Thursday, April 19, 2012

Jatuh Cinta pada Kapitalisme by Jojo Raharjo-Jurnalis Kompas TV

Pernahkah Anda bayangkan kalau ternyata Yesus itu lahir di Indonesia?

Tak terhitung berapa kali saya menonton film “Capitalism: A Love Story” di HBO. Tapi, entah mengapa setiap film itu kembali diputar, saya ingin menyaksikannya lagi dan lagi. Film “Capitalism: A Love Story” dibuat, ditulis, distrudarai, dan juga diperankan oleh Michael Moore pada 2009, tahun di mana Amerika Serikat mengalami krisis keuangan akibat salah kelola manajemen perusahaan-perusahaan besar.

Ini film dokumenter, pada beberapa bagian tampak membosankan, saat banyak menayangkan kutipan dari banyak orang, termasuk praktisi perbankan, industri keuangan besar, akademisi, sampai tokoh agama tentang apa itu kapitalisme. Seorang pendeta yang diwawancarai berujar, “Kapitalisme adalah iblis, dan Anda tidak bisa mengatur iblis. Anda harus melenyapkannya.”


Persoalan menjadi terang-benderang saat cerita mengambil human example mereka yang menjadi korban kapitalisme. Rumahnya disita karena dianggap tak mampu membayar bunga cicilan. Atau isteri korban meninggal yang merasa dana santunannya ditilep perusahaan asuransi.

Inilah potret wajah Amerika sesungguhnya, beda dengan mayoritas film Hollywood lain yang kerap menampilkan sisi heroisme negara Abang Sam. Ini potret negara adidaya yang tak kuasa mengerem fakta bahwa ada 14 ribu orang kehilangan pekerjaan setiap hari. Film ini menampilkan sebuah inspirasi, saat penduduk yang rumahnya dirampas oleh bank mengumpulkan kekuatan untuk merebut kembali tempat tinggalnya.

Pun dapat dilihat dalam adegan pendudukan sembilan hari oleh buruh terhadap sebuah pabrik yang telah bangkru. Aksi pendudukan pabrik ini akhirnya berhasil mempercepat kreditor Bank of Amerika dan JP Morgan Chase untuk menyelesaikan masalahnya dengan mencairkan dana sebesar 1,75 juta dolar Amerika. Sebuah tanda-tanya besar sekaligus hujatan muncul di akhir film: mengapa negara terkaya di atas muka bumi ini tidak mampu menyediakan pekerjaan, jaminan kesehatan, perumahan yang layak, dan pendidikan yang memadai bagi semua rakyat?

Yesus dan kapitalisme

Bicara soal kapitalisme, saya terinspirasi tulisan Jan Windy, seorang kawan di Nusa Tenggara Timur. Ia berkisah, saat Maria dan Yusuf datang dari Soe, di tengah perjalanan Maria merasa akan melahirkan. Mereka pun pergi ke RSU. W.Z. Yohanes Kupang dan mendapati petugas yang menginformasikan bahwa kamar sudah penuh, apalagi saat itu Yusuf tidak memiliki Kartu Askeskin akibat lupa didata kepala desa. Akhirnya Yusuf membawa Maria ke Pasar Kasih Kupang, di sana Yesus dilahirkan dan dibaringkan diatas dedegu tempat menjual sayur pedagang dari Naioni yang baru saja digusur.

Tersiar kabar kelahiran Yesus kemana-mana, sehingga Herodes yang saat itu menjadi gubernur sangat ingin membunuh Yesus, yang menurut ramalan adalah generasi penerus bangsa ini. Menurut kabar juga Yesus adalah pembawa damai, yang akan meneriakan demokratisasi dan kehidupan yang sejahtera bagi rakyat tertindas. Namun Yesus lolos dari incaran Herodes yang ingin membunuhnya.

Setelah Yesus dewasa, banyak mujizat yang dibuat-Nya sehingga banyak orang percaya bahwa Dialah generasi penerus bangsa ini. Yesus memberi makan 5 ribu orang karena saat itu terjadi rawan pangan dan 39 persen anak mengalami gizi buruk. Yesus menyembuhkan orang sakit karena masyarakat tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang sangat tinggi, kalaupun ada Askeskin apotek-apotek selalu kehabisan obat-obat generik dalam resep dokter.

Yesus sempat mampir di rumah Zakheus sang pemungut cukai sehingga Zakheus bertobat, coba saja saat itu ada Gayus Tambunan, mungkin dia juga akan bertobat, tapi saat itu Gayus sementara berlibur ke Bali.

Saat Yesus tertangkap, Dia dijual oleh Yudas. Untung Yudas saat itu bukan calo TKI dari PPJTKI “X” sehingga Yesus tidak dikirim ke Malaysia menjadi pembantu rumah tangga. Yudas menjual Yesus pada kaum Farisi untuk dijadikan kambing hitam kejahatan dan dosa manusia, hingga Yesus diperhadapkan di pengadilan negeri.

Penduduk negara terkaya korban kerakusan ekonomi. Kapitalisme adalah iblis.

Pilatus yang saat itu menjadi hakim ketua menawarkan kepada rakyat apakah harus membebaskan Yesus atau Barabas, sang koruptor APBD. Entah Pilatus terlibat Markus (Makelar Kasus) atau dijanjikan proyek pemda terkait keterlibatannya sebagai Marten Pilatus (Makelar Tender), Pilatus akhirnya membebaskan Barabas.

Yesus tidak sempat meminta penangguhan penahanan, selain harus membayar pengacara yang mahal, Ia juga harus menyediakan uang jaminan lima puluh juta rupiah. Yesus tetap berpijak pada kewajiban-Nya untuk menebus kesalahan manusia, Ia memposisikan diri sebagai penjamin dari kesalahan-kesalahan manusia. Kalaupun Ia meminta penangguhan penahanan tentu akan sangat sulit, karena Yesus bukan pejabat yang bisa mendapatkan perlakuan istimewa dan kebal hukum.

Usai bangkit dari kematian, Yesus naik ke sorga. Petrus dan kawan-kawan ditugaskan untuk memberitakan Injil di seluruh penjuru dunia. Mereka pun melakukan sosialisasi, workshop, FGD, seminar sehari, dan berbagai acara konsinyering. Ceritera kebangkitan Yesus membahana di mana-mana. Banyak pejabat negara datang di pertemuan-pertemuan itu, entah keikutsertaan mereka untuk mendengar kisah Yesus atau hanya sekedar menggunakan momen mencairkan SPPD dan jalan-jalan di Jakarta. Bahkan setelah seminar, diketahui banyak SPPD fiktif. Ada anggaran SPPD yang dicairkan di tapi orangnya tidak pernah berangkat ke Jakarta mengikuti seminar.

Di Sorga, Yesus melakukan monitoring dan evaluasi, melihat keberhasilan-Nya menebus dosa manusia. Ia sontak kaget ketika matanya tertuju ke Indonesia, telinga-Nya hampir ditutup mendengar kesombongan manusia yang membanggakan dosa-dosa. Kapitalisme membutakan semuanya.

Wednesday, April 18, 2012

Eisenhower dan Sembilan Murid Hitam

Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 10 Januari 2012


Kisah ini sangat mengharukan saya. Sembilan murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota Washington, masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk sekolah hendak dibatalkan oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung turun tangan melindungi murid-murid yang masih belia itu.

Kisah ini terjadi jauh di negeri lain di tahun 50-an. Tokoh utamanya adalah sembilan murid berkulit hitam, Presiden Dwight D. Eisenhower dari Amerika Serikat, dan Gubernur negara bagian Arkansas Orval Faubus. Lokasinya, sebuah sekolah menengah Little Rock High School di Little Rock, ibukota negara bagian Arkansas. Kisah ini patut menjadi teladan untuk negeri kita, terutama untuk para pemangku kebijakan.
Inilah kisah selengkapnya.

Sejarah perbudakan di AS berlangsung sejak lama, jauh sebelum negeri itu berdiri pada 1776. Sebelum abad ke-16, lembaga perbudakan ada hampir di seluruh pelosok dunia, termasuk di dunia Islam. Baru pada pertengahan abad ke-16, muncul suara-suara protes dari kalangan gereja yang menyerukan penghapusan perbudakan. Salah satu sekte Kristen yang terkenal dengan semangat anti-perbudakan adalah Quaker. Bagi mereka, perbudakan adalah praktik yang un-Christian, tidak Kristiani.

Pada tahun 1865, perbudakan dihapuskan secara resmi di AS melalui amandemen ke-13, persis setelah perang sipil yang berlangsung selama lima tahun (1861-1865). Meski demikian, praktik diskriminasi terhadap mantan budak masih terus berlangsung, terutama di bagian Selatan. Praktik segregasi itu bahkan disahkan melalui doktrin hukum yang terkenal saat itu: equal but separate.

Inti doktrin itu, orang-orang kulit hitam (belakangan lebih dikenal dengan sebutan African-American) dianggap sebagai warga negara yang sama dengan warga lain, tetapi mereka tak diperbolehkan berbaur dengan warga lain itu, terutama yang berkulit putih. Penganut doktrin ini beranggapan bahwa praktek ‘equal but separate’ tak berlawanan dengan amandemen ke-13.

Dengan doktrin ini, orang-orang hitam tak boleh bersekolah di tempat yang sama dengan orang-orang kulit putih, dilarang masuk ke tempat-tempat umum dimana orang kulit putih ada di sana: restoran, pub, bar, bahkan toilet. Orang kulit hitam memang dianggap sebagai warga negara yang sah dan sama kedudukannya dengan warga lain, tetapi mereka seperti ‘dikarantina’ di tempat yang terpisah.

Praktik segregasi, terutama di sekolah itu, baru dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) AS pada 1954 melalui suatu keputusan yang dikenal dengan Brown v. Board of Education. Keputusan mahkamah ini menyatakan bahwa seluruh praktik segregasi di sekolah-sekolah AS tidak sah dan berlawanan dengan konstitusi. Seluruh sekolah diharuskan untuk mengintegrasikan murid-murid berkulit hitam dengan murid-murid kulit putih. De-segregasi juga diharuskan di tempat-tempat publik yang lain.

Semua sekolah, tentu dengan enggan, menaati aturan ini. Tetapi ada perkecualian yang kemudian pecah sebagai insiden yang menghebohkan seluruh Amerika pada tahun 1957. Insiden itu terjadi di sebuah sekolah menengah di kota Little Rock, yakni Little Rock High School.

Menindaklanjuti keputusan mahkamah itu, NAACP (National Association for the Advancement of Colored People), sebuah LSM yang berjuang untuk membela hak-hak sipil warga kulit hitam, berencana untuk mendaftarkan sembilan murid hitam di Sekolah Little Rock yang, sudah tentu, seluruh muridnya berkulit putih. Kepala sekolah setuju. Rencananya, kesembilan murid itu akan mulai masuk pada musim gugur 1957, persisnya pada 4 September 1957.

Rencana ini diprotes oleh kelompok kulit putih yang pro segregasi. Mereka ramai-ramai mendatangi sekolah itu dan menghalang-halangi kesembilan murid tersebut untuk masuk gerbang sekolah. Yang lebih dramatis, Gubernur negara bagian Arkansas Orval Faubus mendukung kaum segregasionis itu, dan, tak main-main, mengirimkan pasukan Garda Nasional dari Arkansas untuk membantu kaum kulit putih mencegah sembilan murid hitam memasuki halaman sekolah.

Sembilan murid hitam itu akhirnya gagal masuk sekolah. Mereka, murid yang masih ingusan itu, dicegat oleh barisan tentara Garda Nasional. Mereka juga menjadi sasaran cemoohan dan pelecehan massa kulit putih yang meneriakkan yel-yel, “Two, four, six, eight… We ain’t gonna intregrate!” Mereka mengejar dan memukuli para wartawan yang meliput peristiwa itu.

Peristiwa ini langsung menjadi isu nasional yang menyedot perhatian seluruh warga Amerika.

Melihat tindakan gubernur Arkansas yang nyata-nyata melawan keputusan Mahkamah Agung ini, Presiden Dwight D. Eisenhower langsung turun tangan. Dia meminta Gubernur Faubus menemuinya secara pribadi, dan memerintahkan agar dia tak membangkang dari keputusan Mahkamah. Gubernur Faubus rupanya tak menggubris. Terjadilah ketegangan antara pemerintah federal dan negara bagian.

Presiden Eisenhower akhirnya mengambil alih masalah ‘kecil’ kota Little Rock ini. Dia mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat AS ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam itu. Tindakan Presiden Eisenhower membuahkan hasil. Pada 23 September 1957, untuk kali pertama, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 pasukan AD Amerika.

Presiden Eisenhower juga mengambil tindakan drastis lain—memfederalisasi pasukan Garda Nasional Arkansas dan menempatkannya langsung dibawah komando presiden, bukan lagi di bawah Gubernur Faubus. Tujuannya jelas: agar Gubernur Faubus tak menggunakan tentara garda itu untuk melawan pemerintah federal.

Kisah ini sangat mengharukan saya. Sembilan murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota Washington, masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk sekolah hendak dibatalkan oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung turun tangan melindungi murid-murid yang masih belia itu.

Keberanian Presiden Eisenhower untuk langsung turun tangan dan ambil alih masalah ini, merupakan ‘kebajikan kepemimpinan’ (virtue of leadership) yang layak diteladani. Sudah tentu, tindakan Presiden Eisenhower ini kontroversial, dan ditentang oleh orang-orang kulit putih di kawasan Selatan yang umumnya masih pro segregasi. Tetapi, konstitusi tetaplah konstitusi, dan harus ditegakkan.

Kasus di negara bagian Arkansas ini mengingatkan kita pada kasus yang nyaris serupa. Walikota Bogor, Diani Budiarto, membangkang dari keputusan MA yang telah menjamin hak jemaat GKI Yasmin untuk membangun gereja di sebuah kawasan perumahan di Bogor. Apa yang dilakukan oleh walikota ini persis dengan yang dilakukan oleh Gubernur Orval Faubus dari Arkansas.

Dalam kasus GKI Yasmin ini, kita tentu berharap ada ‘Eisenhower Indonesia’ yang mau turun tangan langsung dan memastikan bahwa hak-harga warga negara untuk membangun rumah ibadah yang dijamin oleh konstitusi itu tak dicederai.

Pemerintahan Tanpa Budayawan

Daoed Joesoef, Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
SUMBER : KOMPAS, 16 April 2012


Sejak awal pembentukannya bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan nasional 17 Agustus 1945, pemerintah kita tidak tinggal diam. Mereka terus melangkah ke depan melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan oleh UUD 45.

Pelaksanaan ini secara keseluruhan dinyatakan sebagai ”usaha pembangunan guna mengisi kemerdekaan”. Yang sangat spektakuler adalah pembangunan yang dilakukan pada zaman Orde Baru dan kelihatannya kini diteruskan oleh beberapa pemerintahan pada era Reformasi.

Namun, efeknya dalam realitas kehidupan kerakyatan sehari-hari tidak spektakuler. Infrastruktur ekonomi yang dibangun di sana-sini tidak semeriah rumusan politiko-ekonomi dari kebijakan-kebijakan pembangunan itu sendiri. Maka timbul aneka gejolak kerakyatan yang tidak jarang menjurus ke perpecahan keutuhan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah keliru melangkah karena orang-orang yang berkesempatan mengendalikan memang salah pandang sebelum membuat keputusan bergerak ke depan. Pandangan itu selalu berupa ”Ke mana kita menuju?”.

Ingat Asal-Usul

Sudah saatnya pandangan diganti dengan ”Dari mana kita berawal?”. Pandangan awal ini bagai koordinat yang memungkinkan kita mengetahui adanya penyimpangan, kelalaian, bahkan menyadarkan kita akan adanya arogansi keilmuan, kehilangan dan erosi nilai kearifan lokal (local wisdom). Berhubung kita bergerak ke depan tanpa merasa perlu mengetahui dari mana kita berasal, kita telah melupakan begitu saja makna sejati dari ungkapan ”Tanah-Air”, kemanunggalan Tanah dan Air, suatu ”archipelago”.

Ungkapan itu bukan hendak mengatakan ”pulau-pulau yang dikelilingi air (lautan)”, bukan pula ”Negara Kepulauan”. Ia adalah ”air (lautan) yang bertaburkan pulau-pulau”. Di Tanah-Air Indonesia, permukaan air ini jauh lebih luas daripada totalitas permukaan semua pulau yang termasuk dalam kedaulatannya. Lagi pula, baik air maupun pulau mengandung kekayaan alam beraneka. Jadi kita adalah ”Negara Maritim” yang kaya raya, sejak dahulu berbudaya bahari, bukan ”Negara Kepulauan” berbudaya kontinental.

Sikap kemaritiman ini jelas kelihatan pada sepak terjang Kerajaan Majapahit. Ekonominya berbasis agraris, namun punya armada dagang dan angkatan laut tangguh, yang berarti menguasai teknikalitas pembuatan kapal. Demikian pula Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayatsyah Saidil Mukmil (1588-1604) diangkat seorang laksamana perempuan, Malahayati. Dia memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh menumpas armada Portugis yang ketika itu negara adikuasa. Angkatan Laut Kerajaan Ternate, yang wilayahnya meliputi Papua, diakui kehebatannya oleh para pelaut Inggris yang biasa mengarungi Lautan Teduh. Semangat maritim dan budaya bahari, yang dahulu membuat para penguasa di Nusantara berjaya, dengan sengaja dan sistematik diredam oleh Belanda ketika berhasil menjajah Indonesia.

Kerajaan Belanda tetap menolak kadet ”inlander” di Akademi Angkatan Lautnya (Den Helder) walaupun Akademi Militer Angkatan Daratnya (Breda) bersedia menerima. Pelayaran antarpulau (paketvaart) di perairan kita dimonopoli oleh (maskapai pelayaran KPM) Belanda dan bukan membantu memodernisasi usaha angkutan laut tradisional penduduk asli.

Ketidakpedulian pada makna sejati dari ungkapan Tanah-Air mendorong pemerintah kita sekarang menerapkan teknologi modern pada urusan penerbangan, bukan untuk ”membangkitkan batang terendam” di lautan. Sampai-sampai sistem pertahanan nasional berfokus pada kekuatan darat, bukan ketahanan laut. Maka negara sekecil dan semuda Malaysia pun berani melecehkan kedaulatan NKRI.

Kita pun lalai membangun desa-desa pantai beserta kehidupan penduduknya, yang sebagai nelayan tetapi tinggal di darat, berpotensi riil turut menjaga siang dan malam keamanan pantai kita yang panjangnya konon satu setengah kali garis khatulistiwa. Kita juga meremehkan pembangunan pulau-pulau terluar di perbatasan nasional, sampai ada yang lepas atau lenyap karena dikorek untuk memperluas daratan negara-kota Singapura.

Orientasi Darat dan Jawa

Kini kita sibuk memikirkan realisasi proyek jembatan Selat Sunda, bukannya membangun pelabuhan-pelabuhan yang layak bagi pelayaran rakyat antarpulau, termasuk pelabuhan perikanan setaraf Bagan Siapi-api yang dahulu dibangun Belanda di pesisir timur pulau Sumatera. Di luar Pulau Jawa jumlah jembatan sungai juga masih minim dan jalan-jalan antarkota lebih mirip kubangan kerbau.

Berhubung mengabaikan asal-usul, kita bagai ”kacang lupa kulitnya”. Pembangunan nasional, sebagai usaha kolektif mengisi kemerdekaan, kita reduksi menjadi pembangunan ekonomi ala Barat yang kemajuannya diukur dengan kenaikan pendapatan (produk nasional bruto, produk domestik bruto, rata-rata pendapatan per kapita). Padahal Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi, menyatakan ”...there is a paradox at the heart of our lives. Most people want more income and strive for it. Yet as Western societies have got richer, their people have become no happier.”

Sedangkan kebahagiaan ini yang menjadi aspirasi revolusi kemerdekaan 1945. Negara-bangsa Indonesia lahir dari revolusi tersebut. Bung Hatta yang konsisten berjuang mewujudkan kemerdekaan sejak mahasiswa, yang berpendidikan formal ekonomi, justru karena mempelajarinya dengan saksama, tidak mau menggunakan penalaran idiil ilmu yang satu ini dalam menyatakan ideal kemerdekaan.

Sebaliknya dia mengatakan, ”Kita ingin membangun satu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia.” Dia kiranya menyadari bahwa ”kebahagiaan”, happiness, tidak dikenal dalam kamus ilmu ekonomi. Yang ada adalah ”kemakmuran”, welfare, yang standar ukurannya adalah pendapatan nasional maupun pribadi.

Dengan mereduksi pembangunan nasional menjadi hanya pembangunan ekonomi, mesin produksi didikte oleh ”prinsip pasar” dari ajaran ekonomi, bukan oleh aspirasi rakyat sewaktu berevolusi. Bank Dunia dan IMF memegang teguh ajaran tersebut sebagai pedoman kerja dan dasar pengambilan keputusan. Para ekonom- teknokrat pembangunan ekonomi kita juga merupakan penganut setia kedua lembaga finansial dunia tersebut, seperti ”kerbau dicocok hidung”. Mereka menganggap Bung Hatta sebagai ”ekonom kolot”.

Bila kita berbicara mengenai kebahagiaan, kita sekaligus bicara tentang manusia. Manusia adalah makhluk pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai. Berhubung sistem nilai yang dihayati per definisi adalah budaya/kebudayaan, maka manusia adalah fakta fundamental dan primordial dari budaya/kebudayaan.

Berarti ide tentang kebudayaan menetapkan supremasi manusia di atas kewargaan
(citizenship). Maka konstitusi Amerika Serikat mengakui ”the right to happiness” sebagai salah satu dari ”inalienable human right”.

Revolusi kemerdekaan 1945, termasuk juga persiapannya tahun 1908 dan 1928, lahir dari wacana kebudayaan yang dikembangkan oleh kaum terdidik kita dan sebagian besar memperoleh pendidikan ala Barat. Tanpa berpretensi ”budayawan”, sikap dan sepak terjangnya dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional mencerminkan ide kebudayaan yang dikembangkan oleh ”Bildung”. Ide khas ini menyimpulkan pertumbuhan dan finalitas manusia dalam konkretisasi pembentukan keintelektualan, moral, estetika dan kebebasannya, serta hubungan antara budaya dengan alam serta kaitan budaya, politik, dan pendidikan.

Mencerahkan Humanitas

”Bildung” memasyarakat di abad XVIII, di zaman idealisme Jerman, dikembangkan
oleh pemikir (Schiller, Rousseau), filsuf (Fichte, Nietzsche), dan pujangga (Goethe). Ia adalah ide kebudayaan yang mencerahkan humanitas di samping ”Kultur”. Orang Eropa lain mencakup kedua pengertian budaya itu hanya dalam satu istilah ”culture”. ”Bildung” adalah kata benda yang berasal dari kata kerja ”bilden”, berarti membentuk, mengembangkan, mengadabkan. Maka ”Bildung” bermakna pembentukan, perkembangan, peradaban. Ide tentang kebudayaan di Barat memperoleh bentuk orisinal dengan sebutan ”Bildung” ini.

Menyadari bahwa pembangunan harus ada demi penyempurnaan ”revolusi yang belum selesai”, Bung Karno membentuk lembaga ”Badan Perencanaan Pembangunan Nasional” (Bappenas). Badan ini masih ada, namun fungsinya sekarang direduksi menjadi ”pembangunan ekonomi”, yang dikonsepkan ”Harvard Group” bersama-sama Bank Dunia dan IMF dan diadopsi dengan setia oleh ekonom-teknokrat kita hingga sekarang.

Hasilnya, lihat saja. Pemerintah kita tetap terbuai karena terus disanjung negara-negara industrial kapitalis maju, enggan mengikutsertakan budayawan, dan tidak mau tahu dengan bahaya laten yang mengancam dari berbagai sudut. Bahaya ini berupa krisis negara-bangsa, meliputi krisis negara dan krisis bangsa, krisis hubungan antara negara dan bangsa dengan negara-bangsa itu sendiri. Dengan sinis orang menyoal kembali makna dari ”bangsa”, ”negara”, ”negara-bangsa”, ”Bhinneka Tunggal Ika”, ”Pancasila”.

Sudah saatnya kita mewujudkan pembangunan nasional dengan pendekatan budaya. Berarti budayawan perlu diperhitungkan dalam pemerintahan. Budayawan sudah terbiasa menyatukan ”nalar” dan ”hati”, seperti yang pernah diingatkan oleh filsuf-matematikus Pascal, ”le coeur a ses raisons que la raison ne peut pas expliquer” - the heart has its reasons when reason cannot explain, hati punya penalaran sendiri ketika nalar tidak bisa menjelaskan. Sedalam-dalam samudra, lebih dalam hati budayawan, setinggi-tinggi gunung, lebih tinggi pikiran budayawan.

Ideologi dan Kekerasan

Ian Buruma, Guru Besar Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Bard College, New York; Pengarang Buku Taming The Gods: Religion and Democracy on Three Continents
SUMBER : KORAN TEMPO, 16 April 2012



Apa yang membuat Mohammed Merah, seorang remaja muslim Prancis, membunuh tiga anak sekolah dan seorang rabi Yahudi serta tiga orang tentara, yang dua di antaranya sesama muslim? Apa yang membuat Anders Breivik menembak mati lebih dari 60 remaja di sebuah perkemahan musim panas di Norwegia tahun lalu? Pembunuhan-pembunuhan ini begitu luar biasa, sehingga orang menuntut penjelasan.

Menamakan pembunuh-pembunuh ini "monster", seperti yang banyak dilakukan orang, tidak menjelaskan persoalan. Pembunuh-pembunuh ini bukan monster, mereka anak-anak muda. Dan menamakan mereka orang-orang gila juga tidak menjelaskan persoalan. Jika mereka secara klinis dinyatakan gila oleh dokter, tidak perlu ada penjelasan lagi.

Dua penjelasan menonjol, dua-duanya menyangkut persoalan sosio-politik. Satu dikemukakan aktivis muslim Tariq Ramadan. Ia menyalahkan masyarakat Prancis, khususnya menyalahkan kenyataan bahwa anak-anak muda dari keluarga muslim di Prancis telah dimarginalkan karena agama dan warna kulitnya.

Walaupun mereka memiliki paspor Prancis, warga-warga muslim ini diperlakukan sebagai orang asing yang tidak dikehendaki. Ketika Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, yang juga merupakan anak seorang imigran, mengatakan terlalu banyak orang asing yang tinggal di Prancis, ia makin memojokkan anak-anak muda, seperti Merah. Sekelompok kecil di antara mereka yang tersisihkan ini, seperti Merah, mungkin akan bereaksi keras dalam keputusasaan.

Penjelasan lainnya, yang disenangi Sarkozy, adalah menerima apa yang dikatakan Merah sendiri. Merah menyatakan memprotes operasi-operasi militer yang dilakukan Prancis di negara-negara muslim dan membalas dendam pembunuhan anak-anak Palestina. Ia ingin meruntuhkan negara Prancis sebagai seorang pejuang muslim. Ia terinspirasi oleh Al-Qaidah. Jadi mengapa tidak percaya saja pada apa yang diucapkannya? Itulah alasan keputusan yang diambil Sarkozy untuk menangkap warga muslim lainnya yang dicurigai sebagai muslim ekstremis dan melarang imam-imam tertentu menghadiri konferensi keagamaan di Prancis.

Mereka yang memandang ekstremisme muslim sebagai masalah cenderung menyalahkan pembunuh-pembunuh muda, seperti Merah, sebagai bukti gagalnya integrasi. Mereka dianggap tidak cukup menunjukkan diri sebagai warga Prancis. Imigran-imigran ini harus dipaksa mengemban bersama "nilai-nilai Barat".

Meskipun tidak ada yang berargumentasi bahwa Anders Breivik tidak cukup menunjukkan diri sebagai warga Norwegia, ia juga bisa diterima sesuai dengan apa yang diucapkannya. Retorika yang dikemukakan demagog anti-imigran telah meyakinkan Breivik bahwa ia harus membunuh anak-anak elite sosial demokrat untuk melindungi peradaban Barat atas bahaya multikulturalisme dan Islam. Pembunuhan yang dilakukannya merupakan akibat ekstrem pandangan yang berbahaya.

Kedua alasan itu tidak sepenuhnya salah. Banyak anak muda muslim merasa tidak diterima di negara tempat mereka dilahirkan, dan bahasa yang ekstrem, baik yang digunakan kelompok islamis maupun kelompok lawan mereka, ikut menciptakan iklim kekerasan.

Tapi, baik Ramadan maupun Sarkozy terlalu simplistis dalam penilaian mereka, karena mereka mereduksi pembunuhan-pembunuhan yang luar biasa ini dalam penjelasan tunggal. Bahkan, ketika mereka dihadapkan pada penolakan, sebagian besar anak muda muslim itu tidak menjadi pembunuh massal. Merah adalah anomali yang sangat tidak pantas dijadikan contoh yang khas dari suatu apa pun, termasuk diskriminasi ras atau agama.

Merah, yang sama sekali bukan seorang fanatik agama, beranjak remaja sebagai seorang kriminal cilik yang sama sekali tidak menunjukkan minat pada agama. Daya tarik ekstremisme islamis mungkin glorifikasinya pada kekerasan, bukan pada kandungan agama itu sendiri. Merah menikmati video-video yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan kelompok jihadi. Ia mencoba masuk tentara Prancis dan legiun asing. Tentara menolaknya karena catatan kriminalnya. Jika Prancis tidak menghendakinya, ia akan ikut pejuang-pejuang jihadi: apa saja yang memberinya kekuatan dan alasan untuk memenuhi dorongan kekerasan dalam dirinya.

Banyak anak muda yang tertarik pada fantasi kekerasan, tapi sedikit sekali di antara mereka yang merasa perlu mewujudkannya. Ideologi bisa menjadi excuse atau pembenaran, tapi jarang merupakan sumber utama tindak kekerasan individu. Pembunuhan lebih sering merupakan bentuk balas dendam pribadi-–pecundang yang ingin meledakkan dunia di sekelilingnya, karena merasa dihinakan atau ditolak, apakah itu sifatnya sosial, profesional, atau seksual.

Kadang-kadang pembunuh itu tampaknya tidak memiliki excuse sama sekali, seperti dalam kasus Eric Harris dan Dylan Klebold, yang pada 1999 menembak 12 orang sesama siswa dan seorang guru di suatu sekolah menengah di Columbine, Colorado, Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, orang menyalahkan video game dan film sadistis yang disaksikan para pembunuh itu. Namun sebagian penggila jenis hiburan ini sebenarnya tidak berkeliaran dan membunuhi orang.

Breivik memendam fantasi seorang kesatria yang berjuang melawan musuh-musuh Barat. Merah berimajinasi sebagai seorang jihadi. Siapa yang tahu apa yang ada dalam benak pembunuh-pembunuh di Columbine itu ketika mereka melakukan kekerasan. Tapi alasan mengapa mereka membunuh itu terletak di dalam diri mereka sendiri, dan tidak bisa dikaitkan terutama dengan hiburan dan materi-materi lainnya yang mereka konsumsi.

Melarang materi-materi seperti itu, yang jelas punya daya tarik estetika, tentu tak tepat. Tapi toko-tokoh publik yang menyerukan kekerasan harus dikutuk. Pidato yang menanamkan kebencian dan ideologi yang menganjurkan kekerasan bukan tidak irelevan. Tapi terlalu membesar-besarkannya dalam kasus-kasus seperti yang dilakukan Merah atau Brevik bisa menyesatkan.

Sensor tidak mungkin menyelesaikan persoalan. Melarang Mein Kampf–nya Hitler atau melarang peragaan simbol-simbol Nazi tidak berhasil menghalangi neo-Nazi di Jerman membunuh para imigran. Melarang pornografi yang menonjolkan kekerasan tidak akan menghentikan pemerkosa dan pembunuh di sekolah-sekolah menengah. Mencegah demagog menyerang muslim dan multikulturalisme tidak akan mencegah seorang Anders Breivik baru melakukan kekerasan serupa di masa depan. Dan melarang imam-imam radikal masuk Prancis tidak akan mencegah seorang Merah lainnya melakukan kekerasan serupa pula.

Sebenarnya, membandingkan tindak pembunuhan yang dilakukan Merah dengan pembunuhan yang terjadi pada 11 September 2001, seperti yang diutarakan Sarkozy, berarti memberikan penghargaan yang terlalu tinggi kepada pembunuh tersebut. Tidak ada bukti bahwa Merah adalah bagian dari suatu kelompok yang terorganisasi atau memelopori suatu gerakan revolusi. Menggunakan kasus Merah untuk membangkitkan ketakutan akan ancaman kelompok islamis terhadap masyarakat mungkin berarti bagi Sarkozy pada saat bakal dilakukan pemilihan presiden yang baru di Prancis. Tapi membangkitkan ketakutan jarang menjadi resep yang baik untuk menghindarkan terjadinya kekerasan lebih lanjut. Sebaliknya, ia mungkin akan lebih mengobarkan ketakutan itu. ●

Sesat dan Menyesatkan

Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU
SUMBER : KOMPAS, 13 April 2012


Ada celotehan yang muncul: mengapa perbedaan—khususnya di ranah internal agama—saat ini terlihat semakin ganas. Mudah bersitegang, tidak pernah tuntas, ujungnya saling menyalahkan. Jangan murka dulu. Keluh kesah itu layak ditanggapi secara bijak. Seeing is believing, fakta yang bicara.

Apanya yang fakta? Kepenasaran kembali meluncur. Bukankah beda pendapat dalam segala hal sah-sah saja?

Dunia ini diciptakan sudah bermacam rupa. Mustahil untuk bisa dipersatukan. Tuhan menciptakan manusia dan seisi alam ini beragam supaya manusia saling memahami dan mengenali satu sama lain (lita’arafu). Penyeragaman terjadi karena ulah manusia yang didasari unsur luaran, semisal kepentingan politik.

Menyejarah

Sulit dielak, fakta keragaman dalam pemahaman internal keagamaan sering kali mencuat. Sungguh, fakta tersebut sudah terjadi jauh-jauh silam.

Dalam sejarah Islam, perbedaan pemikiran bukan sesuatu yang ”najis”. Vonis penajisan hanya ”dibakukan” dalam kelompok yang meyakini kebenaran pendapatnya, lalu menvonis pihak lain sebagai sesat. Baku hantam pun kerap mewarnai perjalanan dalam pencarian kebenaran.

Sejarah juga mencatat, hiruk-pikuk polemik dan kontroversi telah mewarnai pemikiran umat Islam sedari dulu. Sengitnya perdebatan antara Muktazilah, Murjiah, Rafidhah, dan Ahlussunnah, misalnya, telah direkam rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi dalam kitab al-Farqu bain al-Firaq. Dalam kitab tersebut terpapar dengan jelas kemajemukan pemahaman keagamaan.

Masyhur diketahui, dulu ada sekte khawarij yang mengaku pembela Islam yang paling orisinal. Mereka ini berslogan ’la hukma illa Allah’, tidak ada hukum kecuali yang datang dari Allah. Mereka hendak memancangkan kedaulatan hukum Allah.

Saking militannya untuk membela Islam, mereka jadi kalap dan tega-teganya mengafirkan kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Muawiyah bin Abu Sufyan yang terlibat dalam Perang Shiffin. Dalihnya, kedua kubu tersebut telah keluar dari Islam karena menempuh ”tahkim” (arbitrase) demi mengakhiri perang saudara di antara mereka.

Bagi khawarij, model arbitrase dianggap identik dengan berhukum berdasar aturan manusia, bukan aturan Allah. Karena itu, hukum yang pantas adalah vonis kekufuran dan hukum mati. Tak ayal, pada Ahad pagi, 17 Ramadhan 40 H, Ali bin Abi Thalib dibunuh di Kuffah. Pembunuhnya adalah Abdurrahman Ibnu Muljam. Sebenarnya yang akan dibunuh ada dua orang lagi, yakni Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sofyan dan Gubernur Mesir Amr bin Ash. Kedua pemimpin Islam ini akan dibunuh masing-masing oleh Abdul Mubarok dan Bakr Attamimi.

Saat ini pun muncul jemaah-jemaah Islam yang dengan ”pede”-nya tidak henti memojokkan Muslim lain sebagai ahli bidah, bahkan musyrik. Presiden SBY dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun sudah sering ditunjuk-tunjuk sebagai penguasa dan negeri thoghut karena tidak mau menerapkan hukum syariah. Tuduhan-tuduhan terhadap ulama di luar kelompoknya juga kerap meluncur seperti tuduhan ulama sesat (su’) hanya karena berbeda cara pengambilan dasar pemikiran (istinbath al-hukm). Ada pula doktrin dari suatu jemaah tertentu yang melarang menikahi seseorang yang jarang atau tidak pernah menjalankan shalat berjemaah. Kumpul-kumpul dengan kelompok yang dicap ahli bidah juga dilarang. Ukuran ’jidat hitam” atau beda cara berbusana pun bisa menjadi arena pertikaian.

Sebenarnya, jauh sebelumnya, di negeri kita muncul beberapa kelompok Islam yang kehadirannya menghebohkan sehingga dilarang. Contoh yang terkenal adalah Islam Jamaah, DI/TII, Baha’i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawuf berpaham wahdatul wujud, tarekat Mufarridiyah, juga gerakan Bantaqiyah (Aceh). Termasuk di dalamnya Ahmadiyah dan Syiah.

Sederet fakta di atas kiranya bisa jadi gambaran betapa sikap saling sesat-menyesatkan terus bergulir selaju derap perkembangan zaman. Porosnya adalah sikap yang mengklaim terhadap kebenaran pendapatnya serta merasa diri sebagai yang paling benar dan selamat (firqah al-najy).

Di Balik Penyesatan

Kelompok yang divonis sesat atau sempalan selalu dipandang sebagai kelompok yang memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Di sini menebal keyakinan bahwa yang sesat adalah sesat; ada fatwanya atau tidak. Dulu, kita ingat saat panas-panasnya ribut antara kalangan Islam modernis dan kalangan tradisionalis, selalu muncul sikap saling tuding sesat-menyesatkan. Dari sudut pandangan ulama tradisional, kaum modernis adalah sesat, sedangkan kaum modernis justru menuduh lawannya menyimpang dari jalan yang lurus.

Kelompok yang dituduh sesat tentu saja juga menganggap dirinya lebih benar daripada lawannya. Biasanya mereka justru merasa lebih yakin akan kebenaran paham atau pendirian mereka. Bahkan, sering kali mereka cenderung eksklusif dan kritis terhadap para ulama yang mapan.

Sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam paham dominan, yang tidak lepas dari situasi politik. Dalam banyak hal, ortodoksi didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tak disetujui dicap sesat. Persoalan ortodoksi atau otoritas keagamaan terlihat sebagai sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat. Ada kadar kontekstual.

Paham Asy’ariyah pada masa Abbasiyah pernah dianggap sesat saat ulama Mu’tazililah yang waktu itu didukung penguasa merupakan golongan yang dominan. Bahwa akhirnya paham Asy’ari-lah yang menang juga tidak lepas dari faktor politik.

Contoh lain di Iran. Syiah berhasil menggantikan Ahlussunnah sebagai paham dominan baru lima abad belakangan. Seperti diketahui, Syiah Itsna ’asyara kini merupakan ortodoksi di Iran. Sampai abad ke-10 H (abad ke-16 M), mayoritas penduduk Iran masih menganut mazhab Syafi’i. Paham ini baru dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamasikan Syiah sebagai mazhab resmi negara dan mendatangkan ulama Syi’ah dari Irak Selatan.

Komunikasi

Dalam agama selalu ada yang sifatnya dogma (ma’lumun min al-diny bi al-dharurah). Ini jangan diulik-ulik, sebaliknya harus dihampiri dengan iman. Makanya, ketika muncul aliran-aliran ”aneh” seperti Lia Eden atau Al-Qiyadah yang mengaku-aku ”nabi” dengan menafikan ajaran yang sifatnya ritual, seperti tak wajib shalat lima waktu, sontak disikapi secara tandas. Aliran-aliran tersebut dihukum melenceng dari ajaran Islam yang baku.

Kata ”sesat” sendiri di dalam Al Quran berasal dari akar kata dhalalah, yang dengan segala bentuk derivasinya disebutkan 193 kali. Bermacam-macam sifat dan perilaku manusia oleh Al Quran dinyatakan sebagai orang-orang yang sesat. Jangan lupa, ”penyesatan” juga dibidikkan kepada orang-orang zalim serta orang yang suka hidup mewah, berlebihan, dan korupsi.

Secara teoretis kita bisa meramalkan, semakin dekat ortodoksi kepada kemapanan politik dan ekonomi, semakin kuat kecenderungan radikalisme gerakan kelompok yang diinisiasi sesat. Nah, disinilah perlunya dialog dan komunikasi secara terus-menerus, tidak hanya bereaksi dengan melarang-larang. Terputusnya komunikasi akan mengandung bahaya. Para tokoh agama perlu kembali memberikan perhatian lebih kepada umat dengan memberikan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam agar masyarakat merasakan keteduhan dalam beragama serta meminimalkan ketegangan yang merusak harmoni keindonesiaan. ●