Friday, June 29, 2012

Neolahabisme dan Korupsi Alquran

M Bashori Muchsin ; Guru besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
Sumber : MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2012



SALAH satu `kado istimewa' yang diwariskan Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat di muka bumi, khususnya komunitas muslim, ialah mental militan atau pemberani dalam menghadapi tantangan atau godaan model apa pun demi tegaknya kebenaran, keadilan, kejujuran, dan harkat kemanusiaan yang sudah digariskan Alquran.

Sebagai contoh, saat Nabi giat-giatnya mendakwahkan kebenaran wahyu Allah SWT, datanglah kelompok Abu Lahab (elite kafir Qurays) yang bermaksud menghambat dan menghentikannya. Komunitas Abu Lahab itu tak menginginkan prinsip keadilan dan keadaban yang diajarkan beliau semakin mendapatkan tempat di masyarakat. Demi mencapai maksud tersebut, mereka menawarkan takhta, perempuan, dan kekayaan kepada Nabi.

“Sekalipun matahari, rembulan, dan apa pun di muka bumi ini kalian berikan kepadaku, aku tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kejujuran,“ demikian jawab Nabi saat dirayu dan hendak dijinakkan Abu Lahab cs. Itu menunjukkan Nabi telah meletakkan fondasi moral bagi setiap pejuang kebenaran supaya tidak menyerah dan kalah hanya oleh tawaran seperti kompromi politik, dagang kekuasaan, atau bagi-bagi kursi.

Apa yang dilakukan Nabi itu juga berhubungan dengan komitmen pembelaannya terhadap kepentingan masyarakat yang sudah lama terpuruk akibat penindasan dan praktik kebinatangan yang diberlakukan dan ditradisikan komunitas kafir.

Model Kepemimpinan

Jika meneladani apa yang dipraktikkan Nabi, kita setidaknya bisa fokus pada masalah model kepemimpinan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, yang boleh jadi saat kepemimpinan ini diterapkan, gaya neolahabisme atau penyakit bersumber dari Abu Lahab gaya baru ikut membungkusnya. Neolahabisme bisa saja mengemas dirinya menjadi ranjau-ranjau yang membuat kepentingan rakyat dikalahkan, kebenaran gagal mengalir objektif, dan keadilan terjegal di tengah jalan.

`Tekad bersama untuk mendahulukan kepentingan bersama, masyarakat, bangsa, dan negara di atas kepenttingan pribadi dan golongan sendiri' (samen bundeling van alle krachten van de natie) ialah ungkapan Bung Karno di hadapan rakyat dan pejabat pemerintahan, yang beridealisme membangkitkan rasa nasionalisme, komitmen kebangsaan, dan pencerahan Indonesia, khususnya komitmen pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.

Pesan Bung Karno itu juga mengajarkan, dalam membangun bangsa, setiap orang yang dipercaya menjadi elite percaya menjadi elite negara atau menduduki kursi yang membawa atribut atau identitas suara rakyat idealnya mengutamakan atau mendahulukan komitmen kebangsaan yang ditujukan demi mewujudkan kese jahte raan rakyat, membebaskan rakyat dari kemiskinan, berjuang di garis depan untuk melawan berbagai ancaman asing dan penyakit internal yang cenderung mengoyak Republik menjadi sebuah negeri keropos, dan menyucikan diri sesuci-sucinya agar tidak terjerumus pada kasus dan `kaukus rezim' atau kolaborasi neolahabisme berpola pembenaran korupsi, penodaan keadilan, serta berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Dugaan kasus korupsi pengadaan Alquran, jika terbukti, merupakan wujud neolahabisme yang mengindikasi kan masih berjayanya mental koruptif menghegemoni penguasa negeri ini.

Komunitas elite negara idealnya mampu jadi negarawan seperti Nabi atau bersikap cerdas dan humanistis dalam menunjukkan kapabilitas intelektual-spiritual, kemanusiaan, dan akseptabilitas moral politik mereka guna meninggikan makna tanggung jawab (kewajiban) kepada rakyat dan bukannya memilih jalan sebaliknya, menjadikan rakyat sebagai kendaraan untuk memenuhi `berahi politik' semata, kegilaan jabatan, dan nafsu kapitalistis.

Opsi pembusukan amanat atau pemenangan kebohonganlah yang hingga kini masih ditempuh sebagian elemen negeri ini. Mereka mengemas diri sebagai petualang yang gemar menciptakan peluangpeluang strategis yang membuat mereka jadi selebritas kekuasaan kaya raya atau menempati strata elitis `upper class' yang membuat rakyat jadi penonton merana. Kroni dan kepentingan eksklusif `kaukus politik', misalnya, dijadikan `kepentingan keluarga' yang mereka absolutkan dengan mengalahkan amanat kerakyatan.

Ketika pemimpin terjebak dalam lingkaran pola hidup yang berelasi mutlak pada nilai kebendaan, kedudukan, dan keduniaan, hidupnya niscaya makin teralienasi dari hasrat menjunjung tinggi dan menyejarahkan doktrin kenabian (keagamaan dan ketuhanan). Doktrin agung seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan yang digariskan Alquran akhirnya dijadikan sebagai objek yang dikomoditas sesuai dengan selera dan ambisi-ambisi yang tak kenal titik nadir.

Idealnya, doktrin kebenaran, kejujuran, dan keadilan serta penghormatan terhadap HAM dalam Alquran merupakan cabaran ajaran ketuhanan Cahaya Tuhan yang seharusnya menyinari kegersangan jiwa dan bermanfaat dalam mencerdaskan nalar kemanusiaan (elite kekuasaan) ternyata diredupkan sendiri oleh kegilaan aksi megalomania kepentingan keduniaan, kebendaan, dan kedudukan yang berhasil menjajah atau memperbudak mereka menjadi neolahabisme. Mereka ini terkerangkeng dalam relasi bergaya homo animalis.

Tampilan relasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mereka desain hanya mendeskripsikan polarisasi dan ‘pembusukan nilai’ (values decay). Pembusukan itu salah satunya terwujud dengan keberanian mengorupsi pengadaan Alquran.

Dalam tataran serbaneolahabisme itu, komunitas elitis akhirnya hanya mengikuti irama pergumulan yang memuaskan dimensi hedonistis dan oportunistis mereka meski target pemuasan keserakahan itu harus dilakukan dengan meminggirkan dan berusaha mematikan hukum dan etik profesinya. Perburuan tersebut dapat membuat mereka makin `piawai' dalam menggelar konspirasi kriminalisasi yang mendestruksi hak-hak publik, seperti ketenangan, kebersamaan, kesejahteraan, persaudaraan, dan kesatuan hidup berbangsa.

Hilangnya makna keberagaman itu, disebut John Dewey, dapat mengakibatkan manusia-manusia modern menjadi lebih dungu jika dibandingkan dengan manusia primitif dalam menaklukkan diri sendiri. Mereka berlaku seperti busa yang mudah dihempaskan badai kepentingan dunia. Boleh saja manusia modern itu pintar dan cerdas dalam langgam politik dan iptek. Namun bila aktivitas yang mereka kemas, meminjam kata sejarawan Ahmad Amin, sarat dengan `pembangkangan kebenaran' atau lekat dengan kejahatan dan pelanggaran hak rakyat, perilaku mereka tak lebih dari komunitas barbar Abu Lahab cs.

Deskripsi sosok itu cukup dapat terbaca lewat gelora berahi elite kekuasaan yang bergerak tanpa kendali, brutal, menghalalkan kejahatan, sarat kekejian, mengeksploitasi hak-hak sesama, mengabaikan keselamatan publik, menabur kezaliman, serta menghancurkan kredibilitas rakyat dan masa depan mereka.

Mereka itu juga tak mampu menjawab pertanyaan, “Fa aina tadzhabuun (mau apa dan ke mana sesungguhnya Anda hidup)?“ Mereka benar-benar dungu. Meminjam sindiran Allah dalam Alquran, “Wa maa yasy'uruun,“ mereka sungguh tak menyadari dan memahami bahwa Allah-lah yang seharusnya menjadi puncak penggembalaan dan tujuan hidup (QS Al-Baqarah: 9 & 13). ●

Hidup Tanpa Kemewahan

M Sobary ; Budayawan
Sumber : KOMPAS, 27 Juni 2012



Gagasan mengenai ”hidup tanpa kemewahan” di sini datang tidak dari kenangan akan ”hidup sederhana” yang sloganistik pada zaman Orde Baru.

Keduanya bukan pasangan, bukan pula padanan yang tepat. Hidup sederhana sudah gagal merespons kesenjangan sosial dan pembangunan ekonomi, bahkan tetap menghasilkan golongan elite ekonomi yang mewah dan golongan massa yang merana dalam kemiskinan tak berujung. Hingga sekarang!

Hidup sederhana dulu itu lebih merupakan sikap orang gugup menghadapi kegagalan mekanisme membagi ”kue” pembangunan secara adil. Orang lupa, jalan pintas yang dianggap bijaksana semacam itu terlalu moralistik dan karena itu tak operatif di lapangan. Jadi, membagi secara adil sudah gagal; pilihan politik yang dijadikan jalan keluarnya pun gagal.

Mungkin hal itu catatan penting: yang moralistik, yang tampak megah dan memuaskan hati belum tentu mampu menjawab—dan mungkin memang bukan jawaban—banyak urusan mendasar guna menata hidup kita sehari-hari secara damai dan manusiawi. Pendeknya, ini orientasi nilai yang bersifat serba lintas dan mengesampingkan banyak hal dalam hidup, yang tak membuahkan rasa damai dan sifat manusiawi tadi.

Damai di sini harus dipahami dalam konteks dinamika sosial politik sehari-hari yang kaya akan gejolak lautan kehidupan. Jadi, ia hasil karya manusia dan bukan damai surgawi yang filmnya belum pernah kita lihat. Jelas bahwa damai di sini fana, terbatas, dan tak mungkin sempurna.

Meski begitu, selama manusia tak peduli etnisitas, kebangsaan, dan agama seseorang bisa mene- rimanya dengan baik, itu sudah dianggap memadai. Saya kira, ini cocok dijadikan aspirasi kultural bagi bangsa kita saat ini. Fakta demografis, mungkin juga politis, tentang golongan minoritas yang bisa digertak setiap saat oleh siapa saja dan mayoritas yang selalu merasa memiliki hak istimewa tetap kita catat, tetapi kita lupakan secara bijaksana untuk membangun kehidupan yang damai dan manusiawi tadi. Diperlukan komandan lapangan yang melek siang-malam dan pegang cemeti.

Tanpa Pahlawan

Apakah cemeti tak kontradiktif dengan aspirasi tentang damai dan manusiawi tadi? Tunggu dulu. Cemeti itu kita anggap peneguh cita-cita bersama, bukan penghalang. Selama tak digunakan berlebihan, cemeti bukan cela karena jangan lupa: untuk jadi manusia di dalam dan melalui suatu struktur yang kita biarkan garang dan liar sangat tak mudah. Cemeti diperlukan setidaknya secara simbolis untuk mengurangi sifat garang dan liar itu.

Idealnya memang kelembutan doa-doa, tetapi hal itu hanya tepat untuk kehidupan para biarawan-biarawati yang sudah damai dengan diri mereka sendiri. Dalam kehidupan yang garang, cemeti merupakan ”bahasa” yang lebih dipahami untuk mengingatkan siapa saja yang cenderung ingin lebih berkuasa dan ingin menang sendiri. Bunyi ”cetar...” yang keras merupakan simbol penegas kepada siapa saja bahwa ”kau bukan penguasa”. Dan ”cetar...” lagi yang artinya sama: ”kau pun bukan penguasa”. Dan, komando tertinggi cukup satu orang.

Pemimpin, komandan tadi, melek dan bekerja. Dia tak memihak siapa-siapa, tetapi jelas tegas memihak nilai-nilai. Dia serius menjagokan kedamaian dan kemanusiaan di atas yang lain. Dalam banyak hal, dia bekerja mekanistis, tetapi dalam hal tertentu sangat manusiawi. Dia tak pernah menang, tetapi juga tak pernah kalah.

Dalam hidup yang teratur, yang ”damai” dalam ukuran yang disebut di atas, kalah-menang itu hanya ilusi. Seandainya pun bermakna, kalah-menang tetap bukan orientasi nilai yang kita perjuangkan dan bukan kiblat kehidupan yang kita tuju. Mungkin ini simbol Eropa, yang film-filmnya antihero atau tak dimaksudkan untuk menciptakan ”hero” karena Eropa mungkin tak lagi seremaja Amerika, yang mengutamakan otot Rambo dan sejenisnya untuk jadi pahlawan pujaan. Kita sebaiknya mulai belajar matang dari dalam dan mengutamakan kedamaian agar hidup ini, ya, hidup biasa: tanpa pahlawan.

Masyarakat sebaiknya terdiri atas orang biasa semua yang derajatnya sama luhurnya, sama mulianya, dan setiap pihak berkesalehan teruji: saleh di rumah ibadah, saleh pula di birokrasi dan jalanan liar tanpa tatanan dan tanpa komandan penata.

Dalam masyarakat yang rusuh saat ini, setiap orang, setiap kelompok—apa pun warnanya—diberi tempat di ruang publik secara adil. Dengan begitu, tak ada yang diistimewakan dan dieluelukan seolah-olah pahlawan bangsa serta tak ada yang dibiarkan terbuang. Gejolak sosial, di mana pun, selalu lahir dari kelalaian menata ruang publik yang akomodatif, adil, dan manusiawi tadi. Selama tak ada lagi pihak yang merasa dianggap atau diperlakukan sebagai forgotten allay, gejolak untuk tampil agar kelihatan menangan tak akan muncul.

Risiko politik dari keterbukaan memang edan-edanan. Forum ini forum itu, kelompok ini kelompok itu, aliansi ini aliansi itu bermunculan dengan semangat, seperti kuda lepas dari kandang. Kematangan dan kedewasaan lenyap ditelan hawa nafsu untuk menang atas yang lain. Kemampuan mawas diri—dan dalam hal tertentu perasaan malu—tak ada lagi. Setiap orang, setiap golongan ingin tampil sebagai pemenang.

Sangat banyak pihak yang mendesak-desak pihak lain menjadi pemimpin dengan dukungan palsu dari media dan ahli penata busana, penata cara berbicara, serta cara yang berpura-pura menaruh perhatian kepada pihak lain. Para pemimpin dan calon pemimpin beramai-ramai mengejar kepalsuan: pamor di media. Dan, pamor itu bersifat sepuhan. Tak peduli apa kelak jadinya, yang penting menang. Mereka tak menyadari, kemenangan sejati diukur dari kemampuan membikin rakyat naik ”takhta”, cukup sandang pangan, dan damai. ●

Menonton Liga Indonesia: Negara Gagal

Soegeng Sarjadi ; Ketua Soegeng Sarjadi Syndicate
Sumber : KOMPAS, 28 Juni 2012



Lihatlah pertandingan sepak bola liga Indonesia. Pemain dan pelatih asing bertebaran di klub-klub sepak bola di seluruh pelosok Tanah Air. Para penonton bersorak gembira, menabuh genderang, dan membeli tiket pertandingan.

Ada sinar kebahagiaan di mata mereka. Apakah Anda akan mengatakan bahwa situasi itu menandakan Indonesia di tepi jurang negara gagal?

Saya menyatakan: tidak. Itu respons spontan penulis ketika membaca berita bahwa Indonesia terancam menjadi negara gagal. Seandainya Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir masih hidup, saya yakin mereka juga pasti menolak penilaian tersebut. Indonesia dengan segala kekayaan peradaban, manusia, dan sumber daya alam adalah suatu kemauan yang tak pernah henti untuk menjadikan seluruh rakyat bahagia. Oleh sebab itu, mustahil Indonesia terperosok menjadi negara gagal.

Dengan demikian, turunnya peringkat Indonesia dalam Indeks Negara Gagal dari 64 menjadi 63 tahun ini sejatinya tidak bermakna apa-apa. Buktinya, perikehidupan warga masih berjalan tertib senapas dengan sendi- sendi kesepakatan dan aturan. Mereka masih membayar tiket pertandingan dan hiburan, jalan tol, serta pajak untuk menyebut beberapa contoh. Tidak ada situasi khaos yang mendebarkan.

Selain itu, praktik demokrasi juga berkembang, kebebasan pers terpelihara, ekonomi tumbuh relatif tinggi, produk domestik bruto bergerak pasti menuju angka 1.000 miliar dollar AS, dan pedagang kaki lima tetap belanja di pasar tradisional saban pagi. Merujuk pada realitas tersebut, tanpa mengabaikan beberapa masalah yang masih membelit seperti korupsi dan kemiskinan, Indonesia tampaknya lebih mengarah menjadi negara adidaya daripada negara gagal.

Ukuran Kebahagiaan

Bangunan optimisme publik bahwa Indonesia bisa menjadi negara adidaya adalah fondasi terpenting dalam struktur bangunan Indonesia masa kini dan masa depan. Fondasi jiwa dan etos kerja itu pernah ada pada era Sriwijaya dan Majapahit. Optimisme itu telah mengantarkan kedua kerajaan itu menjadi negara besar dengan pendapatan terendah rumah tangga sekitar 15 gantang padi sebulan. Kata Profesor Suhardi dari Universitas Gadjah Mada, nilai itu setara dengan Rp 10 juta sekarang.

Percikan kebesaran dan wibawa Nusantara itu, dalam batas- batas terkecil, kembali penulis rasakan ketika mengikuti perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri Pertemuan G-20 di Los Cabos, Meksiko, 18-19 Juni lalu. Banyak pemimpin dunia antre bisa bertemu Presiden SBY. Imbauan Indonesia agar krisis euro segera diselesaikan demi mencegah efek lanjut terjangannya ke Asia dan kenaikan harga minyak dunia mendapat sambutan luas. Semua itu mestinya bikin kita bahagia.

Ukuran kebahagiaan sebenarnya bukanlah ideal utopis bagi masyarakat. Ia bukanlah pencapaian sama rata sama rasa bagi setiap warga seperti yang sering didengungkan para ideolog. Namun, ia adalah kebahagiaan wong cilik yang bisa menikmati fasilitas umum yang manusiawi. Taman kota yang asri, air bersih, akses pendidikan, layanan kesehatan yang berkualitas dan adil, serta pengangkut umum yang aman dan nyaman.

Esensi pemenuhan fasilitas publik itu paralel dengan ekspresi kebahagiaan para penonton sepak bola liga Indonesia, terutama ketika pemain favorit mereka menjebol gawang lawan. Inilah yang tak disadari para politisi dan kelompok-kelompok strategis pada umumnya. Mereka tak pernah mengalkulasi bahwa ekspresi kebahagiaan seperti yang ditunjukkan para penonton tersebut adalah modal peradaban purba kita. Dengan ekspresi kebahagiaan itu, kita menjadi bangsa yang tahan banting.

Itulah salah satu argumen paling masuk akal untuk menjelaskan mengapa bangsa ini cepat bangkit setelah diterjang krisis dan bencana alam. Kebangkitan masyarakat Aceh dan Yogyakarta setelah diterjang tsunami dan gempa bumi mengagumkan dunia. Demikian juga dengan kelenturan Indonesia menata diri setelah badai krisis ekonomi paruh akhir 1990-an.

Logikanya, jika para penonton sepak bola liga Indonesia bisa merasa bahagia meskipun secara nasional prestasi sepak bola Republik tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan negara-negara lain, seharusnya bangsa ini otomatis merasa bangga karena Indonesia kini diakui dunia berkaitan dengan kemampuannya menjaga pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat kemiskinan rakyat, dan memupuk demokrasi menjadi kian matang. Dalam istilah lain, alih-alih menjadi negara gagal, Indonesia akan menjadi adidaya pada 2045.

Energi Purba

Energi purba berupa perasaan bahagia selalu saya rasakan setiap kali menyaksikan gol yang dihasilkan salah satu pemain liga. Tak peduli dia berasal dari klub apa. Energi itulah yang melahirkan optimisme. Dalam konteks ini, apabila ada pihak yang galau dan masih percaya bahwa Indonesia sekarang berada di tepi jurang negara gagal, bisa dipastikan orang tersebut tak pernah menonton pertandingan sepak bola liga Indonesia.

Akibatnya, ia tidak saja gagal menangkap ukuran kebahagiaan, optimisme, dan kelenturan bangsa, tetapi juga kesadaran terdalam kita bahwa Indonesia adalah sebuah cita-cita.

Krisis EURO oleh George Soros

George Soros ; Ketua Soros Fund Management dan Open Society Institute
Sumber : KORAN TEMPO, 25 Juni 2012



Jelas sudah sekarang bahwa penyebab utama krisis euro adalah diserahkannya oleh negara-negara anggota hak mencetak uang mereka kepada Bank Sentral Eropa (ECB). Mereka tidak memahami akibat penyerahan hak mereka itu--dan tidak juga otoritas-otoritas di negara-negara Eropa itu.

Ketika euro diluncurkan, lembaga-lembaga regulator membiarkan bank membeli tanpa batas obligasi-obligasi pemerintah yang tanpa menyisihkan sedikit pun modal saham, dan ECB memberikan diskon yang sama rata kepada semua obligasi pemerintah zona euro Eropa. Bank-bank umum memanfaatkan obligasi negara-negara yang lemah untuk memetik beberapa basis point yang menyebabkan suku bunga menyatu di seantero zona euro. Jerman, yang ketika itu sedang berjuang memikul beban reunifikasi, berhasil melakukan reformasi struktural dan menjadi lebih kompetitif. Negara-negara lainnya menikmati booming perumahan dan konsumsi dengan kredit yang murah sehingga membuat mereka tidak kompetitif.

Kemudian terjadilah anjlok pada 2008. Pemerintah di banyak negara terpaksa menyelamatkan bank-bank mereka dengan bailout. Beberapa di antara mereka akhirnya jatuh ke dalam posisi negara berkembang menanggung beban utang yang berat dalam mata uang yang tidak bisa mereka kontrol. Eropa, yang mencerminkan divergensi dalam bidang ekonomi, terpecah belah menjadi negara kreditor dan debitor.

Ketika pasar keuangan menyadari bahwa obligasi pemerintah yang katanya tidak berisiko itu bakal membuat mereka gagal bayar, mereka menaikkan premium risiko dengan dramatis. Ini menyebabkan bank-bank umum berpotensi bangkrut. Neraca mereka sarat akan obligasi-obligasi, sehingga melahirkan krisis kembar perbankan dan utang negara di Eropa.

Zona euro sekarang melakukan hal yang sama sebagaimana sistem keuangan global menangani krisis pada 1982 dan lagi pada 1997. Dalam kedua krisis, lembaga-lembaga otoritas menimpakan beban kepada negara-negara periphery (pinggiran) untuk melindungi negara-negara center (pusat). Sekarang, tanpa disadari, Jerman memainkan peran yang sama.

Perinciannya berbeda, tapi idenya sama: negara-negara kreditor Eropa menggeser seluruh beban penyesuaian ke pundak negara-negara pinggiran, sementara negara-negara pusat melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakseimbangan ini. Istilah "pusat" dan "pinggiran” perlahan-lahan, nyaris tanpa disadari, sudah masuk dalam bahasa sehari-hari. Namun, dalam krisis euro ini, tanggung jawab negara-negara pusat bahkan lebih besar daripada yang terjadi pada 1982 dan 1997. Negara-negara pusat itu merancang suatu sistem keuangan yang cacat dan gagal mengoreksi cacat itu. Pada 1980-an, Amerika Latin kehilangan peluang satu dekade: nasib serupa menanti Eropa.

Pada awal krisis, ambruknya euro Eropa tidak terpikirkan: aset dan liabilitas yang didenominasi dalam mata uang bersama begitu terkait satu sama lain, sehingga ambruknya euro Eropa ini bakal membawa meltdown yang tidak terkontrol. Tapi, sementara krisis berlanjut, sistem keuangan sudah semakin tertata ulang mengikuti garis-garis batas nasional suatu negara. Kecenderungan ini semakin kuat pada bulan-bulan terakhir ini. Operasi pendanaan jangka panjang yang dilakukan EBC telah memungkinkan bank-bank di Spanyol dan Italia membeli obligasi negara mereka sendiri dan memperoleh spread yang besar. Pada waktu yang sama, bank-bank memilih melepaskan aset mereka di luar batas negara, sementara manajer risiko mencoba mencocokkan aset dan liabilitas di dalam negeri, bukan di dalam zona euro secara keseluruhan.

Jika semua ini berlanjut selama beberapa tahun ke depan, ambruknya euro bisa terjadi tanpa meltdown, tapi bakal menyisakan klaim-klaim yang besar oleh negara-negara kreditor terhadap negara-negara debitor, yang sulit ditagih. Di samping transfer dan garansi antarpemerintah, klaim-klaim yang diajukan Bundesbank terhadap bank-bank sentral negara-negara pinggiran dalam sistem clearing target sudah mencapai 644 miliar euro (US$ 804 miliar) pada 30 April, dan jumlah ini meningkat secara eksponen akibat terjadinya pelarian modal.

Jadi krisis terus memburuk. Ketegangan dalam pasar keuangan telah mencapai titik baru yang tinggi. Yang paling mencolok adalah bahwa Inggris, yang berhasil mempertahankan kontrol atas mata uangnya, menikmati yield paling rendah, sementara risiko premium obligasi Spanyol juga mencapai tingkat baru yang tinggi.

Ekonomi riil zona euro terus merosot, sementara Jerman booming. Ini berarti bahwa divergensi makin lebar. Dinamika politik dan sosial juga bergerak menuju disintegrasi. Opini publik yang dinyatakan dalam hasil pemilihan umum baru-baru ini semakin menentang penghematan, dan kecenderungan ini mungkin berlanjut sampai kebijakan itu dihentikan. Ada yang harus berkorban.

Menurut penilaian saya, lembaga-lembaga otoritas punya peluang tiga bulan untuk mengoreksi kesalahan dan menghentikan kecenderungan yang terjadi saat ini. Ini memerlukan beberapa langkah kebijakan yang luar biasa, untuk mengembalikan kondisi lebih dekat ke titik normal, dan langkah-langkah ini harus sesuai dengan traktat-traktat yang ada sekarang, yang kemudian bisa direvisi dalam suasana yang lebih tenang guna mencegah terulangnya ketidakseimbangan.

Sulit, tapi bukan tidak mungkin, mengidentifikasi beberapa langkah luar biasa yang bakal memenuhi persyaratan-persyaratan yang keras ini. Ia harus serempak menangani masalah-masalah perbankan dan utang pemerintah tanpa meninggalkan upaya mengurangi divergensi dalam persaingan.

Zona euro perlu uni perbankan; suatu skema deposit-asuransi Eropa guna membendung pelarian modal, suatu sumber pendanaan rekapitalisasi bank di Eropa, serta supervisi dan regulasi seantero zona euro. Negara-negara yang memikul beban utang yang berat perlu keringanan dari biaya pendanaan mereka. Ada beberapa cara memberikan keringanan ini, tapi semuanya membutuhkan dukungan aktif Jerman.

Di sinilah letak rintangannya. Pejabat-pejabat pemerintah Jerman telah berusaha keras menyusun serangkaian usulan yang akan disampaikan menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa akhir Juni ini. Tapi tanda-tanda semua menunjukkan bahwa mereka cuma akan menawarkan usulan yang minimum yang bisa disepakati berbagai pihak--sekali lagi berarti cuma keringanan sementara.

Tapi kita berada pada titik infleksi. Krisis yang menimpa Yunani bisa jadi mencapai klimaksnya musim gugur ini, walaupun pemilihan umum menghasilkan pemerintah yang bersedia mematuhi kesepakatan pemerintah yang sekarang ini dengan negara-negara kreditornya. Tapi, ketika tiba saatnya, ekonomi Jerman juga bakal melemah, sehingga Kanselir Angela Merkel akan mengalami kesulitan yang lebih besar daripada sekarang, untuk membujuk publik Jerman menerima agar bersedia memikul tanggung jawab yang lebih besar.

Kecuali terjadinya kecelakaan, seperti bangkrutnya Lehman Brothers, Jerman mungkin akan melakukan sesuatu yang cukup untuk mempertahankan euro, tapi Uni Eropa akan menjadi sesuatu yang sangat berbeda dengan masyarakat terbuka yang pernah dengan gairah dibayangkan rakyatnya.

Perbedaan antara negara debitor dan negara kreditor bakal langgeng dengan Jerman, yang mendominasi, dan negara-negara pinggiran yang tertekan. Ini pasti membangkitkan kecurigaan mengenai peran Jerman di Eropa--tapi tidak pantas membandingkan Jerman masa ini dengan Jerman masa lalu. Situasi yang terjadi saat ini bukan karena rencana yang disengaja, tapi justru tidak adanya suatu rencana yang demikian. Ia merupakan tragedi salahnya kebijakan. Jerman merupakan demokrasi yang berjalan dengan baik dengan sebagian besar rakyatnya mendukung suatu masyarakat yang terbuka. Ketika rakyat menyadari konsekuensinya--kita berharap tidak terlambat--mereka ingin mengoreksi cacat rancang bangun euro itu.

Jelas apa yang diperlukan: suatu otoritas fiskal Eropa yang mampu dan bersedia mengurangi beban negara-negara pinggiran, serta suatu uni perbankan. Keringanan utang bisa mengambil berbagai bentuk selain dari Eurobond, dan disyaratkan pada keputusan negara-negara debitor pada kesatuan fiskal. Menarik semua atau sebagian keringanan bila tidak dipatuhinya kesepakatan merupakan proteksi yang kuat terhadap moral hazard. Terserah kepada Jerman untuk memenuhi tanggung jawab kepemimpinan yang dilimpahkan ke atas pundaknya karena keberhasilannya sendiri. ●

MEMANG SELALU BALOTELLI

Jumat dini hari,29 Juni 2012, Mario Balotelli menceploskan dua gol ke gawang Jerman sehingga Italia lolos ke final Euro 2012, menantang Spanyol. Jadi ingat kaliamt bijak "Yng lemah bagi dunia dipilih Allah untuk mempermalukan yang kuat" (Ini komentar saya sendiri,lho, bukan Anton Sanjoyo).

Detik, 29/06/2012 12:51 WIB MEMANG SELALU BALOTELLI
Kiev - Sosok Mario Balotelli memang tak pernah lepas dari sorotan. Saat memperkuat Manchester City, pemain berjuluk 'Super Mario' itu pun sampai harus bertanya: Why always me?

Sejumlah aksi kontroversial pernah diperbuat Balotelli saat di luar lapangan. Mulai dari kasus bermain kembang api di dalam rumah, hingga membagi-bagikan uang dengan menjadi Sinterklas di hari Natal.

Pun begitu, performanya di atas lapangan juga patut untuk mendapatkan pujian. Balotelli kerap mendapatkan sanjungan karena menjadi penentu kemenangan tim.

Contoh performa gemilang paling anyar dari Balotelli terjadi dalam laga semifinal Piala Eropa saat Italia melawan Jerman di National Stadium, Warsawa, Jumat (29/6/2012) dinihari WIB. Ia mengemas dua gol yang mangantarkan Gli Azzurri ke laga final usai memetik kemenangan tipis 2-1.

Gol pertama dikemas Balotelli melalui sundulan kepala, sementara satu lagi lewat tendangan akurat kaki kanan yang bersarang di pojok kiri gawang Die Mannschaft yang dikawal oleh Manuel Neuer.

Sumbangan dua gol pemain 21 tahun itu seakan menjadi tebusan di pertandingan sebelumnya saat Italia melawan Inggris. Sebabnya, ia tak bermain maksimal setelah membuang banyak peluang mencetak gol.

Atas penampilan ciamiknya itu, Balotelli menegaskan diri sebagai striker Italia paling tajam di Polandia-Ukraina dengan tiga gol yang sudah dia bikin.

Menengok pada selebarasi gol Balotelli laga derby Manchester antara Manchester City dan Manchester United di bulan Oktober tahun lalu, dia membuka jersey untuk menujukkan tulisan 'Why always me?'.

Atas pertanyaan itu, inilah jawaban dari pelatih timnas Italia, Cesare Prandelli.

"Balotelli sangat bagus seperti tim secara keseluruhan. Saya benar-benar membutuhkan tim yang mempunyai ide, dan Balotelli selalu memiliki itu," jelas Prandelli di situs resmi UEFA.

"Dia selalu ada, terus berlari di lapangan dan melaksanakan tugas dengan baik. Dia ada dalam pertandingan, dia sangat fokus, berkonsentrasi, dan melakukan seperti apa yang saya perintahkan kepadanya.

"Saya memilihnya karena saya melihat dia berjuang dan tidak mau mengambil resiko padanya. Saya bangga dengan pemain ini -- Saya tidak ingin semua ini menjadi tentang diri saya," tandasnya.

Catatan Anton Sanjoyo, Kompas Cetak 21 Juni 2012
KOMPAS.com - Mario Balotelli adalah manusia unik, perpaduan antara aset dan beban. Dengan temperamen yang mudah meledak, dia sering membuat masalah. Namun, di sisi lain, bakatnya yang hebat kerap membuatnya menjadi game winner. Situasi ini selalu membuat pelatihnya dalam posisi sulit.

Saat Pelatih Italia Cesare Prandelli memasukkan nama Mario Balotelli ke dalam skuadnya, banyak rekan sejawatnya yang mengingatkan, dia akan mendapat banyak masalah. Namun, Prandelli bukan tipe orang yang suka menghindari masalah. Baginya, Balotelli adalah tantangan besar, bagian dari ambisi tertingginya sebagai manajer. ”Saya menerima tantangan ini. Mario sendiri sudah berjanji untuk menjaga perilakunya,” ujar Prandelli.

Bersama Balotelli, Prandelli yakin dirinya tidak sedang berjudi atau mempertaruhkan tim ”Azzurri” yang datang ke Euro 2012 dengan kembali dibayangi kasus suap. Dia tampaknya belajar dari pengalaman koleganya, Roberto Mancini, Pelatih Manchester City, klub tempat Balotelli bernaung.

Mancini pernah berada dalam situasi paling sulit di sepanjang kariernya ketika mengalami serentetan masalah nonteknis akibat ulah Balotelli (dan Carlos Tevez) menjelang usainya Liga Inggris. Namun, dengan pengalamannya yang hebat, Mancini bahkan sukses mendorong Balotelli dan Tevez tampil maksimal untuk mengantarkan ”The Citizen” kembali jadi juara Inggris setelah 46 tahun.

Jelas, bagi Mancini maupun Prandelli, Balotelli adalah aset meskipun potensinya menjadi beban juga besar. Mancini paham benar situasi ini sehingga dia lebih banyak melakukan pendekatan pribadi kepada Balotelli yang sering membuat ulah.

Seperti kata Mancini, sebagai pemain, Balotelli punya segalanya untuk jadi pemain hebat. Inteligensinya yang di atas rata-rata membuatnya mampu melakukan manuver-manuver brilian, mencetak gol dan membawa timnya menang. Namun, perilakunya memang cenderung merusak dirinya sendiri. Kartu merah adalah hukuman yang cukup sering dia terima. Kelakuannya di luar lapangan lebih merepotkan lagi. Pers Italia menjulukinya ”pembuat ulah nomor wahid”.

Pada suatu kesempatan, Mancini pernah berujar, menjadi manajer Balotelli adalah pengalaman luar biasa. Bukan sebagai pelatih sepak bola, melainkan sebagai manusia.

Balotelli, 21 tahun, dilahirkan di Palermo. Orangtuanya adalah imigran Ghana, Thomas Barwuah dan Rose. Sejak lahir, Balotelli punya masalah dengan usus dan pencernaannya yang membuatnya harus mengalami beberapa kali operasi. Biaya kesehatannya yang mahal memaksa orangtuanya menyerahkan Balotelli kecil kepada departemen sosial untuk dicarikan keluarga yang mampu mengurus dan membiayai perawatannya.

Pada usia tiga tahun, Mario kecil diserahkan kepada keluarga Francesco dan Silvia Balotelli melalui penetapan pengadilan Brescia. Francesco dan Silvia yang mengetahui bakat sepak bolanya mendukung penuh mimpi Balotelli untuk menjadi bintang lapangan hijau.

Ketika menginjak remaja dan mulai tenar setelah dikontrak klub elite Internazionale, orangtua kandungnya meminta kembali hak pengasuhan. Ini membuat Balotelli kecewa dan menuduh Thomas dan Rose mau ”memeluknya” kembali saat dirinya sudah tenar. Kekecewaan Balotelli bertambah karena Francesco dan Silvia ternyata tidak ingin mengadopsinya secara penuh. Ini membuat Balotelli baru bisa punya kewarganegaraan Italia saat berusia 18 tahun.

Dibesarkan sebagai anak ”adopsi” dan merasa dibuang oleh orangtua kandungnya tampaknya sangat memengaruhi kejiwaan Balotelli. Hubungannya yang tidak harmonis dengan kedua orangtua angkatnya membuat perilaku Balotelli makin liar dan kerap bertingkah seperti anak kecil yang ingin mendapat perhatian dari orang sekitarnya.

Sama seperti Mancini, Prandelli menyadari benar potensi sekaligus risiko keberadaan Balotelli di dalam tim. Namun sepertinya Prandelli lebih percaya pada potensi sehingga memberikan Balotelli dua kesempatan menjadi starter saat Italia menghadapi Spanyol dan Kroasia. Penampilannya tidak terlalu menonjol meski punya kontribusi besar dalam strategi menyerang ”Azzurri”.

Pada laga penentuan melawan Irlandia, posisi Balotelli digantikan Antonio Di Natale, pemain yang mencetak gol saat melawan Spanyol. Balotelli gelisah di bangku cadangan, dan bahasa tubuhnya menunjukkan kemarahan luar biasa kepada Prandelli. Menit ke-74, Balotelli masuk menggantikan Di Natale dan, menjelang peluit akhir, pemain yang juga dijuluki ”The Magician” ini membuat gol akrobatik menawan. Meski ditarik kostumnya oleh John O’Shea sehingga kehilangan keseimbangan, Balotelli tetap bisa melakukan tendangan salto untuk menaklukkan kiper Shay Given.

Begitu mencetak gol, Balotelli terlihat mengeluarkan kata-kata dengan urat leher menegang. Bek Leonardo Bonucci yang paling dekat dengannya langsung memeluk pundak dengan satu tangan, sementara tangan lainnya membekap mulut Balotelli. Dalam pengakuan setelahnya, Bonucci mengatakan, tidak tahu persis apa yang dikatakan Balotelli karena diucapkan dalam bahasa Inggris.

Hingga kini apa yang dikatakan Balotelli masih misteri dan hanya dia sendiri serta Bonucci yang tahu. Tampaknya Bonucci melindungi Balotelli agar pemain temperamental itu tidak semakin liar mengumbar kata-kata kasar kepada Prandelli.

Prandelli tampaknya tahu Balotelli memaki dirinya, tetapi dia tidak menganggap hal itu sebagai masalah besar. Prandelli sejak awal sadar, menangani Balotelli adalah tantangan tersendiri. Impian suksesnya sebagai manusia, seperti kata Mancini. Barangkali, kalaupun Italia tak bisa jadi juara, Prandelli bisa dianggap sukses jika mampu mengendalikan ”si bengal” Balotelli.

Kompas 21 Juni 2012
Agen Mario Balotelli, Mino Raiola, mengungkapkan, kliennya berteriak marah kepada media, bukan kepada Pelatih Cesare Prandelli, ketika merayakan gol ke gawang Irlandia pada pertandingan ketiga (terakhir) Grup C Piala Eropa, di Poznan, Senin (18/6/2012).

"Mario tidak suka menjadi cadangan, tetapi kata-katanya jelas tidak ditujukan kepada Prandelli. Ia bereaksi terhadap kritik dan sangat kecewa kepada media yang menempatkannya dalam situasi sulit," ujar Raiola.

Melawan Irlandia, Balotelli masuk menggantikan Antonio Di Natale pada menit ke-74 dan mencetak gol pada menit ke-90. Pada dua pertandingan sebelumnya, melawan Kroasia dan Spanyol, ia bermain sebagai starter, tetapi tak mencetak gol.

Kegagalan Balotelli mencetak gol itu mendatangkan kritik dari media-media Italia dan, boleh jadi, itu yang membuat Prandelli mencadangkannya pada laga melawan Irlandia.

Dalam perayaan gol ke gawang Irlandia, Balotelli berteriak, tetapi belum selesai berkata-kata, Balotelli dibungkam oleh bek Leonardo Bonucci.

Tindakan Balotelli itu sempat dinilai sejumlah kalangan sebagai ungkapan kekesalan kepada Prandelli. Ada juga yang mengatakan, Balotelli marah kepada suporter Irlandia yang mencemoohnya.






Monday, June 25, 2012

KOLOM Tom Saptaatmaja:TUHAN di EURO, Tabloid BOLA 25-27 Juni 2012


Sepakbola sudah begitu  menarik ketika dimainkan di lapangan, sebagaimana hari-hari ini kita skasikan di Piala Eropa di Polandia dan Ukraina (8 Juni-1 Juli 2012). Orang yang menontonpun terpesona, bahkan kecanduan. Hebatnya, di luar lapangan, olahraga terpopuler sejagad ini tetap bisa menarik. Semisal ketika sepakbola ditarik ke wilayah lain di luar ranah bola, seperti ranah agama atau  teologi, segalanya  justru kian menarik.

Salah satu pemain yang banyak berbicara tentang Tuhan di Euro kali ini adalah Antonio Cassano. Pemain yang mencetak gol ke gawang Irlandia (19/6), sehingga Italia lolos ke perempat final, sungguh merasakan keajaiban Tuhan. Bahkan dia bisa ikut bermain membela negaranya, sudah keajaiban tersendiri. Maklum, pada Oktober 2011, ia terkapar sakit.  Pemain yang dulu dikenal bengal itu memiliki lubang kecil di jantungnya dan harus menjalani operasi.Setelah enam bulan istirahat, dia pesimis bisa tampil di Euro. Bahkan dia sempat depresi.Tapi apa yang semula serasa tidak mungkin, akhirnya menjadi mungkin.

Penjaga gawang Polandia Tyton yang bisa memblok tendangan penalti, saat negaranya melawan Yunani di partai pembuka Euro (8/6), juga mengaku bersyukur pada Tuhan. Giorgos Karagounis, pemain gelandang Timnas Yunani yang mencetak gol semata wayang saat melawan Rusia Minggu (17/6) berterima kasih kepada Tuhan karena mengizinkan Negeri Para Dewa  melaju ke perempat final.Pemain gaek ini rindu timnya bisa sukses seperti di Piala Eropa 2004, demi warga Yunani yang menderita akibat krisis utang.

Ketika 11 tato yang menghias badan Ibrahimovic disorot,  penyerang timnas Swedia itu  berkomentar: “Hanya Tuhan yang dapat menghakimi saya”. Masih banyak kisah lain dari para pemain bola di Euro terkait Tuhan.Terlalu banyak jika hendak disebutkan semua.

Apa yang dikakatan para pemain bola itu jadi bukti bahwa meski Eropa kini kian sekuler, terbukti di Euro kali ini, Tuhan tidak sungguh-sungguh dilupakan. Masih banyak doa dipanjatkan dan nama Tuhan masih kerap disebut oleh para suporter, ketika mendukung tim kesayangan.Masih banyak pemain atau pelatih  yang mengungkapkan keyakinan kepada Tuhan. Mereka berharap dengan bantuan Tuhan, tim yang dibela  akan menang.

Acuan

Dan bila kita membicarakan  kaitan bola dengan Tuhan, kita tidak boleh melupakan dua acuan. Pertama, kasus “Tangan Tuhan” dari Maradona ke Gawang Inggris  pada perempat final Piala Dunia 1986 di  Meksiko. Gol dari tangan itu terjadi, setelah Jorge Valdano mengirim umpan lambung pada menit ke 51. Inggrispun menangis. Anehnya, gol “curang” itu disebut gol Tangan Tuhan dan membuat publik Argentina atau pendukung timnas senang bukan kepalang.

Kedua, kata-kata  Louis van Gaal, ketika melatih  FC Bayer Muenchen  2010.Bukan karena pelatih asal Belanda itu berterimakasih pada Tuhan, tetapi dia justru berkoar:”Saya seperti Tuhan. Saya tidak pernah sakit dan selalu benar.” Ucapan tersebut  memicu polemik di semua media Jerman (5/11/2010).

Kalau sepakbola dan Tuhan suka dikait-kaitkan, sebenarnya tidak terlalu mengherankan.Apalagi dalam  perspektif Robert N. Bellah tentang “civil religion”, sepak bola adalah  sebuah agama. Tentu bukan agama dalam pengertian konvensional. Tapi suatu bentuk kepercayaan dan gugusan nilai dan praktik yang memiliki semacam "teologi" dan ritual tertentu yang di dalam realisasinya menunjukkan kemiripan dengan agama.

Menurut Erich Fromm dalam “Psychoanalysis and Religion(Yale University Press, 1950, hal 21), batasan agama adalah  “any sistem of thought and action shared by a group which gives the individual a frame of orientation and object of devotions” (suatu sistem pemikiran sekaligus tindakan dari sekelompok orang yang memberikan pada masing-masing anggotanya  kerangka orientasi dan obyek devosi). Jadi kalau yang dijadikan orientasi hidup adalah bola dan devosinya terkait bola, maka istilah agama bola bisa diterima.Dan dalam agama seperti ini, tentu tidak afdol jika nama Tuhan tidak disebut.

Pemersatu Umat Manusia

Yang menarik, menurut filsafat perenialisme, satu bola yang diperebutkan 22 pemain dalam setiap pertandingan bola sesungguhnya merupkan simbol Tuhan sendiri.Maka ke mana bola bergerak, ke situ pula para pemain mencoba mendekat.Satu bola itu sungguh menjadi fokus atau tujuan utama setiap pemain bola. Bukankah Tuhan juga menjadi fokus dan tujuan semua orang yang menyembahNya? Karena itu bola bisa menjadi perekat bagi seluruh umat manusia yang beranekaragam, tapi diciptakan oleh satu Pencipta yang sama.

Legenda Jerman Franz Beckenbauer yang kini dikenal makin relijius bertutur bahwa sepak bola aladah salah satu jenis olahraga yang paling menampakkan kehadiran Tuhan, meskipun sepakbola dimainkan oleh manusia.Oleh karenanya sepakbola menjadi cabang olahraga yang mengajarkan banyak nilai kemanusian, seperti kerjasama, kepedulian, solidaritas.Itu kalau kita mampu menggali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya..

Namun di atas semuanya, Karol Józef Wojtyła, bekas penjaga gawang di klub Cracovia Polandia, lalu dikenal dunia sebagai Paus Yohannes Paulus II (almarhum) pernah mengingatkan, sepakbola tidak dimainkan oleh para malaikat, tetapi oleh manusia. Maka sepak bola  tetap memiliki sisi buruk. Kita sudah melihat  rasisme dan kekerasan antar suporter masih terjadi di Euro. Sisi buruk itu harus dilawan dengan berbagai upaya bersama sehingga sepakbola, sebagaimana dimainkan di ajang Euro sungguh menjadi perekat atau pemersatu umat manusia.

 Teolog dan Pemerhati Sepak Bola, Tinggal di Surabaya

Kolom Franz Beckenbauer Ini Piala Eropa, Semua Bisa Terjadi

KOMPAS.com - Beberapa pakar beranggapan, Piala Eropa lebih hebat dibandingkan Piala Dunia. Hal itu bukan karena tim yang berlaga lebih elite, tetapi karena penyebaran tim dalam empat grup menggambarkan satu atau dua favorit hampir dapat dipastikan tidak dapat melaju ke perempat final.

Kali ini, Jerman di Grup B, bersama Belanda dan Portugal, dalam kondisi sulit. Jerman yang selalu disorot dan Spanyol, sang juara dunia dan juara Eropa, pasti sangat diunggulkan. Begitu pula Belanda yang menjadi finalis Piala Dunia dua tahun lalu.

Pelatih Jerman Joachim Loew harus dapat mengangkat nyali pemainnya yang asal Bayern Muenchen. Mengingat, pemain Bayern terpukul hebat akibat kekalahan adu penalti melawan Chelsea pada final Liga Champions di kandang sendiri.

Borussia Dortmund juga mengalahkan Bayern dengan skor telak 5-2 pada final Piala Jerman dan kekalahan lainnya saat mengejar titel Bundesliga. Kekecewaan di laga domestik, hanya mampu menempati posisi kedua, ditambah kekalahan menyakitkan dari Chelsea, setelah lebih dulu unggul di Allianz Arena, Muenchen, sungguh kekalahan yang sangat buruk.

Saya tidak yakin, Philipp Lahm, Bastian Schweinsteiger, Thomas Mueller, Tony Kroos, Holger Badstuber, dan Jerome Boateng akan mudah melupakan kekalahan itu. Saya juga sedikit khawatir dengan penjaga gawang Manuel Neuer. Saya hanya berharap, Mezut Oezil dan Sami Khedira mampu menularkan asa juara Liga Spanyol, Real Madrid (klub mereka), untuk mengangkat mental pemain Bayern saat dibutuhkan.

Tentang Belanda, pendapat pakar terbelah. Ada yang menyatakan, pemain Belanda sudah terlalu tua, sementara lainnya menyatakan terlalu menyerang. Namun sesungguhnya, Belanda ”mewah” karena punya dua penyerang tersubur di Liga Inggris dan Liga Jerman, Robin van Persie dan Klaas-Jan Huntelaar. Pelatih Bert van Marwijk juga dianggap ”melawan” tradisi Belanda dengan hanya memainkan dua penyerang.

Pemain sayap Bayern, Arjen Robben, akan terpacu untuk bermain bagus di bawah bendera negaranya setelah pengalaman pahit gagal mengeksekusi penalti di perpanjangan waktu final Liga Champions. Masih ada pula pemain lapangan tengah berpengalaman Mark van Bommel, mantan pemain Bayern yang kini sudah berusia 35 tahun.

Hanya saja, Jerman dan Belanda dapat tersandung oleh Portugal yang memiliki kekuatan ”segitiga Real Madrid”, Pepe, Fabio Coentrao, dan Cristiano Ronaldo. Ronaldo bukan hanya sangat berbahaya di lini depan, ditambah lagi, kehadiran pemain Manchester United, Nani, yang dapat menyumbangkan angka apabila mampu memotong dari arah kanan. Yang jelas, tim mana pun yang kalah dari Portugal akan tersingkir.

Adapun Denmark tidak dapat diprediksi kali ini. Pelatih Morten Olsen menyukai permainan umpan pendek dengan tradisi semangat menyerang.

Menilik tim yang lain, pertemuan pertama di Grup C antara Spanyol dan Italia akan menentukan siapa yang akan memimpin klasemen. Pelatih Spanyol Vicente del Bosque memiliki masalah yang sama seperti Joachim Loew di Jerman. Pemain bertahan hebatnya, termasuk pemain tengah Xavi dan Andres Iniesta, mengalami kemunduran di laga Liga Champions dan laga domestik. Sementara penyerang David Villa belum sembuh dari cedera. Beruntung, Fernando Llorente dan Fernando Torres mampu menjadi kompensasi menutupi kekurangan itu.

Sebaliknya, Italia di bawah pelatih baru Cesare Prandelli telah memiliki karakter permainan cepat dengan pemain muda di bawah bimbingan pemain veteran, seperti kiper berusia 34 tahun Gianluigi Buffon. Sayangnya, sepak bola Italia kembali digoyang skandal korupsi yang diyakini berdampak pada skuad nasionalnya. Itu persis seperti menjelang Piala Dunia 2006 yang akhirnya dimenangi Italia.

Kolom Sindhunata: Belanda Melawan Egoisme Diri

SEKARANG jaranglah kesempatan untuk menyaksikan sepak bola dalam formatnya yang paling murni. Namun, masih adakah memang format sepak bola demikian? Ada, kata Franz Beckenbauer, dan itu adalah pertandingan Jerman melawan Belanda.

Ketika sudah menjadi bisnis global, bola memang tidak seintens dulu mengungkapkan naluri-naluri persaingan primordial, ketegangan kultural dan historis, yang berada di luar bola tetapi selalu melekat pada bola. Namun begitu Belanda bertemu Jerman, naluri-naluri itu spontan menyerbu bola.

Lebih-lebih bagi pemain Belanda, betapa pun mereka berusaha untuk bermain seprofesional mungkin, kepala mereka tetap disergap pelbagai beban masa lalu di luar bola, seperti agresi dan kekejaman Nazi yang membuat mereka menderita. Perasaan minder terhadap Jerman sebagai negara tetangga yang mereka anggap arogan. Dan tentu saja, rasa jengkel yang tak pernah hilang ketika di final Piala Dunia 1974 Jerman jadi juara, sementara dengan total football-nya yang fantastis, mereka hanya jadi runner-up.

Kebencian terpendam itu terungkap misalnya dalam ulah kiper Belanda, Hans van Breukelen, ketika berhadapan dengan Jerman di perdelapan final Piala Dunia 1990. Ia mengumpat dan menuding Rudi Voeller. Karena kelakuannya itu, Van Breukelen dicap sebagai ”pembenci Jerman”. Belakangan ia mengakui kesalahannya terang- terangan. ”Seperti Rudi, kami pun ingin menang, dan itu kami kerjakan dengan segala cara. Ketika saya lihat kembali ulah saya di televisi, saya sungguh malu, dan itu saya sesali sampai sekarang,” kata Van Breukelen.

Memang Belanda lawan Jerman selalu menegangkan, juga dalam pertandingan malam nanti. Jerman waswas. Namun lebih dari Jerman, Belanda sungguh cemas. Maklum, di luar dugaan, mereka diempaskan Denmark 0-1 kendati mereka menggedor Denmark habis-habisan. Mereka sendiri seakan tak tahu, mengapa bisa kalah.

”Saya seperti mendarat dalam sebuah film yang buruk. Berulang kali kami mendapat peluang emas, toh kami tidak menang,” kata Arjen Robben. Robben gagal dan dituduh ”membawa nasib sial Bayern ke tim Belanda”. Maklum, sampai ke Piala Eropa 2012, Robben belum terlepas dari trauma kegagalan mengeksekusi penalti, hingga akhirnya Bayern kalah di final Liga Champions melawan Chelsea tahun ini.

Malam itu Belanda kelihatan bermain lebih baik daripada Denmark, tetapi kalah. ”Saya lebih suka menang walau bermain jelek,” kata Van Bommel jengkel.

Frustrasi dan kejengkelan di atas justru mengungkapkan problem dasariah yang selalu menyertai Belanda selama ini. Belanda mempunyai pemain-pemain hebat yang dapat melakukan segala-galanya, tetapi lebih- lebih dalam menyerang, mereka selalu sulit untuk menyatu. Maka benarlah tuduhan, pemain Belanda tak bisa melepaskan diri dari egoismenya, justru karena saking hebatnya mereka.

Di Bayern Muenchen, Robben juga dikenal egois dalam bermain. Dalam Piala Eropa kali ini, ia coba melepaskan diri dari hantu egoismenya. Ketika ia berada pada posisi yang amat tepat, dan seharusnya menceploskan sendiri bola ke gawang Denmark, ia malah mengumpankannya kepada Wesley Sneijder. Gagallah Belanda mencetak gol. ”Itu karena kepala saya dihinggapi tuduhan egoisme dan saya berusaha untuk bebas darinya,” kata Robben.

Ketika terus gagal, dan frustrasi makin memuncak, pemain Belanda makin terbekap egoisme mereka. Robin van Persie, Ibrahim Affellay, Sneijder, bahkan Van Bommel dan Robben berusaha menembakkan sendiri-sendiri bola ke gawang lawan tanpa berpikir bahwa rekannya mungkin lebih berpeluang untuk mencetak gol.

Kalau kekurangan tadi bisa dikalahkan, Belanda mungkin akan menang. ”Jerman mempunyai pemain-pemain hebat. Namun, jika dilihat melulu dari kualitas individual, kami lebih baik. Ya, tetapi bola adalah permainan kolektif. Jika kami dapat bermain kolektif malam ini, kami yakin dapat mengalahkan mereka,” kata Robben, pemain yang paling ditakuti oleh kapten Jerman, Phillips Lahm.

Pelatih Jerman Joachim Loew sendiri lebih senang bila Belanda tidak dikalahkan Denmark. ”Saya lebih suka Belanda dan Denmark bermain seri. Belanda adalah tim kuat dan mereka harus menang atas kami. Bagi mereka, sekarang adalah semuanya atau tidak sama sekali. Itu tentu tantangan yang berat buat kami,” kata Loew.

Loew patut waswas. Sebab, ketika menang 1-0 atas Portugal, anak-anaknya belum memperlihatkan kehebatan seperti yang didengung-dengungkan.

”Dalam bola hanya adanya tiang gawang saja yang tidak pernah kami perhitungkan,” begitu tulis harian A Bola di Portugal. Jelas, komentar itu meratapi nasib sial Portugal ketika tendangan Pepe dan Nani membentur gawang Jerman.

Jerman diuntungkan oleh nasib. Dan Belanda dirugikan oleh nasib pula. Jika itu memang benar, nanti malam, keduanya harus membuktikan bahwa nasib tidak boleh lagi menjadi penentu dalam bola. Mereka harus menunjukkan bahwa bola bisa mengatasi nasib.

EURO 2012, JPII DAN GEREJA KITA Oleh Tom Saptaatmaja


Mingguan HIDUP Katolik No 26, terbitan 24 Juni 2012

Perhelatan akbar Euro 2012  di Polandia dan Ukraina, 8 Juni hingga 1 Juli 2012, tengah menjadi pusat perhatian pecandu bola di dunia, termasuk di Tanah Air. Bahkan di beberapa paroki di Surabaya, juga digelar acara Nonton Bareng  Euro

Meski gereja bukanlah institusi bola, namun bidang olahraga, termasuk sepak bola  tak boleh disepelekan. Bidang ini bisa menjadi sarana mengupayakan hidup sehat, tidak terkena kegemukan, sekaligus bisa untuk pewartaan,  penanaman nilai-nilai sportivitas serta menjalin keakraban. Coba bayangkan, andai kata semakin banyak gembala atau umat yang kena obesitas dan rentan terkena penyakit mengingat tak pernah olahraga, lalu masing-masing tidak pernah akrab, pasti akan repot juga.

Belajar dari JPII

Nah bagaimana tepatnya perhatian, kepedulian dan cinta Gereja pada bidang olahraga mari kita belajar saja dari mendiang Paus Johannes Paulus II (Selanjutnya disingkat JPII).
Sosok pemilik nama asli Karol Józef Wojtyła itu bukan hanya putra terbaik Gereja di jamannya, tapi juga olahragawan sejati.  JP II pernah menjadi penjaga gawang di klub Cracovia semasa remaja. Dia juga atlet ski, perenang  dan pendaki gunung.

Bahkan dalam hajatan Euro 2012, mungkin JPI juga punya kontribusi secara tidak langsung.Menurut Lech Walesa, pemimpin seriakt buruh Solidaritas, kemudian Presiden Polandia (1990-1994), JPI adalah inspirasi bagi Polandia.Komunisme bisa tumbang,berkat spirit yang diberikannya pada bangsanya,sehingga Polandia bisa menjadi seperti sekarang dan mampu menjadi salah satu tuan rumah Euro bersama Ukraina.

Bukan hanya di Euro kontribusi JPII. Ada banyak  komentar tokoh olhhraga yang memandang JPII berkjontribusi besar untuk  olahraga. Misalnya, mantan Ketua Liga Italia Adriano Galliani memuji JPII sebagai “tokoh yang amat kompeten untuk bicara olahraga khususnya bola",  (European Fotball, 3 April 2005).

Pujian Galiani itu jelas bukan pujian kosong. Karena para tokoh dari berbagai  cabang olahraga memberi pujian serupa. Don King yang dijuluki Paus di dunia tinju saja mengakui hal itu. Tidak heran dalam pertandingan tinju di Worcester, Massachussetts yang bersamaan dengan tersiarnya kabar wafatnya JPII pada 2 April 2005, Don King meminta bel tinju dibunyikan sepuluh kali.

Usai GP Bahrein April 2005, pembalap Italia  Jarno Trulli, yang finis di urutan kedua mengenakan  sticker di helmnya  "Thank you, Pope."

Karena itulah JPII sungguh punya cinta yang aktif dan sungguh-sungguh akan dunia olahraga, bukan sekedar seorang teoritisi olehraga. George Weigel  salah satu penulis otobiografi JPII menyebut sosok asal Polandia itu sebagai "a terrific sportsman" karena dia sangat aktif bermain bola, ski dan pendaki gunung. Ketika menjadi pastor mahasiswa, dia tak segan-segan terjun di tengah lapangan atau mendaki gunung rame-rame. Bahkan di masa awal kepausannya  dia meminta dibangunkan kolam renang di kediaman musim panasnya di  Castel Gandolfo, karena dia memang suka berenang. Weigel juga menambahkan atletik menjadi cabang yang termasuk favorit bagi Paus.

Departemen Olah Raga di Vatikan

Bahkan sosok yang lahir dan wafat pada 18 Mei 1920 itu, semasa jadi Paus juga mendirikan Departemen Olehraga di Vatikan tahun 2004 lalu. Visi dari departemen itu memulihkan citra olahraga  sebagai salah satu sarana untuk mempromosikan keluhuran martabat manusia, bukan justru sebagai sarana yang merendahkan martabat manusia, seperti kasus rasisme, kasus doping dan tragedi Heysel 1985 yang menewaskan banyak penggemar Juventus atau Liverpool.

JP II memang yakin olahraga bisa memberi pengaruh besar bagi kemanusiaan, karena itu olahraga harus dijauhkan dari segala susuatu yang bisa merusak citranya. JPII  yakin hakikat olahraga yang sesungguhnya justru  mendorong terjadinya partisipasi, solidaritas  dan  sarana bagi  promosi perdamaian antar umat manusia, khususnya orang-orang muda. Untuk itu nilai sportivitas dan kejujuran harus menjadi pegangan. Ini seperti diungkapkan salah satu tokoh dari sepakbola Italia Franco Carraro  menyebut"John Paul II was the Pope that choose sport and all the values it represents, he was close to youth and was held in great affection. Sport is an instrument of participation and solidarity which allows people to come together and promote peace."(European Football, 3 April 2005).

Akhirnya petinju legendaries Muhammad Ali menyebut, pemakaman JPII   pada  8 April 2005 yang  dihadiri 200 pemimpin dunia dan sekitar 4 juta pelayat, lebih besar dari event olahrga manapun, termasuk final Piala Dunia atau Olimpiade sekalipun.Itu menjadi tanda JPII adalah atlet terhebat sepanjang segala abad.

Nah, kalau JPII sebagai Paus saja begitu peduli,  mengapa kita tidak?Mari bermain bola atau berolahraga apa saja, demi kesehatan jiwa dan raga kita.Syukur bisa  menorehkan prestasi, demi keharuman bangsa dan gereja, sebagaimana para bintang Euro kali ini.

*)Kolumnis Olah Raga di Tabloid BOLA (Kompas Gramedia Group) sejak 2005

EURO 2012 , UTANG YUNANI DAN KITA


Sinar Harapan, 23 Juni 2012
Restu Iska Anna Putri*)

Apa yang terjadi pada timnas Yunani di ajang Euro atau Piala Eropa 2012, berimbas di dunia politik. Sebagai juara Piala Eropa 2004, timnas Yunani semula diprediksi tersingkir lebih awal, mengingat  hasil di dua laga awal di Grup A yang tidak begitu menggembirakan. Yunani ditahan draw tuan rumah Polandia 1-1 pada laga perdana (8/6), kemudian dikalahkan Ceko 1-2 (13/6)

Namun pada partai ketiga yang menentukan melawan Rusia (17/6), Negeri Para Dewa itu membuat Rusia terluka dengan  menang 1-0 berkat gol Giorgios Karagounis. Berdasar aturan baru UEFA (khususnya head to head), Yunani akhirnya melaju ke babak perempat final, menantang juara Grup B Jerman.

Pemilu

Hasil yang menggembirakan di lapangan hijau itu rupanya berlanjut di lapangan politik. Sukacita kemenangan atas Rusia itu menjadi bekal bagi 9,8 juta rakyat Yunani untuk pergi ke berbagai tempat pemungutan suara (TPS) pada Minggu (17/6).

Pemilu kali ini memang menentukan masa depan Yunani apakah akan tetap atau keluar dari zona euro. Maka bagi banyak negara lain, ketegangan menanti  hasil  pemilu Yunani sama dengan ketegangan menonton tim favorit di ajang Euro. Maklum pemilu Yunani punya  implikasi yang besar terhadap zona euro dan kekhawatiran keluarnya Yunani dari negara-negara bermata uang tunggal (Graexit) akan memicu efek domino yang dahsyat. 

Meski ekonominya stabil, Jerman juga mulai kelimpungan karena ada cukup banyak kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di dalam negri. Syukurlah ada ajang Euro, mengingat di Jerman banyak industri yang diuntungkan. Misalnya perusahaan produk olahraga terbesar Jerman mampu mencetak keuntungan hingga 3 miliar dolar AS serta  mampu menyerap 50 ribu pekerja selama berlangsungnya Euro.Jadi soccernomics  bisa menyelmatkan Eropa dari krisis, paling tidak untuk sementara waktu.

Yang jadi pertanyaan banyak orang, mengapa krisis utang Yunani menimbulkan efek domino? Pasalnya utang Yunani menjadi  sumber pendapatan Italia. Dan ini diperlukan Negeri Pizza itu untuk membayar utang pada Spanyol. Dan pembayaran dari Italia diperlukan Spanyol untuk membayar kewajiban utangnya pada Jerman, negara yang ekonominya paling stabil di Uni Eropa.Jadi krisis utang Yunani membentuk lingkaran krisis yang menyeret negar-negara lain.

Bukan hanya di negara-negara zona Euro, krisis utang Eropa juga menjalar ke mana-mana, termasuk ke negri kita. Simak selama berhari-hari apa yang terjadi di Yunani atau krisis utang Eropa juga membuat mata uang Rupiah tertekan dan mendekati Rp 10.000 per 1 dollar AS.

Pasar Lega

Syukurlah akhirnya Partai New Democracy keluar sebagai pemenang pemilu Yunani. Kemenangan partai pendukung “bail out” atau dana talangan  ini sungguh melegakan pasar global, paling tidak untuk sementara waktu. Partai yang dipimpin oleh Antonio Samaras itu berhasil memenangkan pemilu di Yunani 17 Juni kemarin dengan suara 30 persen atau 130 kursi.Partai ini bersama partai Pasok yang juga pro Uni Eropa akan cukup membentuk koalisi yang mayoritas, dengan total kursi mencapai 163 dari 151 yang disyaratkan.

Beberapa saat sebelm pemilu, kepada BBC, Samaras menegaskan akan memimpin negerinya  keluar dari krisis keuangan dan tetap berada di zona euro. Dia menyatakan menerima kesepakatan mengenai utang Yunani,tetapi dia akan melakukan perundingan ulang dan mencari jalan keluar dari krisis.

Sebagaimana diketahui, meski perekonomian Yunani hanya berkontribusi 0,4% atas perekonomian dunia, namun krisis utang di negri itu mengancam banyak negara ke dalam krisis juga. Sekedar ”flashback”, krisis  mulai mengancam Yunani   pada kuartal kedua 2009 dengan kontraksi ekonomi 0,4 persen. Utang nasionalnya mencapai 350 miliar euro, lebih besar dibandingkan dengan penghasilan negara itu. ”Bailout” atau dana talangan tahap pertama sebesar  110 miliar euro pada pertengahan Mei 2010 belum cukup untuk menyelamatkan Yunani dari deraan krisis. Written-off (pemutihan hutang) Yunani yang diusulkanpun masih banyak dipertimbangkan dan belum menghasilkan keputusan berarti. Negara-negara zona Euro mendesak Yunani menerima  ”bail out” tahap II.Kita masih akan melihat, bagaimana strategi pemerintah Yunani yang baru di bawah Samaras dalam mencari jalan keluar.

Meski dunia masih menunggu sepak terjang pemerintah baru, namun berbagai pihak, termasuk Bank Indonesia  mengaku lega atas hasil pemilu Yunani. Pasalnya BI sudah menyiapkan antisipasi,bila Yunani keluar dari zona Euro. Dengan hasil pemilu seperti itu, berarti BI tak perlu terlalu pusing.

Namun, sebaiknya BI memang tetap meningkatkan pasokan valas di pasar sesuai dengan kebutuhan. Sebagaimana diketahui, krisis utang Eropa paling dirasakan tekanannya di pasar valas dan pasar keuangan kita. Ini terjadi karena posisi utang luar negri swasta Indonesia dari Eropa per April 2012 mencapai 21,6 miliar dollar AS dengan rincian utang berasal dari Belanda (57,3%), Inggris (10,7%), Jerman (6,4%) dan Prancis (2,5%).

Pesan Untuk Kita

Para penggemar filsafat di dunia, termasuk dari Indonesia amat menggemari pemikiran para filosof Yunani klasik seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Epicuros dsb.Nah, pemerintah kita juga perlu belajar tentang utang dan dampaknya. Krisis Yunani harus memberi  pelajaran pada kita.

Seperti diketahui, total utang pemerintah Indonesia hingga Mei 2012 mencapai Rp 1.944,14 triliun rupiah, naik Rp 140,65 triliun dari posisi di akhir tahun 2011 yang nilainya Rp 1.803,49 triliun rupiah. Konyolnya ada kabar  pemerintah berencana menambah utang dengan total hingga Rp 134 triliun untuk pembiayaan anggaran. Memang rasio utang kita  terus menurun.Tahun 2000, total utang kita  Rp 1.234,28 triliun dengan rasio 89% dan 2011 lalu, total utang jadi Rp 1.816,85 triliun  dengan rasio 28,2%.Jadi masih aman.

Meski demikian, kita perlu belajar hati-hati. Utang yang besar, pasti akan menjadi kendala untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil. Bunga yang besar, sebenarnya bisa dipakai untuk mengentas kemiskinan. Jadi perlu ada peninjauan terhadap kegemaran dalam berutang ini. Bila tidak perlu utang lagi, ya jangan berutang. Apalagi kesadaran betapa berbahayanya utang sering datang belakangan setelah nasi menjadi bubur, sebagaimana dialami Yunani.Kita berharap saja, pemerintah baru Yunani akan bisa menyelamatkan negri itu dari  krisis dan dunia, termasuk kita tidak terancam akan dampaknya.


*)Praktisi Keuangan dan Perbankan sekaligus Penggemar Bola di Balikpapan

EURO, KRISIS DAN IRASIONALITAS BOLA


Koran Tempo, Sabtu 23 Juni 2012
Restu Iska Anna Putri, Praktisi Keuangan-Perbankan dan  Bolamania di Balikpapan

Nyaris semua media memblow up perhelatan akbar Euro 2012 atau Piala Eropa yang digelar di Polandia dan Ukraina (8 Juni- 1 Juli 2012). Semua mata, khususnya pecandu bola rela memelototi satu pertandingan ke pertandingan lain, meski harus begadang atau melek malam hari.

Euro 2012 jelas  menjadi suguhan yang siap membebaskan kita dari rutinitas dan  banyak masalah pelik di dalam negri. Mari lupakan kisruh  dua PSSI di level atas persepakbolaan nasional serta fanatisme yang sampai merenggut nyawa di level bawah.  Sejenak gegap gempita perpolitikan kita yang kian memanas menjelang Pilpres-Pileg 2014, juga PilguB DKI terlupakan, karena Piala Eropa. Meski hanya menjadi penonton, serasa kita ikut bermain dan terlibat, tiap kali menonton di televisi.

Mengukir Sejarah

Dengan slogannya “Creating History Together”(“Mengukir Sejarah Bersama”), ajang Euro kali ini sudah mengukir. Sebab sejak digelar pertama kali pada 1960 di Prancis dengan Uni Soviet sebagai juara, ajang empat tahunan ini, digelar di Eropa Tengah dan Timur. Maklum, sebelumnya selalu diselenggarakan di Eropa Barat. Polandia dan Ukraina adalah dua negara yang dulu hidup dalam rezim komunis, tapi kini sudah menjadi negara kapitalis.

Lalu menurut otoritas sepak bola Eropa UEFA, Euro 2012 juga mencetak sejarah, mengingat untuk ketiga kalinya, dihelat bersama oleh dua negara yang saling berdekatan secara gografis. Seperti diketahui, Euro 2000 di Belanda dan Belgia, sedangkan  Euro 2008 di Swiss dan Austria.

Tak heran, Piala Eropa selalu ditunggu. Kini Piala Eropa mungkin hanya kalah bersaing dengan Piala Dunia, yang sudah digelar sejak 1930.Atau mungkin juga ada yang beropini, Euro malah lebih menarik daripada Piala Dunia. Pasalnya para pemain timnas negara yang bermain di ajang Euro, lahir dari liga-liga terbaik di dunia, entah liga Inggris, Spanyol, Italia atau Jerman.

Apalagi dari sisi peserta, jumlahnya juga semakin bertambah. Sejak 1960 hingga 1976, hanya empat negara yang tampil di putaran final setelah lolos dari babak kualifikasi.  Seiring dengan waktu, jumlah peserta putaran final meningkat menjadi delapan pada kurun 1980 hingga 1992. Dan jumlah peserta di putaran final meningkat menjadi 16 tim sejak 1996, sehingga makin meriah (Simak  logo Euro 2012).

Dengan maskotnya Slavek (Polandia) dan Slavko (Ukraina), diharapkan ajang Euro  2012 mampu menyedot lebih dari setengah juta penonton di 8 stadion di 8 kota, serta milyaran penonton tayangan langsung di televisi.

Yang heboh, dari sisi uang yang dibagikan ke 16 peserta, juga tak bisa disebut kecil. Union of European Football Association (UEFA) di bawah presiden Michel Platini menggelontorkan uang yang terbesar sejak 1960, yakni sebesar 196 juta euro atau setara dengan Rp 2,35 trililun. Coba bandingkan dengan dana pembangunan mega proyek untuk sport centre Hambalang sebesar  Rp 1,1175 triliun.

Adapun perinciannya, setiap peserta Euro entah kalah entah menang sudah dijatah 8 juta euro. Jika menang atau draw saja, kocek juga bertamabah. Bayangkan, untuk setiap kemenangan di penyisihan group mendapat 1 juta euro, draw setengah juta euro. Lolos ke perempat final dapat 2 juta euro, lolos ke semifinal dapat lagi 3 juta euro, sedangkan lolos jadi juara meraih 7,5 juta euro. Jadi jika perjalanan sebuah timnas dari babak penyisihan hingga final ada 6 pertandingan, maka total uang yang akan diraih sang kampiun Euro 2012 mencapai 23,5 juta euro arau Rp 282 miliar.

Krisis dan Irasionalitas

Yang mungkin tidak habis pikir bahwa perhelatan akbar Euro kali ini berlangsung di tengah krisis Eropa. Juara Piala Eropa 2008  Spanyol dan salah satu tim yang difavoritkan untuk jadi juara kali ini, tengah terbelit utang yang besar. Menurut laporan Barclays Capital, beban utang Spanyol akan anik dari level 68,5% pada 2011 menjadi 95% pada 2012.Italia, salah satu tim favorit juga di Euro, juga terancam mendapat dana talangan karena utangnya sudah mencapai 1,9 triliun euro.Kemarahan dan ketidakpuasan warga di negara-negara yang dilanda krisis seperti di Portugal dan Irlandia, kian membuncah di dalam dada.

Seperti diketahui akar dari krisis Eropa bermula dari kesalahan desain Uni Moneter Eropa (EMU) yang menggunakan euro sebagai alat tukar mulai 1 Januari 1999 bagi 17 negara anggota ditetapkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang didirikan tahun 1998. Mengingat  terikat pada satu mata uang euro, masing-masing negara anggota jelas tidak bisa  melakukan devaluasi eksternal dengan mengubah nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang asing.

Krisis Eropa  bermula dari Yunani.Yunani memasuki krisis  pada kuartal kedua 2009 dengan kontraksi ekonomi 0,4 persen. Utang nasionalnya mencapai 350 miliar euro, lebih besar dibandingkan dengan penghasilan negara itu. ”Bailout” atau dana talangan tahap I senilai 110-miliar euro pada pertengahan Mei 2010 belum cukup untuk menyelamatkan Yunani dari deraan krisis. Written-off (pemutihan hutang) Yunani yang diusulkanpun masih banyak dipertimbangkan dan belum menghasilkan keputusan berarti. Kini sudah disiapkan ”bail out” tahap II, namun situasi di Yunani masih serba tidak pasti. Salah satu ketidakpastian muncul dari hasil Pemilu 17 Juni 2012, yang mungkin saja  saja menghasilkan pemerintahan baru  yang akan keluar dari zona mata uang Euro.

Maka Uni Eropa terus menekan Yunani agar tetap berkomitmen pada  ”bail out” tahap II atau kelaur dari zona Euro. Bila pemerintah baru Yunani memutuskan  keluar dari  zona euro (Grexit),  efek dominonya akan mengancam kemana-mana. Simak saja dampak dari krisis Eropa sudah membuat ekspor Indonesia turun.

Tidak heran, jika krisis seperti itu membuat sebagian kalangan di Eropa, khususnya yang tidak begitu suka pada sepak bola, tampak sinis pada perhelatan sepak bola Euro. Mereka menilai sungguh tidak bermoral, berpesta di tengah krisis ekonomi.Namun Presiden UEFA Michel berpendapat bahwa sepak bola jangan dicampuradukkan dengan masalah politik dan ekonomi. Bola memiliki hukumnya sendiri, meski harus diakui sepak bola kadang memang irasional.

”Euro 2012 must go on”, tandas Platini, anak imigran asal Italia, yang membela Prancis dan juara pada Piala Eropa 1984.Sementara beberapa pemain dari negara-negara yang dilanda krisis hebat seperti Yunani, Irlandia, Portugal dan Spanyol malah berargumen bahwa Euro bisa menjadi ajang hiburan di tengah krisis.Memang bagi yang berjaya atau meraih kemenangan, apalagi sampai juara, pasti ajang Euro bisa menjadi obat penawar krisis. Tapi bila malah tersingkir atau kalah, termasuk di putaran pertama, sebagaimana dialami Irlandia, jelas rasa sakit akan bertambah pedih.



TAYANGAN EURO 2012 DAN TANTANGAN KITA


Sinar Harapan, Sabtu 16 Juni 2012
TAYANGAN EURO  2012 DAN  TANTANGAN  KITA
Endang Suryadinata, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

Perhelataan akbar Euro atau Piala Eropa 2012 (8 Juni s/d 1 Juli 2012) di Polandia dan Ukraina sedang menjadi perhatian publik dunia. Walau tidak ada timnas Indonesia yang bermain di ajang Euro, namun atmosfir Euro sungguh terasa di negri ini, berkat kebaikan RCTI. Jangan lupa, di banyak negara lain, bahkan di Eropa, nonton siaran langsung di televisi juga harus membayar (TV Per Game).

Bahkan di desa-desa pelosok dari Aceh hingga  Papua, semua membicarakan Euro. Di Pasuruan malah ada suatu kawasan yang memasang semua bendera dari 16 peserta Euro. Di Makasar juga ada satu kampung yang warganya memasang bendera para peserta Euro dan jalan kampong penuh dengan pernak pernik Euro.Di tempat kongkow di Surabaya seperti mal atau kafe, bukan hanya pria, tapi juga beberapa wanita lihai dalam menganilis Euro. Mereka juga sudah punya jago atau  tim favorit masing-masing. Ada yang menjagokan Spanyol, Italia, Belanda atau Prancis.

Bukan hanya mereka, tampaknya kalau kita temui setiap orang di jalan, sawah  atau di kantor, mereka tiba-tiba tampak ahli menjadi komentator bola, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita.

Memang Euro menjadi oase tersendiri di tengah dahaga bangsa ini akan prestasi bola yang tak kunjung tiba.Apalagi sepak bola kian remuk akibat kisruh dan terbelahnya kepengurusan PSSI. Namun, di tengah kondisi demikian, hadirlah siaran langsung Euro  yang menyenangkan dan menghibur sepanjang bulan ini.

Tantangan Kita

Meskipun kita masih hanya sebatas menjadi bangsa penonton, ada baiknya momentum Euro kita manfaatkan juga untuk berefleksi sebagai sebuah bangsa. Tentu kita tidak akan bangga bukan, jika hanya terus menerus menjadi bangsa yang hanya bisa menonton kebesaran bangsa-bangsa lain yang hebat dalam menorehkan prestasi bolanya? Ini jelas menjadi tantangan bagi kita yang sungguh peduli dengan keberlangsungan dan masa depan negri ini.Tantangan ini sebenarnya bisa dijawab lewat bola.

Apalagi sepak bola memang masih menjadi sarana paling efektif untuk merekatkan kita sebagai satu anak bangsa. Di tengah ancaman intoleransi dan kekerasan akibat beragam konflik yang bermotif SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) sepak bola, khususnya bila tim nasional kita bertanding, masih bisa menjadi kekuatan perekat atau pemersatu. Sepak bola memang menjadi ajang yang tepat untuk membangkitkan patriotisme dan nasionalisme bangsa.Sayang kisruh kepengurusan ganda PSSI, menjadi bukti sepak bola kita ternyata juga sudah menjadi korban dari kepentingan politik dan ekonomid ari segelintir elit di negri ini.

Memang umumnya para politisi, analis politik serta kolumnis bola di dunia sependapat bahwa sepakbola merupakan ajang terakhir nasionalisme, apalagi jika timnas yang ikut mewakili negara, bermain sebagaimana  16 timnas di ajang Euro 2012.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      
Sepakbola disebut sebagai benteng terkahir nasionalisme, hal ini tentu tidak lepas dari diskursus globalisasi. Meski sepakbola disebut sebagai bagian dari kapitalisme global, tapi nasionalisme yang muncul setiapkali timnas bermain melawan timnas negara lain, tidak bisa digempur oleh arus deras globalisasi. Ini memang terdengar seperti ada “contradicitio in terminis”.  Di satu sisi, sosiolog Richard Giulianatti dalam bukunya  “Sepakbola, Pesona Sihir Permainan Global”, menyebut sepakbola telah menjadi mesin-mesin kebudayaan massa dan menjadi bagian dari budaya pop global.Tapi di sisi lain, bisnis global yang sudah melabrak habis batas teritorial negara nasional tidak bisa menundukkan nasionalisme.

Dan sejarah sudah memperlihatkan pada kita sekarang bahwa nasionalisme kita dahulu lahir dari konteks melawan kolonialisme. Maka kalau kita bicara bangkitnya nasionalisme, jangan pernah  melepaskannya dari konteks kita saat ini juga tengah menghadapi gempuran neoliberalisme atau korporatokrasi global. 

Ada yang mengatakan bahwa korporatokrasi global  adalah ibu dari segala macam binatang buas zaman ini. Mereka membangkitkan kerakusan yang bercokol dalam hati setiap orang dengan cara licik dan lihai lewat iklan. Inilah yang disebut konsumerisme, yaitu nafsu yang dibangkitkan dalam diri manusia untuk ingin memiliki, memakan, dan menghabiskan lebih banyak. Cara lain dari korporatokrasi ini adalah membodoh-bodohi. Sering kali “pasar bebas” dan “persaingan bebas” dipaksakan kepada negara-negara miskin! Seperti Indonesia yang dipaksa membuka pasarnya atas nama “pasar bebas” dan “persaingan bebas”.

Sudah banyak bukti betapa kongkalikong kapitalis global dan kapitalis lokal sungguh mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan luar biasa.Konyolnya sebagain elit negri ini yang punya kaitan dengan korporatokrasi justru tega hanya mencari untung untuk diri mereka sendiri sambil menjajah sesama anak bangsa.

Ini bisa terlihat dari kasus Papua yang terus menyuguhkan kekerasan akhir-akhir ini.Atau kasus pencaplokan tanah adat dan terpinggirnya suku-suku asli yang menggantungkan diri pada hutan, yang kini kian dieksplotasi demi kepentingan investasi, khususnya tambang. Memang dalam menghadapi korporasi atau korporatokrasi global, masyarakat kita sama sekali tidak terlindungi (Kompas 13/6/2012, hal 12).

Keunggulan Kompetitif

 Jelas kondisi tak terlindungi itu tak bisa dibiarkan. Kita perlu mencari jalan keluar.Nasionalisme yang kompetitif, mungkin bisa menjadi alternatif atau jalan keluar  menghadapi gempuran  korporatokrasi selalu aktual dan tidak pernah basi. Jika keunggulan kompetitif ini tidak pernah terbentuk, selama itu pula kita tidak akan pernah diperhitungkan di percaturan dunia.

Namun bila  kita punya keunggulan kompetitif, pasti kita masih bisa berkelit, merespons keadaan dan setiap perubahan dengan bijak atau berbuat sesuatu untuk kemandirian dan keberlangsungan negri ini.Tidak boleh terus menerus menjadi bangsa penonton.

SHOW EURO 2012 DAN KRISIS EURO, Jawa Pos, Senin 11 Juni 2012


Restu Iska Anna Putri*)

“Football is business and business is money “(Rinus Michels,1928-2005)

Itulah adagium yang dilontarkan pelatih asal Belanda Rinus Michels yang sukses menggondol banyak piala, di antaranya Piala Eropa untuk Belanda (1988). Adagium itu terasa kebenarannya, di era industri sepak bola dewasa ini.

Bahkan adagium itu relevan sekali dengan Euro 2012 kali ini. Lepas dari beragam kepentingan politik, adu gengsi atau motif lainnya, Euro merupakan ajang yang menyita dan menjanjikan banyak uang, khususnya bagi 16 negara peserta dan tentu saja bagi sang calon juara.

Bagi dua tuan rumah, uang untuk menghelat Euro jelas besar. Meski Polandia dan Ukraina masuk kategori ”developing country” (negara berkembang), mereka pasti tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan, sejak ditunjuk sebagai tuan rumah oleh Union of European Football Association (UEFA) pada 18 April 2007.

Dan kepercayaan  membutuhkan uang. Ukraina menggelontorkan anggaran USD 25 milyar (Rp 225 triliun)  untuk membangun infrastruktur, seperti 4 stadion dan berbagai fasilitas pendukung.Sedangkan Polandia mengeluarkan USD 10,3 miliar (Rp 90 triliun).

Untuk insentif bagi 16 peserta dan juara Euro, UEFA di bawah presiden Michel Platini juga menyiapkan uang kompensasi menggiurkan, yakni sebesar 196 juta euro atau setara dengan Rp 2,35 trililun. Coba bandingkan dengan dana pembangunan mega proyek untuk sport centre Hambalang sebesar  Rp 1,1175 triliun.

Adapun distribusi untuk masing-masing peserta dan juara Euro sebagai berikut : untuk setiap peserta mendapat 8 juta euro. Lalu, setiap kemenangan di penyisihan group mendapat 1 juta euro, draw setengah juta euro. Lolos ke perempat final dapat 2 juta euro, lolos ke semifinal dapat lagi 3 juta euro, sedangkan lolos jadi juara meraih 7,5 juta euro. Jadi jika perjalanan sebuah timnas dari babak penyisihan hingga final ada 6 pertandingan, maka total uang yang akan diraih sang kampiun Euro 2012 mencapai 23,5 juta euro arau Rp 282 miliar.

Jumlah insentif sebesar itu bisa ditutup dari  beragam sponsor, tiket penonton, tayangan televisi dan internet. Bahkan panitia masih bisa untung besar. Bayangkan, hampir 90% Piala Eropa 2008 sudah menjadi sponsor Euro 2012. Belum lagi sejumlah brand global yang sudah menandatangani kontrak sponsorhip. Sedangkan untuk tiket, dalam perhelatannya yang ke-13 ini, panitia Euro menyediakan setidaknya 1,4 juta tiket untuk 31 pertandingan. Harga tiket Euro 2012 yang dibagi dalam tiga kategori. Harga tiket yang paling murah berkisar antara 30 euro atau sekitar 370 ribu rupiah. Sedangkan tiket termahal adalah 600 euro atau Rp 4, 45 juta.

Kita juga belum menghitung di sektor merchandising atau broadcasting dsb yang perputaran uangnya pasti tidak kecil.

Indonesia termasuk beruntung, karena kita bisa menikmati tayangan langsung gratis di televisi. Di banyak negara, termasuk di Eropa sendiri,  setiap penonton siaran langsung, juga harus keluar kocek sendiri Begitulah sepak bola Eropa sudah menjadi bisnis yang menggiurkan dengan perputaran uang yang luar biasa besar.

Krisis Utang dan Uang Eropa

Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana perputaran uang besar itu masih berjalan di tengah krisis utang di Eropa hari-hari ini? Pertanyaan inilah yang mendorong sebagian kalangan di Eropa melakukan protes. Mereka menilai Euro 2012 sebagai ajang pamer uang dan kekayaan yang tidak bermoral di tengah kondisi krisis utang yang terparah dalam sejarah Eropa.Bahkan krisis utang ini sekarang sudah menjalar menjadi krisis politik yang pelik.Jerman misalnya sedang menjaga jarak dengan Ukraina.Kanselir Jerman Angela Merkel tidak akan datang ke Ukraina, bahkan ketika timnas Jerman bermain.

Krisis terjadi karena kesalahan desain Uni Moneter Eropa (EMU) yang menggunakan euro sebagai alat tukar mulai 1 Januari 1999 bagi 17 negara anggota ditetapkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang didirikan tahun 1998. Mengingat  terikat pada satu mata uang euro, masing-masing negara anggota jelas tidak bisa  melakukan devaluasi eksternal dengan mengubah nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang asing.Krisis ini bermula dari Yunani yang terjerat banyak utang, sebagaimana dialami Spanyol, Portugal dan  Italia. Krisis makin pelik, karena Yunani mencoba keluar dari EMU dan memakai mata uang lamanya ”drachma”. Rencana keluarnya Yunani dari zona euro (Grexit) akan menimbulkan banyak efek domino.

Simak saja krisis Eropa kini mulai menjalar ke negri kita. Ini terlihat pada transaksi barang dan jasa ataupun lalu lintas modal dalam neraca pembayaran kita, baik langsung maupun tak langsung, lewat mitra dagang, seperti India dan Tiongkok.Rupiah kita juga tertekan.Ekspor kita merosot, sedangkan impor terus melonjak.

Namun Presiden UEFA Michel Platini menegaskan ”Euro 2012 must go on”, sebab sepak bola adalah sepak bola. Krisis ekonomi atau utang Eropa tanggungjawab para pemimpin negara, bukan tanggung jawab UEFA. Sebagian dari kita mungkin sangat  setuju dengan Platini. Bila terus memikirkan krisis, kapan kita akan bisa menghibur diri? Euro 2012, ajang yang jelas menyuguhkan hiburan segar di tengah krisis dan masalah  apapun.

*)Praktisi Keuangan dan Perbankan sekaligus Penggemar Bola di Balikpapan