Tuesday, May 29, 2012

Empat Dunia yang Membingungkan (2)

Rhenald Kasali; Ketua Program MM UI
SUMBER : SINDO, 10 Mei 2012


Di selatan Amerika Serikat ada sebuah kota yang terbelah dua, dipisahkan oleh pagar kawat yang tinggi dan di atasnya berduri. Pemisahan ini mirip dengan pembagian dua Korea yang terjadi tak lama setelah Perang Dunia II berakhir.

Kota itu bernama Nogales yang terletak di State of Arizona, Santa Cruz County dan disebut Nogales-Arizona. Nogalez-Arizona adalah wilayah Amerika Serikat. Adapun di sebelah selatan kawat pemisah juga bernama Nogales, yaitu Nogales Sonora, yang berada di bawah pemerintahan Meksiko. Nogales-Arizona dan Nogales Sonora menjadi perhatian dua profesor ekonomi, Daron Acemoglu dan James Robinson. Sama tertariknya mereka dengan dua Korea yang berbeda nasib, padahal keduanya berbagi alam dan budaya yang sama.

Mereka memakan makanan yang sama, bernenek moyang sama,dengan DNA serupa, mendengarkan musik yang sama, tetapi rezekinya kok tidak sama. Kedua Nogales dulunya adalah jajahan Spanyol sehingga mereka mempunyai darah Eropa dan berbahasa Spanish. Tapi penduduk Nogales- Arizona menikmati pendapatan per kapita USD30.000, sedangkan Nogales Sonora hanya sepertiganya.

Yang satu lebih banyak senyum, pendidikan yang dapat dicapai masyarakatnya ratarata tinggi, punya akses pada perawatan kesehatan yang tak terbatas, dan tingkat harapan hidupnya 10 tahun lebih tinggi daripada penduduk yang tinggal di daerah tetangganya. Yang satu bebas dari kekhawatiran- kekhawatiran ekonomi atau ketakutan politik, sedangkan yang satunya lagi penuh kekhawatiran terhadap hari ini dan hari esok. Hal yang sama juga terlihat antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan keduanya berbeda bak langit dan bumi.Apakah yang membedakan keduanya?

Dunia Isolasi

Bagi saya pengontrasan kedua lokasi seperti itu sangat penting untuk merefleksikan strategi pembangunan apa yang tepat untuk bangsa ini. Pengontrasan adalah sebuah metode yang sering saya pakai untuk ”membantu melihat” atau membukakan mata para pemimpin agar bisa dengan jelas ”melihat yang tak terlihat” dalam melakukan change atau transformasi.Kontras antara dua elemen––bukan lima––yang disandingkan secara tegas akan melahirkan kesadaran perbedaan yang besar.

Sama halnya ketika kita membandingkan dua calon presiden atau dua calon gubernur. Ini jauh lebih mudah untuk memutuskan daripada lima kandidat yang masingmasing diusung partai politik utama dan partai politik pendamping yang berbeda-beda. Rakyatnya bingung, pemimpinnya apalagi. Jadi kontrasnya tidak ada bila tidak fokus.”Kontras” hanya muncul bila kita kerucutkan sebuah masa depan ke dalam dua kelompok saja seperti pilihan antara sekarang atau masa depan, from or to, miskin atau sejahtera, dan berubah atau mati.

Pengontrasan dua dunia menjadi penting. Dari pengamatan itu ditemukan pemahaman bahwa negara-negara atau daerah-daerah yang dimanajemeni dengan cara berbeda akan memberikan hasil berbeda. Jadi bukan soal leadership, melainkan manajemen untuk menghasilkan great leaders ke atas permukaan. Bukan juga soal ”alat-alat” pemberantasan kemiskinan seperti BLT, subsidi, proyek-proyek PNPM atau desa mandiri energi, melainkan bagaimana semua itu dikelola, dimanajemeni.

Manajemen itu ditentukan oleh sistem politik yang dibangun suatu bangsa yang memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin besar dan memungkinkan ”koboi-koboi politik”yang telah melukai hati rakyat tidak terpilih kembali. Jadi ada dunia yang terisolasi, yang selama bertahuntahun hanya heboh menggantiganti rezim tetapi rakyatnya tetap miskin. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena sistem politik dan manajemennya tidak berubah. Kita di sini sudah mengalami pergantian yang revolusioner dari kekuasaan sentralistik kekuatan reformatif, tetapi sistem politiknya tetap sama, dari sistem yang korup, ke sistem yang mungkin lebih korup.

World 0.0 dan World 1.0

Pankaj Ghemawat menjelaskan dunia telah beralih dalam proses evolusi yang panjang dari World 0.0 yang level hidupnya penuh keterbatasan ke dunia 3.0 yang serbakompetitif. World 0.0 sama seperti kehidupan masyarakat adat di Desa Waeapo Pulau Buru yang sebagian kaum wanitanya bahkan belum mengenal pembalut dan kaum prianya masih mengunyah sirih dan biji pinang. Berbekal tombak dengan dua buah parang di pinggang, berkebun cokelat tetapi tak mengenal cangkul.

World 0.0 yang saya geluti adalah dunia yang dikelola kelompok-kelompok adat kecil dengan 50–75 kepala keluarga di setiap desa dan membentuk sebuah masyarakat adat di bawah kepemimpinan karismatik seorang raja yang menaungi ribuan hektare tanah adat dengan sekitar 1.000 kepala keluarga. Dunia 0.0, kata Pankaj, adalah dunia subsisten dan tak mengenal polisi.Tak ada yang dilaporkan kalau ada ”koboi” dari luar yang mengacung-ngacungkan pistol.

Tentu mereka tidak bebas dari ancaman kalau sewaktu-waktu mendapat serangan. Maka setiap pria di dataran Waeapo membawa parang berukir ke mana pun pergi sebagai senjata. Oleh karena itulah dunia 0.0 berevolusi membentuk a nation state, sebuah kesatuan teritorial yang dijaga undang-undang, teritori, tentara, dan armada-armadanya. Dunia 1.0, bagi Pankaj, adalah dunia yang dibentuk oleh spirit nasionalisme. Tentara dan birokrat, national border dan tentu saja partai-partai yang berbasiskan spirit nasionalisme.

Cara berpikirnya adalah cara berpikir proteksionis dan diperkuat adalah negara. Peran negara yang besar dan kuat. Celakanya dunia 1.0 tidak bebas dari gempuran luar. Sejak Columbus berkelana, bangsa-bangsa Barat menggempur kawasan-kawasan lain menjadi ”pasar” sekaligus sebagai koloni bahan-bahan baku. Dunia 2.0 bertarung melawan dunia 1.0 sampai terbentuk kompromi-kompromi yang terlihat lebih damai.

Dunia 2.0 adalah sebuah awal bagi proses globalisasi. Dunia ini menjadi membingungkan karena sebagian dari kita masih tinggal secara fisik,bahkan secara pikiran, di world 0.0 dan sebagian sudah berada di dunia 2.0. Tapi banyak juga orang yang sudah secara fisik tinggal di dunia 2.0, tetapi pikirannya masih berada di dunia 1.0. Dunia 1.0 adalah perekonomian yang mengagungagungkan peran negara, subsidi, dan pegawai negeri yang uang belanjanya besar dan gemuk.

Adapun dunia 2.0 adalah dunia ekspansionis yang menuntut peran swasta yang besar, peran negara yang terbatas, dan tak terkekang dengan birokrasi.Adapun dunia 0.0 adalah dunia yang membutuhkan uluran tangan dengan gedung sekolah yang hampir ambruk, kandang sapi menyatu dengan ruang tamu, dan rumah tanpa listrik, jalan tanpa aspal,bahkan kaki tanpa alas sepatu. Sampai sekarang tampaknya negara-negara sejahtera sendiri sudah meninggalkan cara berpikir world 1.0 yang menghasilkan birokrasi yang tidak efisien dan politik yang kumuh menjadi world 3.0 yang lebih modern.

World 3.0 melihat kepentingan nasional bukan dari eksploitasi sumber daya alam, melainkan kekuatan modal manusia (human capital) yang inklusif, multirasial, berbasiskan ilmu pengetahuan, dan mengeksplorasi alam semesta dengan pemikiran-pemikiran baru. Yang satu mengagung-agungkan pasar dan peran swasta, yang satunya masih mengagung-agungkan peran teritorial dan negara.Yang satu berteriak-teriak kebebasan, yang satunya lagi antiglobalisasi.

Itu sebabnya kita tidak pernah tuntas, semua bertarung di dalam, membuat dinding-dinding pertahanan mudah berlubang dan masuk angin. Jadi apa yang harus diperbuat dengan logika gado-gado yang tak bermuara pada konsensus? Saya dan Anda tentu punya pilihan, tetapi pilihan yang tak bermuara pada konsensus hanya akan membuat Indonesia berada di seberang pagar garis kesejahteraan.

Sementara di seberang pagar ada Malaysia, Singapura, Thailand, dan China yang memilih hidup di dunia 3.0. Persis seperti Nogales yang terbelah pagar kawat berduri, antara Nogales-Arizona dan Nogales Sonora. Janganlah Indonesia menjadi Sonora, sedangkan Arizonanya dinikmati kapitalis seberang yang memiliki jaringan perbankan, telekomunikasi, dan perkebunan-perkebunan di sini, yang dulu milik kita sendiri. ●

No comments: