Thursday, May 3, 2012

Menuju Estetika Marxis

Suluh Pamuji, Mahasiswa filsafat UGM, Yogyakarta

DISKUSI tentang estetika Marxis, bukan perkara gampang. Sebabnya, Karl Marx sendiri tidak pernah mengeksplorasi pemikirannya dalam medan estetika secara spesifik. Kalaupun kemudian kita mengenal estetika Marxis sebagai fenomena diskursus yang berkembang sedemikian rupa, hal tersebut bisa kita maknai sebagai upaya lanjut dari para Marxis untuk mengafirmasi pemikiran Marx di wilayah estetika. Marxis yang melakukan upaya itu sering disebut ‘Marxis estetis.’

Tentu saja upaya para Marxis estetis tersebut mungkin belum pernah dibayangkan oleh Marx sendiri. Sebab, pemikiran Marx tentang estetika hanyalah berupa kepingan-kepingan yang tersebar dalam beberapa karya tulisnya yang tema besarnya bukanlah estetika. Apa yang dilakukan oleh para Marxis estetik secara khusus adalah sistematisasi, formulasi dan rekonstruksi atas kepingan-kepingan pemikiran Marx tentang estetika.[1] Dengan demikian, jawaban atas apa itu estetika Marxis, kurang lebih identik pada upaya tersebut.

Sekedar menyebut beberapa nama yang penting dan menonjol di antara sekian banyak para Marxis estetis, tentu saja kita tidak boleh melupakan nama-nama seperti: Georg Lukacs, Bertold Brecht, Tiga pentolan Mazhab Frankfurt (Walter Benjamin, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse), juga beberapa Marxis Estetik di Rusia sebelum dan sesudah abad ke-20 (V. G. Bellinsky, N.G. Chernyshevsky sampai Leon Trotsky). Namun, pembicaraan atas pemikiran Marxis estetis tersebut kita tunda dulu. Sebab, secara umum, beberapa nama yang saya sebut di atas, antara yang satu dan yang lain menggunakan sudut pandang atau tafsir Marxis yang plural secara internal maupun eksternal. Sehingga, perdebatan yang satu dan yang lain melingkar-lingkar dalam dimensi dan konsentrasi permasalahan yang—memang dan atau menjadi—kompleks.

Bahkan lebih jauh dari itu, beberapa Marxis estetis ada yang mengembangkan—di sisi lain mungkin mencemari atau mereduksi—pemikiran Marx tentang estetika dengan cara mengafirmasi unsur-unsur pemikiran yang secara jelas ditolak Marx. Misalnya, unsur Hegelianisme yang bercokol dalam estetika Marxisnya Georg Lukacs, atau unsur mesianistik dalam estetika Marxisnya Walter Benjamin. Nah, fenomena semacam itu harus kita lihat dalam konteks tertentu dan kerangka yang memadai. Singkatnya, kita butuh mencari latarnya sebelum sampai pada halaman belakangnya (baca: historisitas).

Maka dari itu, yang pertama-tama kita lakukan bukanlah langsung masuk ke dalam rimba perdebatan para Marxis estetis. Melainkan, pertama-tama, kita perlu mengupayakan sebuah pemahaman langsung yang sifatnya fondasional. Dengan kata lain, kita harus meninjau langsung kepingan-kepingan pemikiran estetika yang ditinggalkan Marx. Sebab bagaimanapun juga, kepingan-kepingan tersebut setidaknya masih mungkin untuk kita lacak. Dalam konteks yang terbatas, bisa kita layakkan sebagai fondasi yang sangat awal untuk memasuki rimba perdebatan para Marxis estetis yang berkembang sampai sekarang.

Hanya saja pertanyaannya kemudian, karena pemikiran Marx tentang estetika dan seni berupa kepingan-kepingan, lalu kepingan pemikiran yang manakah yang paling layak untuk kita tempatkan sebagai fondasi yang sangat awal? Atau pertanyaan yang lebih praktis, kepingan pemikiran Marx dalam karyanya yang manakah yang paling memadai untuk kita tinjau dan pahami lebih dulu?

Menurut Henri Arvon, dalam bukunya yang berjudul Estetika Marxis, konon Marx tetap sempat meninggalkan dua karya tulis tentang estetika yang relatif spesifik, yakni pertama: The Holy Family—ditulis bersama Engels—yang berisi tentang kritik Marx terhadap komentar yang ditulis oleh seorang pengikut Hegel yang bernama Szeliga tentang Mysteries of Paris karya Eugène Sue. Kemudian yang kedua adalah dokumen korespondensi antara Karl Marx dan Ferdinand Lassale—yang bernuansa kritis dan terkenal pada masanya—tentang drama yang ditulis Lassale: Franz von Sickingen.[2] Alih-alih menempatkan buku ini sebagai saran untuk mengawali upaya pembangunan fondasi awal, informasi dari Henri Arvon tersebut penting untuk direspon lebih lanjut. Sebab, dalam konteks tertentu merupakan jawaban praktis dari pertanyaan yang saya ajukan di atas. Maka, secara lebih lanjut, kiranya perlu saya rangkumkan uraian Arvon tentang dua karya tersebut.

Dalam The Holy Family, Arvon menganggap kritik sastra Marx lebih bersifat sosial. Marx menuduh Eugène Sue telah melancarkan serangan yang bersifat mengecoh ketidakadilan sosial, karena Sue sebenarnya tidak menyerang masyarakat kapitalis itu sendiri. Namun, kritiknya pada Sue di pihak lain tidak terbatas pada eksterioritas Mysteries of Paris. Dengan demikian, mungkin saja kita menganggap sikap Marx ambivalen—yang berbeda dengan kontradiktif—terhadap karya Sue tersebut.

Anggapan tersebut wajar saja. Sebab, menurut Arvon, pertama-tama Marx tidaklah terlepas dari cara hidup borjuis—ayahnya seorang pengacara—bahkan ditengah-tengah kemiskinan yang ekstrem. Kemudian dalam masa pubernya, Marx melakukan bunuh diri kelas dengan cara mengadopsi cara berpikir anti-borjuis sampai akhir hayatnya. Hal tersebut terlihat jelas dalam kritiknya terhadap karya-karya sastra, tak terkecuali karya Eugène Sue. Namun sikap anti-borjuis yang dianut Marx tidak membuatnya seperti pendekar mabuk yang menebas semua karya sastra dari kalangan borjuis. Sebab di sisi lain, Marx sangat menghargai gaya para penulis dari tradisi agung (the great tradition) seperti Aeschylus, Goethe, Shakespeare, Scott dan Balzac. Walaupun di pihak lain, Marx juga tetap menilai karya sastra dari sikap politik penulisnya. Hal tersebut kemudian membuat Marx mendukung para penyair seperti Freiligrath dan Georg Herwegh yang tidak istimewa, tapi syair-syairnya berisi perjuangan terhadap kebebasan.[3]

Sedangkan menurut Arvon, kritik Marx yang tertuang dalam korespondensinya dengan Lassale tentang dramanya Franz von Sickingen lebih bersifat sastrawi. Kritik Marx—dan juga Engels secara bersamaan—terhadap drama Lassale tersebut membuat Marx berurusan dengan konsep tokoh utama dan kebutuhan-kebutuhan estetik yang merujuk pada pemenuhan kepentingan historis pada masa itu.[4] Kemudian dalam drama karya Lassale tersebut, dinilai Marx sebagai drama yang tidak berpusat kepada takdir personal tokoh utama, tetapi pada takdir yang terberi dari semangat objektif, yakni oleh perjuangan kelas yang menjebaknya pada keterpaksaan yang mau tidak mau membuatnya berpihak pada perjuangan ideologi tertentu. Lassale menanggapi komentar Marx atas dramanya tersebut secara klarifikatif. Demikian ujar Lassale, ‘Franz von Sickingen memang bukan merupakan peristiwa sejarah yang terisolasi, melainkan sebuah indikasi, antisipasi, dan penjelasan atas kegagalan Revolusi 1848.’[5]

Kemudian Marx—sekaligus Engels—menyanggah lagi pernyataan Lassale tersebut. Menurut Marx, drama Lassale tersebut bukanlah contoh dari tragedi revolusi dan hasil kerja dari semangat objektif yang hebat. Sebab, Franz von Sickingen secara internal sudah mengandung cacat subjektif yang elemennya coba dihilangkan oleh Lassale dibalik kelimun yang kaku dan artifisial. Menurut Marx, subjek sebenarnya dalam drama Lassale adalah tindakan seorang individu yang berusaha untuk cerdas dalam menanggapi peristiwa-peristiwa besar dengan sebuah kepercayaan bahwa seorang individu tersebut dapat membentuk sejarah hanya lewat kebijakan realistisnya yang sinis.[6] Dalam konteks tersebut, Franz von Sickingen, tanpa mempertimbangkan fakta-fakta apapun tentang sejarah objektif, merupakan tokoh yang begitu menginginkan mahkota kerajaan dengan cara mengkhianati bangsanya, teman-temannya, juga pada akhirnya adalah dirinya sendiri secara diam-diam. Dengan demikian, Franz von Sickingen sebagai drama yang oleh Lassale disebut sebagai sebuah indikasi, antisipasi dan penjelasan atas kegagalan revolusi 1848 akhirnya dipandang Marx sebagai drama yang isinya tidak lebih dari sekedar masalah psikologis dan moral yang sederhana.[7] Singkatnya, drama Franz von Sickingen gagal merepresentasikan kerangka dan tujuan yang digadang-gadang oleh Lassale sendiri.

Selain itu, menurut Marx, terdapat faktor lain yang tak terelakkan yang membuat drama Lassale tersebut gagal. Meskipun Lassale telah mengadopsi penafsiran etis terhadap sejarah, Lassale telah gagal untuk memunculkan rekonsiliasi diantara hal yang subjektif dan objektif. Mirip seperti yang tersirat dalam idealisme Schiller dan Hegel. Dalam konteks tersebut, Lassale cenderung melakukan penggeseran terhadap dialektika tragis ke arah sejarah itu sendiri pada satu pihak, dan di lain pihak, melakukan penggeseran ke arah tindakan individual tokoh bernama Sickingen. Implikasi akhir dari penggeseran dialektika tragis tersebut adalah kebuntuan yang dinaungi nihilitas harapan. Dengan lain perkataan yang lebih terang, drama Lassale tersebut membuat kita percaya bahwa kekalahan suatu gerakan sosial adalah niscaya karena Lassale sudah menganggap revolusi itu sendiri memiliki cacat yang fatal secara internal. Jadi manifestasi drama Franz von Sickingen dalam konteks apapun tidak bisa benar-benar dianggap drama yang tragis. Sebab, peristiwa yang dialami Sickingen merupakan peristiwa yang dikehendaki oleh sejarah dan diterima Sickingen dengan pasrah.[8]

Maka dari itu, Marx—sekaligus Engels—menolak untuk menyebut Sickingen sebagai tokoh utama. Kerangka penilaian Marx tentang ketokohan Sickingen, yang menurut Marx tidak utama tersebut, secara langsung merujuk pada teorinya—yang disusun bersama Engels—tentang tokoh utama sejati. Menurut Marx—sekaligus Engels—tokoh utama sejati bukanlah individu yang ketinggalan langkah dengan masanya sendiri. Ia juga bukan individu yang cenderung merepotkan diri sendiri dalam pertempuran-pertempuran kecil yang tanpa hasil; ia melampaui masanya dengan cara mempercepat sejarah dan bukan dengan menahan lajunya ke depan. Tokoh utama tersebut harus dicari diantara tokoh-tokoh revolusioner masa lalu, diantara para plonco dalam pemberontakan atau para petani Thomas Münzer. Dalam diri tokoh-tokoh tersebut juga berlangsung kekalahan. Namun kekalahan itu tidak pernah final. Sebab, impian heroik yang memacunya hanya merupakan penglihatan sekilas yang redup terhadap masa depan yang akan muncul cepat atau lambat.[9]

Sampai sini, dengan berpegang pada kesimpulan Arvon, kita pun belum bisa memastikan sendiri perihal aspek manakah yang paling penting dari pandangan Marx—sekaligus Engels—tentang seni dan kesustraan. Namun dalam konteks yang terbatas oleh dua karya tersebut, yakni The Holy Family dan Dokumen Korespondensi dengan Ferdinand Lassale, setidaknya bisa kita tangkap kecenderungan Marx yang tersirat dalam mengulas Mysteries of Paris dan Franz von Sickingen. Pertama, kadang-kadang Marx menganggap seni tergantung pada situasi sosial (kecenderungan kritiknya terhadap Mysteries of Paris dan Franz von Sickingen). Kedua, ia juga kadang-kadang menganggap seni sebagai sesuatu yang benar-benar otonom (kekagumannya terhadap gaya penulis dalam tradisi agung). Ketiga, kadang-kadang Marx menganggap seni sebagai instrumen tindakan politik (dukungan Marx terhadap syair-syair yang tidak istimewa dari segi artistik, tapi para penyairnya punya sikap politik yang jelas untuk memperjuangkan kebebasan).[10]

Tiga kecenderungan sikap pembacaan Marx terhadap karya seni yang tersirat dalam dua karyanya tersebut pada akhirnya memang menjadi kesalahpahaman di antara kaum Marxis secara umum dan Marxis estetik secara khusus. Namun, setidaknya, sampai di sini kita telah tahu bahwa kecenderungan Marx dalam menempatkan seni sebagai instrumen politik hanyalah salah satu dari tiga kecenderungannya yang lain. Maka dari itu, pelabelan non-Marxis dan penafsiran para Marxis yang semata ‘politis’ terhadap kerangka internal estetika Marxis, perlu kita tolak secara sistematis, konstruktif dan elaboratif. Wujudnya bisa berupa karya akademis-teoritik maupun praktik kesenian yang progresif (karya seni).***

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Philosophy Angkringan. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

[1] Greg Soetomo, Krisis Seni Krisis Kesadaran, (Yogyakarta: Kanisius), 2003, hal. 30.

[2] Henri Arvon, Estetika Marxis, terj. Ikramullah, (Yogyakarta: Resist Book), 2010, hal. 4. Namun Arvon mereduksi peran Engels ketika menyebut dua karya tersebut. Arvon tidak menyertakan nama Engels secara konsisten, sebagai informasi ataupun sebagai rujukan teori.

[3] Ibid., hal. 4-5.

[4] Ibid., hal. 10.

[5] Ibid., hal. 10-11.

[6] Ibid., hal. 11.

[7] Ibid.

[8] Ibid., hal. 11-12.

[9] Ibid., hal. 12-13.

[10] Ibid., hal. 13.


Print PDF
Pendapat Anda tentang tulisan ini?
Mengagumkan (2) Menarik (0) Berguna (1) Membosankan (0) Buruk (0)
Bagikan:


Berbagi
Diposkan oleh IndoPROGRESS — Diposkan pada Budaya, Sastra, Teori — Ditag pada Budaya, Sastra, Teori

No comments: