seharusnya jangan menganggap ini bukan masalah mereka, jangan pikir orang lain akan mengatasi masalah ini untuk mereka, kaum kiri harus menanggapinya dengan serius. Meskipun mereka bukan musuh utama, seperti halnya sistem kapitalis. Namun, kita mesti terus mengawasi pertumbuhan musuh ini, yang mengancam, utamanya, seksi paling lemah kelas kita, yaitu kaum perempuan dan minoritas agama. Seksi-seksi inilah yang paling terancam dengan perkembangan fundamentalisme

ZA: Seperti yang bung katakan tadi bahwa kecenderungan serangan bunuh diri meningkat. Di Indonesia pernah terjadi, dan Jemaah Islamiyah Indonesia dituduh melakukannya, dan mungkin mereka memang melakukannya, namun adakah bung tahu kemungkinan hubungan antara kekuatan fundamentalisme Iskam di Indonesia dan Pakistan? Kadang pemerintah mengatakan bahwa fundamentalis Indonesia dilatih di Pakistan.

FT: Saya pikir kelompok-kelompok fundamentalis adalah penganut internasionalisme. Mereka hendak mengubah dunia menjadi dunia berdasarkan keyakinannya, sehingga itu tidak saja menjadi kecenderungan nasional di Indonesia dan Pakistan. Terdapat berbagai pengelompokan dan kecenderungan re-pengelompokan fundamentalis internasional. Terdapat Jemaah Islamiyah Indonesia, Jemaah Islamiyah Malaysia, dll. Terdapat juga Jemaah Islamiyah Bangladesh. Jadi ada berbagai internasional, dan fundamentalis bersatu atas suatu landasan internasional. Dan kita lihat orang yang bertanggung jawab terhadap bom Bali ditemukan di Pakistan. Salah seorang di antara mereka baru-baru ini dikenakan 20 tahun penjara di Indonesia, dan ia ditangkap di Pakistan. Jadi fundamentalis Indonesia telah memiliki kontak lama dengan fundamentalis Pakistan dan itu harus diungkapkan oleh kekuatan kiri. Al Qaeda bukanlah organisasi nasional. Mereka menjadi lebih berbahaya karena mereka memiliki suatu agenda politik internasional untuk menguasai dunia. Indonesia adalah salah satu negeri dimana mayoritasnya adalah muslim. Kamu dapat lihat dari berbagai aspek kehidupan bahwa fundamentalis mengumpulkan dukungan.

Kelompok-kelompok (Islam) moderat membuka jalan bagi fundamentalis garis keras. Dan itu kecenderungan sangat berbahaya di Indonesia, dan saya pikir kaum sosialis Indonesia harus menanggapi fenomena itu dengan serius.

ZA: Apa pendapat bung mengenai koneksi antara tentara dan kelompok fundamentalis agama di Pakistan? Di Indonesia, terdapat sejarah kerjasama semacam itu, tapi kadang, kaum kiri menyederhanakan fenomena fundamentalisme sekadar sebagai bentukan dari militer.

FT: Setiap kaum fundamentalis tumbuh, dijelaskan oleh sebagian kelompok kiri sebagai kerja rahasia dari Amerika atau tentara, dan ISI (Inter-Services Intelligent Pakistan). Dalam pandangan ini, fundamentalis hanya suruhan militer. Untuk beberapa hal itu benar pada satu waktu, namun sekarang mereka menjadi suatu kekuatan nyata, suatu kekuatan politik. Mereka adalah kekuatan yang kokoh, mereka mendapatkan simpati dari banyak kaum muslim di Pakistan, mereka dilihat sebagai anti imperialis. Gagasan fundamentalisme agamalah yang dipandang simpati oleh banyak kaum muslim, karena setelah 9/11 kebijakan AS justru membuka jalan bagi hal ini. Bagi muslim seluruh dunia hidup menjadi lebih sulit.

Satu hal yang benar untuk Pakistan, dan saya pikir juga demikian untuk Indonesia, bahwa banyak kekuatan fundamentalis datang dari orang yang pergi meninggalkan negeri. Kelompok fundamentalis ini mengumpulkan banyak uang dari Barat, setiap para pimpinannya pergi ke Barat kembali dengan tas penuh uang. Kaum imigran di Barat yang merasakan tekanan akibat rasisme, mengidentifikasi diri lebih kuat sebagai suatu kelompok agama dan berpikir bahwa (dengan membantu kaum fundamentalis) mereka sedang berkontribusi untuk suatu hal baik di negeri mereka sendiri.

ZA: Sebagian kelompok kiri mengatakan bahwa kaum fundamentalis juga bagian dari kelas pekerja karena sebagian besar mereka berasal dari seksi lebih miskin dari masyarakat.

FT: Saya mendengar argumentasi semacam ini berulang kali, mengklaim bahwa mereka berasal dari kelas pekerja, (bahkan) mereka adalah gerakan kelas pekerja, dan bahwa kita mesti mendukung, kita mesti bergabung dengan mereka dalam rangka membongkar gagasan fundamentalisme, dan lain-lain. Saya pikir semua itu adalah pendapat yang salah. Komposisi kelas fundamentalisme relijius utamanya adalah kelas menengah, dan menengah ke atas, dan mereka bukanlah gerakan berbasis kelas, melainkan gerakan berbasis agama… mereka ingin kaum muslim bergabung, mereka tidak mau kaum pekerja bergabung. Mereka tidak mau sedikitpun kontradiksi kelas di dalam jajaran mereka. Di Pakistan gagasan yang salah ini seringkali disebarluaskan oleh kelompok kiri yang mengatakan bahwa kelas pekerja Pashtun mendukung Taliban dan sebagainya, namun saya pikir itu tidak benar, dan juga di Indonesia. Menganggap karena mempertimbangkan asal kelas fundamentalis maka kita seharusnya memiliki suatu sikap berbeda, bahkan positif terhadap mereka, dan kita harus mencoba bekerja bersama mereka, adalah suatu kesalahan. Akan menjadi kejatuhan kiri yang luar biasa jika kaum kiri bersama-sama kelompok fundamentalis.

Saya cukup tahu tentang Dita Sari, mantan ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kami berdebat dengannya, mendesaknya untuk tidak mengikuti pemilu dengan tiket dari partai Islam, meskipun bukan partai fundamentalis, hanya partai relijius. Terdapat garis sangat tipis antara partai-partai relijius dan fundamentalis. Karena partai-partai relijius adalah basis bagi partai-partai fundamentalis, mereka adalah halaman rumah dimana fundamentalis dapat dengan leluasa bermain. Para pimpinan PRD lainnya memilih strategi yang salah karena bekerja dengan partai relijius. Saya berdebat dengan Dita Sari di tahun 2007 terkait isu ini, namun ia pikir mereka (PRD) dapat masuk ke parlemen dan melakukan berbagai hal yang mereka inginkan. Saya bertanya; ‘parlemen apa?’ Parlemen ini tidak akan benar-benar membantu partaimu untuk tumbuh, hanya perjuangan kelas yang bisa, hanya perjuangan kelas di jalanan, pergerakaan massa, perjuangan rakyat, perjuangan melawan fundamentalisme yang akan membuka jalan bagi kesuksesan PRD. Dan sekarang kita saksikan kolapsnya partai itu, sangat disayangkan. Saya sangat menghormati Dita Sari dan pengorbanannya, dan seluruh (aktivitas) partai benar-benar seperti suatu contoh cemerlang bagi partai-partai di Asia yang berjuang melawan kediktatoran, yang berjuang untuk hak-hak kelas pekerja. PRD adalah contoh jenis partai yang hendak kami bangun di Pakistan. Ketika kami mulai membangun LPP, PRD adalah ide yang kami contoh, yang dapat tumbuh dan melakukan pengorbanan. Dan ketika Soeharto dikalahkan kami berharap partai ini bisa tumbuh dengan luar biasa, dan itu terjadi dalam beberapa hal, PRD memang tumbuh dan menarik banyak orang. Namun sayangnya pilihan yang salah dapat berarti bencana. Itu adalah suatu kejahatan dari kepemimpinan PRD. Namun saya pikir mengabaikan fundamentalisme juga merupakan kejahatan. Jika anda meremehkannya, anda akan membayar harganya di masa depan.

ZA: Tentang kampanye melawan fundamentalisme. Bagaimana pengalaman LPP dalam kampanye solidaritas terhadap Gubernur Punjab dan seorang perempuan Hindu yang pindah agama. Di Indonesia, kami mendukung aliansi melawan FPI, mendukung petisi melawan mereka, namun bagian kelompok kiri lain tidak bergabung karena berbagai alasan yang didiskusikan sebelumnya.

FT: Kami selalu mencoba bersatu dengan berbagai tren melawan fundamentalisme. Karena perjuangan ini adalah perjuangan besar, kami perlu kekuatan besar untuk melawan mereka. Kami selalu mencoba menyatukan organisasi sosial, LSM, serikat buruh, partai-partai politik, dalam perlawanan nasional terhadap fundamentalisme. Kami telah membentuk Komite Aksi Bersama untuk Hak-hak Rakyat. Komite ini tidak punya struktur, hanya komite saja, namun ia berkumpul bersama untuk beraksi atas berbagai isu. Ia adalah pergerakan. Satu waktu, LPP dianggap sebagai partai LSM karena dalam masyarakat yang dikontrol oleh feodalisme dan fundamentalisme dan imperialisme, kami perlu melakukan berbagai kerja sosial dengan organisasi-organisasi sosial, dan mencoba meradikalisasi mereka. Jadi kami telah bekerja dengan organisasi-organisasi sosial dalam perjuangan melawan fundamentalisme ini, kami selalu mencoba bersatu dengan kiri yang lain, dengan serikat buruh, dan gerakan sosial lainnya.

Ketika seorang perempuan Hindu di Sindh dipaksa masuk Islam, LPP lah yang berinisiatif menggelar reli disepanjang Sindh. Terjadi reli di Hyderabad, kota kedua terbesar, dan satu lagi di Karachi. Namun reli di Hyderabad diserang oleh kelompok fundamentalis Sunni Tehreek, yang mengatakan bahwa kami melawan UU anti-blasphemy (anti penghujatan agama Islam) dan reli tersebut melawan fundamentalisme. Mereka menyerang kami, kami balik melawan. Polisi datang, fundamentalis berkumpul, dan semua kawan kami, sekitar seratus orang, ditangkap. Dan ini hanyalah untuk melawan kasus dimana seorang perempuan Hindu miskin dipaksa masuk Islam. Kami mendukung kebebasan memilih namun kami tahu bahwa itu adalah pemaksaan terhadap perempuan ini.

Setelah 8 jam ditahan, kawan-kawan kami dilepaskan dari tahanan, dan fundamentalis gagal menggulirkan tuntutan melawan kami berbasiskan UU anti-blasphemy. Hukuman bagi penghujatan agama di Pakistan adalah hukuman mati. Itulah satu contoh strategi kami. Kami tidak pernah berkompromi dalam mempertahankan minoritas di Pakistan yang utamanya adalah Hindu dan Kristen. Ini adalah tugas utama kami sebagai sosialis untuk membela yang paling tertindas, dan minoritas adalah di antara mereka yang paling tertindas.

Kasus lain di Punjab tahun lalu adalah pembunuhan terhadap gubernur Punjab. Punjab adalah propinsi terbesar di Pakistan. Gubernur berasal dari Partai Rakyat Pakistan, ia bersimpati dengan seorang perempuan Kristen yang ditahan dan dihukum atas tuduhan penghujatan. Ia datang ke penjara untuk menemuinya, ia bicara pada pers memberi dukungan pada perempuan ini. Fundamentalis mengatakan bahwa ia telah melakukan penghujatan karena mendukung perempuan yang dituduh membuat komentar bernada penghujatan. Gubernur ini adalah seorang borjuis liberal yang berani membela perempuan ini. Dan apa yang terjadi padanya? Pengawalnya sendiri, yang dipengaruhi oleh fundamentalis, membunuhnya. Dan PPP, partainya sendiri, menolak untuk membelanya karena mereka tidak mau berhadapan dengan fundamentalis, mereka hanya menutup mata, dan bungkam. Sehingga kami mengambil inisiatif mengorganisasikan pengutukan terhadap pembunuhan itu untuk pertama kalinya, pengutukan rakyat (atas kejadian itu). Kami katakan, bahwa kami akan menyalakan lilin di depan rumah gubernur. Dan ribuan orang datang untuk memberi penghormatan. Kami punya banyak masalah dengan gubernur ini secara politik, namun ketika kami berjuang melawan fundamentalisme kami harus bersatu dengan kaum liberal… Kami harus bersama, kami harus sangat fleksibel dalam hal-hal yang taktis dan mahir menangani situasi. Kami harus fleksibel dalam taktik dan teguh dalam prinsip. Hal yang baik ketika keluarga gubernur merasa senang dengan inisiatif yang dilakukan oleh LPP pada waktu itu.

ZA: Bung bilang tadi kelompok kiri lain juga ambil bagian dalam kampanye melawan fundamentalisme ini, tak hanya LPP. Saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang program persatuan kiri saat ini di Pakistan.

FT: Sejak partai didirikan tahun 1997, kami selalu mencoba untuk bekerja dengan berbagai aliran kiri di Pakistan. Meskipun kami berlatar belakang Trotskyst, kami tidak akan membangun suatu partai berupa partai Trotskyst. Kami ingin membagun suatu partai marxist, suatu partai sosialis. Oleh karena itu kami memilih nama yang biasa: Partai Buruh. Dan ide dibalik nama ini adalah ia harus menjadi suatu partai berbasis kelas, dan ia harus menarik banyak tren, orang-orang dari berbagai latar belakang, dan mereka harus bersatu dalam membentuk partai, namun disaat bersamaan mereka dapat tidak bersetuju pada persoalan-persoalan historis. Karena setelah kejatuhan stalinisme dan serangan kapitalisme setelah 1990-an, pertentangan di kalangan kiri menjadi tidak begitu penting. Situasinya tak sama dengan sebelum 1990-an. Saya ingat banyak sikap-sikap sektarian yang juga kami punya pada saat itu. Juga karena serangan kapitalisme membuat kaum kiri terancam, sehingga mereka harus bersatu. Dan saya pikir di negeri seperti Pakistan, gagasan Trotsky, teori Revolusi Permanen memenangkan banyak pendukung stalinis karena ia menolak aliansi dengan borjuasi. Gagasan itu melawan teori revolusi yang ditahapkan, dan bahwa borjuasi tak dapat mengulang peran historis mereka seperti dalam revolusi politik demokratik di Eropa. Borjuasi tidak dapat mengakhiri imperialisme, tidak dapat membawa demokrasi, tidak dapat menyatukan bangsa, juga tidak dapat memisahkan negara dari agama atau menstimulasi industrialisasi.

Jadi kami telah bekerja bersama dengan berbagai partai dan kelompok, kami selalu mencoba untuk bersatu. Di tahun 2006 kami membentuk Awami Jamhoori Tareek (AJT), dan saya menjadi sekretarisnya, dengan tujuh kelompok kiri lainnya di Pakistan, dan kami mengorganisasikan banyak kegiatan yang sangat sukses. Namun hal itu tak dapat berlangsung lebih lanjut karena sikap-sikap sektarian dari beberapa kelompok. Namun kami tetap bersama dalam pergerakan para pengacara, kami bersatu dalam perjuangan melawan fundamentalisme. Tahun lalu diskusi dimulai dengan bagaimana menyatukan tiga partai: Labor Party, Workers Party dan Awami Party Pakistan. Semua partai ini telah mendirikan komite merjer masing-masing. LPP juga membetuk komite merjernya di pertemuan komite federal yang diselenggarakan di Aktabaad, kota dimana Osama bin Laden dibunuh. Kami meyakinkan bahwa persatuan kiri harus berbasis suatu program sosialis, bukan program anti kapitalis. Anti kapitalis tidak cukup. Argumentasi kami didukung dan kedua partai bersetuju. Sosialisme ilmiah lah yang kami bicarakan dan sentralisme demokratik, metode organisasi leninis, dan sebagainya…

Di bulan Agustus pembicaraan akan berlanjut dalam hal bentuk organisasional dan kemudian kami akan kembali ke partai kami masing-masing. Jika negosiasi berujung pada kesimpulan dan kami memiliki kesepakatan, maka akan ada pertemuan khusus komite federal LPP. Kami tidak mau mengambil keputusan dengan terburu-buru, kami harus yakin. Sekali anda merjer, maka itulah partai anda. Dan kami mengalami 20 tahun masalah dalam proyek semacam itu, sehingga kami juga perlu belajar dari pengalaman orang lain, baik negatif maupun positif.

Suatu partai persatuan kiri akan menarik banyak kaum muda yang teradikalisasi. Saat ini terdapat banyak kebingungan ke partai mana mereka mesti bergabung, karena semua partai kiri yang berbeda-beda ada. Dan mereka bertanya: apa perbedaan kalian? Saya harap ini akan menjadi satu langkah besar ke depan bagi kemajuan gagasan kiri jika negosiasi merjer sukses dan partai-partai setuju. Jika kami sanggup membentuk satu partai kiri besar, ia akan punya potensi untuk tumbuh dan mungkin bisa juga memenangkan beberapa kursi di parlemen. ***

Thursday, August 16, 2012

Pidato Seekor Ayam Sambut 67 Tahun Kemerdekaan


Menyambut 67 Tahun Kemerdekaan Indonesia, jadi ingat sebuah tulisanku di Kompasiana, 17 Juni 2011,judulnya Ayam Lebih Baik daripada Koruptor.

SBY hari ini, Kamis 16 Agustus 2012 berpidato bangga, kekuatan ekonomi Indonesia berada di posisi 16 dunia. Tapi apa artinya di peringkat ini, jika peringkat korupsi negri ini termasuk tiga, empat atau lima  besar di dunia? Mungkin seekor ayam, tidak akan mengerti.

Namun, silahkan mengatakan apapun, tapi jangan pernah mengatakan Indonesia seperti ayam goreng yang tidak pernah sekolah.Pasalnya tak ada sekolah yang terbuka untuk ayam goreng, sehingga nasib si ayam hanya dimakan,ditelan lalu menjadi kotoran.Namun sekotor-kotornya kotoran ayam masih lebih baik daripada kotoran koruptor.Karea ayam tidak pernah korupsi.Jadi ayam lebih baik daripada koruptor.

 Coba renungkan lagi koruptor,ayam saja rela mati untuk manusia.Tiap hari setengah juta ekor ayam potong, dikonsumsi warga jakarta sehingga mereka hidup.Demikian pula tiap hari ada 400 ribu ekor ayam potong dimakan warga Surabaya. Jutaan lainnya dimakan di berbagai kawasan lain di Tanah Air. Ayam sungguh menghidupi Indonesia.Sedangkan koruptor terus menggerogoti negri ini.Setelah digerogoti, Indonesia akan jadi busuk.Ini cocok dengan asal kata korupsi yang diambil dari bahasa Latin corrumpere, yang maknanya membusukkan.

 Para koruptor, hidupmu sungguh lebih rendah daripada kotoran ayam.Karena kotoran ayam bisa menyuburkan tanaman, sementara kelakuanmu membuat banyak anak negri ini, khususnya anak miskin terus menderita gizi buruk, tak bisa sekolah apalagi kuliah.Maka disarankan, jangan korupsi lagi.Uang yang sudah terlanjur dikorupsi, tolong dikembalikan ke negara. Atau bisa juga dibelikan ayam kampung, lalu bagilah ayam itu ke kampung-kampung di negri ini. Ini jauh lebih berguna daripada uangnya dimakan sendiri.

 Tulisan ini bukanlah pesanan atau iklan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi ada baiknya KPK,lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, MK, MA, Kejaksaan, Kepolisian dan departemen-departemen, memelihara ayam daripada memelihara koruptor.

Thursday, July 12, 2012

MENGAPA ORANG YAHUDI PINTAR?


Tanpa bermaksud untuk mendramatisasi tentang orang Israel dan atau
orang Yahudi, saya ingin berbagi informasi yang saya peroleh dari
membaca terjemahan H. Maaruf Bin Hj Abdul Kadir (guru besar
berkebangsaan Malaysia) dari Universitas Massachuset USA tentang
penelitian yang dilakukan oleh DR.Stephen Carr Leon. Penelitian DR
Leon ini adalah tentang pengembangan kualitas hidup orang Israel atau
orang Yahudi.

Mengapa Orang Yahudi, rata-rata pintar ? Studi yang dilakukan
mendapatkan fakta-fakta sebagai berikut:

Ternyata, bila seorang Yahudi Hamil, maka sang ibu segera saja
meningkatkan aktvitasnya membaca, menyanyi dan bermain piano serta
mendengarkan musik klasik. Tidak itu saja, mereka juga segera memulai
untuk mempelajari matematika lebih intensif dan juga membeli lebih
banyak lagi buku tentang matematika. mempelajarinya, dan bila ada
yang tidak diketahui dengan baik, mereka tidak segan-segan untuk datang
ke orang lain yang tahu matematika untuk mempelajarinya. Semua itu
dilakukannya untuk anaknya yang masih didalam
kandungan.

Setelah anak lahir, bagi sang ibu yang menyususi bayinya itu, mereka
memilih lebih banyak makan kacang, korma dan susu. Siang hari, makan
roti dengan ikan yang tanpa kepala serta salad. Daging ikan dianggap
bagus untuk otak dan kepala ikan harus dihindari karena mengandung zat
kimia yang tidak baik untuk pertumbuhan otak si anak. Disamping itu
sang ibu diharuskan banyak makan minyak ikan (code oil lever).

Menu diatur sedemikian rupa sehingga didominasi oleh ikan. Bila ada
daging, mereka tidak akan makan daging bersama-sama dengan ikan,karena
mereka percaya dengan makan ikan dengan daging hasilnya tidak bagus
untuk pertumbuhan. Makan ikan seyogyanya hanya makan ikan saja, bila
makan daging , hanya makan daging saja, tidak dicampur. Makan pun,
mereka mendahulukan makan buah-buahan baru makan roti atau
nasi. Makan nasi dulu baru kemudian makan buah, dipercaya akan
hanya membuat ngantuk
dan malas berkerja.

Yang istimewa lagi adalah : Di Isarel, merokok itu tabu ! Mereka
memiliki hasil penelitian dari ahli peneliti tentang Genetika dan
DNA yang meyakinkan bahwa nekotin akan merusak sel utama yang ada di
otak manusia yang dampaknya tidak hanya kepada si perokok akan tetapi
juga akan mempengaruhi "gen" atau keturunannya. Pengaruh yang utama
adalah dapat membuat orang dan keturunannya menjadi "bodoh" atau
"dungu".

Kalau kita perhatikan, penghasil rokok terbesar di dunia ini adalah
orang Yahudi! Tetapi yang merokok , bukan orang Yahudi.

Anak-anak, selalu diprioritaskan untuk makan buah dulu baru makan
nasi atau roti dan juga tidak boleh lupa untuk minum pil minyak
ikan. Mereka juga harus pandai bahasa , minimum 3 bahasa harus
dikuasainya yaitu Hebrew, Arab dan bahasa Inggris. Anak-anak juga
diwajibkan dan dilatih piano dan biola. Dua instrument ini
dipercaya
dapat sangat efektif meningkatkan IQ mereka. Irama musik terutama
musik klasik dapat menstimulasi sel otak. Sebagian besar dari musikus
genius dunia adalah orang Yahudi.

Satu dari 6 anak Yahudi, diajarkan matematik dengan konsep yang
berkait langsung dengan bisnis dan perdagangan. Ternyata salah satu
syarat untuk lulus dari Perguruan Tinggi bagi yang Majoring nya Bisnis,
adalah, dalam tahun terakhir, dalam satu kelompok mahasiswa (terdiri
dari 10 orang), harus menjalankan perusahaan. Mereka hanya dapat
lulus setelah perusahaannya mendapat untung 1 juta US Dollar. Itulah
sebabnya, maka lebih dari 50 % perdagangan di dunia dikuasai oleh orang
Yahudi.

Design "Levis" terakhir diciptakan oleh satu Universitas di Israel,
fakultas "business and fashion".

Olah raga untuk anak-anak, diutamakan adalah Menembak, Memanah dan
Lari. Menembak dan Memanah, akan membentuk otak
cemerlang yang mudah
untuk "fokus" dalam berpikir !

Di New York, ada pusat Yahudi yang mengembangkan berbagai kiat
berbisnis kelas dunia. Disini terdapat banyak sekali kegiatan yang
mendalami segi-segi bisnis sampai kepada aspek-aspek yang
mempengaruhinya. Dalam arti mempelajari aspek bisnis yang berkaitan
juga dengan budaya bangsa pangsa pasar mereka. Pendalaman yang bergiat
nyaris seperti laboratorium, "research and development" khusus
perdagangan dan bisnis ini dibiayai oleh para konglomerat Yahudi.

Tidak mengherankan bila kemudian kita melihat keberhasilan orang
Yahudi seperti terlihat pada : Starbuck, Dell Computer, Cocacola,
DKNY, Oracle. pusat film Hollywood, Levis dan Dunkin Donat.

Khusus tentang rokok, negara yang mengikuti jejak Israel adalah
Singapura. Di Singapura para perokok diberlakukan sebagai warga
negara kelas dua. Semua yang berhubungan dengan perokok
akan dipersulit oleh pemerintahnya. Harga rokok 1 pak di Singapura adalah
7 US Dollar, bandingkan dengan di Indonesia yang hanya berharga 70 sen
US Dollar. Pemerintah Singapura menganut apa yang telah dilakukan
oleh peneliti Israel , bahwa nekotin hanya akan menghasilkan generasai
yang "Bodoh" dan "Dungu".

Percaya atau tidak, tentunya terserah kita semua. Namun kenyataan yang
ada terlihat bahwa memang banyak sekali orang yahudi yang
pintar! Tinggal, pertanyaannya adalah, apakah kepintarannya itu banyak
manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup umat manusia secara
keseluruhan.

Wednesday, July 11, 2012

Inilah Pesan Rahasia Da Vinci yang Terkubur 400 Tahun Republika – Sel, 13 Mar 2012


REPUBLIKA.CO.ID, FLORENSIA -- Para arkeolog menemukan sebuah pesan rahasia  yang tersembunyi dalam sebuah lukisan Leonardo da Vinci. Pesan itu terungkap di balik dinding Vechio Palazzo, sebuah istana kuno di Florensia yang berdiri sejak 1300-an.

Pesan rahasia itu bertuliskan 'carilah dan kamu akan menemukan' (Cerca trova) pada sebuah lukisan mural di dinding karya Da Vinci. Menurut Dailymail.co.uk, Selasa, (13/3), para peneliti ternyata mengungkapkan pesan rahasia tersebut merujuk pada sebuah karya Da Vinci yang telah hilang sejak 400 tahun yang lalu.

Sebuah kamera mini endoskopi dimasukkan ke dalam bagian dinding di Vechio Palazzo, dan memperoleh sampel dari pigmen kimia yang Da Vinci juga digunakan dalam lukisan Mona Lisa. Lukisan Mona Lisa dianggap salah satu karya Da Vinci yang paling fenomenal, yang diasumsikan telah hancur oleh api pada abad ke-16.

Penemuan ini membuat peneliti percaya bahwa mungkin berbagai karya Da Vinci yang fenomenal telah sengaja disembunyikan oleh pelukis lain. Para arkeolog mulai menyelidiki  mural di Vechio Palazzo setelah seorang arkeolog menemukan kata-kata, 'Cerca trova'.

"Data-data yang ditemukan ini sangat menggembirakan," kata Peneliti dari National Geographic, Maurizio Seracini. Meskipun Ilmuwan masih dalam tahap awal penelitian, dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memecahkan misteri ini.

Pada 1503, Da Vinci ditugaskan oleh Gonfaloniere Piero Soderini melukis 'Pertempuran Anghiari' di Aula 500 dari Palazzo Vecchio, pusat pemerintahan di Florence.

Lukisan itu memperingati kemenangan 1440 dari pertempuran di dataran Anghiari antara Milan dan Liga Italia dipimpin oleh Republik Florence. Para Florentines hadir sebagai kekuatan penting di Italia tengah, mendominasi Kepausan dan politik Italia selama ratusan tahun.

Karya Leonardo Da Vinci sendiri sempat heboh dalam dunia perfilman, melalui film fiksi ilmiah yang berjudul Da Vinci Code. Film itu menceritakan bagaimana rahasia lukisan karya Da Vinci mengungkap tentang sosok Jesus dalam lukisan 'the Last Supper'nya.

Leonado Da Vinci adalah seniman sekaligus ilmuwan yang lahir pada 1452, zaman pencerahan (Renaissance) Eropa. Karyanya beserta karya ilmuwan zaman pencerahan lain, seperti Galileo Galilei banyak ditentang oleh pihak gereja pada saat itu yang menentang ilmu pengetahuan. Namun karena pendekatan ilmiah Da Vinci dengan menggunakan seni membuat dirinya lebih aman dibanding Galileo.

LIHAT: Galeri foto lukisan rahasia Leonardo da Vinci

Da Vinci Catatan Pinggir Goenawan Mohamad


Sepotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-15:

”…manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap mendapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan yang baru selamanya... tak tahu bahwa dalam kerinduannya itulah terbawa kuman kematiannya sendiri.”

Sebuah pandangan hidup yang muram mungkin, tapi Da Vinci tak berhenti di situ. Baginya, kita tak harus menyesali, justru harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak pernah sampai. ”Kerinduan” itulah, kata Da Vinci, ”sifat dasar kehidupan,” dan ”Manusia adalah sebuah tauladan bagi dunia.”

Ya, pelukis Italia itu menyebut manusia sebagai ”tauladan”, sebagaimana laiknya seorang seniman zaman Renaissance. Dan ia menulis ”Manusia” dengan ”M”, bukan ”m”. Kita tahu abad ke-15 di Italia adalah abad narsisme: manusia memandang ke dunia, dan yang ia temukan wajahnya sendiri, makhluk yang mengagumkan.

Di zaman itulah teknik melukis dengan perspektif dikembangkan. Di kanvas, orang tak lagi menggambar gunung yang jauh terletak rapat dengan pohon yang dekat. Ruang disusun jadi stabil dengan ukuran yang pasti, berdasarkan posisi pandang sang pelukis. Dunia seakan-akan dihadirkan kembali (”re-presentasi” ), tapi sebenarnya dibentuk. Ia dikonstruksikan oleh sudut pandang si empunya mata. Manusialah yang mengendalikan costruzione legittima. Sejak itu, seni rupa tak lagi berpusat dalam Tuhan, melainkan dalam manusia. Manusia, dengan ”M”, adalah ukuran segala-galanya.

Itu juga pandangan Michel Angelo. Pelukis ini pernah menulis sepotong sajak; di dalamnya ia katakan bahwa Tuhan hanya menampakkan diri lewat ”cadarnya yang indah”, yakni manusia. Maka ketika Paus memesannya untuk menghiasi Kapela Sistina di Roma dengan satu karya fresko, ia gambarkan Tuhan di langit-langit bangunan itu dengan paras seorang tua yang gagah.

Kita bisa menyangka, di situ Michel Angelo (dan juga Sri Paus) lupa akan satu adegan dalam Alkitab, di hari ketika Musa dan Bani Israel datang ke kaki Gunung Sinai ”untuk menjumpai Allah”. Tapi gunung itu sepenuhnya ditutupi asap; Tuhan ”turun ke atasnya dalam api”. Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bunyi sangkakala terdengar, kian lama kian keras. Syahdan, Allah pun memanggil Musa ke puncak. Ia peringatkan agar manusia jangan coba menembus asap untuk mendapatkan dan melihat-Nya. Di saat itu juga turunlah firman: ”Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air….”

Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang disembah. Tapi tak mudah firman Allah itu dipatuhi. Bahkan ketika Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan turun, Bani Israel membuat sebuah patung lembu emas yang mereka sembah sebagai pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak. Tak ayal, Musa pun turun dan menjatuhkan hukuman yang mengerikan: mereka yang ”memihak kepada Tuhan” harus membunuh saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam Keluaran 32: 28: ”Pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu orang….”

Sejarah ikonoklasme—yang kelak akan dipraktekkan dengan garang ketika orang-orang Kristen dan Islam menghancurkan patung dan gambar sebagai berhala—mendapatkan momen dramatisnya di kaki Sinai hari itu.

Tapi apa sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan gambar, atau membuat berhala untuk disembah? Dalam sejarah Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis, tapi gambar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Michel Angelo dan Da Vinci tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usaha meniru sang sosok yang dilukis. Mereka tak diperlakukan sebagai re-presentasi, melainkan sebagai ekspresi.

Ekspresi itu tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu tempat. Apalagi di zaman ketika, seperti kata Leonardo, ”Manusia” hadir sebagai tauladan, juga dalam imajinasi.

Itu sebabnya ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana adegan Perjamuan Terakhir dalam Injil, ia—yang hidup beratus-ratus tahun setelah peristiwa di Yerusalem itu—menampilkan Al Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga Kardinal Mortaro sebagai model. Latar dan alam benda yang tergambar dengan tempera itu bertaut erat bukan dengan kemelaratan para rasul di Palestina, tapi dengan zaman Italia abad ke-15: gelas anggur, pisau, garpu, dan keramik cantik terletak di taplak meja yang bersulam. Semuanya mirip benda yang digunakan para penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lukisan itu muncul di dinding batu.

Memang ada ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan dalam kekinian—satu hal yang juga dilakukan oleh Emil Nolde, pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang melukis Perjamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah yang pedih, garis yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh tekad seperti dalam poster perjuangan buruh. Leonardo—yang melukis adegan Injil di biara itu bukan atas pesanan Gereja, melainkan penguasa Milano, Ludovico Sforza—tentu juga sadar bahwa karyanya hidup dalam zaman yang disebut Walter Benjamin sebagai masa ”pasca-aura”. Ia, yang juga seorang ilmuwan, tak hendak membuat berhala, tak ingin membuat aikon.

Beda antara berhala (l’idole) dan aikon (l’icône) seperti yang dipaparkan Jean-Luc Marion, filosof Katolik dari Prancis itu, pada dasarnya beda cara bersikap terhadap Tuhan. Berhala adalah ketika tatapan dan konsep manusia merasa mampu merumuskan-Nya. Aikon adalah peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya sebagai karunia cahaya yang demikian berlimpah, hingga manusia tak mampu melihat-Nya, dan yang terasa adalah gelap—ya, gelap yang gemilang.

Di situlah manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai. Leonardo telah mencatat hal itu pada suatu hari di abad ke-15.

Goenawan Mohamad

Monday, July 9, 2012

Kudeta Istana di Paraguay dan Masalah Negara

Ditulis oleh Pandu Jakasurya
Sumber dari www.militanindonesia.org (7 Juli 2012)

Kudeta istana telah terjadi di Paraguay. Sabtu, 23 Juni 2012, parlemen Paraguay menggulingkan Fernando Lugo, presiden yang terpilih secara demokratis. Parlemen yang didominasi oleh wakil-wakil oligarki Paraguay itu menilai bahwa Lugo telah gagal memenuhi kewajibannya dalam memelihara tertib sosial.

Khas adab dan fatsun burjuis, kudeta itu menempuh jalur yang konstitusional. Dasarnya “jelas.” Konstitusi Paraguay pasal 225 mengizinkan pemakzulan bila presiden dinilai menyalahgunakan jabatan atau melakukan kejahatan. Wakil-wakil oligarki menggunakan pasal itu pasca insiden berdarah konflik agraria 15 Juni, yang menewaskan 6 orang polisi dan 11 orang petani. Melalui pemungutan suara, parlemen menggulingkan Lugo dengan 39 suara pro dan 4 suara kontra. Benar-benar konstitusional!

Tapi justru di sinilah letak persoalannya. Bagi kita kaum Sosialis, “prosedur yang benar-benar konstitusional” hanyalah salah satu dari sekian banyak cara yang bisa digunakan burjuasi dan imperialis untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dalam kasus Lugo, mereka bisa menggunakan prosedur yang konstitusional. Ini kena-mengena dengan perimbangan kekuatan di parlemen. Tapi dalam kasus yang berbeda, mereka tidak segan-segan menggunakan cara yang lain – bahkan cara yang paling biadab sekalipun.

Tentu kita belum lupa percobaan-percobaan kudeta terhadap Rafael Correa di Ekuador, Evo Morales di Bolivia, Zelaya di Honduras, Chavez di Venezuela. Jauh sebelumnya, pada tahun 1973, percobaan kudeta oleh Jenderal Pinoche, dengan restu dan dukungan penuh imperialis AS, berhasil menggulingkan presiden kiri Salvador Allende. Untuk Indonesia, kita juga tidak lupa kudeta Jenderal Soeharto terhadap Presiden Sukarno, yang “merangkak” di antara mayat-mayat kaum buruh dan tani yang bergelimpangan serta hancurnya PKI dalam Teror Putih 1965-1966.

Menyusul penggulingan Lugo, anggota parlemen Carlos Maria menegaskan, “Tidak ada yang ilegal di sini, tidak ada yang inkonstitusional di sini, tidak ada kudeta.” Federico Franco, wapres sekaligus rival Lugo yang sekarang menduduki kursi kepresidenan, menandaskan,

“Situasinya tidak mudah. Saya menyadari komunitas internasional merasa tidak nyaman. Saya menyatakan dan kembali menegaskan: tidak ada kup di sini. Tidak ada keruntuhan institusional. Ini telah dilakukan sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Ini merupakan suatu situasi legal yang oleh konstitusi dan undang-undang negeri saya diizinkan untuk dilakukan guna melakukan perubahan-perubahan seturut tuntutan situasi. Apa yang dilakukan adalah suatu pengadilan politik yang sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.”

Sebagai kaum Sosialis kita sama sekali tidak merasa heran dengan pernyataan dua wakil burjuis oligarkis Paraguay ini. Pasalnya, kita tahu bahwa yang legal dan yang konstitusional itu terbingkai dalam konstitusi, undang-undang, dan prosedur yang dirancang dan disahkan oleh wakil-wakil burjuasi yang bercokol di parlemen!

Bagi kita jelas, entah menggunakan prosedur yang konstitusional atau tidak, persoalan hakikinya adalah persoalan klas dan kekuasaan klas. Sebagaimana lama dikatakan Marx: Tidak ada klas penguasa manapun yang akan menyerahkan kekuasaannya kepada klas lain dengan sukarela. Apalagi, dalam kasus Paraguay, secara historis klas penguasa Paraguay telah menikmati privilese itu selama hampir tujuh dekade berturut-turut! “Berkat” partai kanan Colorado kaum kaya Paraguay dan korporasi-korporasi multinasional seperti Cargill atau Monsanto menguasai 64 persen tanah, baik melalui “hibah” dari pemerintah atau perampasan dari kaum tani! Saat Lugo terpilih, 2% populasi mengontrol lebih dari 77% lahan yang subur, sementara para petani kecil, yang merupakan 40% dari populasi, hanya memiliki 5% lahan yang dapat ditanami.

Sebenarnya, Lugo bukanlah seseorang yang menempuh jalan revolusioner. Memang, penganut Teologi Pembebasan, “uskup kaum miskin”, dan penganjur reforma-agraria ini maju dalam pemilu presidensial pada 2008 silam tak lepas dari dukungan organisasi-organisasi Kiri, gerakan-gerakan sosial, dan serikat-serikat buruh. Tapi kita tidak lupa bahwa Lugo juga berkoalisi dengan partai liberal PLRA (Partido Liberal Radical Autentico – suatu partai burjuis “sosdem”, yang kemudian bersekutu dengan Colorado untuk memakzulkannya!). Sebagaimana dikatakan Greg Grandin, profesor Sejarah Amerika Latin dari Universitas New York, Lugo “tampil ke tampuk kekuasaan melalui koalisi yang sangat rentan, dan ia nyaris segera masuk kotak.”

Langkah-langkah yang ditempuh Lugo selama ini (sejak 2008) terbilang moderat, jika bukan malah reaksioner. Ketimbang bersandar pada massa rakyat pekerja untuk melaksanakan reforma-agraria dan menasionalisasi korporasi-korporasi (kedelai) multinasional, Lugo malah memberi konsesi-konsesi kepada Partai Liberal dan Partai Colorado.

Di awal masa jabatannya, Lugo memang pernah mengatakan,

“Kami ingin konsisten dengan Teologi Pembebasan. Bila ada kaum yang memiliki privilese (hak istimewa), pasti ada orang-orang yang di masa lalu telah dilupakan: orang-orang pribumi, kaum tak bertanah, mereka yang tak berpendidikan, mereka yang sakit. Mereka adalah orang-orang yang perlu untuk menjadi prioritas yang pertama.”

Tapi, sayangnya, ia tidak pernah memobilisasi jutaan kaum miskin dan tertindas itu untuk mengubah perimbangan kekuatan parlementer yang didominasi oleh wakil-wakil burjuasi Partai Colorado dan Partai Liberal.

Salah satu janji kampanye Lugo adalah reforma-agraria. Tapi ia tidak mampu memenuhi janji itu. Wapres Federico Franco, menentangnya sejak awal. Sementara itu, gerakan tani semakin besar. Lugo terjebak dalam kontradiksi. Di satu sisi ia mendukung gerakan tani, namun di sisi lain ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Ketegangan dan bentrokan antara kaum tani dan pihak oligarki sering terjadi. Skalanya semakin besar. Puncaknya adalah peristiwa 15 Juni di Curuguaty, Paraguay utara, yang kemudian digunakan oleh pihak oligarki untuk memakzulkan dan kemudian menggulingkan Lugo.

Sungguh amat disayangkan, Lugo tidak menggunakan kredensi demokratik berupa mandat rakyat yang diterimanya melalui pemilu. Lugo percaya pada konstitusi dan mesin negara bikinan burjuasi. Di awal masa jabatannya ia berkata, “Kami berkomitmen terhadap kejujuran, transparansi, dan berkomitmen untuk mengembalikan martabat kepada institusi-institusi kami, dan dengan keadilan sosial yang jauh lebih besar.”

Sebagai kaum Sosialis, kita sepakat dengan kejujuran, transparansi, dan keadilan sosial. Tapi kita tidak silap terhadap watak dari institusi-institusi mesin negara burjuis. Tapi, tanpa mengurangi simpati, kekaguman, dan hormat kita kepada sang “uskup kaum miskin”, kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa Lugo meyakini “jalan damai menuju Sosialisme.”

Sebagai kaum Sosialis, tentu saja kita cinta perdamaian dan menginginkan Sosialisme terwujud dengan jalan damai. Tapi kita menyadari bahwa “jalan damai menuju Sosialisme” adalah ilusi yang sangat berbahaya bila kita mengasumsikan bahwa mesin negara burjuis dapat digunakan untuk menuju Sosialisme! Sebab kita menyadari bahwa negara, lengkap dengan lembaga-lembaga, konstitusi, undang-undang, aparat, dan prosedurnya adalah pelembagaan kekuasaan kelas. Dalam Negara dan Revolusi, Lenin sudah memberikan peringatan keras tentang hal ini. Revisionisme yang digagas Bernstein dan kemudian diikuti pula oleh Kaustsky Tua tak habis-habisnya berujung malapetaka – tapi selalu digunakan oleh kaum Kiri yang santun dan berbudiluhur seperti Lugo.

Lihatlan peran polisi baik dalam bentrokan berdarah 15 Juni maupun bentrokan-bentrokan sebelumnya. Sejalan dengan posisi mereka sebagai perangkat atau perkakas negara burjuis, mereka “benar” dalam hal membela kepentingan Blas Riquelme, salah seorang dari kalangan oligarki dan politisi Partai Colorado. Mereka “benar” dengan berusaha mengusir kaum tani tak bertanah yang mengklaim dan menduduki tanah-tanah yang diperoleh Riquelme semasa kekuasaan Storessner dan partai sayap kanannya. Mereka “benar” dengan menembaki kaum tani itu dengan peluru tajam. Mereka justru “salah besar” bila membela dan mendukung kaum tani menuntut hak mereka dalam matriks reforma-agraria!

Lantas, mengapa burjuasi oligarkis Paraguay – yang tak lain dari para komprador alias, dalam istilah Mao Tse-tung, “imperialist’ running dogs” – harus menggulingkan seorang Fernando Lugo?

Klas penguasa, yang secara faktual memiliki mesin negara burjuis Paraguay, merasa telah kecolongan dengan kemenangan seorang kandidat populis Kiri dalam pemilu 2008 – yang untuk sejurus waktu telah menginterupsi epos hegemonik oligarki Partai Colorado dan Stroessnerismo.

Pada saat yang sama, gerakan-gerakan sosial Kiri terus berkembang. Pada satu titik, saat ketel uap faktor subyektif penderitaan dan kesadaran kritis rakyat pekerja mendidih karena kondisi obyektif berupa perkembangan-perkembangan revolusioner di Amerika Latin, gerakan-gerakan sosial Kiri itu akan menjadi kelompok penekan yang bisa mendorong Presiden Lugo jauh ke Kiri dan mengalami radikalisasi. Bila itu terjadi, revolusi sosial akan terjadi dengan salah satu kemungkinan muara, yaitu revolusi sosialis. Saat itu burjuasi oligarkis dan imperialis akan diekspropriasi oleh rakyat pekerja Paraguay.

Karena itu, selagi masih sangat kecil, “api” itu harus segera dipadamkan. Kita tahu, oligarki Paraguay sudah mencobanya beberapa kali selama pemerintahan Lugo. Kali ini mereka berhasil. Dengan menggunakan instrumen demokrasi liberal, yakni asas dan prosedur konstitusional, mereka berhasil menggulingkan Lugo dan sedang membunuh demokrasi yang sesungguhnya.

Tapi bila “api” itu sudah membakar rakyat pekerja Paraguay, dan gerakan-gerakan sosial mereka memiliki kepemimpinan yang tepat seturut dengan idea, tradisi, program, dan strategi revolusioner yang tepat, penggulingan Lugo akan menjadi awal dari proses revolusioner yang justru akan semakin mencondongkan pergeseran ke Kiri seluruh Amerika Latin.

Tolak pemerintahan Federico Franco!

Enyahkan oligarki Paraguay dan imperialisme!

Bangkitlah rakyat pekerja Paraguay! Kalian berhak atas demokrasi kalian!

Pesanggrahan, 2 Juli 2012



Referensi

“Coup in Paraguay: Will U.S. Join Latin America in Condemning Ouster of President Fernando Lugo?” (Wawancara Amy Goodman dan Greg Grandin, untuk Democracy Now!, Senin, 25 Juni 2012,

Kistyarini, “Presiden Paraguay Dimakzulkan”, Sabtu, 23 Juni, http://internasional.kompas.com/read/2012/06/23/16483624/Presiden.Paraguay.Dimakzulkan

Brian Conlon, "Palace coup d’état" in Paraguay. The masses must mobilise against the return of the oligarchs! Minggu, 24 Juni 2012, www.marxist.com/coup-paraguay-lugo.htm

Kamera dan Sepak Bola, Kesaksian Bersama

Halim HD ; Networker Kebudayaan, Solo
KORAN TEMPO, 08 Juli 2012



Kebenaran dari apa yang pernah dinyatakan pada beberapa dekade yang lalu oleh filsuf Piere Teilhard de Chardin, penemu Homo pekinensis, dalam salah satu bukunya tentang fenomena manusia, adalah ketika dia mengungkapkan bahwa, dengan dan melalui teknologi, manusia di jagat ini dijadikan "umat". Manusia tak lagi hanya sendiri-sendiri di dalam menghadapi masalah, dan sekaligus merasakan berbagai persoalan yang dihadapinya.

Peperangan, penderitaan akibat gempa, konflik sosial, luapan suka-duka kemenangan sebuah tim olahraga atau seorang atlet yang mencapai finis, juga berita suka-duka seseorang kepada lainnya--semuanya dihantarkan oleh sarana teknologi yang kian canggih yang menjadi basis perkembangan sistem transportasi dan media massa, cetak dan elektronik, serta berbagai bentuk sarana komunikasi yang bersifat personal, yang dalam beberapa detik mengirim semua peristiwa ke berbagai penjuru jagat.

Singkat kata, secara dramatis bisa digambarkan bahwa, dari detik ke detik, melalui sistem teknologi komunikasi yang memasuki ruang-ruang personal dan sosial menciptakan getaran kelenjar saraf yang paling halus yang ada di dalam diri kita dalam berbagai ekspresi, dari ketegangan, kemarahan, haru-biru, suka-duka, sampai luapan kebahagiaan, seketika kita rasakan, dan hal itu dihantarkan oleh sistem komunikasi. Dunia begitu kecil, seolah-olah sebuah desa, demikian seperti diungkapkan filsuf komunikasi, Marshall Mc Luhan, yang menyatakan bahwa ruang geografis diisi oleh mereka yang saling tahu dan mengenal yang dihubungkan oleh sistem teknologi komunikasi.

Dan kini kita kembali digetarkan oleh kebenaran itu melalui kamera TV yang menyalurkan pertandingan sepak bola. Tak ada suatu titik pandang pun yang tak ter/di-rekam dan tersalurkan ke hadapan publik: kedipan mata Cristiano Ronaldo pada World Cup yang lalu, dan ekspresi pura-pura jatuh pada final Piala Raja antara Real Madrid dan Barcelona, di samping rekaman kelincahan kaki pemain termahal ini, kita menyaksikannya melalui kamera, seakan-akan kita berada di depan pertandingan, ikut menyaksikannya secara langsung. Sama seperti kita melihat bagaimana "kaki terbang" Roy Keane, pemain kawakan Manchester United, yang bagaikan kijang berloncatan di padang rerumputan.

Betapa memukaunya tiki-taka Messi, Iniesta, dan Xavi yang lincah dan akurat menerobos barisan lawan dalam setiap laga. Tentu setiap pertandingan selalu ada protes, lewat kamera kita menyaksikan debat dan keteguhan wasit mempertahankan keputusan, memberikan hukuman di antara argumen pemain, serta bagaimana wajah pemain terhukum dengan ekspresi kemarahan atau kekecewaan yang mendalam.

Dengan rasa humor yang tinggi, kamerawan membidik sasaran penonton yang berpakaian unik, ekspresi yang lucu, wajah penuh ketegangan, berdoa, dan segala tingkah polah, di antara gemuruh ledakan energi penuh harapan, atau sebaliknya, kekecewaan. Dan tentu saja, wajah-wajah cantik dan molek pun menjadi sasaran kamerawan yang jeli memilih, dan dapat menghibur kita. Di samping dorongan semangat pendukung tim dalam paduan suara yang menggetarkan hati.

Semuanya itu tak mungkin kita alami pada setengah abad yang lampau, kecuali siaran auditif melalui radio-transistor, dan itu pun masih sangat terbatas.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang didukung oleh sistem satelit dengan dukungan komputerisasi berkembang pesat dalam dua-tiga dekade terakhir ini, khususnya menjelang pergantian abad, seperti yang telah diramalkan oleh Theodore Rozack beberapa dekade yang lalu tentang masyarakat elektronik (technotronic society), yang akan memasuki masyarakat serba komputer (computerized society). Dan hal itu kuat kaitannya dengan politik ekonomi global, khususnya di wilayah negeri-negeri industri dengan penyebaran kapital ke dalam dunia olahraga khususnya sepak bola, dan mengukuhkannya dalam pengembangan klub-klub profesional.

Dalam konteks itulah kita menyaksikan kompetisi bukan hanya sistem dan manajemen yang mengatur taktik-strategi, tapi juga persaingan antar-klub untuk saling "membajak" para pemain dengan iming-iming gaji dan kontrak yang nilainya membuat kita tercengang karena jumlah angka yang sulit kita bayangkan. Kritik yang terjadi di sini, politik ekonomi dan industri olahraga, ikut menggeser ikatan sosial dan digantikan oleh kekuatan kapital: yang paling kuat memiliki modal bisa membeli pemain siapa saja dan mengontrak pelatih yang paling top. Namun kita juga menyaksikan bagaimana akademi-akademi bola seperti yang dimiliki oleh Barcelona dan Ajax dengan jitu memanfaatkan perkembangan politik ekonomi dan industri sepak bola untuk mengembangkan lembaga pendidikannya menjadi lebih canggih, dan hal itu menjadi bisnis yang ikut mendukung klub.

Kita menyaksikan pergeseran ideologis yang sangat menarik. Dahulu, sepak bola diikat oleh "nasionalisme" dan "komunitas sosial" suatu wilayah atau kota. Kini, dengan makin berkembangnya klub dan masuknya kapital, sebuah klub belum tentu dimiliki oleh warga setempat. Misalnya saja Chelsea, yang dimiliki oleh pengusaha Rusia, Manchester United dikuasai pengusaha Amerika, serta Manchester City dimodali pengusaha Abu Dhabi. Inilah konsekuensi logis dari politik ekonomi global yang secara ideologis disebut global capitalism.

Dalam konteks global capitalism itulah terbentuk global sportism yang menciptakan sejenis "partisipasi" publik. Jenis "partisipasi" ini bukan hanya sekadar "tukang keplok-sorak" belaka. Dari perspektif politik ekonomi, jenis "partisipasi" ini ikut pula di dalam menguatkan posisi klub dan kehidupan dunia sepak bola melalui perdagangan tiket, cendera mata dan berbagai bentuk merchandise dan tentu saja pemasukan dari siaran televisi. Dan ujung tombak pencitraan ini dipegang oleh kekuatan teknologi komunikasi-informasi, televisi. Di sinilah kamera menjadi begitu penting: menjadi kepanjangan penglihatan publik yang bisa ikut menjadi "wasit": bisa menilai pemain terburuk sampai dengan terbaik, secara teknikal maupun moral, kesaksian bersama, solidaritas sejagat yang mengikat manusia menjadi "umat" melalui sepak bola dan kamera.

Korupsi dan Keberagamaan yang Terbelah


Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 07 Juli 2012


Pada 2011, Kementerian Agama dinilai sebagai lembaga negara yang paling korup dalam sebuah survei oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini masyarakat kembali dibuat kaget ketika KPK mengumumkan akan memulai penyelidikan tentang penyimpangan proyek pengadaan salinan kitab suci Al-Quran di Kemenag. KPK telah menetapkan anggota Komisi VIII, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka. KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap tersangka lain yang juga putra sulung Zulkarnaen, Dendy Prasetya. Dendy adalah Direktur Utama PT Sinergi Alam Indonesia yang memenangi tender pengadaan Al-Quran senilai Rp 20 miliar pada 2011 dan proyek alat laboratorium madrasah tsanawiah Rp 30 miliar.

Sungguh mengejutkan bahwa skandal korupsi kini tidak main-main dan sekadar melabrak jalur profan semata. Hal-hal yang dianggap umat Islam sakral seperti Al-Quran juga tak kalah telak dibabat habis oleh kasus suap tersebut. Bisa dikatakan bahwa skandal korupsi pengadaan kitab suci Al-Quran tersebut merupakan potret dari model dan ekspresi keberagamaan umat yang terbelah (split religiousness). Dalam konteks ini, skandal korupsi kitab suci tersebut sejatinya menjelaskan sejumlah hal kepada masyarakat.

Pertama, mengendurnya spirit monoteistik di kalangan sementara pejabat Islam. Dalam konteks Islam, spirit monoteistik ini disebut tauhid. Kekuatan tauhid tegak di atas konsepihsan atau muraqabah, yang selalu memiliki kesadaran utuh tentang keberadaan Ilahi kapan dan di mana saja. Kesadaran tauhid membuat seseorang mandiri dan tidak terjebak pada mentalitas shortcut yang mendorong pelanggaran--korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau kezaliman--terlepas dari ada-tidaknya pengawasan melekat. Hadirnya pelbagai penyimpangan di Kemenag ini agaknya terkait erat dengan pemahaman akidah dan proporsi tauhid yang mulai parsial. Allah cuma dihadirkan pada dimensi ibadah mahdhah (murni) dan dilupakan dalam ranah ibadah ghairu mahdhah(bukan murni ritual); Allah disembah ketika salat, namun diabaikan dalam layanan publik; lengkap-tidaknya syarat dan rukun puasa diperhatikan, namun penyimpangan administrasi publik dianaktirikan.

Ketakutan menjadi miskin atau tak mendapatkan jatah rezeki sehingga membuat oknum politikus dan pejabat Kemenag korupsi menunjukkan bahwa mereka lebih galau dengan keterbatasan manusiawi daripada keyakinan ilahiah yang menyandarkan diri kepada Allah sebagai sumber pemberi rezeki yang Maha Adil. Dalam beberapa hal, kuatnya kecenderungan fikihisme di kalangan umat Islam menyumbang atas menguatnya pola pikir dan kecenderungan hitam-putih dalam memahami teks-teks Tuhan. Hal tersebut menyebabkan orang beribadah sekadar menggugurkan kewajiban, namun lengah pada substansiasi pesan-pesan Al-Quran. Korupsi dan penyalahgunaan jabatan hanyalah efek dari keberagamaan umat yang cenderung mementingkan legalitas atau orientasi fikih an sich, sehingga menutup pintu bagi transformasi ayat-ayat Allah dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, menguatnya sekularisme dalam lembaga-lembaga keagamaan. Persoalan sekularisme memang masih menjadi perdebatan sengit di kalangan Islam. Sejatinya, sekularisme memisahkan agama sebagai wilayah privat dan terpisah dari urusan publik seperti kenegaraan atau pemerintahan. Hanya, benih-benih sekularisme di Kemenag atau politikus muslim yang korup timbul dalam bentuk pemberhalaan terhadap sisi spiritualisme seremonial yang menisbikan aspek humanisme yang merupakan bagian dari wilayah publik. Penekanan aspek spiritualitas secara ekstrem menyebabkan kegagapan dalam menghadapi tuntutan modernitas. Bobroknya penyelenggaraan ibadah haji, korupsi pengadaan Al-Quran tersebut, dan dugaan proyek alat laboratorium madrasah tsanawiah menunjukkan bahwa profesionalisme, sebagai bagian penting modernitas, betul-betul menjadi kredo yang lepas dari keimanan.

Sekularisme ala Kemenag dan politikus korup ini tidak bakal mampu menciptakan spirit aktivisme di tubuh lembaga negara tersebut. Apalah artinya dana besar-besaran untuk Musabaqah Tilawatil Quran dan perayaan hari-hari besar Islam tanpa mampu melakukan transformasi umat. Tanpa disadari sikap nir-profesionalisme, sebuah upaya yang sebetulnya menutup diri terhadap modernitas, pada gilirannya akan membentuk struktur institusi agamis yang bersifat imajiner. Dengan kata lain, bersikap menolak sekularisme dengan cara menjadi sekuler, menolak sistem etik sekuler tapi bertindak dengan etika sekuler; antusiasme ibadah ritual namun apatisme ibadah sosial, mengadakan acara keagamaan dengan biaya besar, sedangkan warga banyak kelaparan.

Ketiga, tumpulnya model keberagamaan yang rasional. Ciri utama rasionalitas keberagamaan adalah menempatkan akal pikiran sebagai salah satu pemandu beribadah, sehingga orang tidak beragama secara ikut-ikutan. Banyaknya fenomena pejabat dan politikus muslim yang tampak berkepribadian ganda dalam beragama--berkerudung atau menggunakan kopiah haji di pengadilan setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, rajin memberikan donasi atau charity tapi juga kerap melakukan praktek suap dan tukang palak rakyat--menunjukkan bahwa pola keberagamaan mayoritas pejabat atau politikus berseberangan dengan logika dan rasionalitas pesan-pesan Allah. Pudarnya keberagamaan rasional berkelindan dengan kecenderungan sebagian pejabat atau umat Islam sendiri atas pentingnya prinsip kontinuitas (istimrar) dalam beragama. Beragama secara emosional lazimnya melahirkan keimanan yang naik-turun secara drastis karena melupakan prinsip utama bahwa ibadah dalam beragama adalah aktivitas jangka panjang, bukan parsial, dan tidak bersifat moody.

Lebih lanjut, absennya keberagamaan rasional ini kian memperluas jurang diskrepansi antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan antar-manusia--kuat dalam ibadah ritual tapi korupsi jalan terus--sehingga menimbulkan kesan bahwa ada kalanya agama dibela mati-matian, tapi lain kali agama diposisikan sebagai alat legitimasi kekuasaan. 

Pendeknya agama lalu tidak menjadi sumber pencerahan. Kuat dugaan bahwa redupnya rasionalitas keberagamaan ini terkait erat dengan lengahnya umat terhadap pentingnya filsafat dalam beragama. Konsekuensinya adalah banyak yang beragama sekadar nglakoni yang ada tanpa disertai pemikiran kritis. Lemahnya pengaruh filsafat dalam beragama telah mengerangkeng mindset pemikiran umat secara "hitam-putih", sehingga berujung tidak hanya pada konflik di antara kelompok-kelompok yang berbeda paham, tapi juga membuat disconnected antara loyalitas Ilahi dan dedikasi kemanusiaan. 

Standar-standar keberagamaan dualistis, yang terlihat dari perilaku politikus dan pejabat muslim yang korup dan menyalahgunakan jabatannya, tak akan lahir dari rahim keberagamaan yang rasional. Model keberagamaan demikian memandang bahwa wilayah sakral dan profan adalah entitas yang saling menggenapi, dan bukan sesuatu yang kontras dalam memenuhi panggilan Ilahi yang Maha Suci

Korupsi Alquran, Kementerian (tidak Ber-) Agama


Teuku Zulkhairig Alumnus Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,  PNS di Kemenag, Aceh
MEDIA INDONESIA, 07 Juli 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan tiga kasus dugaan korupsi di Kementerian Agama (Kemenag). Ketiga kasus itu ialah dua proyek pengadaan kitab suci Alquran tahun anggaran 2011-2012 dan satu kasus dalam proyek pengadaan laboratorium komputer madrasah sanawiah tahun anggaran 2011 sebagaimana diberitakan berbagai media massa.

Dari ketiga kasus itu, kasus korupsi proyek pengadaan Alquran ialah kasus yang terbilang paling menyita perhatian publik. Berbagai diskusi publik muncul di jejaring sosial, baik Twitter maupun Facebook. Diskusi muncul bukan karena kasus korupsi itu sendiri, melainkan karena yang dikorupsi ialah pengadaan Alquran, kitab suci umat Islam. Media massa pun menjadikan kasus buruk itu sebagai berita yang `bagus' untuk diberitakan.

Korupsi pengadaan Alquran dianggap publik sebagai hal yang `kebangetan'. Alquran bagi umat Islam merupakan sumber ajaran moral dan etika, sementara korupsi ialah pekerjaan yang berlawanan dengan moral, etika, dan keyakinan agama mana pun.

Bagaimana mungkin melakukan pekerjaan buruk untuk tujuan baik jika bukan karena tujuannya memang tidak baik? Di negara ini, para elite kita memang sering kali mendambakan rakyat kecil melakukan perbuatan-perbuatan baik, sementara mereka sendiri justru melakukan perbuatan buruk. Meminta rakyat mengamalkan Pancasila, sementara mereka sendiri pelanggar butir-butir dari Pancasila.

Kementerian (tidak Ber-) Agama?

Kendati KPK telah menetapkan anggota DPR RI yang merupakan politikus dari Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka bersama anaknya yang berinisial DP dari eksternal Kemenag, sepertinya bola panas isu korupsi itu terfokus menerjang Kemenag.

Tidak jarang bahkan kaum agnostik teisme menjadikan berbagai kasus kebobrokan moral yang melibatkan oknumoknum di institusi agama (secara langsung maupun tidak langsung) sebagai alasan untuk semakin meneguhkan keyakinan mereka bahwa agama tidak mampu mengajari manusia untuk bermoral.

Di berbagai media sosial dunia maya, berbagai hujatan justru menerpa Kemenag secara umum. Kemenag dianggap sebagai institusi negara yang seharusnya terlepas dari kebobrokan moral. Sebuah harapan yang wajar karena memang Kemenag sebagai institusi negara dibentuk untuk tujuan mentransformasikan nilai-nilai agama dalam berbagai aspek kehidupan.

Namun juga perlu diingat, Kemenag ialah institusi pemerintah yang tentu saja beberapa partai dan politikusnya memiliki kepentingan di institusi itu melalui oknum-oknum tertentu seperti orang internal Kemenag yang terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Alquran.

Begitu juga, tidak semua pegawai dan birokrasi di Kemenag berbasis ilmu agama meskipun banyak juga orang berbasis agama yang melakukan korupsi. Ini belum lagi kita berbicara tentang disfung si lembaga pendidikan di negara kita yang realitasnya tidak memi liki orientasi untuk pem bentu kan mo ralitas peserta didik secara maksimal karena terjebak dengan aspek kognitif semata.

Penulis tidak bermaksud membela Kemenag karena penulis yakin orang-orang yang korup di internal Kemenag tidak mewakili nilai agama (Islam), tetapi ketika agama (Islam) sebagai ikonnya Kemenag justru menjadi korban akibat tindakan beberapa oknum tersebut, inilah suatu kesalahan yang fatal. Bagaimanapun, agama harus dibedakan dan tidak bisa disangkutpautkan dengan kebobrokan moral para koruptor meskipun seorang koruptor itu ialah seorang agamawan.

Banyaknya kerusakan yang terjadi sesungguhnya bukan disebabkan kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial.

Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tenteram, tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat (Imam M Mustafa, 2008).

Korupsi vs Alquran

Korupsi ialah pekerjaan tercela dalam pandangan hukum Islam. Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengategorikan jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirz mitsl), itu dikategorikan sebagai pencurian dan jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, dinamakan merampok (muharabah). Jika seseorang mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilas) dan jika mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan khiyanah. Alquran tidak hanya melarang kita untuk korupsi, tapi juga memberi tahu kita tentang konsekuensi pekerjaan hina tersebut. Untuk semua pekerjaan tercela itu, terdapat hukuman yang sangat tegas dalam Islam.

Pekerjaan yang masuk kategori pencurian diancam dengan hukuman potong tangan (Al-Maidah: 38). Tentang penipuan, Rasulullah bersabda, “Barang siapa menipu maka dia bukanlah dari golongan umatku.“ (HR Muslim dan yang lainnya). Sementara yang masuk kategori zhalim, “Barang siapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Pekerjaan korupsi, selain zhalim, juga masuk kategori khianat karena koruptor dari kalangan birokrat, pegawai, dan wakil rakyat itu ialah orang-orang yang mengemban amanah rakyat. Jadi ketika dipercayai dengan jabatannya itu ia khianat, ia ialah munafik. “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila dia berjanji dia mengingkari, apabila dia dipercaya dia berkhianat.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Alquran memberi pesan tegas bagi orang-orang munafik itu. `Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan jenazah seseorang mati di antara mereka (munafik) dan janganlah berdoa di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik (At-Taubah: 84)'.

Maka sekarang, sebagai umat Islam, merupakan kewajiban kita semua untuk menjadikan Alquran sebagai sumber referensi dalam membendung budaya korupsi, baik dengan memformulasikannya dalam konstitusi negara maupun dengan cara memasyarakatkannya dalam ruang masyarakat yang lebih kecil. Jika tidak, agama akan terus dianggap gagal mengajari manusia untuk bermoral. Wallahu a'lam bi al-shawab.