Tuesday, May 29, 2012

PEMBAWA LENTERA

Gede Prama ; Penulis Buku Simfoni di Dalam Diri, Fasilitator Meditasi di Bali Utara
SUMBER : KORAN TEMPO, 24 Mei 2012


Awan gelap menutupi cahaya, itu analogi tepat bagi sebagian kehidupan kekinian. Naiknya jumlah kasus bunuh diri adalah indikasi ada awan gelap dalam sisi kejiwaan manusia. Keluarga diancam keruntuhan karena maraknya perceraian, menunjukkan adanya awan penghalang dalam hubungan antarmanusia. Lebih-lebih politik, yang gelap dibuat tambah gelap, yang terang ditutupi agar gelap. Sebagian wakil rakyat, yang panggilan alaminya membawa lentera, malah menimbulkan kegelapan melalui korupsi. Digabung menjadi satu, kegelapan hadir di mana-mana, sekaligus menghadirkan kerinduan munculnya pembawa lentera.

Salah satu simbol budaya modern adalah pesawat jet yang memungkinkan manusia bepergian secara cepat. Ini memberi inspirasi bahwa kehidupan didorong agar serba cepat. Sekolah cepat, bekerja cepat. Dan manusia kemudian mengejar. Sebagian besar yang mengejar itu tidak menjumpai apa-apa. Kalaupun ada yang dijumpai, hanya keterasingan. Sebagian orang kaya terkemuka di Barat, seperti Bob Marley, Michael Jackson, dan Whitney Houston, menjadi guru bahwa kekayaan materi menghasilkan keterasingan. Di puncak keterasingan ini, badan sakit, mental tidak stabil, bahkan ada yang mati kecanduan narkoba.

Sebagian guru meditasi di Barat yang setiap hari bergelimang murid sakit kemudian menyebut semua tersebut tipuan budaya modern. Dan yang paling menipu, apa lagi kalau bukan janji palsu kekayaan materi yang seolah-olah bisa memberikan semuanya. Sheila MacLeod dalam The Art of Starvation membuka ironi besar. Sementara di negara terbelakang seperti Afrika banyak manusia kelaparan karena miskin, di Barat, dalam jumlah yang terus naik, manusia juga tidak bisa makan. Terutama karena gangguan akibat paduan kompleks antara kebencian, ketakutan, kegagalan, ketidakberdayaan, keterasingan, serta hasrat untuk menguasai kehidupan secara berlebihan.

Pada momen seperti inilah, manusia perlu "menemukan kembali" dirinya yang telah lama terasing. Sejumlah guru tercerahkan bertutur, di titik ketika kilatan cahaya pencerahan menyala, para guru "menyentuh kembali" tubuhnya. Meminjam Reginald A. Ray dalam Touching Enlightenment, pengertian tubuh bukan hanya tubuh fisik, tapi juga mencakup tubuh interpersonal, sekaligus tubuh kosmik. Penderitaan terjadi karena tubuh manusia didangkalkan hanya menjadi tubuh fisik yang terasing. Tubuh kosmik yang menakutkan--tecermin dari banyaknya kecelakaan, gempa, tsunami--adalah cermin dari tubuh interpersonal yang penuh kekacauan. Sebagai contoh, betapa rumit membuat elite politik agar rukun membangun negeri. Tubuh interpersonal yang kacau adalah cermin dari tubuh personal yang terasing di tengah keadaan yang serba tidak puas.

Dengan demikian, inilah saatnya melakukan gerakan balik berupa keterhubungan. Antropolog sosial Gregory Bateson menyebutnya "the pattern that connects" (pola yang menghubungkan). Fisikawan Fritjoff Capra memberi sebutan "the hidden connections" (keterhubungan yang tersembunyi). Fisikawan David Bohm menyebutkan bahwa health (kesehatan) terkait erat dengan whole (keseluruhan). Sejarawan agama terkemuka Karen Armstrong menemukan bahwa intisari ajaran agama adalah compassion (belas kasih). Dan Thich Nhath Hanh menyebut perlunya inter being (proses menjadi yang saling terkait). Dengan kata lain, "menyentuh kembali" tubuh kosmik tidak hanya menjadi kearifan tua di Timur, tapi juga menjadi kebutuhan mendesak manusia Barat sebagaimana diwartakan ilmuwan.

Sebagai bahan untuk melangkah, meditasi mengenal prinsip sederhana: "pikiran cepat adalah hulu penderitaan, pikiran lambat adalah awal kesembuhan, pikiran yang hening sempurna itulah pencapaian meditasi". Artinya, memelankan pikiran melalui meditasi adalah langkah awal menentukan. Pengertian memelankan pikiran adalah belajar menyaksikan setiap bentuk pikiran, bukan diseret arus pikiran. Caranya sederhana, belajar menjadi saksi yang penuh pengertian terhadap setiap bentuk pikiran. Awalnya sulit karena, selama berkehidupan, manusia biasa diseret arus kuat pikiran. Ketekunan meditasi membuat manusia berenang ke pinggir sungai pikiran, kemudian melompat ke luar menjadi saksi yang penuh pengertian.

Ciri manusia yang sudah menjadi saksi sederhana, bisa melihat ada kebahagiaan dalam kesedihan, ada kesedihan dalam kebahagiaan. Bukankah kesedihan yang membuat kebahagiaan jadi menawan? Bukankah kesedihan hanya amplas yang menghaluskan? Seperti pesan puitik Kahlil Gibran: "Tatkala manusia bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur." Jadi, kesedihan bukan tamu, ia anggota keluarga yang sama dekatnya dengan kebahagiaan. Pesannya kemudian, kesedihan yang sering dibuang adalah awal ketidakseimbangan. Dalam bahasa Carl Jung, semua yang dibuang akan menjadi tubuh bayangan--Sigmund Freud menyebutnya alam bawah sadar--yang akan ikut ke mana pun kita pergi.

Lentera pencerahan mungkin menyala bila manusia belajar memandang semuanya sebagai sebuah totalitas. Ia serupa berjumpa gula dan garam. Tidak mungkin menyebut gula (baca: kebahagiaan) lebih baik dari garam (kesedihan). Keduanya ada tempatnya. Gula sahabatnya teh, garam temannya sayur. Hal serupa terjadi dengan kebahagiaan-kesedihan. Guncangan kosmik terjadi karena manusia hanya mau kebahagiaan menendang kesedihan. Kembali ke cerita menyentuh tubuh kosmik, lentera di dalam menyala saat manusia hidup utuh (complete, holistic, authentic) di saat ini.

Dalam bahasa kesembuhan kejiwaan, tubuh bayangan, alam bawah sadar yang berisi hal-hal yang ditendang, bila saatnya matang, ia akan muncul menimbulkan ketegangan. Tapi, di tangan manusia utuh, kesedihan diperlakukan sama dengan kebahagiaan. Akibatnya, bisa memancarkan kasih sayang baik saat senang maupun sedih. Penghormatan dunia yang besar kepada Muhammad Yunus, Mahatma Gandhi, Marthin Luther King Jr., Y.M. Dalai Lama menunjukkan bahwa dunia merindukan lentera yang penuh kasih sayang. Lentera seperti ini yang didoakan muncul nanti dalam pemilihan presiden RI tahun 2014. ●

No comments: