Sunday, May 6, 2012

Paranoia Gaga

Monday, 07 May 2012
Tidak ada yang baru dari reaksi Front Pembela Islam (FPI) menolak keras rencana kedatangan Lady Gaga yang akan menggelar konser musik pada 3 Juni 2012 mendatang di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan.

Ancaman FPI berdasarkan hasil pembelajaran FPI tentang siapa dan bagaimana Lady Gaga saat melakukan konser di berbagai negara. Karena itu, Habib Rizieq dan FPI akan segera menyampaikan langsung ke Presiden SBY soal keberatannya itu. Jika konser tetap digelar, potensi chaos menjadi salah satu hal yang tak terhindarkan.

Tetapi, jika berbicara tentang Lady Gaga, saya justru lebih teringat pada yayasannya, Born This Way Foundation— yang berslogan empowering youth, inspiring bravery—dibandingkan dengan cara Lady Gaga berpakaian. Jika membuka situs yayasan tersebut, ada sebuah upaya membantu generasi muda dengan segala gejolak dan keunikannya dalam sebuah penerimaan kolektif yang penuh cinta. Dibuat berdaya,berani, dan dirangkul layaknya perwujudan rasa kemanusiaan.

Realita Manusia

Harus dibedakan antara nyentrik dan bejat (tetapi tidak kasatmata). Melihat riwayat hidup Gaga, tidak bisa dipungkiri dia diberkahi dengan bakat besar. Secara autodidak Gaga belajar piano pada usia empat tahun, menulis balada piano untuk pertama kalinya pada usia 13 tahun, tampil di klub-klub seperti New York’s the Bitter End pada usia 14 tahun, dan menjadi salah satu dari 20 anak di dunia yang bisa masuk Tisch School of the Arts at NYU pada usia 17 tahun.

Saat ini Gaga dicap evangelist atas upayanya mengubah dunia sedikit demi sedikit dengan mendirikan yayasan Born This Way. Tidak begitu saja ia bisa menerima keadaan dirinya dan mencapai tahapan transendental ala Maslow seperti sekarang. Dia harus melampaui proses hidup sebagai remaja korban bullying yang terus-menerus dihina oleh teman-teman satu sekolahnya karena mempunyai hidung besar,gigi aneh, dan penampilan yang nyentrik.

Gaga memahami perasaan menjadi “orang aneh” atau tidak diterima oleh grup tertentu (termasuk sekarang oleh FPI),atau setidaknya merasa sebagai remaja canggung.Sewaktu Gaga masih bernama Stefani Germanotta dari Manhattan, temanteman satu sekolah Katoliknya menganggap aneh sehingga Gaga pun diceburkan ke dalam tong sampah. Menurut pengakuannya, bullying membekas seumur hidup.

Pengalaman pribadi telah bertransformasi menjadi sebuah kekuatan bagi Gaga untuk membantu generasi muda Glee dengan pendekatan psikologi pop.Tidak hanya melalui lagu, yayasannya juga menjadi medium untuk membantu penggemarnya— yang dia sebut The Monsters—untuk bisa melupakan ketidaknyamanan dan perasaan tidak percaya diri karena penolakan lingkungan atas mereka yang “dipersepsikan”berbeda.

The Monsters mengikuti gerak-gerik Gaga di Twitter dan mengirimkan e-mailyang makin menyerupai para penggemar Oprah. Gaga berinteraksi dengan para penggemar muda yang melakukan mutilasi diri, mengalami gangguan depresi, gangguan makan,distorsi body image,dan sama dengan dirinya, menjadi korban bullying.Gaga juga merangkul mereka yang mengalami kesulitan mengakui jati dirinya kepada masyarakat seperti dalam lirik Born This Way yang juga menyinggung tentang gay, straight, or bi dan lesbian,serta transgender life.

Bullying dan LGBTQ

P e n y e b a b bullying bisa bermacam- macam seperti tubuh gendut/ kerempeng, prestasi di sekolah yangjelek/kutubuku, status sosial-ekonomi, orientasi seksual,dan lain-lain.Yang mengerikan adalah dampak bullying dapat berakhir pada bunuh diri. Ini bukan sebuah episode dalam serial televisi Glee, tetapi sebuah realita nanar yang juga terjadi di Indonesia.Data yang dikumpulkan pada 2010 oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak terdapat 2.399 kasus kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mana 300 adalah kasus bullying.

Setidaknya data menunjukkan penurunan jika dibandingkan 498 kasus (2009) dan 525 kasus (2008). Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Rights of the Child pada 1996 dan mempunyai UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Konvensi PBB menjamin hak setiap anak untuk bertumbuh kembang, berpartisipasi dalam berbagai aktivitas,dan terlindungi dari diskriminasi. Namun, banyak guru tidak paham tentang substansi dari ratifikasi konvensi maupun undangundang.

Selain bullying,kita juga harus mulai lebih memperhatikan terminologi lesbian, gay, bisexual, transgender, dan questioning (LGBTQ). LGBTQ semakin mengemuka termasuk dalam berbagai konferensi kesehatan seksual dan reproduksi bertaraf internasional agar mereka yang termasuk LGBTQ tetap menjadi bagian dari hak universal yang tidak lagi dibedakan. Kalangan liberal mempercayai bahwa orang terlahir gay atau straight.

Kalangan konservatif cenderung percaya bahwa orientasi seksual adalah preferensi seksual, yang mana ditentukan oleh individu. Perbedaan ini menjadi penting karena menyangkut bagaimana hukum diaplikasikan kepada mereka yang gay. Jika homoseksualitas tidak dipilih (preferensi),tetapi karakteristik yang ditentukan secara biologik dan kita tidak punya pilihan sehingga hukum tidak boleh memperlakukan gaydan straight secara berbeda karena berarti homoseksualitas tidak bisa dikendalikan.

American Psychiatric Association pun ikut berdebat alot tentang homoseksualitas. Dengan basis data empiris, perubahan norma sosial, dan perkembangan komunitas gay yang aktif secara politik di AS, pada 1986 diagnosis homoseksualitas dikeluarkan sepenuhnya dari diagnostic and stastitical manual of mental disorders (DSM).

Satu-satunya jejak tersisa adalah sexual disorders not otherwise specified yang termasuk stres persisten dan bermakna tentang orientasi seksual dirinya. Seringkali isu cara berpakaian menghambat rasionalitas berpikir yang substantif. Distorsi yang menjadi kamuflase. Jika hanya cara berpakaian Lady Gaga yang diharapkan bisa disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam, hal ini bisa dikomunikasikan antara penyelenggara dan manajemen Lady Gaga.

Justru perlu dikhawatirkan ada sebuah bentuk penolakan terhadap realita manusia yang mungkin juga sudah menjadi realita di Indonesia, yang seharusnya kita hadapi bersama-sama, bukan denial.Tidak ada yang salah dari keyakinan Lady Gaga bahwa setiap orang yang terlahir berhak untuk hidup bahagia dalam kebersamaan. Tidak dalam keterasingan, hanya karena berbeda dari mayoritas.Menutup mata dan menolak tidak akan meningkatkan kesehatan jiwa Indonesia. ●

DR NOVA RIYANTI YUSUF SPKJ
Anggota Komisi IX DPR RI,
Fraksi Partai Demokrat

No comments: