Thursday, July 12, 2012

MENGAPA ORANG YAHUDI PINTAR?


Tanpa bermaksud untuk mendramatisasi tentang orang Israel dan atau
orang Yahudi, saya ingin berbagi informasi yang saya peroleh dari
membaca terjemahan H. Maaruf Bin Hj Abdul Kadir (guru besar
berkebangsaan Malaysia) dari Universitas Massachuset USA tentang
penelitian yang dilakukan oleh DR.Stephen Carr Leon. Penelitian DR
Leon ini adalah tentang pengembangan kualitas hidup orang Israel atau
orang Yahudi.

Mengapa Orang Yahudi, rata-rata pintar ? Studi yang dilakukan
mendapatkan fakta-fakta sebagai berikut:

Ternyata, bila seorang Yahudi Hamil, maka sang ibu segera saja
meningkatkan aktvitasnya membaca, menyanyi dan bermain piano serta
mendengarkan musik klasik. Tidak itu saja, mereka juga segera memulai
untuk mempelajari matematika lebih intensif dan juga membeli lebih
banyak lagi buku tentang matematika. mempelajarinya, dan bila ada
yang tidak diketahui dengan baik, mereka tidak segan-segan untuk datang
ke orang lain yang tahu matematika untuk mempelajarinya. Semua itu
dilakukannya untuk anaknya yang masih didalam
kandungan.

Setelah anak lahir, bagi sang ibu yang menyususi bayinya itu, mereka
memilih lebih banyak makan kacang, korma dan susu. Siang hari, makan
roti dengan ikan yang tanpa kepala serta salad. Daging ikan dianggap
bagus untuk otak dan kepala ikan harus dihindari karena mengandung zat
kimia yang tidak baik untuk pertumbuhan otak si anak. Disamping itu
sang ibu diharuskan banyak makan minyak ikan (code oil lever).

Menu diatur sedemikian rupa sehingga didominasi oleh ikan. Bila ada
daging, mereka tidak akan makan daging bersama-sama dengan ikan,karena
mereka percaya dengan makan ikan dengan daging hasilnya tidak bagus
untuk pertumbuhan. Makan ikan seyogyanya hanya makan ikan saja, bila
makan daging , hanya makan daging saja, tidak dicampur. Makan pun,
mereka mendahulukan makan buah-buahan baru makan roti atau
nasi. Makan nasi dulu baru kemudian makan buah, dipercaya akan
hanya membuat ngantuk
dan malas berkerja.

Yang istimewa lagi adalah : Di Isarel, merokok itu tabu ! Mereka
memiliki hasil penelitian dari ahli peneliti tentang Genetika dan
DNA yang meyakinkan bahwa nekotin akan merusak sel utama yang ada di
otak manusia yang dampaknya tidak hanya kepada si perokok akan tetapi
juga akan mempengaruhi "gen" atau keturunannya. Pengaruh yang utama
adalah dapat membuat orang dan keturunannya menjadi "bodoh" atau
"dungu".

Kalau kita perhatikan, penghasil rokok terbesar di dunia ini adalah
orang Yahudi! Tetapi yang merokok , bukan orang Yahudi.

Anak-anak, selalu diprioritaskan untuk makan buah dulu baru makan
nasi atau roti dan juga tidak boleh lupa untuk minum pil minyak
ikan. Mereka juga harus pandai bahasa , minimum 3 bahasa harus
dikuasainya yaitu Hebrew, Arab dan bahasa Inggris. Anak-anak juga
diwajibkan dan dilatih piano dan biola. Dua instrument ini
dipercaya
dapat sangat efektif meningkatkan IQ mereka. Irama musik terutama
musik klasik dapat menstimulasi sel otak. Sebagian besar dari musikus
genius dunia adalah orang Yahudi.

Satu dari 6 anak Yahudi, diajarkan matematik dengan konsep yang
berkait langsung dengan bisnis dan perdagangan. Ternyata salah satu
syarat untuk lulus dari Perguruan Tinggi bagi yang Majoring nya Bisnis,
adalah, dalam tahun terakhir, dalam satu kelompok mahasiswa (terdiri
dari 10 orang), harus menjalankan perusahaan. Mereka hanya dapat
lulus setelah perusahaannya mendapat untung 1 juta US Dollar. Itulah
sebabnya, maka lebih dari 50 % perdagangan di dunia dikuasai oleh orang
Yahudi.

Design "Levis" terakhir diciptakan oleh satu Universitas di Israel,
fakultas "business and fashion".

Olah raga untuk anak-anak, diutamakan adalah Menembak, Memanah dan
Lari. Menembak dan Memanah, akan membentuk otak
cemerlang yang mudah
untuk "fokus" dalam berpikir !

Di New York, ada pusat Yahudi yang mengembangkan berbagai kiat
berbisnis kelas dunia. Disini terdapat banyak sekali kegiatan yang
mendalami segi-segi bisnis sampai kepada aspek-aspek yang
mempengaruhinya. Dalam arti mempelajari aspek bisnis yang berkaitan
juga dengan budaya bangsa pangsa pasar mereka. Pendalaman yang bergiat
nyaris seperti laboratorium, "research and development" khusus
perdagangan dan bisnis ini dibiayai oleh para konglomerat Yahudi.

Tidak mengherankan bila kemudian kita melihat keberhasilan orang
Yahudi seperti terlihat pada : Starbuck, Dell Computer, Cocacola,
DKNY, Oracle. pusat film Hollywood, Levis dan Dunkin Donat.

Khusus tentang rokok, negara yang mengikuti jejak Israel adalah
Singapura. Di Singapura para perokok diberlakukan sebagai warga
negara kelas dua. Semua yang berhubungan dengan perokok
akan dipersulit oleh pemerintahnya. Harga rokok 1 pak di Singapura adalah
7 US Dollar, bandingkan dengan di Indonesia yang hanya berharga 70 sen
US Dollar. Pemerintah Singapura menganut apa yang telah dilakukan
oleh peneliti Israel , bahwa nekotin hanya akan menghasilkan generasai
yang "Bodoh" dan "Dungu".

Percaya atau tidak, tentunya terserah kita semua. Namun kenyataan yang
ada terlihat bahwa memang banyak sekali orang yahudi yang
pintar! Tinggal, pertanyaannya adalah, apakah kepintarannya itu banyak
manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup umat manusia secara
keseluruhan.

Wednesday, July 11, 2012

Inilah Pesan Rahasia Da Vinci yang Terkubur 400 Tahun Republika – Sel, 13 Mar 2012


REPUBLIKA.CO.ID, FLORENSIA -- Para arkeolog menemukan sebuah pesan rahasia  yang tersembunyi dalam sebuah lukisan Leonardo da Vinci. Pesan itu terungkap di balik dinding Vechio Palazzo, sebuah istana kuno di Florensia yang berdiri sejak 1300-an.

Pesan rahasia itu bertuliskan 'carilah dan kamu akan menemukan' (Cerca trova) pada sebuah lukisan mural di dinding karya Da Vinci. Menurut Dailymail.co.uk, Selasa, (13/3), para peneliti ternyata mengungkapkan pesan rahasia tersebut merujuk pada sebuah karya Da Vinci yang telah hilang sejak 400 tahun yang lalu.

Sebuah kamera mini endoskopi dimasukkan ke dalam bagian dinding di Vechio Palazzo, dan memperoleh sampel dari pigmen kimia yang Da Vinci juga digunakan dalam lukisan Mona Lisa. Lukisan Mona Lisa dianggap salah satu karya Da Vinci yang paling fenomenal, yang diasumsikan telah hancur oleh api pada abad ke-16.

Penemuan ini membuat peneliti percaya bahwa mungkin berbagai karya Da Vinci yang fenomenal telah sengaja disembunyikan oleh pelukis lain. Para arkeolog mulai menyelidiki  mural di Vechio Palazzo setelah seorang arkeolog menemukan kata-kata, 'Cerca trova'.

"Data-data yang ditemukan ini sangat menggembirakan," kata Peneliti dari National Geographic, Maurizio Seracini. Meskipun Ilmuwan masih dalam tahap awal penelitian, dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memecahkan misteri ini.

Pada 1503, Da Vinci ditugaskan oleh Gonfaloniere Piero Soderini melukis 'Pertempuran Anghiari' di Aula 500 dari Palazzo Vecchio, pusat pemerintahan di Florence.

Lukisan itu memperingati kemenangan 1440 dari pertempuran di dataran Anghiari antara Milan dan Liga Italia dipimpin oleh Republik Florence. Para Florentines hadir sebagai kekuatan penting di Italia tengah, mendominasi Kepausan dan politik Italia selama ratusan tahun.

Karya Leonardo Da Vinci sendiri sempat heboh dalam dunia perfilman, melalui film fiksi ilmiah yang berjudul Da Vinci Code. Film itu menceritakan bagaimana rahasia lukisan karya Da Vinci mengungkap tentang sosok Jesus dalam lukisan 'the Last Supper'nya.

Leonado Da Vinci adalah seniman sekaligus ilmuwan yang lahir pada 1452, zaman pencerahan (Renaissance) Eropa. Karyanya beserta karya ilmuwan zaman pencerahan lain, seperti Galileo Galilei banyak ditentang oleh pihak gereja pada saat itu yang menentang ilmu pengetahuan. Namun karena pendekatan ilmiah Da Vinci dengan menggunakan seni membuat dirinya lebih aman dibanding Galileo.

LIHAT: Galeri foto lukisan rahasia Leonardo da Vinci

Da Vinci Catatan Pinggir Goenawan Mohamad


Sepotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-15:

”…manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang berharap mendapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan yang baru selamanya... tak tahu bahwa dalam kerinduannya itulah terbawa kuman kematiannya sendiri.”

Sebuah pandangan hidup yang muram mungkin, tapi Da Vinci tak berhenti di situ. Baginya, kita tak harus menyesali, justru harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak pernah sampai. ”Kerinduan” itulah, kata Da Vinci, ”sifat dasar kehidupan,” dan ”Manusia adalah sebuah tauladan bagi dunia.”

Ya, pelukis Italia itu menyebut manusia sebagai ”tauladan”, sebagaimana laiknya seorang seniman zaman Renaissance. Dan ia menulis ”Manusia” dengan ”M”, bukan ”m”. Kita tahu abad ke-15 di Italia adalah abad narsisme: manusia memandang ke dunia, dan yang ia temukan wajahnya sendiri, makhluk yang mengagumkan.

Di zaman itulah teknik melukis dengan perspektif dikembangkan. Di kanvas, orang tak lagi menggambar gunung yang jauh terletak rapat dengan pohon yang dekat. Ruang disusun jadi stabil dengan ukuran yang pasti, berdasarkan posisi pandang sang pelukis. Dunia seakan-akan dihadirkan kembali (”re-presentasi” ), tapi sebenarnya dibentuk. Ia dikonstruksikan oleh sudut pandang si empunya mata. Manusialah yang mengendalikan costruzione legittima. Sejak itu, seni rupa tak lagi berpusat dalam Tuhan, melainkan dalam manusia. Manusia, dengan ”M”, adalah ukuran segala-galanya.

Itu juga pandangan Michel Angelo. Pelukis ini pernah menulis sepotong sajak; di dalamnya ia katakan bahwa Tuhan hanya menampakkan diri lewat ”cadarnya yang indah”, yakni manusia. Maka ketika Paus memesannya untuk menghiasi Kapela Sistina di Roma dengan satu karya fresko, ia gambarkan Tuhan di langit-langit bangunan itu dengan paras seorang tua yang gagah.

Kita bisa menyangka, di situ Michel Angelo (dan juga Sri Paus) lupa akan satu adegan dalam Alkitab, di hari ketika Musa dan Bani Israel datang ke kaki Gunung Sinai ”untuk menjumpai Allah”. Tapi gunung itu sepenuhnya ditutupi asap; Tuhan ”turun ke atasnya dalam api”. Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bunyi sangkakala terdengar, kian lama kian keras. Syahdan, Allah pun memanggil Musa ke puncak. Ia peringatkan agar manusia jangan coba menembus asap untuk mendapatkan dan melihat-Nya. Di saat itu juga turunlah firman: ”Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi bawah, atau yang ada di dalam air….”

Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang disembah. Tapi tak mudah firman Allah itu dipatuhi. Bahkan ketika Musa masih di puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan turun, Bani Israel membuat sebuah patung lembu emas yang mereka sembah sebagai pengganti Tuhan yang tak kunjung tampak. Tak ayal, Musa pun turun dan menjatuhkan hukuman yang mengerikan: mereka yang ”memihak kepada Tuhan” harus membunuh saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam Keluaran 32: 28: ”Pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu orang….”

Sejarah ikonoklasme—yang kelak akan dipraktekkan dengan garang ketika orang-orang Kristen dan Islam menghancurkan patung dan gambar sebagai berhala—mendapatkan momen dramatisnya di kaki Sinai hari itu.

Tapi apa sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan gambar, atau membuat berhala untuk disembah? Dalam sejarah Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis, tapi gambar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Michel Angelo dan Da Vinci tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usaha meniru sang sosok yang dilukis. Mereka tak diperlakukan sebagai re-presentasi, melainkan sebagai ekspresi.

Ekspresi itu tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu tempat. Apalagi di zaman ketika, seperti kata Leonardo, ”Manusia” hadir sebagai tauladan, juga dalam imajinasi.

Itu sebabnya ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana adegan Perjamuan Terakhir dalam Injil, ia—yang hidup beratus-ratus tahun setelah peristiwa di Yerusalem itu—menampilkan Al Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga Kardinal Mortaro sebagai model. Latar dan alam benda yang tergambar dengan tempera itu bertaut erat bukan dengan kemelaratan para rasul di Palestina, tapi dengan zaman Italia abad ke-15: gelas anggur, pisau, garpu, dan keramik cantik terletak di taplak meja yang bersulam. Semuanya mirip benda yang digunakan para penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lukisan itu muncul di dinding batu.

Memang ada ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan dalam kekinian—satu hal yang juga dilakukan oleh Emil Nolde, pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang melukis Perjamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah yang pedih, garis yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh tekad seperti dalam poster perjuangan buruh. Leonardo—yang melukis adegan Injil di biara itu bukan atas pesanan Gereja, melainkan penguasa Milano, Ludovico Sforza—tentu juga sadar bahwa karyanya hidup dalam zaman yang disebut Walter Benjamin sebagai masa ”pasca-aura”. Ia, yang juga seorang ilmuwan, tak hendak membuat berhala, tak ingin membuat aikon.

Beda antara berhala (l’idole) dan aikon (l’icône) seperti yang dipaparkan Jean-Luc Marion, filosof Katolik dari Prancis itu, pada dasarnya beda cara bersikap terhadap Tuhan. Berhala adalah ketika tatapan dan konsep manusia merasa mampu merumuskan-Nya. Aikon adalah peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya sebagai karunia cahaya yang demikian berlimpah, hingga manusia tak mampu melihat-Nya, dan yang terasa adalah gelap—ya, gelap yang gemilang.

Di situlah manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai. Leonardo telah mencatat hal itu pada suatu hari di abad ke-15.

Goenawan Mohamad

Monday, July 9, 2012

Kudeta Istana di Paraguay dan Masalah Negara

Ditulis oleh Pandu Jakasurya
Sumber dari www.militanindonesia.org (7 Juli 2012)

Kudeta istana telah terjadi di Paraguay. Sabtu, 23 Juni 2012, parlemen Paraguay menggulingkan Fernando Lugo, presiden yang terpilih secara demokratis. Parlemen yang didominasi oleh wakil-wakil oligarki Paraguay itu menilai bahwa Lugo telah gagal memenuhi kewajibannya dalam memelihara tertib sosial.

Khas adab dan fatsun burjuis, kudeta itu menempuh jalur yang konstitusional. Dasarnya “jelas.” Konstitusi Paraguay pasal 225 mengizinkan pemakzulan bila presiden dinilai menyalahgunakan jabatan atau melakukan kejahatan. Wakil-wakil oligarki menggunakan pasal itu pasca insiden berdarah konflik agraria 15 Juni, yang menewaskan 6 orang polisi dan 11 orang petani. Melalui pemungutan suara, parlemen menggulingkan Lugo dengan 39 suara pro dan 4 suara kontra. Benar-benar konstitusional!

Tapi justru di sinilah letak persoalannya. Bagi kita kaum Sosialis, “prosedur yang benar-benar konstitusional” hanyalah salah satu dari sekian banyak cara yang bisa digunakan burjuasi dan imperialis untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dalam kasus Lugo, mereka bisa menggunakan prosedur yang konstitusional. Ini kena-mengena dengan perimbangan kekuatan di parlemen. Tapi dalam kasus yang berbeda, mereka tidak segan-segan menggunakan cara yang lain – bahkan cara yang paling biadab sekalipun.

Tentu kita belum lupa percobaan-percobaan kudeta terhadap Rafael Correa di Ekuador, Evo Morales di Bolivia, Zelaya di Honduras, Chavez di Venezuela. Jauh sebelumnya, pada tahun 1973, percobaan kudeta oleh Jenderal Pinoche, dengan restu dan dukungan penuh imperialis AS, berhasil menggulingkan presiden kiri Salvador Allende. Untuk Indonesia, kita juga tidak lupa kudeta Jenderal Soeharto terhadap Presiden Sukarno, yang “merangkak” di antara mayat-mayat kaum buruh dan tani yang bergelimpangan serta hancurnya PKI dalam Teror Putih 1965-1966.

Menyusul penggulingan Lugo, anggota parlemen Carlos Maria menegaskan, “Tidak ada yang ilegal di sini, tidak ada yang inkonstitusional di sini, tidak ada kudeta.” Federico Franco, wapres sekaligus rival Lugo yang sekarang menduduki kursi kepresidenan, menandaskan,

“Situasinya tidak mudah. Saya menyadari komunitas internasional merasa tidak nyaman. Saya menyatakan dan kembali menegaskan: tidak ada kup di sini. Tidak ada keruntuhan institusional. Ini telah dilakukan sesuai dengan konstitusi dan undang-undang. Ini merupakan suatu situasi legal yang oleh konstitusi dan undang-undang negeri saya diizinkan untuk dilakukan guna melakukan perubahan-perubahan seturut tuntutan situasi. Apa yang dilakukan adalah suatu pengadilan politik yang sesuai dengan konstitusi dan undang-undang.”

Sebagai kaum Sosialis kita sama sekali tidak merasa heran dengan pernyataan dua wakil burjuis oligarkis Paraguay ini. Pasalnya, kita tahu bahwa yang legal dan yang konstitusional itu terbingkai dalam konstitusi, undang-undang, dan prosedur yang dirancang dan disahkan oleh wakil-wakil burjuasi yang bercokol di parlemen!

Bagi kita jelas, entah menggunakan prosedur yang konstitusional atau tidak, persoalan hakikinya adalah persoalan klas dan kekuasaan klas. Sebagaimana lama dikatakan Marx: Tidak ada klas penguasa manapun yang akan menyerahkan kekuasaannya kepada klas lain dengan sukarela. Apalagi, dalam kasus Paraguay, secara historis klas penguasa Paraguay telah menikmati privilese itu selama hampir tujuh dekade berturut-turut! “Berkat” partai kanan Colorado kaum kaya Paraguay dan korporasi-korporasi multinasional seperti Cargill atau Monsanto menguasai 64 persen tanah, baik melalui “hibah” dari pemerintah atau perampasan dari kaum tani! Saat Lugo terpilih, 2% populasi mengontrol lebih dari 77% lahan yang subur, sementara para petani kecil, yang merupakan 40% dari populasi, hanya memiliki 5% lahan yang dapat ditanami.

Sebenarnya, Lugo bukanlah seseorang yang menempuh jalan revolusioner. Memang, penganut Teologi Pembebasan, “uskup kaum miskin”, dan penganjur reforma-agraria ini maju dalam pemilu presidensial pada 2008 silam tak lepas dari dukungan organisasi-organisasi Kiri, gerakan-gerakan sosial, dan serikat-serikat buruh. Tapi kita tidak lupa bahwa Lugo juga berkoalisi dengan partai liberal PLRA (Partido Liberal Radical Autentico – suatu partai burjuis “sosdem”, yang kemudian bersekutu dengan Colorado untuk memakzulkannya!). Sebagaimana dikatakan Greg Grandin, profesor Sejarah Amerika Latin dari Universitas New York, Lugo “tampil ke tampuk kekuasaan melalui koalisi yang sangat rentan, dan ia nyaris segera masuk kotak.”

Langkah-langkah yang ditempuh Lugo selama ini (sejak 2008) terbilang moderat, jika bukan malah reaksioner. Ketimbang bersandar pada massa rakyat pekerja untuk melaksanakan reforma-agraria dan menasionalisasi korporasi-korporasi (kedelai) multinasional, Lugo malah memberi konsesi-konsesi kepada Partai Liberal dan Partai Colorado.

Di awal masa jabatannya, Lugo memang pernah mengatakan,

“Kami ingin konsisten dengan Teologi Pembebasan. Bila ada kaum yang memiliki privilese (hak istimewa), pasti ada orang-orang yang di masa lalu telah dilupakan: orang-orang pribumi, kaum tak bertanah, mereka yang tak berpendidikan, mereka yang sakit. Mereka adalah orang-orang yang perlu untuk menjadi prioritas yang pertama.”

Tapi, sayangnya, ia tidak pernah memobilisasi jutaan kaum miskin dan tertindas itu untuk mengubah perimbangan kekuatan parlementer yang didominasi oleh wakil-wakil burjuasi Partai Colorado dan Partai Liberal.

Salah satu janji kampanye Lugo adalah reforma-agraria. Tapi ia tidak mampu memenuhi janji itu. Wapres Federico Franco, menentangnya sejak awal. Sementara itu, gerakan tani semakin besar. Lugo terjebak dalam kontradiksi. Di satu sisi ia mendukung gerakan tani, namun di sisi lain ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Ketegangan dan bentrokan antara kaum tani dan pihak oligarki sering terjadi. Skalanya semakin besar. Puncaknya adalah peristiwa 15 Juni di Curuguaty, Paraguay utara, yang kemudian digunakan oleh pihak oligarki untuk memakzulkan dan kemudian menggulingkan Lugo.

Sungguh amat disayangkan, Lugo tidak menggunakan kredensi demokratik berupa mandat rakyat yang diterimanya melalui pemilu. Lugo percaya pada konstitusi dan mesin negara bikinan burjuasi. Di awal masa jabatannya ia berkata, “Kami berkomitmen terhadap kejujuran, transparansi, dan berkomitmen untuk mengembalikan martabat kepada institusi-institusi kami, dan dengan keadilan sosial yang jauh lebih besar.”

Sebagai kaum Sosialis, kita sepakat dengan kejujuran, transparansi, dan keadilan sosial. Tapi kita tidak silap terhadap watak dari institusi-institusi mesin negara burjuis. Tapi, tanpa mengurangi simpati, kekaguman, dan hormat kita kepada sang “uskup kaum miskin”, kiranya tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa Lugo meyakini “jalan damai menuju Sosialisme.”

Sebagai kaum Sosialis, tentu saja kita cinta perdamaian dan menginginkan Sosialisme terwujud dengan jalan damai. Tapi kita menyadari bahwa “jalan damai menuju Sosialisme” adalah ilusi yang sangat berbahaya bila kita mengasumsikan bahwa mesin negara burjuis dapat digunakan untuk menuju Sosialisme! Sebab kita menyadari bahwa negara, lengkap dengan lembaga-lembaga, konstitusi, undang-undang, aparat, dan prosedurnya adalah pelembagaan kekuasaan kelas. Dalam Negara dan Revolusi, Lenin sudah memberikan peringatan keras tentang hal ini. Revisionisme yang digagas Bernstein dan kemudian diikuti pula oleh Kaustsky Tua tak habis-habisnya berujung malapetaka – tapi selalu digunakan oleh kaum Kiri yang santun dan berbudiluhur seperti Lugo.

Lihatlan peran polisi baik dalam bentrokan berdarah 15 Juni maupun bentrokan-bentrokan sebelumnya. Sejalan dengan posisi mereka sebagai perangkat atau perkakas negara burjuis, mereka “benar” dalam hal membela kepentingan Blas Riquelme, salah seorang dari kalangan oligarki dan politisi Partai Colorado. Mereka “benar” dengan berusaha mengusir kaum tani tak bertanah yang mengklaim dan menduduki tanah-tanah yang diperoleh Riquelme semasa kekuasaan Storessner dan partai sayap kanannya. Mereka “benar” dengan menembaki kaum tani itu dengan peluru tajam. Mereka justru “salah besar” bila membela dan mendukung kaum tani menuntut hak mereka dalam matriks reforma-agraria!

Lantas, mengapa burjuasi oligarkis Paraguay – yang tak lain dari para komprador alias, dalam istilah Mao Tse-tung, “imperialist’ running dogs” – harus menggulingkan seorang Fernando Lugo?

Klas penguasa, yang secara faktual memiliki mesin negara burjuis Paraguay, merasa telah kecolongan dengan kemenangan seorang kandidat populis Kiri dalam pemilu 2008 – yang untuk sejurus waktu telah menginterupsi epos hegemonik oligarki Partai Colorado dan Stroessnerismo.

Pada saat yang sama, gerakan-gerakan sosial Kiri terus berkembang. Pada satu titik, saat ketel uap faktor subyektif penderitaan dan kesadaran kritis rakyat pekerja mendidih karena kondisi obyektif berupa perkembangan-perkembangan revolusioner di Amerika Latin, gerakan-gerakan sosial Kiri itu akan menjadi kelompok penekan yang bisa mendorong Presiden Lugo jauh ke Kiri dan mengalami radikalisasi. Bila itu terjadi, revolusi sosial akan terjadi dengan salah satu kemungkinan muara, yaitu revolusi sosialis. Saat itu burjuasi oligarkis dan imperialis akan diekspropriasi oleh rakyat pekerja Paraguay.

Karena itu, selagi masih sangat kecil, “api” itu harus segera dipadamkan. Kita tahu, oligarki Paraguay sudah mencobanya beberapa kali selama pemerintahan Lugo. Kali ini mereka berhasil. Dengan menggunakan instrumen demokrasi liberal, yakni asas dan prosedur konstitusional, mereka berhasil menggulingkan Lugo dan sedang membunuh demokrasi yang sesungguhnya.

Tapi bila “api” itu sudah membakar rakyat pekerja Paraguay, dan gerakan-gerakan sosial mereka memiliki kepemimpinan yang tepat seturut dengan idea, tradisi, program, dan strategi revolusioner yang tepat, penggulingan Lugo akan menjadi awal dari proses revolusioner yang justru akan semakin mencondongkan pergeseran ke Kiri seluruh Amerika Latin.

Tolak pemerintahan Federico Franco!

Enyahkan oligarki Paraguay dan imperialisme!

Bangkitlah rakyat pekerja Paraguay! Kalian berhak atas demokrasi kalian!

Pesanggrahan, 2 Juli 2012



Referensi

“Coup in Paraguay: Will U.S. Join Latin America in Condemning Ouster of President Fernando Lugo?” (Wawancara Amy Goodman dan Greg Grandin, untuk Democracy Now!, Senin, 25 Juni 2012,

Kistyarini, “Presiden Paraguay Dimakzulkan”, Sabtu, 23 Juni, http://internasional.kompas.com/read/2012/06/23/16483624/Presiden.Paraguay.Dimakzulkan

Brian Conlon, "Palace coup d’état" in Paraguay. The masses must mobilise against the return of the oligarchs! Minggu, 24 Juni 2012, www.marxist.com/coup-paraguay-lugo.htm

Kamera dan Sepak Bola, Kesaksian Bersama

Halim HD ; Networker Kebudayaan, Solo
KORAN TEMPO, 08 Juli 2012



Kebenaran dari apa yang pernah dinyatakan pada beberapa dekade yang lalu oleh filsuf Piere Teilhard de Chardin, penemu Homo pekinensis, dalam salah satu bukunya tentang fenomena manusia, adalah ketika dia mengungkapkan bahwa, dengan dan melalui teknologi, manusia di jagat ini dijadikan "umat". Manusia tak lagi hanya sendiri-sendiri di dalam menghadapi masalah, dan sekaligus merasakan berbagai persoalan yang dihadapinya.

Peperangan, penderitaan akibat gempa, konflik sosial, luapan suka-duka kemenangan sebuah tim olahraga atau seorang atlet yang mencapai finis, juga berita suka-duka seseorang kepada lainnya--semuanya dihantarkan oleh sarana teknologi yang kian canggih yang menjadi basis perkembangan sistem transportasi dan media massa, cetak dan elektronik, serta berbagai bentuk sarana komunikasi yang bersifat personal, yang dalam beberapa detik mengirim semua peristiwa ke berbagai penjuru jagat.

Singkat kata, secara dramatis bisa digambarkan bahwa, dari detik ke detik, melalui sistem teknologi komunikasi yang memasuki ruang-ruang personal dan sosial menciptakan getaran kelenjar saraf yang paling halus yang ada di dalam diri kita dalam berbagai ekspresi, dari ketegangan, kemarahan, haru-biru, suka-duka, sampai luapan kebahagiaan, seketika kita rasakan, dan hal itu dihantarkan oleh sistem komunikasi. Dunia begitu kecil, seolah-olah sebuah desa, demikian seperti diungkapkan filsuf komunikasi, Marshall Mc Luhan, yang menyatakan bahwa ruang geografis diisi oleh mereka yang saling tahu dan mengenal yang dihubungkan oleh sistem teknologi komunikasi.

Dan kini kita kembali digetarkan oleh kebenaran itu melalui kamera TV yang menyalurkan pertandingan sepak bola. Tak ada suatu titik pandang pun yang tak ter/di-rekam dan tersalurkan ke hadapan publik: kedipan mata Cristiano Ronaldo pada World Cup yang lalu, dan ekspresi pura-pura jatuh pada final Piala Raja antara Real Madrid dan Barcelona, di samping rekaman kelincahan kaki pemain termahal ini, kita menyaksikannya melalui kamera, seakan-akan kita berada di depan pertandingan, ikut menyaksikannya secara langsung. Sama seperti kita melihat bagaimana "kaki terbang" Roy Keane, pemain kawakan Manchester United, yang bagaikan kijang berloncatan di padang rerumputan.

Betapa memukaunya tiki-taka Messi, Iniesta, dan Xavi yang lincah dan akurat menerobos barisan lawan dalam setiap laga. Tentu setiap pertandingan selalu ada protes, lewat kamera kita menyaksikan debat dan keteguhan wasit mempertahankan keputusan, memberikan hukuman di antara argumen pemain, serta bagaimana wajah pemain terhukum dengan ekspresi kemarahan atau kekecewaan yang mendalam.

Dengan rasa humor yang tinggi, kamerawan membidik sasaran penonton yang berpakaian unik, ekspresi yang lucu, wajah penuh ketegangan, berdoa, dan segala tingkah polah, di antara gemuruh ledakan energi penuh harapan, atau sebaliknya, kekecewaan. Dan tentu saja, wajah-wajah cantik dan molek pun menjadi sasaran kamerawan yang jeli memilih, dan dapat menghibur kita. Di samping dorongan semangat pendukung tim dalam paduan suara yang menggetarkan hati.

Semuanya itu tak mungkin kita alami pada setengah abad yang lampau, kecuali siaran auditif melalui radio-transistor, dan itu pun masih sangat terbatas.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang didukung oleh sistem satelit dengan dukungan komputerisasi berkembang pesat dalam dua-tiga dekade terakhir ini, khususnya menjelang pergantian abad, seperti yang telah diramalkan oleh Theodore Rozack beberapa dekade yang lalu tentang masyarakat elektronik (technotronic society), yang akan memasuki masyarakat serba komputer (computerized society). Dan hal itu kuat kaitannya dengan politik ekonomi global, khususnya di wilayah negeri-negeri industri dengan penyebaran kapital ke dalam dunia olahraga khususnya sepak bola, dan mengukuhkannya dalam pengembangan klub-klub profesional.

Dalam konteks itulah kita menyaksikan kompetisi bukan hanya sistem dan manajemen yang mengatur taktik-strategi, tapi juga persaingan antar-klub untuk saling "membajak" para pemain dengan iming-iming gaji dan kontrak yang nilainya membuat kita tercengang karena jumlah angka yang sulit kita bayangkan. Kritik yang terjadi di sini, politik ekonomi dan industri olahraga, ikut menggeser ikatan sosial dan digantikan oleh kekuatan kapital: yang paling kuat memiliki modal bisa membeli pemain siapa saja dan mengontrak pelatih yang paling top. Namun kita juga menyaksikan bagaimana akademi-akademi bola seperti yang dimiliki oleh Barcelona dan Ajax dengan jitu memanfaatkan perkembangan politik ekonomi dan industri sepak bola untuk mengembangkan lembaga pendidikannya menjadi lebih canggih, dan hal itu menjadi bisnis yang ikut mendukung klub.

Kita menyaksikan pergeseran ideologis yang sangat menarik. Dahulu, sepak bola diikat oleh "nasionalisme" dan "komunitas sosial" suatu wilayah atau kota. Kini, dengan makin berkembangnya klub dan masuknya kapital, sebuah klub belum tentu dimiliki oleh warga setempat. Misalnya saja Chelsea, yang dimiliki oleh pengusaha Rusia, Manchester United dikuasai pengusaha Amerika, serta Manchester City dimodali pengusaha Abu Dhabi. Inilah konsekuensi logis dari politik ekonomi global yang secara ideologis disebut global capitalism.

Dalam konteks global capitalism itulah terbentuk global sportism yang menciptakan sejenis "partisipasi" publik. Jenis "partisipasi" ini bukan hanya sekadar "tukang keplok-sorak" belaka. Dari perspektif politik ekonomi, jenis "partisipasi" ini ikut pula di dalam menguatkan posisi klub dan kehidupan dunia sepak bola melalui perdagangan tiket, cendera mata dan berbagai bentuk merchandise dan tentu saja pemasukan dari siaran televisi. Dan ujung tombak pencitraan ini dipegang oleh kekuatan teknologi komunikasi-informasi, televisi. Di sinilah kamera menjadi begitu penting: menjadi kepanjangan penglihatan publik yang bisa ikut menjadi "wasit": bisa menilai pemain terburuk sampai dengan terbaik, secara teknikal maupun moral, kesaksian bersama, solidaritas sejagat yang mengikat manusia menjadi "umat" melalui sepak bola dan kamera.

Korupsi dan Keberagamaan yang Terbelah


Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 07 Juli 2012


Pada 2011, Kementerian Agama dinilai sebagai lembaga negara yang paling korup dalam sebuah survei oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini masyarakat kembali dibuat kaget ketika KPK mengumumkan akan memulai penyelidikan tentang penyimpangan proyek pengadaan salinan kitab suci Al-Quran di Kemenag. KPK telah menetapkan anggota Komisi VIII, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka. KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap tersangka lain yang juga putra sulung Zulkarnaen, Dendy Prasetya. Dendy adalah Direktur Utama PT Sinergi Alam Indonesia yang memenangi tender pengadaan Al-Quran senilai Rp 20 miliar pada 2011 dan proyek alat laboratorium madrasah tsanawiah Rp 30 miliar.

Sungguh mengejutkan bahwa skandal korupsi kini tidak main-main dan sekadar melabrak jalur profan semata. Hal-hal yang dianggap umat Islam sakral seperti Al-Quran juga tak kalah telak dibabat habis oleh kasus suap tersebut. Bisa dikatakan bahwa skandal korupsi pengadaan kitab suci Al-Quran tersebut merupakan potret dari model dan ekspresi keberagamaan umat yang terbelah (split religiousness). Dalam konteks ini, skandal korupsi kitab suci tersebut sejatinya menjelaskan sejumlah hal kepada masyarakat.

Pertama, mengendurnya spirit monoteistik di kalangan sementara pejabat Islam. Dalam konteks Islam, spirit monoteistik ini disebut tauhid. Kekuatan tauhid tegak di atas konsepihsan atau muraqabah, yang selalu memiliki kesadaran utuh tentang keberadaan Ilahi kapan dan di mana saja. Kesadaran tauhid membuat seseorang mandiri dan tidak terjebak pada mentalitas shortcut yang mendorong pelanggaran--korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau kezaliman--terlepas dari ada-tidaknya pengawasan melekat. Hadirnya pelbagai penyimpangan di Kemenag ini agaknya terkait erat dengan pemahaman akidah dan proporsi tauhid yang mulai parsial. Allah cuma dihadirkan pada dimensi ibadah mahdhah (murni) dan dilupakan dalam ranah ibadah ghairu mahdhah(bukan murni ritual); Allah disembah ketika salat, namun diabaikan dalam layanan publik; lengkap-tidaknya syarat dan rukun puasa diperhatikan, namun penyimpangan administrasi publik dianaktirikan.

Ketakutan menjadi miskin atau tak mendapatkan jatah rezeki sehingga membuat oknum politikus dan pejabat Kemenag korupsi menunjukkan bahwa mereka lebih galau dengan keterbatasan manusiawi daripada keyakinan ilahiah yang menyandarkan diri kepada Allah sebagai sumber pemberi rezeki yang Maha Adil. Dalam beberapa hal, kuatnya kecenderungan fikihisme di kalangan umat Islam menyumbang atas menguatnya pola pikir dan kecenderungan hitam-putih dalam memahami teks-teks Tuhan. Hal tersebut menyebabkan orang beribadah sekadar menggugurkan kewajiban, namun lengah pada substansiasi pesan-pesan Al-Quran. Korupsi dan penyalahgunaan jabatan hanyalah efek dari keberagamaan umat yang cenderung mementingkan legalitas atau orientasi fikih an sich, sehingga menutup pintu bagi transformasi ayat-ayat Allah dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, menguatnya sekularisme dalam lembaga-lembaga keagamaan. Persoalan sekularisme memang masih menjadi perdebatan sengit di kalangan Islam. Sejatinya, sekularisme memisahkan agama sebagai wilayah privat dan terpisah dari urusan publik seperti kenegaraan atau pemerintahan. Hanya, benih-benih sekularisme di Kemenag atau politikus muslim yang korup timbul dalam bentuk pemberhalaan terhadap sisi spiritualisme seremonial yang menisbikan aspek humanisme yang merupakan bagian dari wilayah publik. Penekanan aspek spiritualitas secara ekstrem menyebabkan kegagapan dalam menghadapi tuntutan modernitas. Bobroknya penyelenggaraan ibadah haji, korupsi pengadaan Al-Quran tersebut, dan dugaan proyek alat laboratorium madrasah tsanawiah menunjukkan bahwa profesionalisme, sebagai bagian penting modernitas, betul-betul menjadi kredo yang lepas dari keimanan.

Sekularisme ala Kemenag dan politikus korup ini tidak bakal mampu menciptakan spirit aktivisme di tubuh lembaga negara tersebut. Apalah artinya dana besar-besaran untuk Musabaqah Tilawatil Quran dan perayaan hari-hari besar Islam tanpa mampu melakukan transformasi umat. Tanpa disadari sikap nir-profesionalisme, sebuah upaya yang sebetulnya menutup diri terhadap modernitas, pada gilirannya akan membentuk struktur institusi agamis yang bersifat imajiner. Dengan kata lain, bersikap menolak sekularisme dengan cara menjadi sekuler, menolak sistem etik sekuler tapi bertindak dengan etika sekuler; antusiasme ibadah ritual namun apatisme ibadah sosial, mengadakan acara keagamaan dengan biaya besar, sedangkan warga banyak kelaparan.

Ketiga, tumpulnya model keberagamaan yang rasional. Ciri utama rasionalitas keberagamaan adalah menempatkan akal pikiran sebagai salah satu pemandu beribadah, sehingga orang tidak beragama secara ikut-ikutan. Banyaknya fenomena pejabat dan politikus muslim yang tampak berkepribadian ganda dalam beragama--berkerudung atau menggunakan kopiah haji di pengadilan setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, rajin memberikan donasi atau charity tapi juga kerap melakukan praktek suap dan tukang palak rakyat--menunjukkan bahwa pola keberagamaan mayoritas pejabat atau politikus berseberangan dengan logika dan rasionalitas pesan-pesan Allah. Pudarnya keberagamaan rasional berkelindan dengan kecenderungan sebagian pejabat atau umat Islam sendiri atas pentingnya prinsip kontinuitas (istimrar) dalam beragama. Beragama secara emosional lazimnya melahirkan keimanan yang naik-turun secara drastis karena melupakan prinsip utama bahwa ibadah dalam beragama adalah aktivitas jangka panjang, bukan parsial, dan tidak bersifat moody.

Lebih lanjut, absennya keberagamaan rasional ini kian memperluas jurang diskrepansi antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan antar-manusia--kuat dalam ibadah ritual tapi korupsi jalan terus--sehingga menimbulkan kesan bahwa ada kalanya agama dibela mati-matian, tapi lain kali agama diposisikan sebagai alat legitimasi kekuasaan. 

Pendeknya agama lalu tidak menjadi sumber pencerahan. Kuat dugaan bahwa redupnya rasionalitas keberagamaan ini terkait erat dengan lengahnya umat terhadap pentingnya filsafat dalam beragama. Konsekuensinya adalah banyak yang beragama sekadar nglakoni yang ada tanpa disertai pemikiran kritis. Lemahnya pengaruh filsafat dalam beragama telah mengerangkeng mindset pemikiran umat secara "hitam-putih", sehingga berujung tidak hanya pada konflik di antara kelompok-kelompok yang berbeda paham, tapi juga membuat disconnected antara loyalitas Ilahi dan dedikasi kemanusiaan. 

Standar-standar keberagamaan dualistis, yang terlihat dari perilaku politikus dan pejabat muslim yang korup dan menyalahgunakan jabatannya, tak akan lahir dari rahim keberagamaan yang rasional. Model keberagamaan demikian memandang bahwa wilayah sakral dan profan adalah entitas yang saling menggenapi, dan bukan sesuatu yang kontras dalam memenuhi panggilan Ilahi yang Maha Suci

Korupsi Alquran, Kementerian (tidak Ber-) Agama


Teuku Zulkhairig Alumnus Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,  PNS di Kemenag, Aceh
MEDIA INDONESIA, 07 Juli 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan tiga kasus dugaan korupsi di Kementerian Agama (Kemenag). Ketiga kasus itu ialah dua proyek pengadaan kitab suci Alquran tahun anggaran 2011-2012 dan satu kasus dalam proyek pengadaan laboratorium komputer madrasah sanawiah tahun anggaran 2011 sebagaimana diberitakan berbagai media massa.

Dari ketiga kasus itu, kasus korupsi proyek pengadaan Alquran ialah kasus yang terbilang paling menyita perhatian publik. Berbagai diskusi publik muncul di jejaring sosial, baik Twitter maupun Facebook. Diskusi muncul bukan karena kasus korupsi itu sendiri, melainkan karena yang dikorupsi ialah pengadaan Alquran, kitab suci umat Islam. Media massa pun menjadikan kasus buruk itu sebagai berita yang `bagus' untuk diberitakan.

Korupsi pengadaan Alquran dianggap publik sebagai hal yang `kebangetan'. Alquran bagi umat Islam merupakan sumber ajaran moral dan etika, sementara korupsi ialah pekerjaan yang berlawanan dengan moral, etika, dan keyakinan agama mana pun.

Bagaimana mungkin melakukan pekerjaan buruk untuk tujuan baik jika bukan karena tujuannya memang tidak baik? Di negara ini, para elite kita memang sering kali mendambakan rakyat kecil melakukan perbuatan-perbuatan baik, sementara mereka sendiri justru melakukan perbuatan buruk. Meminta rakyat mengamalkan Pancasila, sementara mereka sendiri pelanggar butir-butir dari Pancasila.

Kementerian (tidak Ber-) Agama?

Kendati KPK telah menetapkan anggota DPR RI yang merupakan politikus dari Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka bersama anaknya yang berinisial DP dari eksternal Kemenag, sepertinya bola panas isu korupsi itu terfokus menerjang Kemenag.

Tidak jarang bahkan kaum agnostik teisme menjadikan berbagai kasus kebobrokan moral yang melibatkan oknumoknum di institusi agama (secara langsung maupun tidak langsung) sebagai alasan untuk semakin meneguhkan keyakinan mereka bahwa agama tidak mampu mengajari manusia untuk bermoral.

Di berbagai media sosial dunia maya, berbagai hujatan justru menerpa Kemenag secara umum. Kemenag dianggap sebagai institusi negara yang seharusnya terlepas dari kebobrokan moral. Sebuah harapan yang wajar karena memang Kemenag sebagai institusi negara dibentuk untuk tujuan mentransformasikan nilai-nilai agama dalam berbagai aspek kehidupan.

Namun juga perlu diingat, Kemenag ialah institusi pemerintah yang tentu saja beberapa partai dan politikusnya memiliki kepentingan di institusi itu melalui oknum-oknum tertentu seperti orang internal Kemenag yang terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Alquran.

Begitu juga, tidak semua pegawai dan birokrasi di Kemenag berbasis ilmu agama meskipun banyak juga orang berbasis agama yang melakukan korupsi. Ini belum lagi kita berbicara tentang disfung si lembaga pendidikan di negara kita yang realitasnya tidak memi liki orientasi untuk pem bentu kan mo ralitas peserta didik secara maksimal karena terjebak dengan aspek kognitif semata.

Penulis tidak bermaksud membela Kemenag karena penulis yakin orang-orang yang korup di internal Kemenag tidak mewakili nilai agama (Islam), tetapi ketika agama (Islam) sebagai ikonnya Kemenag justru menjadi korban akibat tindakan beberapa oknum tersebut, inilah suatu kesalahan yang fatal. Bagaimanapun, agama harus dibedakan dan tidak bisa disangkutpautkan dengan kebobrokan moral para koruptor meskipun seorang koruptor itu ialah seorang agamawan.

Banyaknya kerusakan yang terjadi sesungguhnya bukan disebabkan kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial.

Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang hanya menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tenteram, tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat (Imam M Mustafa, 2008).

Korupsi vs Alquran

Korupsi ialah pekerjaan tercela dalam pandangan hukum Islam. Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengategorikan jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirz mitsl), itu dikategorikan sebagai pencurian dan jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, dinamakan merampok (muharabah). Jika seseorang mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilas) dan jika mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan khiyanah. Alquran tidak hanya melarang kita untuk korupsi, tapi juga memberi tahu kita tentang konsekuensi pekerjaan hina tersebut. Untuk semua pekerjaan tercela itu, terdapat hukuman yang sangat tegas dalam Islam.

Pekerjaan yang masuk kategori pencurian diancam dengan hukuman potong tangan (Al-Maidah: 38). Tentang penipuan, Rasulullah bersabda, “Barang siapa menipu maka dia bukanlah dari golongan umatku.“ (HR Muslim dan yang lainnya). Sementara yang masuk kategori zhalim, “Barang siapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Pekerjaan korupsi, selain zhalim, juga masuk kategori khianat karena koruptor dari kalangan birokrat, pegawai, dan wakil rakyat itu ialah orang-orang yang mengemban amanah rakyat. Jadi ketika dipercayai dengan jabatannya itu ia khianat, ia ialah munafik. “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila dia berjanji dia mengingkari, apabila dia dipercaya dia berkhianat.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Alquran memberi pesan tegas bagi orang-orang munafik itu. `Dan janganlah kamu sekali-kali menyalatkan jenazah seseorang mati di antara mereka (munafik) dan janganlah berdoa di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik (At-Taubah: 84)'.

Maka sekarang, sebagai umat Islam, merupakan kewajiban kita semua untuk menjadikan Alquran sebagai sumber referensi dalam membendung budaya korupsi, baik dengan memformulasikannya dalam konstitusi negara maupun dengan cara memasyarakatkannya dalam ruang masyarakat yang lebih kecil. Jika tidak, agama akan terus dianggap gagal mengajari manusia untuk bermoral. Wallahu a'lam bi al-shawab. 

Bejat, Quran pun Dikorupsi


Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 07 Juli 2012


Rabu, 27 Juni lalu, Shofiyullah, teman saya yang dosen UIN Yogyakarta, berjanji bertemu saya jam 19.00, tetapi dia terlambat datang. Hingga pukul 20.00 belum nongol juga.
Akhirnya saya kirimi SMS agar dia langsung saja ke Rumah Makan Sate Klathak di Pleret Bantul. Itu pun dia masih terlambat 30 menit dari yang seharusnya bertemu jam 21.00. Begitu datang ke rumah makan itu jam 21.30 langsung saya tanya.

 ”Kok terlambat, Mas? Janjiannya tadi kan jam tujuh,” tanya saya. ”Maaf, Pak. Saya sedang meneliti halaman Alquran dari halaman ke halaman. Ini juga belum selesai separuhnya, lho,” jawab Shofiyullah. ”Mengapa diteliti segala? Tak ada kerjaan atau ada yang aneh,” tanya saya lagi. ”Tidak ada yang aneh, tapi saya hanya khawatir, jangan-jangan ada ayat atau surat dalam pencetakan Alquran yang dikorupsi juga. Itu berbahaya,” jawabnya lagi.

Tentu saja Shofiyullah hanya bergurau, bermaksud mengurangi kejengkelan saya atas keterlambatannya. Tetapi, saat itu situasinya memang tepat untuk memelesetkan berita serius menjadi bahan candaan. Maklum, saat itu masyarakat sedang disengat oleh berita korupsi pengadaan kitab suci Alquran di Kementerian Agama.

Yang didugakan dikorupsi tentu penggelembungan harga atau penentuan jumlah anggarannya atau kick back dana yang digelontorkan kepada ZD, anggota Badan Anggaran DPR yang konon ikut mengurus penyediaan anggaran pengadaan kitab suci di APBN. Ketua KPK Abraham Samad menjelaskan kasus itu pada Jumat, 29 Juni, setelah sejak dua hari sebelumnya masyarakat ribut bertanyatanya tentang modus korupsi itu.

Jadi yang dikorupsi itu bukan jumlah ayat atau surat yang harus dicetak, melainkan uang pengadaannya. Tak mungkinlah, ada orang yang begitu gila melakukan korupsi dengan cara mengurangi bagian dari isi Alquran meskipun dari sudut matematika korupsi dengan modus itu bisa dilakukan. Jadi Shofy itu memang bergurau, tetapi juga pakai logika. Lho, kok, dari sudut matematika, korupsi seperti itu bisa?

Ya, bisa saja. Misalnya korupsi dilakukan dengan cara mengurangi beberapa ayat pada setiap surat dari 114 surat yang terdiri atas 30 juz itu. Secara matematis itu bisa saja. Dengan membuang sebagian isinya, biaya produksi bisa turun meskipun dalam kontraknya tetap disebutkan ”mencetak” lengkap seluruh isi Alquran. Sisa biaya produksi dari pengurangan isi yang dicetak itu, secara matematis, bisa jadi uang korupsi tersendiri.

Kalau orang mau korupsi itu kan kerasukan setan, bahkan sama dengan setan, sehingga bisa melakukan apa saja. Berita bahwa korupsi di Indonesia sudah merasuk ke proyek pencetakan Alquran memang sangat mengejutkan, bukan hanya bagi kita yang tinggal di Indonesia, melainkan juga sampai ke mancanegara. Saat beramah-tamah dengan keluarga besar Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Alger pada 30 Juni akhir pekan lalu, berita itu menjadi salah satu sorotan dari peserta ramah-tamah saat diskusi berlangsung.

Beberapa warga Indonesia yang hadir pada diskusi setengah resmi sore itu menanyakan soal korupsi pencetakan Alquran. Ada peserta yang menanyakan itu dengan nada marah bercampur sedih, hampir-hampir menangis. ”Bagaimana ini negara kita, Pak? Alquran yang disucikan saja dikorupsi, apalagi proyek-proyek lain. Kalau benar itu terjadi, sungguh memalukan, menyedihkan, dan membahayakan,” serunya dengan emosi.

Saya pun menjawab,”Memang bejat, bukan hanya gila.” Masalah besar yang kita hadapi sebagai bangsa sekarang ini adalah merajalelanya korupsi. Sebuah media massa pernah menulis berita dengan judul ”Republik Korupsi”. Ada juga dialog interaktif di sebuah televisi swasta nasional yang juga memakai tajuk ”Republik Korupsi”. Bayangkan saja, saat ada diskusi-diskusi tentang ”Republik Korupsi” itu, meluas pemberitaan bahwa ada lebih dari 167 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) terlibat kasus korupsi.

Ada juga sekretaris menteri, dirjen, atau mantan menteri yang harus diseret ke pengadilan karena korupsi. Sekarang ini jauh lebih buruk lagi. Saat bertemu Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan pada upacara pelantikan Rektor UGM akhir Mei lalu saya diberi tahu bahwa jumlah kepala daerah yang terlibat masalah hukum bukan hanya 167 orang, melainkan per hari itu sudah mencapai 243 orang.

Di kalangan parpol dan lingkungan DPR pun tak kalah dahsyat, banyak yang sudah dikirim ke penjara dan tak sedikit yang sekarang sedang menunggu giliran untuk digelandang ke peradilan pidana korupsi. Modus korupsinya pun gilagilaan, bukan hanya dalam penanganan proyek riil, bahkan juga sudah korupsi dan suap-menyuap dalam pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan penentuan anggaran.

Wajarlah jika banyak warga negara Indonesia yang menangis karena marah, sedih, dan malu melihat korupsi di negaranya. Para pejabat korup itu sudah sangat bejat, pengkhianat bangsa yang tak lagi punya hati nurani sehingga tidak takut dan tidak malu. 

Thursday, July 5, 2012

AGAMA DAN KAPOK LOMBOK KORUPSI, Jawa Pos 6 Juli 2012 (Artikel ke 959) Oleh Tom Saptaatmaja


Memikirkan korupsi di negri yang mayoritas umatnya mengaku bertuhan dan beragama, memang meresahkan kita yang masih memiliki hati nurani.Yang terbaru, kita resah dengan kasus korupsi pengadaan Qur’an. Kebetulan terkait kasus ini,, baru saja  penulis memandu talkshownya di Surabaya, dengan narasumber pemimpin Ponpes Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid, pengurus PD sekaligus cendekiawan muslim Ulil Abshar Abdalla dan Pengacara senior Trimoelja D Soerjadi (3/7).

Pertama-tama, dengan terungkapnya kasus pengadaan Qur’an, harus dimengerti kasus ini tidak ada kaitannya dengan agama Islam. Korupsi bisa terjadi di manapun. Dalam Gereja juga terjadi korupsi, sebagaimana ditulis George Junus Aditjondro. Maka perlu dibedakan antara agama yang tidak bisa dinodai korupsi dan pemeluknya yang nota bene manusia, yang bisa saja tidak suci dan korupsi.Korupsi bisa di ranah apapun..

Ateis Tak Korupsi

Memang meresahkan memikirkan,  mengapa di negeri yang nyaris 100% warganya percaya Tuhan, justru tinggi  korupsinya.  Sedangkan di negeri yang mayoritas warganya tidak percaya Tuhan (ateis) justru tak ada korupsi. Dalam talkshow, Gus Solah menunjuk Denmark, yang 80% warganya ateis, tapi tak ada korupsi. Lalu Tiongkok, yang ideologi penguasanya komunis, malah ada hukum yang tegas terhadap koruptor, yakni dihukum mati di depan publik.Akibatnya koruptor di Tiongkok menjadi jera atau ”kapok”.

Keresahan kita coba dijawab Ulil. Menurut pengusung Islam Liberal itu, memberikan tali asih, ucapan terimakasih atau gratifikasi merupakan bagian dari peradaban kita. Demokrasi dengan nilai-nilainya, menganggap hal-hal seperti itu sebagai tindak korupsi, terlebih bila yang memberikan tali asih, ucapan terimakasih atau gratifikasi adalah birokrat atau pejabat pemerintah.Yang perlu ditanamkan ke depan, agar orang tidak memberikan tali asih, ucapan terimakasih atau gratifikasi dari uang negara. Di sinilah letak kesulitannya.

Maka ketika orang menjadi pejabat negara, dia harus membuat jarak tegas dan bisa bisa membedakan mana uang pribadi dan mana uang negara, karena batasan korupsi dalam demokrasi modern selalu menekankan unsur kerugian negara.Terkait ini, Trimoelja mengisahkan  pengakuan seorang hakim yang pergi haji dengan uang dari orang yang tengah berperkara di pengadilan. Jelas si hakim, tidak mampu mengambil jarak serta menyalahgunakan jabatannya.Kita tentu juga masih ingat istilah ”habidin”, yakni haji dengan biaya dinas.

Anehnya, para koruptor yang pergi haji seolah merasa sudah  mendapatkan pengampunan dosa dari Tuhan. Tobat di Tanah Suci, lalu kumat di negri sendiri ( haji ”tomat”).Atau kadang mereka tak sempat pergi haji atau ziarah ke tempat kelahiran Yesus (seperti kasus sumbangan dari hasil korupsi oleh politikus PDIP Engelina Pattiasina ke jemaat ziarah ke Israel, Red).Tapi, cukup banyak koruptor yang merasa mendapat pengampunan dosa, lewat tindakan karitatif, seperti menyantuni anak yatim atau  menyumbang pembangunan tempat ibadah. Ada  mekanisme pencucian uang, seolah Tuhan sendiri bisa disuap.Jadi beragama oke, korupsi juga oke.Kenapa demikian?

Pentingnya Keadilan

Konon motif beragama orang Indonesia itu sekedar mencari kesahduan atau romantisme beragama bagi diri sendiri.Beragama dilepaskan dari konteks sosial. Padahal, Tuhan menurunkan agama-agama bukan untuk satu orang.Aspek sosialnya ada. Terkait ini, di semua agama, ada ajaran tentang  keadilan. Ada banyak ayat di Injil atau Qur’an yang menekankan pentingnya keadilan.

Sayangnya, pesan keadilan itu sudah dicoret atau ditiadakan oleh umat beragama di sini. Hukum Tuhan dalam Kitab Suci sudah tidak dipedulikan lagi. Orang hanya mengejar kesucian dan kekayaan bagi diri sendiri.”Yang penting aku suci, aku kaya sendiri. Persetan dengan yang lain!”. Maka  mengembat atau mencuri uang negara (korupsi), terus dilakukan. Para koruptor justru mewariskan tabiat jahatnya pada yang lebih muda sehingga ada regenarasi koruptor.

Padahal korupsi sesungguhnya sangat bertentangan dengan spirit keadilan.Coba bayangkan! Bukankah triliunan uang negara yang dikorup,sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mengentas kaum miskin, memberi gizi pada anak malnutrisi, memberi bea siswa bagi mahasiswa dari keluarga miskin, membangun ribuan gedung sekolah yang nyaris ambruk atau memperbaiki jalan rusak dan fasilitas umum lainnya?

Meski sudah ada fatwa agar jenasah koruptor tidak didoakan atau harta hasil korupsinya disita negara, semua akan tetap sia-sia, jika aparat hukum kita tidak berani menegakkan keadilan. Hukuman yang ringan, di bawah lima tahun, tak akan pernah menimbulkan efek jera.Meski gedung KPK baru diperlukan, tapi sesungguhnya yang lebih diperlukan adalah gebrakan KPK untuk menjatuhkan vonis hukuman berat sehingga  membuat jera para koruptor atau calon koruptor. Selama divonis beberapa tahun (paling banter hanya lima tahun), para koruptor hanya akan “kapok lombok”. Seperti orang yang seakan merasa kapok saat kepedasan makan lombok, esoknya tetap makan sambal.

Maka penegakan hukum adalah kunci utama. Bukan tanggungjawab tokoh agama atau umat beragama untuk menegakan hukum melawan korupsi. Agama hanya bertanggungjawab memberi peringatan atau inspirasi agar orang jangan korupsi, jangan mencuri. Tapi polisi, jaksa, hakim atau aparat hukum kita, termasuk KPK yang seharusnya menghukum berat para koruptor.Namun bila di dunia para koruptor tak dihukum berat, mereka kelak tak akan lolos dari  hukum Tuhan

Masyarakat harus didorong menghormati kehidupan

Sumber indonesia.ucanews.com
Oleh Pastor Joseph Kim Yong-hae SJ, Guru Besar Filsafat di Universitas Sogang yang dikelola Yesuit di Seoul dan direktur Institut Kehidupan dan Budaya.

Musim semi merupakan musim dimana tumbuh-tumbuhan mulai mekar kembali, yang menunjukkan alam terbangun dari tidurnya di tengah peralihan dari musim dingin ke musim panas.

Selama musim itu dalam beberapa bulan terakhir, Korea telah mengalami terlalu banyak peristiwa memilukan. Namun, di satu pihak merasa senang karena tragedi tersebut telah berkurang.

Seorang mahasiswa dibunuh akibat perselisihan dalam chatting online, tingkat aborsi yang jumlahnya dua kali angka kelahiran, serta angka bunuh diri tertinggi di antara negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan merupakan beberapa hal yang turut memberikan kesan bahwa masyarakat Korea telah menjadi mangsa budaya kematian dan keputusasaan.

Dalam 60 tahun terakhir sejak gencatan senjata yang menghentikan Perang Korea, negara itu telah menjadi negara industri, penjunjung demokrasi dan telah mengambil tempatnya sebagai kekuatan ekonomi global. Namun, negara ini masih menghadapi tantangan sosial yang parah.

Pembangunan ekonomi bisa dengan mudah terpengaruh oleh kolonisasi dengan sistem yang berpihak keuntungan di atas segalanya.

Kapitalisme liberal membuat Korea tidak membina hubungan yang interaktif di kalangan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat mengutamakan kepentingan pribadi.

Masyarakat tidak bisa sepakat tentang bagaimana mengatasi pengangguran yang meningkat. Ideologi mengalahkan norma-norma dan mencegah orang menghormati hak asasi manusia dan hak untuk menghargai perbedaan pendapat.

Negara ini melakukan kontrol kuat terhadap masyarakat, terutama terkait masalah keamanan nasional dan rekonsiliasi Utara dan Selatan.

Selain itu, dengan mendorong keamanan demi kesejahteraan seluruh rakyatnya, negara itu dianggap mencari kepentingan sendiri, membuat perjanjian perdagangan bebas yang menguntungkan bangsa asing, serta proyek pembangunan, yang sedikit memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, atau upaya untuk menginjak-injak kebebasan pers dengan menempatkan dalam melayani kepentingan politik dan bisnis yang kuat.

Sebagai bagian dari memenuhi janji kebebasan dan modernisasi setelah puluhan tahun terjadi pergolakan perang dan sosial, maka masyarakat perlu disadarkan guna menghargai kesejahteraan seluruh rakyat.

Gereja memiliki sebuah kewajiban untuk memberikan kontribusi sendiri untuk masalah ini.

Saya memimpikan sebuah masyarakat dimana keragaman dihormati dan pemahaman terhadap orang lain didorong.

Saya juga bermimpi sebuah masyarakat dimana Gereja ingat bahwa misinya adalah membawa kabar baik tentang kasih dan keadilan kepada orang-orang yang berusaha untuk membangun negara itu dengan berakar pada penghormatan dan pelestarian hidup, bukan budaya keputusasaan dan kematian.

Judul asli "Society must foster respect for life"

SKANDAL SEKS PASTOR KURAS UANG GEREJA AS


Sumber indonesia.ucanews.com 12/04/2012

Konferensi Waligereja America Serikat (USCCB) baru-baru ini mengeluarkan laporan tentang skandal seks yang melanda Gereja di negara itu, yang menyebabkan milaran dolar melayang.

Ini tentu sangat mengejutkan. Apalagi skandal itu sudah membuat panas telinga banyak umat Katolik di sana setelah media membongkar satu per satu kasus-kasus skandal para klerus itu.

Sekarang, dengan munculnya laporan itu barangkali membuat orang tambah menggeleng-gelengkan kepala, atau bahkan marah dan kecewa. Karena selain telinga panas, ternyata kasus-kasus itu merugikan Gereja Katolik AS hingga miliaran dolar.

Dalam laporan itu disebutkan bahwa kerugian yang ditimbulkan -tidak tanggung-tanggung- mencapai $2.488.405.755 atau kurang lebih sekitar 21 triliun rupiah (jika menggunakan kurs rata-rata 9.100 rupiah per dolar). Jumlah yang sangat banyak tentunya.

Menurut USCCB, seperti yang dikutip CatholicCulture.org, pada tahun 2011 itu sendiri, total kerugian yang ditanggung keuskupan-keuskupan di Amerika mencapai $108.679.706.

Dari jumlah itu $54.4 juta untuk penyelesaian kasus, $6.1 juta untuk terapi para korban, $36.7 juta untuk pengacara, $9.9 juta untuk tunjangan bagi para pelaku, serta $5.6 juta untuk biaya lain-lain. Bukan hanya itu. Ada juga biaya ekstra yang dikeluarkan yang mencapai $35.372.010.

Dengan demikian, secara terperinci, total uang yang dihabiskan baik untuk menangani kasus skandal seks di keuskupan-keuskupan maupun tarekat religius selama kurun waktu antara tahun 2004 -2011 mencapai $2.488.405.755. Dari jumlah itu $2.129.982.621 untuk keuskupan dan eparki dan $358.428.134 untuk tarekat religius.

Jumlah kasus

Tahun lalu dilaporkan ada 21 anak dibawah umur yang diduga mengalami pelecehan oleh imam atau diakon. Tujuh di antara laporan itu dinyatakan ‘bisa dipercaya’ oleh pihak penegak hukum, tiga dinyatakan laporan palsu, lima dinyatakan sebagai pelanggaran batas, dan tiga lagi masih dalam penyelidikan.

Sedangkan jumlah orang dewasa yang diduga mengalami pelecehan oleh imam atau diakon di masa lalu mencapai 683 orang, dengan tuduhan diarahkan kepada 551 imam dan tujuh orang diakon.

Tapi anehnya, dari jumlah imam yang disebutkan itu 253 orang sudah meninggal, 58 orang sudah menjadi awam, 184 sudah “dipecat” dan 281 dinyatakan sudah pernah ada dalam audit sebelumnya.

Dari sekian banyak kasus yang dilaporkan itu, sekitar 68 persen terjadi atau mulai terjadi antara tahun 1960 hingga 1984 dengan mayoritas korban (82 persen) adalah laki-laki, meskipun ada juga (11 orang) dari anak di bawah umur adalah anak perempuan.

Meskipun banyak yang mencibir Gereja Katolik AS atas kasus-kasus ini, namun tanggungjawab yang ditunjukkan di sana bisa diacungi jempol.

Dalam laporan itu ditemukan pula bahwa keuskupan-keuskupan di AS (untuk pertama kali) memberikan bantuan kepada 453 orang yang datang melapor tahun 2011 dan meminta bantuan penyembuhan atau rekonsiliasi. Sementara sekitar 1.750 orang yang sudah datang melapor pada tahun-tahun sebelumnya masih terus diberikan pelayanan oleh gereja.

Memang menyedikan juga karena ditemukan bahwa setengah dari para korban masih berusia antara 10-14 tahun pada saat mereka mengalami pelecehan. Tentu saja trauma itu dibawa hingga usia dewasa.

Barangkali yang membuat orang juga bertanya-tanya, kebanyakan kasus yang dilaporkan pada tahun 2011 lalu merupakan  kasus-kasus yang terjadi antara 1975-1979. Itu artinya kasus itu dilaporkan 30 tahun kemudian.

Tanya kenapa baru dilaporkan? Jawabannya: This is America. Blogpost oleh Siktus Harson

KLONING MANUSIA AKAN MENJADI KENYATAAN


indonesia.ucanews.com, 20/04/2012
Oleh Choe Jae-chun, dosen Eco-Science di Ewha Womans University,  Seoul.

Perkembangan ilmu pengetahuan memaksa  kita untuk berpikir tentang kehidupan berbeda dari sebelumnya, dari perspektif baru.

Dewasa ini kloning manusia sudah sangat mungkin, meskipun debat soal implikasi etiknya terus bergulir. Hingar bingar  seputar klaim oleh dua kelompok lembaga penelitian independen sudah berputar, masing-masing mengatakan sudah memproduksi atau akan memproduksi kloning bayi manusia.

Kita tidak punya pilihan selain menghadapi kenyataan ini.

Kehidupan dari tiap-tiap organisme sudah berakhir. Sebagian besar agama menerima bahwa hidup itu fana, tapi mengajarkan kita bagaimana memperoleh kehidupan kekal.

Akan tetapi kodrat fana dari kehidupan di dunia hanyalah suatu sudut pandang organisme. Hidup pada tingkat genetik sifatnya abadi karena organism dirancang oleh gen untuk diperbanyak sebanyak mungkin.

Hidup di planet bumi dimulai dengan kelahiran DNA miliaran tahun lalu. Sejak itu DNA terus membentuk berbagai macam tubuh. DNA hidup di dalam tubuh apa saja, mulai dari semut, kadal, hingga anda dan saya, dan akan terus memperbanyak diri seperti yang sudah-sudah.

Gen tidak mendikte setiap gerakan dan napas kita, tapi segala sesuatu yang tidak tertulis dalam DNA kita tidak serta merta bertumbuh dalam diri kita.

Orang Kristen memberi arti atas roh (jiwa) melalui hubungan dengan Tuhan, namun saya berpendapat bahwa jiwa manusia juga memiliki fenomena biologis. Saya tidak mengatakan bahwa jiwa merupakan ekspresi langsung dari DNA, karena bahkan kembar yang mirip sekalipun dengan gen yang serupa tidak memiliki jiwa yang sama. Manusia kembar boleh saja secara genetic sama tapi secara biologis berbeda. Demikian juga dengan cloning. Jiwa manusia tidak bisa dikloning.

Secara pribadi, saya lebih khawatir soal manipulasi gen daripada kloning itu sendiri. Manipulasi gen memberikan bahaya yang nyata dan tanpa tunda-tunda terhadap stabilitas masyarakat kita. Godaan untuk menukar gen buruk dengan gen baik akan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.

Akan tetapi tidak ada masalah dengan orang yang mencoba mempersenjatai diri dengan gen yang lebih baik. Masalahnya, pengganti gen akan bekerja pada arah berlawanan dengan apa yang dicapai melalui reproduksi seksual. Reproduksi seksual (sexual reproduction) meningkatkan perbedaan genetik (genetic diversity), sedangkan gen pengganti (gene substitution) akan menurunkan perbedaan gen dari populasi secara keseluruhan.

Karena itu, etika baru diperlukan di ‘dunia yang berani’ yang kita tinggali saat ini. Moralitas merupakan bagian dari manusia karena kita hidup dalam masyarakat. Salah satu teori revolusi sosial yang sangat kuat adalah teori altruisme timbal balik, di mana moralitas menjadi inti dari hubungan timbal balik itu.

Kita cenderung berpikir bahwa dunia menjadi tidak bermoral, barangkali karena kita belum bisa membangun dan menimplementasi etika standar yang sesuai dengan era baru. Kita tidak boleh menuangkan  anggur ke dalam botol lama.

Perkembangan-perkembangan terkini dalam ilmu pengetahuan member kita banyak permasalahan yang tidak mudah. Ketakutan dan ketidaktahuan tidak akan membantu kita dalam memecahkan masalah-masalah itu. Upaya-upaya untuk mempelajari lebih banyak tentang masalah dan dialog antara ilmu pengetahuan dan ilmu filsafat menjadi pilihan kita satu-satunya. 

Naskah asli: Human cloning may soon be reality

Tuesday, July 3, 2012

Kolom Tom Saptaatmaja-Rasisme Belum Terkalahkan, Tabloid BOLA, 2-4 Juli 2012




"All men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness (Thomas Jefferson)

Akhirnya usai sudah perhelatan akbar Euro 2012. Selamat kepada pemenang. Dan bagi timnas yang kalah, yang berjumlah 15 negara, tidak perlu berputus asa. Masih ada harapan untuk menggapai kemenangan empat tahun mendatang di ajang Euro 2016, yang akan digelar di Prancis.Toh, baik menang atau kalah,sama-sama merupakan bagian dari permainan.

Namun ada satu hal yang belum bisa dikalahkan di Euro 2012, yakni rasisme.Jika berbicara isu satu ini, seolah ada kontradiksi. Di satu sisi,  sepak bola, di ajang manapun, termasuk Euro, hendak mempromosikan semangat persaudaraan antar manusia. Namun di sisi lain, justru masih  terjadi  rasisme yang merendahkan martabat manusia.

Seperti diketahui, rasisme lahir dari etnosentrisme yang mengagungkan  superioritas ras tertentu atas ras lain. Ini naluri primitif yang ada dalam semua peradaban. Orang Haiti misalnya, yakin merekalah orang pertama yang diciptakan para dewa, baru kemudian suku bangsa lain. Orang kulit hitam, yang kerap dijadikan sasaran rasis, juga diyakini oleh apra rasis kulit putih sebagai orang yang tidak memiliki jiwa.

Menyedihkan bahwa rasisme masih terus terjadi dan dibawa ke ranah bola. Padahal seorang Mario Balotelli, Theo Walcott, Asley Cole atau pemain bola berkulit hitam di Euro kali ini tidak bisa memilih hendak lahir berkulit apa. Tapi toh Tuhan sudah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kita saling mengisi dan berbagi. Sayang dalam kenyataan, perbedaan ras dan warna kulit, justru diselewengkan sehingga terciptalah tindakan rasis.

Upaya Otoritas Bola

FIFA, otoritas tertinggi sepak bola dunia pernah menunjuk Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010.Salah satu tujuannya agar perhelatan akbar sepak bola dunia bisa efektif melawan rasisme, karena untuk pertama kali digelar di benua hitam. Apalagi Afsel  dulu amat rasis karena rejim apartheid-nya. FIFA juga terus gencar mengkampanyekan slogan “Say No To Racism”. Tiap nonton siaran langsung Euro, kita juga diajak “Unite Againts Racism”.

Tapi rasisme tak mudah dikalahkan.Kita tentu merasakan betapa pahitnya orang yang dihina sebagai monyet, dilempari pisang, hanya karena warna kulitnya. Pantas Mario Balotelli, anak imigran asal Ghana yang membela Italia, sebelum Euro dimulai, sudah  mengancam akan membunuh siapapun yang berlaku rasis terhadap dirinya. Balotelli atau pemain lain, merasakan benar  sakitnya dicemooh sebagai “kera”. Maka EUFA-pun memberi denda tinggi pada asosiasi sepak bola peserta Euro, yang suporternya berlaku rasis, seperti Rusia atau Kroasia.

Para rasis ini jelas ingin dengan sengaja merusak dan menodai citra sepakbola sebagai olahraga yang mempersatukan umat manusia.  

Jika dikaji lebih dalam, rasisme jelas  bertentangan akal sehat dan spirit  multikulturalisme. Sepakbola merupakan olahraga yang sangat cocok dengan ‘spirit’ multikulturalisme, karena semua ras, semua umat beragama, bahkan yang ateis atau agnotis sekalipun tidak dilarang untuk menyukai sepak bola. Bahkan bermainpun tidak dilarang.

Maka di ajang Euro kali ini, kita juga melihat  contoh betapa spirit multikulturalisme juga mendapat tempat. Kita bisa melihat semangat  itu dari keragaman latar belakang warna kulit, etnis, kultural, dan bahkan agama para pemain dalam sebuah timnas..Hampir tidak ada satu timnaspun yang pemainya berlatar belakang etnis atau ras yang homogen. Menurut paradigma multikulturalisme, dalam sepak bola-seorang pemain dihargai dan diakui sepakterjangnya bukan berdasarkan warna kulit, tetapi berdasarkan  prestasi dan kemampuannya.

Semangat multikulturalisme juga ingin menghargai keragaman dan perbedaan sebagai rahmat. Simak saja ke 16 peserta Euro 2012, masing-masing tim selalu memiliki pemain berkulit hitam atau bukan murni ras kulit putih khas Eropa.Kita sudah melihat bagaimana pemain bola yang berkulit putih atau hitam ternyata bisa bekerja sama melahirkan kemenangan.Perbedaan warna kulit ternyata bukan merupakan sebuah kutukan.

Multikulturalisme memang bertujuan agar manusia yang beragam dan berbeda bisa menciptakan  kerjasama, kesederajatan dan saling mengapresiasi di dalam sebuah dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

Unite Againts Racism

Meski demikian, multikultarisme tidak ada artinya jika kita tidak terus melakukan perlawanan lewat jalur humanisasi. Lewat slogan “Katakan tidak pada rasisme”, FIFA sesungguhnya tengah melakukan humanisasi  agar sepakbola menjadi sarana untuk mewujudkan nilai-nilai dan harapan universal umat manusia yang setara derajatnya. Bila hingga Euro kali ini, rasisme belum bisa dikalahkan, kita jangan menyerah.Menurut Presiden Barack Obama, yang kenyang jadi korban rasisme, perjuangan melawan rasisme merupakan  perjuangan panjang.Maka kita harus bersatu melawan rasisme.

Maka di tengah euforia Euro, kalimat Thomas Jefferson di awal tulisan ini bisa dijadikan “warning”. Jangan lupa rasisme juga terjadi di sepak bola kita. Menurut filsuf dan deklarator kemerdekaan Amerika itu, “Manusia diciptakan setara. Mereka juga   dianugerahi Sang Pencipta, hak pasti yang tak boleh dirampas orang lain,  yakni hak akan kehidupan, kebebasan dan kebahagiaan”