Tuesday, May 29, 2012

Merajut Batin Yang Terkoyak


Koran Jakarta, Rabu, 23 Mei 2012


Keunikan negeri dengan kondisi masyarakat yang plural kini ternodai beberapa kerusuhan bernuansa agama. Realitas pluralisme sebagai anugerah Tuhan yang seharusnya dijunjung tinggi mengalami reduksi makna yang mengacaukan suasana kebatinan berbangsa. Persoalan itu bermula dari tidak jalannya fungsi perlindungan warga dan jaminan kebebasan beragama sehingga kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama terus terjadi.

Misalnya jemaat Ahmadiyah beberapa kali menjadi sasaran kekerasan, terakhir di Tasikmalaya. Masjid jemaat Ahmadiyah diberangus amuk dan api kebencian. Kasus kekerasan seperti itu terjadi secara berulang-ulang di banyak tempat dan cukup meresahkan. Masyarakat merasa tidak aman di negerinya sendiri karena suatu kelompok menjadi teror bagi kelompok lain.

Menurut catatan The Wahid Institute, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2010, terdapat 64 kasus, tahun 2011 menjadi 92 kasus. Bentuk pelanggaran terbesar adalah pelarangan atau pembatasan ibadah. Dari 92 kasus pelanggaran KBB, jemaat Ahmadiyah yang paling banyak menjadi korban, disusul jemaat dari GKI Yasmin. Dalam laporan The Wahid Institute, Jawa Barat (Jabar), masih menjadi daerah yang paling potensial melanggar KBB di mana dari 92 kasus, 58% terjadi di Jabar.

Nasib jemaat GKI Yasmin hingga sekarang juga masih terkatung-katung. Ketika merayakan natal pada tahun 2011, mereka beribadah di pinggir jalan karena tempat ibadahnya disegel kelompok tertentu.

Mendiang Romo YB Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa setiap bangunan ibadah punya bahasa masing-masing, punya warta tentang tugas bangunan itu sendiri, juga tentang siapa dan untuk siapa bangunan itu dibuat. Dalam konteks ini umat beragama diuji kualitas keberagamaannya. Jika rumah ibadah benar-benar sebagai tempat memuliakan keagungan Tuhan, tentu tak mungkin menginjak-injak kemanusiaan sebab orang yang dekat dengan Tuhan tak akan melupakan sifat kemanusiaannya.

Saat ini keterikatan berlebihan terhadap simbol-simbol agama menjadi salah satu karakteristik keberagamaan kita. Simbol agama seperti rumah ibadah telah bergeser sebagai perlambang keangkuhan. Ketika rumah ibadah ada yang menyaingi, pemberangusan terjadi di mana-mana. Dulu masjid berdiri di antara gereja. Kelenteng di antara vihara dan pura. Tapi kini suasana sudah berbeda. Itulah tantangan kita bersama untuk beragama secara toleran dalam kepusparagaman.

Terkoyak

Terkoyaknya rasa kebatinan berbangsa akibat aksi berbau agama membuat kohesi berbangsa tersobek. Hati masyarakat kehilangan penghantar yang baik, lepas kendali, dan melupakan penyelesaian yang manusiawi. Akibatnya, ikatan kebinekaan yang sudah lama diretas masyarakat dari berbagai agama mudah terbakar amarah.

Dimensi-dimensi seperti kegagalan pemerintah mengelola modernisasi dan globalisasi harus direspons secara demokratis dengan memberi ruang hidup bagi kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan lain-lain. Proses demokratisasi harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan adil antarkomponen pluralisme.

Tak dimungkiri menipisnya ikatan kebatinan masyarakat sebagai bangsa beradab tak bisa dipisahkan dari krisis keteladanan pemimpin yang mampu berdiri di tengah-tengah semua golongan. Pemimpin harus tegas membela kaum tertindas meski harus berhadapan dengan kuasa modal dan politik. Tapi, negara ini alpa.

Keluhuran amanah penyelenggara negara tereliminasi hiruk-pikuk elite politik yang sibuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan. Di podium, orasi lantang menyuarakan kerukunan dan demokrasi, tapi sesungguhnya rasis. Mengampanyekan kutukan atas kekerasan agama di layar televisi tak ubahnya tukang obat sehingga sukar dibedakan antara wajahnya yang asli dan palsu.

Pada saat bersamaan prospek keragaman diabaikan. Akibatnya ketidakadilan di mana-mana dan menjadi pemantik kekerasan. Grafik distribusi ekonomi dan keadilan sosial di setiap daerah tidak merata. Komparasi jaminan kesejahteraan warga dengan takaran upeti untuk negara timpang sehingga kedaerahan kerap berbenturan dengan kebijakan nasionalisme yang berpusat di Jakarta. Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya seharusnya dikelola untuk kemakmuran bersama, namun nyatanya dieksploitasi asing.

Persoalan lain, kualitas pelaksanaan otonomi daerah, desentralisasi, serta demokratisasi tidak berjalan maksimal. Keadaan ini turut menstimulasi munculnya radikalisme kedaerahan. Tatkala terjadi penyempitan kesadaran menghayati diri secara inklusif sebagai entitas bangsa, kemungkinan besar kesatuan berdasarkan keragaman suku, agama, dan golongan bisa bercerai-berai. Ini dapat melahirkan ide untuk mengurus diri sendiri secara merdeka. Ini berbahaya. Karena itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah rawan konflik melalui perbaikan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi dan pemerataan pembangunan penting dilakukan.

Kita punya pedoman Pancasila yang paripurna dalam bernegara, tapi tuna-pengamalan. Sila Persatuan Indonesia dirumuskan bertujuan mengangkat martabat dan kehidupan beragama di Indonesia. Wawasan nasional yang sehat meniscayakan sikap menjunjung tinggi kemajemukan dan memperhatikan kepentingan kelompok minoritas yang selama ini terabaikan.

Begitu pula sila Keadilan Sosial mewasiatkan pemerataan pembangunan tanpa unsur monopoli dari oligarki politik. Itulah yang seharusnya menjadi pedoman nilai bagi penyelenggara negara agar tidak terlampau tergelincir dari rel kesejahteraan yang dicita-citakan.

Ketika negara tak lagi hadir dalam benak rakyat, pemberdayaan peran tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai perekat kohesi yang terkoyak penting dilakukan. Melalui jalur kultural mereka dapat melakukan pemurnian kesadaran kolektif tentang hakikat beragama dan berindonesia. Hakikat itu tidak akan ditemukan tanpa menggali jati diri Indonesia dari sejarah lokal. Sejarah yang melewati proses bersatunya agama-agama menjadi sebuah bangsa.

Oleh Achmad Fauzi
Penulis adalah aktivis Interfidei



No comments: