Sunday, May 6, 2012

Mawas Diri dan Hidup Harmoni

hikkhu Nyanasuryanadi Mahathera; Ketua Umum Sangha Agung Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 05 Mei 2012


Waisak 2012 merupakan momentum penting untuk mawas diri dan hidup harmonis. Pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian, dan kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan.

Secara historis, peringatan Waisak ditujukan untuk mengenang tiga peristiwa penting. Pertama, Pangeran Sidharta Gautama lahir di Taman Lumbini pada 623 SM. Kedua, petapa Sidharta Gautama mencapai pencerahan sempurna di Buddhagaya pada 588 SM. Ketiga, sang Buddha wafat di hutan Sala milik suku Malla di Kusinara, 543 SM.
Buddha Gautama mampu menggunakan waktu hidup dengan sempurna, terdorong oleh semangat altruistik berupa dorongan kasih terhadap derita makhluk-makhluk dan derita kerusakan dunia. Ia tak pernah berhenti berkarya, berbagi, mengajar hingga akhir hidup-Nya.

Melalui bimbingan yang dilakukan dengan penuh kasih dan kebijaksanaan, tak terhitung jumlah makhluk yang mengalami transformasi dari hidup gelap menuju kecerahan, kebahagiaan, dan pembebasan. Terinspirasi ajaran Buddha, banyak peradaban luhur yang muncul dan berkembang di seluruh dunia sampai sekarang. Semua menekankan pada dua aspek utama ajaran Buddha: kasih atau kepedulian dan kebijaksanaan.

Pencapaian Buddha bukanlah suatu kebetulan atau sebuah misteri. Buddha berarti insan yang telah bangkit, mengetahui, dan memahami. Kapasitas untuk bangkit, memahami, dan mengasihi adalah hakikat Kebuddhaan.

Beberapa teks kitab suci agama Buddha menjelaskan, seseorang yang mampu mendisiplinkan diri, menata moralitas, dan mengoptimalkan potensi mental dengan cara benar akan mampu mengalami kebahagiaan dari pencerahan. Apabila kita berlatih dengan cara benar, memelihara perhatian penuh (eling) mengikuti metode seperti telah dipraktikkan Sidharta Gautama, dalam periode waktu tertentu manusia akan mengalami kebahagiaan tertinggi dari pencerahan. Cara berlatihnya dengan menggunakan perangkat indera, tubuh, dan batin yang dimiliki manusia. Sangat manusiawi dan jauh dari jebakan spekulatif.

Jalan Buddha adalah jalan berlatih, berkontribusi; bukan berpasrah. Karena itu, yang dibutuhkan adalah pemahaman dan pengertian yang benar mengenai latihan. Latihan yang ditekankan Buddha adalah latihan perhatian atau sadar penuh akan keberlangsungan batin dan jasmani atau latihan mawas diri dan kasih atau hidup harmoni.

Saling Terkait

Sesungguhnya hidup harmoni dengan sesama dan dengan alam semesta butuh latihan mawas diri. Latihan ini gerbang menuju pemahaman jernih bahwa alam semesta dengan segala isinya memiliki hubungan erat dan saling membutuhkan.

Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri. Hal ini membuktikan kebenaran Buddha bahwa segala sesuatu saling terkait. Apa yang disebut diri sesungguhnya tak ada karena hanya ciptaan kumpulan bukan diri. Pengertian mendalam ini mengantarkan manusia pada pemahaman kesalingterkaitan sehingga dengan sendirinya akan menghargai sesama dan alam semesta.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, mawas diri dan hidup harmoni menjadi semakin relevan. Indonesia sebagai sebuah mozaik kehidupan yang jamak dengan kekayaan suku, agama, ras, dan budaya sangat membutuhkan ajaran mawas diri dan hidup harmoni. Segenap umat Buddha Indonesia selayaknya mendedikasikan diri untuk mempraktikkan jalan ini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Meski Buddha telah meninggalkan urusan duniawi, Buddha tetap memberikan nasihat tentang pemerintahan yang baik. Buddha mendorong semangat konsultasi dan proses demokrasi. Pendekatannya moralitas dan menggunakan kekuasaan rakyat secara bertanggung jawab.

Buddha mendiskusikan pentingnya prasyarat pemerintahan yang baik. Buddha menunjukkan bagaimana negara dapat menjadi korup, memburuk, dan tidak bahagia jika kepala pemerintahan korup dan tidak adil. Ia berbicara menentang korupsi dan bagaimana pemerintah harus bertindak berdasarkan prinsip kemanusiaan.

Buddha menjelaskan bahwa pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian, dan kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan. Para raja dan pemerintah mungkin coba menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi memberantasnya dengan kekerasan adalah sia-sia. Buddha menyarankan pengembangan ekonomi sebagai pengganti kekerasan untuk mengurangi kejahatan.

Dalam dunia saat ini ada cukup kekayaan materi dan perkembangan intelektual. Akan tetapi, itu saja tidak cukup. Ada sesuatu yang kurang, cinta kasih di antara umat manusia. Cinta kasih dan belas kasih memurnikan pikiran dan pikiran menjadi penuh daya pancar bagi kesejahteraan orang lain. ●

No comments: