Wednesday, May 30, 2012

Mendamaikan Liberalisme dan Fundamentalisme Islam

Donny Syofyan ; Dosen FIB Universitas Andalas
SUMBER : KORAN TEMPO, 25 Mei 2012





Irshad Manji, seorang penulis, feminis, dan mengaku lesbian berkebangsaan Kanada, menjadi berita utama di pelbagai media selama beberapa hari terakhir. Gelombang protes dipicu oleh organisasi Islam yang membubarkan peluncuran buku terbarunya, Allah, Liberty and Love. Pertama di Solo, dan kemudian di Salihara, Jakarta Selatan, dan terakhir juga di Yogyakarta.

Lahir di Uganda, Manji dan keluarganya pindah ke Kanada ketika ia berusia 4 tahun semasa pemerintahan Presiden Uganda Idi Amin, yang memerintahkan pengusiran minoritas India atau Asia. Manji memulai kariernya sebagai jurnalis, peneliti, dan aktivis di Kanada. Pada 2003, ia menulis dan menerbitkan buku pertamanya, yang awalnya merupakan suratnya kepada sesama muslim di seluruh dunia, The Trouble with Islam Today. Dalam buku itu Manji menyatakan bahwa masalah pada umat Islam tidak hanya terletak pada kelompok-kelompok militan, tetapi juga di mayoritas muslim yang telah mengubah agama yang damai menjadi ideologi ketakutan.

The Trouble with Islam Today menjadi best seller beberapa bulan setelah dirilis di Amerika Serikat. Karena banyaknya isu-isu sensitif yang digadang-gadang dalam buku ini, Manji mendapat respons keras dari umat Islam di seluruh dunia, namun pada saat yang sama ia juga memperoleh pengakuan dari orang-orang yang memiliki pendapat senada di berbagai negara. Dalam tahun-tahun berikutnya, buku ini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan Manji kemudian menerima ancaman pembunuhan di banyak tempat. Dalam buku terbarunya, Allah, Liberty and Love, Manji mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana sikap defensif umat Islam terhadap the others (yang lain) yang cenderung membawa persepsi negatif.

Sebetulnya, Manji ini bukanlah siapa-siapa kecuali seorang yang berani menyuarakan pikiran liarnya secara lantang di tengah konservatisme keislaman yang makin kuat. Kesarjanaannya tidak solid dan impresif. Penguasaan terhadap materi kajiannya tidak cukup mendalam. Karyanya menghiasi koran-koran, bukan jurnal; dibaca kalangan aktivis, bukan intelektual. Ini sedikit bisa menjelaskan kenapa kontroversinya muncul dari ruang populer semisal LSM, bukan dari kampus. Di Eropa dan Amerika, Manji lebih dianggap sebagai selebritas ketimbang seorang akademisi hebat. Menurut saya, fenomena Irshad Manji ini lagi-lagi terkait erat dengan tensi yang luar biasa antara saudara-saudara kita dari kalangan muslim liberal dan fundamental, sesuatu yang mengalami eskalasi dahsyat pascareformsi di republik ini. Di tengah suasana yang penuh sesak napas ini, ada baiknya upaya-upaya rekonsiliasi di antara keduanya terus dilakukan pada sejumlah hal.

Pertama, membangun kerja sama dalam perihal akhlak. Kedua kelompok ini selalu bersitegang dalam ihwal akidah dan ibadah, dua hal yang amat fundamental. Alih-alih menghabiskan energi dan waktu karena kuatnya resistensi dan klaim dalam dua hal tersebut, kenapa kedua belah pihak tidak bersinergi dalam isu-isu yang lebih besar, semisal penegakan keadilan, persoalan pendidikan, perang terhadap korupsi, atau pengurangan kemiskinan?

Saya percaya bahwa upaya-upaya kerja sama seperti ini bakal meminimalkan prasangka di antara kedua belah pihak. Dalam konteks yang lebih luas, pendekatan seperti ini merupakan resep jitu guna mendekatkan Islam dan Barat, yang selama ini selalu dihiasi dengan kecurigaan satu sama lain. Ada baiknya kita merujuk kepada pesan Buya Hamka (almarhum) yang menyatakan bahwa Timur tak bermakna tanpa Barat, begitu pula sebaliknya. Pernyataan ini sangat fungsional untuk meraih harmonisasi di antara kedua belah pihak, tanpa ada lagi klaim-klaim kebenaran sepihak.

Kedua, media massa perlu memposisikan diri sebagai jembatan perantara rekonsiliasi, dan bukannya turut memanas-manaskan suasana, sehingga yang muncul adalah wacana subyektivitas dengan membela kelompok tertentu seraya pada saat yang sama memojokkan kelompok lainnya. Obyektivitas media sangat diperlukan guna meredakan ketegangan yang dewasa ini sangat dominan antara kelompok muslim liberal dan muslim fundamental. Media massa, terutama yang dimiliki dua kelompok yang saling berseberangan ini, bisa berperan menyejukkan suasana dengan berbagi data dan fakta di lapangan.

Keberhasilan ini bisa menjadi semacam proyek percontohan bahwa, di Indonesia, media-media yang dikuasai oleh kubu Islam yang berbeda bisa menjaga keseimbangan yang indah antara kebebasan dan tanggung jawab; antara keterbukaan dan keterkendalian. Dalam skala lebih luas, kerja sama dan harmonisasi antara media massa tersebut bakal berperan menghapus terma Islam fundamental dan Islam liberal secara perlahan. Bayangkan! Alangkah damainya bila suatu saat Ulil Abshar Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL) bisa duduk mesra dan saling menghormati dengan Habib Muhammad Rizieq dari Front Pembela Islam (FPI). Ini bisa dilakukan berkat media massa.

Ketiga, sinkronisasi lembaga pendidikan. Sebetulnya lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi, dapat memainkan peran strategis dan andalnya dalam menjembatani ketimpangan di antara kedua belah kubu. Sebagai misal, ini bisa dimulai dengan penguatan kurikulum yang memberikan bobot pada sirah Nabawiyyah (perjalanan kenabian Muhammad SAW) tentang kedigdayaan Rasulullah membangun perdamaian dengan Yahudi lewat Piagam Madinah (mitsaqul Madinah), apalagi masih sesama umat Islam. Hal lain yang telah dan perlu terus dilakukan adalah tukar-menukar tokoh dan sarjana lewat program scholar exchange and visiting fellows dari kedua belah pihak tanpa adanya sabotase.

Lembaga pendidikan seyogianya adalah buffer terakhir yang menjelaskan ihwal perbedaan dan dinamika mozaik dan khazanah berpikir, terlepas apakah dari gagasan liberalisme ataupun fundamentalisme Islam. Karenanya, sangat disayangkan bahwa kekerasan kemudian merasuki dunia perguruan tinggi. Dalam kasus Irshad Manji, misalnya, seharusnya semua pihak perlu menyampaikan ketidaksetujuan terhadap pemikirannya secara intelektual. Kedatangan Irshad Manji justru seharusnya dimanfaatkan untuk menunjukkan kritik terhadap kesalahan berpikirnya. Kalau belum-belum sudah ditolak, bagaimana diskusi dan tujuan untuk meluruskan pemikiran dia bisa dilakukan? Lembaga pendidikan harus tetap berkomitmen bahwa kekerasan tak boleh membombardir Islam. Kekerasan adalah penumpang gelap yang kerap membajak Islam, sehingga logika kekuatan telah menundukkan kekuatan logika.

No comments: