Wednesday, May 30, 2012

Indonesia dan HAM

Wahyu Susilo ; Aktivis HAM
SUMBER : KOMPAS, 29 Mei 2012





Pada 23 Mei 2012, melalui mekanisme internasional Dewan HAM PBB, Pemerintah Indonesia kembali menyampaikan laporan periodik kinerja penegakan hak asasi manusia dalam forum Universal Periodic Review.

Pelaporan pertama Pemerintah Indonesia dalam forum Universal Periodic Review (UPR) dilakukan pada 9 April 2008. Kita perlu memberi apresiasi terhadap keberanian Pemerintah Indonesia yang sejak 2006 menjadi anggota Dewan HAM PBB, mekanisme baru PBB menggantikan Komisi HAM PBB, yang sudah dua kali menyampaikan laporan kinerja penegakan HAM kepada masyarakat internasional.

Ini merupakan konsekuensi tak terhindarkan bagi Indonesia yang sedang bergulat menuju demokrasi. Tentu tak bisa dihindarkan ada kesan: inisiatif ini bentuk pencitraan Indonesia di mata internasional.

Dua dasawarsa lalu mekanisme HAM di PBB merupakan ladang pembantaian bagi diplomasi Indonesia, yang selalu berha- dapan dengan problem dekoloni- sasi Timor Timur. Diplomat senior Indonesia yang juga mantan menlu, Ali Alatas, bahkan menyebut aral diplomasi Indonesia soal Timor Timur bagaikan ”kerikil di dalam sepatu”.

Tak berarti pascadiplomasi babak belur di masa Orde Baru tak ada lagi persoalan HAM di Indonesia yang mendapat perhatian serius dari masyarakat internasional. Seiring dengan perkembangan politik ekonomi global, persoalan HAM di Indonesia tak lagi memusat pada persoalan kekuasaan militer dan represinya. Namun, lebih menyorot pada bagaimana negara mampu mengelola rasa aman warga negaranya, menghargai, dan memastikan ekspresi keberagaman masyarakat serta memastikan reformasi hukum dan peradilan tetap dalam koridor penghormatan hak sipil dan politik.

Yang Terlupakan

Yang kerap terlupakan dan terpinggirkan dalam upaya penegakan HAM adalah pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih bergantung pada kemampuan pihak eksekutif dan belum punya mekanisme yudisial. Komponen ini kerap tak dianggap sebagai elemen penting HAM dibandingkan dengan hak sipil dan politik yang punya mekanisme peradilan dan penghukuman. Ada beberapa pelajaran penting dari pemantauan langsung mekanisme UPR untuk Indonesia yang dapat diakses melalui fasilitas UNTV dan membandingkannya dengan dokumen hasil UPR untuk Indonesia, April 2008.

Pertama, ihwal perlindungan hak kaum minoritas dan ancam- an intoleransi di Indonesia telah jadi perhatian masyarakat internasional lima tahun terakhir. Ini terlihat dari pertanyaan pada UPR 9 April 2008 dan UPR 23 Mei 2012. Kedua, soal pengarusutamaan HAM dalam reformasi sistem peradilan dan reformasi sektor keamanan. Pertanyaan ini mengkritik apakah ada perubahan signifikan dari seluruh elemen kenegaraan dalam upaya penegakan HAM selama masa transisi politik pascaotoritarian.

Ketiga, masih terkait dengan catatan kedua: keraguan adanya komitmen serius Pemerintah Indonesia mengakhiri impunitas. Ini terlihat dari desakan kuat agar Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma (Pengadilan Kriminal Internasional).

Keempat, ada kecenderungan, Pemerintah Indonesia menganggap elemen pokok penegakan HAM terletak pada legalitas dan kelembagaan. Ini terlihat dari isi laporan dan respons terhadap pertanyaan yang muncul. Sebagian besar isi laporan menyampaikan instrumen internasional apa yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, rencana aksi nasional (RAN Anti-Trafficking), dan lembaga baru yang terbentuk.

Jawaban atas pertanyaan eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua: pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Jauh panggang dari api.

Realitas yang terlihat dari proses yang berlangsung di Dewan HAM PBB itu masih menempat- kan Indonesia dalam tarikan kuat blok negara yang resisten terhadap mekanisme pemantauan internasional untuk HAM: ASEAN, OKI, Timur Tengah, dan Afrika. Itulah pendukung utama Indonesia. Dukungan ini tentu tak cuma-cuma. Suatu saat Indonesia harus balas jasa sesuai dengan keinginan blok tersebut.

Pertanyaan negara lain dan jawaban Indonesia yang relatif sama dalam mekanisme UPR untuk Indonesia (2008 dan 2012) membuktikan bahwa sebenarnya Indonesia tak terlalu menganggap mekanisme ini punya pengaruh penting bagi Indonesia di mata internasional. Mekanisme internasional mengenai HAM di PBB memang tak mengikat secara hukum, kecuali terkait dengan pelanggaran HAM berat serta kejahatan terhadap kejahatan perang dan genosida.

Pada masa IGGI dan dilanjutkan CGI 1967-2006, praktis Indonesia tunduk dan menjalankan rekomendasi konsorsium negara dan lembaga pengutang Indonesia itu. CGI dibubarkan pada 2007. Indonesia tetap menganggap rekomendasi dan syarat donor multilateral dan bilateral sedapat mungkin dijalankan. Rekomendasi dari mekanisme HAM internasional cukup didengar. ●

Negara Paling Toleran di Dunia?

Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SUMBER : SINAR HARAPAN, 29 Mei 2012




Saya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala membaca berita berjudul “LSM Imparsial: Menag Putar Balikkan Fakta Intoleransi”, pada situs berita www.kbr68h.com, 27 Mei lalu.

Tertulis dalam berita tersebut, LSM Pemantau Hak Asasi Manusia Imparsial menilai Menteri Agama Suryadharma Ali memutarbalikkan fakta soal kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal itu menyusul pernyataan Suryadharma Ali yang mengklaim Indonesia sebagai negara paling toleran di dunia.

Peneliti Imparsial Swandaru mengatakan pernyataan Menteri Agama itu sangat bertolak belakang dengan kekerasan yang sering dilakukan kelompok intoleran.

“Artinya, ukuran yang digunakan oleh Menteri adalah Presiden datang di setiap perayaan. Sementara itu, fakta yang terjadi, kekerasan begitu banyak di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tidak ada semacam sense of crisis yang dimiliki menteri bahwa sudah ada begitu banyak orang mati, begitu banyak orang harus meninggalkan rumahnya, meninggalkan rumahnya kehilangan harta bendanya karena pemerintah gagal memberikan perlindungan.”

Sebelumnya Menteri Agama Suryadharma Ali mengklaim Indonesia sebagai negara dengan toleransi tertinggi di dunia. Menurutnya, kehadiran dirinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono dalam setiap perayaan hari besar keagamaan di Indonesia merupakan bentuk kerukunan umat beragama.

Suryadharma juga menyayangkan tindakan sejumlah LSM yang melaporkan kasus kekerasan oleh kelompok intoleran di Indonesia ke sidang Dewan HAM PBB. Menurutnya hal tersebut memperburuk citra pemerintah di dunia internasional.

Jumlah Meningkat

Melalui tulisan ini saya ingin memberikan catatan terhadap pernyataan dan klaim Menag Suryadharma Ali tersebut. Pertama, apakah kementerian yang dipimpin Suryadharma Ali tak punya data tentang berapa banyak rumah ibadah yang dirusak/ditutup paksa setiap tahun?

Kalau begitu izinkanlah saya memaparkan data tersebut. Di era Presiden Soekarno, ada dua gereja yang dirusak/ditutup paksa. Selanjutnya, di era Soeharto ada 456, di era BJ Habibie ada 156, di era Abdurrahman Wahid ada 232, di era Megawati Soekarnoputri ada 92, sedangkan di era Susilo Bambang Yudhoyono ada 108 (sampai tahun 2007).

Itu baru rumah ibadah milik umat Kristen, belum lagi milik umat beragama lainnya seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Yang jelas, fakta bicara bahwa praktik kekerasan dengan mengatasnamakan agama dalam beberapa tahun terakhir ini meningkat. Penyebabnya?

Pertama, akibat absennya pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara tegas. Kedua, adanya kecenderungan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat. Terkait itulah maka kelompok-kelompok sipil berbasis agama diminta untuk mengambil tindakan yang tidak memberi toleransi kepada kelompok-kelompok yang selalu mengatasnamakan agama tertentu untuk melakukan kekerasan.

Tentang hal itu, Moderate Muslim Society (MMS) menilai bahwa tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia. Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Ketua MMS Zuhairi Misrawi mengatakan, Provinsi Jawa Barat perlu mendapat perhatian khusus karena lebih dari separuh kasus intoleransi di Indonesia meledak di daerah tersebut.

MMS mencatat, 49 kasus intoleransi, atau 61 persen dari keseluruhan kasus, berlangsung di Jawa Barat. Dari 49 kasus yang ada di Jawa Barat, sebagian besar di antaranya terjadi di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan. ”Jumlah tersebut jauh lebih banyak daripada di daerah-daerah lain,” ujar Zuhairi dalam diskusi yang membahas laporan akhir tahun Toleransi dan Intoleransi 2010 yang digelar MMS.

Zuhairi menengarai, ada dua faktor utama penyebab eskalasi kekerasan akibat sikap intoleran meningkat di Jawa Barat. Faktor pertama adalah pembiaran yang dilakukan oleh negara. ”Faktor kedua ialah rendahnya pendidikan agama yang toleran di provinsi ini,” tutur Zuhairi. Meski demikian, ia juga melihat bahwa faktor politik, yakni pemilu kepala daerah, menjadi penyebab terjadinya kekerasan.

Ironisnya, aparat negara (polisi dan pemerintah daerah) menjadi salah satu aktor dari tiga aktor yang paling sering menjadi biang kerok kericuhan tersebut. Dua lainnya adalah ormas dan massa dari kelompok tanpa nama. Tiga aktor ini tak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, korban yang jatuh paling sering adalah dari umat nasrani dan pengikut Ahmadiyah. Komunitas berikutnya yang menjadi korban adalah kelompok yang didakwa sesat (Sinar Harapan, 22-12-2010).

Selama 2011, insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia hampir berlipat ganda. Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), tahun 2011 terjadi 54 insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia. Umumnya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia terus naik, dari 198 di tahun 2010 menjadi 276 di tahun 2011.

Menurut Compass Direct, Jakarta bahkan mengumbar intoleransi antarumat beragama dengan mengumumkan 36 aturan untuk melarang ritual agama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tidakkah hal ini sangat memprihatinkan, mengingat Jakarta adalah ibu kota Indonesia?

Sementara itu, Setara Institute di Jakarta menarik kesimpulan, baik pemerintah maupun kelompok tertentu bertanggung jawab atas berbagai insiden kekerasan terhadap umat beragama di luar Islam. Sementara itu, provinsi yang paling parah menjadi korban kekerasan terhadap warga kristiani adalah Jawa Barat (160 kasus). Penelitian The Wahid Institute juga menunjukkan, sepanjang 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Jumlah itu berarti meningkat 18 persen jika dibandingkan dengan peristiwa serupa pada tahun sebelumnya, 62 kasus. Celakanya, institusi negara tercatat menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak, yakni 32 kali, disusul bupati, wali kota, atau pejabat pemerintah daerah sebanyak 28 kali.

Tindakan intoleran beragama dan berkeyakinan juga meningkat menjadi 184 kasus atau meningkat 16 persen ketimbang tahun 2010, 134 kasus. Tindakan intoleran yang paling banyak dilakukan adalah intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama.

Kedua, saya yakin Menag Suryadharma Ali tahu tentang kasus GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelpia di Tambun yang hingga kini belum selesai. Pertanyaannya, apakah kedua kasus itu tidak menunjukkan kegagalan Indonesia dalam mengamalkan nilai toleransi? Saya berharap akan mendapat tanggapan secara terbuka, agar siapa pun dapat menilai bahwa Indonesia betul-betul layak dikategorikan sebagai negara paling toleran di dunia atau tidak

Toleransi atas Intoleransi

F Budi Hardiman; Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara
SUMBER : KOMPAS, 30 Mei 2012




Menanggapi pertanyaan gencar tentang kebebasan beragama di Indonesia dalam sidang kelompok kerja Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva, baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memberi dalih yang sudah dapat ditebak.

Menurut Marty, alam demokrasi yang membawa kebebasan telah memberi kesempatan pihak-pihak yang berpandangan keras dan cenderung ekstrem untuk mengeksploitasi ruang demokrasi demi kepentingan mereka (Kompas, 24/5). Singkatnya, demokrasi bersalah karena memberi ruang untuk intoleransi.

Tanpa dimaksudkan, dalih itu merupakan pengakuan telanjang di hadapan dunia internasional bahwa pemerintah kita gagal menjamin toleransi dalam masyarakat. Bukan hanya itu, demokrasi juga disalahpahami.

Sebuah pemerintahan yang tidak dapat menjamin toleransi tak layak disebut demokratis. Sebagai keutamaan publik dalam masyarakat demokratis, toleransi tidak tersedia begitu saja pada ranah politis.

Toleransi dan Intoleransi

Toleransi harus dikondisikan secara politis. Sikap-sikap toleran yang sudah ada pada ranah kultural harus diangkat ke ranah politis dalam bentuk sistem hak-hak yang dijamin oleh negara. Kegagalan pemerintah dalam menjamin hak-hak publik itu justru dapat merusak toleransi kultural pada lapisan akar rumput.

Semua pihak ingin diperlakukan toleran, maka negara mendapat legitimasinya jika dapat bersikap toleran terhadap warganya.

Namun negara salah memakai keutamaan ini, jika dipakai untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal yang menindas minoritas dan mengancam kebebasan publik. Dalam situasi itu toleransi justru dirasakan represif oleh masyarakat. Sebaliknya, intoleransi mengandung alasan yang baik untuk dipilih.

Distingsi yang dibuat filsuf Italia, Norberto Bobbio, dapat membantu. Toleransi dan intoleransi, masing-masing memiliki arti positif ataupun negatif. Toleransi dalam arti positif adalah respek terhadap orang-orang yang memiliki iman, pemikiran, atau keturunan yang berbeda.

Toleransi dalam arti ini bertentangan dengan intoleransi religius, politis, ataupun rasistis. Aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam bentuk pembakaran tempat ibadah, pembubaran ibadah, ataupun penganiayaan adalah intoleransi dalam arti negatif yang bertentangan dengan toleransi dalam arti positif.

Toleransi tidak selalu positif. Toleransi dalam arti negatif adalah pembiaran ataupun ketidakpedulian terhadap kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang berbeda.

Pelakunya bisa negara ataupun masyarakat sendiri. Negara mengambil sikap toleransi negatif jika tidak tegas menindak kelompok-kelompok yang menindas minoritas.

Ketidaktegasan aparat kepolisian dalam menindak intoleransi dapat dinilai sebagai pemihakan terhadap kelompok pelaku kekerasan tersebut. Sikap itu juga membuat kelompok-kelompok garis keras menjadi penguasa riil yang mudah memaksakan kehendak mereka, bahkan terhadap pemerintah.

Menurut Bobbio, intoleransi juga dapat menjadi sebuah keutamaan politis. Dalam arti positif ini intoleransi adalah sikap tegas, konsekuen, atau taat asas. Yang dibutuhkan dalam demokrasi adalah toleransi dalam arti positif. Hanya perlu diingat bahwa toleransi dalam arti positif itu hanya dapat dijamin oleh sebuah pemerintahan yang mempraktikkan intoleransi dalam arti positif.

Sikap tegas, konsekuen, dan taat asas dibutuhkan untuk melindungi masyarakat madani (civil society) dari teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang intoleran dalam arti negatif.

Negara Lembek, Kelompok Keras

Semua negara maju tahu bahwa demokrasi tidak dapat dijalankan oleh sebuah pemerintahan yang lembek terhadap para musuh toleransi. Dasar filosofisnya diberikan oleh John Rawls. Dalam A Theory of Justice, dia berpendapat bahwa toleransi adalah bagian dari sistem keadilan untuk semua orang yang mau hidup bersama secara damai dalam masyarakat majemuk.

Asas keadilan sebagai fairness dilanggar jika suatu kelompok yang intoleran de facto diberi toleransi untuk aksi-aksi kekerasannya. Menurut dia, kelompok intoleran ini bahkan tidak memiliki hak untuk berkeberatan atas sikap tegas negara terhadapnya.

Sebaliknya, civil society berhak untuk berkeberatan atas eksistensi mereka. Demi konstitusi, kelompok-kelompok yang toleran dalam masyarakat itu dapat memaksa kelompok intoleran tersebut untuk menghormati hak pihak lain.

Mereka boleh mendesak pemerintah untuk membatasi kebebasan kelompok intoleran kalau aksi-aksi kelompok ini meresahkan masyarakat. Mengapa? Karena toleransi yang dikehendaki oleh semua pihak itu tak dapat dibangun di atas sikap toleran terhadap intoleransi.

Dunia internasional sudah tahu bahwa pembubaran ibadah, pembakaran tempat-tempat ibadah, dan penganiayaan atas penganut agama minoritas sering terjadi dalam masyarakat kita. Semua insiden itu dapat dicegah seandainya aparat kepolisian kita memiliki sikap konsekuen, taat asas, dan tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran.

Dalam demokrasi pemerintah memang harus toleran, tetapi hal itu tidak berarti juga toleran untuk intoleransi. Toleransi terhadap intoleransi pada gilirannya akan menghapus toleransi dan menghancurkan kebebasan warga. Jadi, toleransi negara hukum demokratis tidak tak terbatas. Batas-batas toleransi adalah intoleransi.

Jadi, penyebab meningkatnya intoleransi bukanlah demokrasi, melainkan suatu pemerintahan yang toleran terhadap intoleransi. Pemerintahan seperti itu tidak hanya membiakkan intoleransi pada ranah sosial dan kultural. Kelembekan sikap politis para pemimpinnya merupakan sebuah pengantar ke dalam kegagalan demokrasi.

Dalam L’esprit de loi, Montesquieu sudah mengingatkan bahwa demokrasi merosot karena kegagalan negara dalam menjamin keamanan publik. Apabila kebebasan lebih dirasa sebagai ancaman daripada kenikmatan, masyarakat pun mulai menaruh simpati pada tiran-tiran kecil dan bersedia menukar kebebasan dengan keamanan.

Dalam demokrasi, kebebasan hanya berarti untuk rakyat jika negara dan civil society gigih menghalau para musuh kebebasan. Fakta bahwa kegigihan itu sekarang ini kurang dimiliki para pemimpin kita sangatlah menggelisahkan kita semua

Intoleransi & Hate Crimes

Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional
Universitas Padjadjaran (Unpad); Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
SUMBER : SINDO, 30 Mei 2012




Laporan beberapa negara mengenai kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia memberikan isyarat bahwa telah terjadi intoleransi dalam kehidupan bangsa ini. Bahkan banyak terjadi peristiwa yang merupakan derivatif dari intoleransi.
Peristiwa-peristiwa tersebut diidentikkan sebagai“hate crimes”; ke-jahatan yang terjadi dan dilakukan dan diiringi dengan motivasi kebencian atas dasar perbedaan etnis, ras, agama, dan kelompok. Tuduhan tersebut memang amat mudah digulirkan terhadap Indonesia dengan peristiwa kekerasan oleh kelompok agamais tertentu atau sosial tertentu.

Karena letak geografi, pluralisme masyarakat Indonesia baik atas dasar suku, etnis, agama, sosial, maupun budaya lebih majemuk dibandingkan dengan strata sosial di negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat yang relatif bersifat homogen. Sejatinya jika ahli-ahli negara maju itu datang dan meneliti beberapa daerah di Indonesia, mereka akan temukan toleransi masyarakat yang telah membudaya sejak lama seperti di Manado dan di Ambon.

Pembangunan gereja dilakukan oleh warga masyarakat beragama Islam, begitu pula sebaliknya dalam pembangunan masjid. Toleransi juga tampak ketika ber-Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Natal, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Justru toleransi terbesar hanya ada di Indonesia dibandingkan dengan bangsa lain yang relatif sangat sedikit perbedaan baik dalam bidang agama, politik, sosial, dan budaya.

Jumlah partai politik saja di negara maju tidak lebih dari tiga partai, begitu pula agama hanya bisa dihitung dengan dua jari saja tidak termasuk sekte-sektenya. Sikap intoleransi itu sejatinya bukan kepribadian bangsa Indonesia yang telah diikat oleh nilai luhur Pancasila dan terpatri di dalam Konstitusi NKR, melainkan sikap yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradaban bangsa AS dan di beberapa negara Eropa seperti masa perbudakan yang tidak pernah dikenal sejak zaman kerajaan di Indonesia.

Sejak penjajahanBelandadanJepanglah yang memperkenalkan kepada bangsa ini cara-cara perbudakan dalam bentuk kerja rodi dan kerja paksa dan tanam paksa dengan upah yang jauh di bawah standar hidup rakyat yang layak. Jika begitu persoalannya, lalu siapa yang paling berpengalaman dalam kehidupan berintoleransi?

Siapa pula pengekspor utama konsep intoleransi tersebut sehingga dimunculkanlah konsep “hate crime”dan cenderung akan “dipaksakan” diterapkan dalam sistem hukum pidana Indonesia yang belum tentu cocok dengan rasa keadilan bangsa ini? Penegakan hukum terhadap intoleransi dan “hate crimes” bukan satu-satunya solusi, apalagi dipandang sebagai suatu kelemahan bangsa ini.

Karena dalam menghadapi persoalan tersebut, justru penguatan budaya bangsa dan nilai Pancasila lebih banyak maslahat daripada mudaratnya. Saya setuju dengan pendapat Menlu Marty Natalegawa dalam menyikapi laporan beberapa negara kepada Dewan HAM PBB.Tetapi,tidak cukup hanya menyatakan bahwa kondisi intoleran hanya bersifat kasuistis tidak dapat digeneralisasi menjadi sikap/ budaya bangsa.

Sejatinya aspek sejarah dan budaya bangsa ini tidak pernah melahirkan budaya intoleransi,apalagi melahirkan “hate crimes” sebagai embrio kriminalisasi baru dalam sistem hukum pidana Indonesia.Sebaliknya, sejarah dan budaya bangsa ini telah meletakkan nilai-nilai agamais dan nilai sosial kolektivisme serta solidaritas sosial yang tinggi dalam kebaikan, bukan dalam keburukan sejak dahulu sampai sekarang.

Nilai toleransi dalam sejarah bangsa ini justru mulai terkoyak- koyak di tengah kita menjalani masa reformasi. Sikap antipenjajahan sejak awal kemerdekaan telah melemahkan daya juang elemen bangsa untuk tidak toleran terhadap pengaruh kekuatan asing baik dalam bidang politik, ekonomi,hukum,maupun budaya asing.

Intoleransi muncul juga karena kekeliruan kita sebagai bangsa menerjemahkan perubahan. Perubahan di bidang sosial dipersepsikan secara keliru sebagai revolusi dan kekerasan. Perubahan di bidang ekonomi dipersepsikan sebagai adopsi sistem ekonomi liberalisme kapitalisme. Perubahan di bidang hukum dipersepsikan sebagai transplantasi hukum asing tanpa adaptasi. Perubahan di bidang budaya juga dipersepsikan dengan paham postmodernisme.

Seluruh perubahan yang berbau asing yang berkelindan dengan kekuatan “hard power” berbalut “soft power” telah sedemikian merasuk memasuki relung-relung baik fisik maupun psikis seluruh elite politik dan elemen sosial bangsa ini. Hal itu melemahkan kekuatan filter demokrasi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan filosofi kehidupan bangsa ini.

Kesemuanya itu menghasilkan gerakan masyarakat sipil tanpa visi dan misi yang jelas arah perjalanan bangsa ini 20- 25 tahun ke depan. Kondisi kian diperparah dengan belum hadirnya pemimpin nasional yang berwawasan sejarah dan budaya bangsa kecuali hanya bersifat adhoc. Lantas diperparah dengan sikap pimpinan pusat dan daerah serta jajaran birokrasi yang korup dan berpihak pada hedonisme daripada kesejahteraan sosial.

Awal kerusakan budaya bangsa sejatinya adalah lepas kendalinya elite pemimpin bangsa ini dan jajarannya dari Pancasila.Padahal sebagai nilai kesusilaan tinggi dan telah diletakkan sebagai fondasi bangunan NKRI. Gejala itu bisa dilihat terutama sejak Era Reformasi yang terbukti telah mengunggulkan konsep dan pemikiran ahli asing atau negara maju daripada mencari dan menemukan jati diri bangsa baik dalam pembangunan bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, dan hukum.

Contoh pembangunan bidang hukum dalam RJPMN/RPJMP masih mengutip dan mengakomodasi konsep sistem hukum Lawrence Friedman daripada konsep hukum Mochtar Kusumaatmadja dan Alm Satjipto Rahardjo telah membuktikan bahwa dalam bidang hukum nasional masih tersisa cermin “bangsa koeli” (Soekarno).

Mendamaikan Liberalisme dan Fundamentalisme Islam

Donny Syofyan ; Dosen FIB Universitas Andalas
SUMBER : KORAN TEMPO, 25 Mei 2012





Irshad Manji, seorang penulis, feminis, dan mengaku lesbian berkebangsaan Kanada, menjadi berita utama di pelbagai media selama beberapa hari terakhir. Gelombang protes dipicu oleh organisasi Islam yang membubarkan peluncuran buku terbarunya, Allah, Liberty and Love. Pertama di Solo, dan kemudian di Salihara, Jakarta Selatan, dan terakhir juga di Yogyakarta.

Lahir di Uganda, Manji dan keluarganya pindah ke Kanada ketika ia berusia 4 tahun semasa pemerintahan Presiden Uganda Idi Amin, yang memerintahkan pengusiran minoritas India atau Asia. Manji memulai kariernya sebagai jurnalis, peneliti, dan aktivis di Kanada. Pada 2003, ia menulis dan menerbitkan buku pertamanya, yang awalnya merupakan suratnya kepada sesama muslim di seluruh dunia, The Trouble with Islam Today. Dalam buku itu Manji menyatakan bahwa masalah pada umat Islam tidak hanya terletak pada kelompok-kelompok militan, tetapi juga di mayoritas muslim yang telah mengubah agama yang damai menjadi ideologi ketakutan.

The Trouble with Islam Today menjadi best seller beberapa bulan setelah dirilis di Amerika Serikat. Karena banyaknya isu-isu sensitif yang digadang-gadang dalam buku ini, Manji mendapat respons keras dari umat Islam di seluruh dunia, namun pada saat yang sama ia juga memperoleh pengakuan dari orang-orang yang memiliki pendapat senada di berbagai negara. Dalam tahun-tahun berikutnya, buku ini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan Manji kemudian menerima ancaman pembunuhan di banyak tempat. Dalam buku terbarunya, Allah, Liberty and Love, Manji mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana sikap defensif umat Islam terhadap the others (yang lain) yang cenderung membawa persepsi negatif.

Sebetulnya, Manji ini bukanlah siapa-siapa kecuali seorang yang berani menyuarakan pikiran liarnya secara lantang di tengah konservatisme keislaman yang makin kuat. Kesarjanaannya tidak solid dan impresif. Penguasaan terhadap materi kajiannya tidak cukup mendalam. Karyanya menghiasi koran-koran, bukan jurnal; dibaca kalangan aktivis, bukan intelektual. Ini sedikit bisa menjelaskan kenapa kontroversinya muncul dari ruang populer semisal LSM, bukan dari kampus. Di Eropa dan Amerika, Manji lebih dianggap sebagai selebritas ketimbang seorang akademisi hebat. Menurut saya, fenomena Irshad Manji ini lagi-lagi terkait erat dengan tensi yang luar biasa antara saudara-saudara kita dari kalangan muslim liberal dan fundamental, sesuatu yang mengalami eskalasi dahsyat pascareformsi di republik ini. Di tengah suasana yang penuh sesak napas ini, ada baiknya upaya-upaya rekonsiliasi di antara keduanya terus dilakukan pada sejumlah hal.

Pertama, membangun kerja sama dalam perihal akhlak. Kedua kelompok ini selalu bersitegang dalam ihwal akidah dan ibadah, dua hal yang amat fundamental. Alih-alih menghabiskan energi dan waktu karena kuatnya resistensi dan klaim dalam dua hal tersebut, kenapa kedua belah pihak tidak bersinergi dalam isu-isu yang lebih besar, semisal penegakan keadilan, persoalan pendidikan, perang terhadap korupsi, atau pengurangan kemiskinan?

Saya percaya bahwa upaya-upaya kerja sama seperti ini bakal meminimalkan prasangka di antara kedua belah pihak. Dalam konteks yang lebih luas, pendekatan seperti ini merupakan resep jitu guna mendekatkan Islam dan Barat, yang selama ini selalu dihiasi dengan kecurigaan satu sama lain. Ada baiknya kita merujuk kepada pesan Buya Hamka (almarhum) yang menyatakan bahwa Timur tak bermakna tanpa Barat, begitu pula sebaliknya. Pernyataan ini sangat fungsional untuk meraih harmonisasi di antara kedua belah pihak, tanpa ada lagi klaim-klaim kebenaran sepihak.

Kedua, media massa perlu memposisikan diri sebagai jembatan perantara rekonsiliasi, dan bukannya turut memanas-manaskan suasana, sehingga yang muncul adalah wacana subyektivitas dengan membela kelompok tertentu seraya pada saat yang sama memojokkan kelompok lainnya. Obyektivitas media sangat diperlukan guna meredakan ketegangan yang dewasa ini sangat dominan antara kelompok muslim liberal dan muslim fundamental. Media massa, terutama yang dimiliki dua kelompok yang saling berseberangan ini, bisa berperan menyejukkan suasana dengan berbagi data dan fakta di lapangan.

Keberhasilan ini bisa menjadi semacam proyek percontohan bahwa, di Indonesia, media-media yang dikuasai oleh kubu Islam yang berbeda bisa menjaga keseimbangan yang indah antara kebebasan dan tanggung jawab; antara keterbukaan dan keterkendalian. Dalam skala lebih luas, kerja sama dan harmonisasi antara media massa tersebut bakal berperan menghapus terma Islam fundamental dan Islam liberal secara perlahan. Bayangkan! Alangkah damainya bila suatu saat Ulil Abshar Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL) bisa duduk mesra dan saling menghormati dengan Habib Muhammad Rizieq dari Front Pembela Islam (FPI). Ini bisa dilakukan berkat media massa.

Ketiga, sinkronisasi lembaga pendidikan. Sebetulnya lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi, dapat memainkan peran strategis dan andalnya dalam menjembatani ketimpangan di antara kedua belah kubu. Sebagai misal, ini bisa dimulai dengan penguatan kurikulum yang memberikan bobot pada sirah Nabawiyyah (perjalanan kenabian Muhammad SAW) tentang kedigdayaan Rasulullah membangun perdamaian dengan Yahudi lewat Piagam Madinah (mitsaqul Madinah), apalagi masih sesama umat Islam. Hal lain yang telah dan perlu terus dilakukan adalah tukar-menukar tokoh dan sarjana lewat program scholar exchange and visiting fellows dari kedua belah pihak tanpa adanya sabotase.

Lembaga pendidikan seyogianya adalah buffer terakhir yang menjelaskan ihwal perbedaan dan dinamika mozaik dan khazanah berpikir, terlepas apakah dari gagasan liberalisme ataupun fundamentalisme Islam. Karenanya, sangat disayangkan bahwa kekerasan kemudian merasuki dunia perguruan tinggi. Dalam kasus Irshad Manji, misalnya, seharusnya semua pihak perlu menyampaikan ketidaksetujuan terhadap pemikirannya secara intelektual. Kedatangan Irshad Manji justru seharusnya dimanfaatkan untuk menunjukkan kritik terhadap kesalahan berpikirnya. Kalau belum-belum sudah ditolak, bagaimana diskusi dan tujuan untuk meluruskan pemikiran dia bisa dilakukan? Lembaga pendidikan harus tetap berkomitmen bahwa kekerasan tak boleh membombardir Islam. Kekerasan adalah penumpang gelap yang kerap membajak Islam, sehingga logika kekuatan telah menundukkan kekuatan logika.

Tuesday, May 29, 2012

Menelusuri Sifat-Sifat Negatif Kita

Mudji Sutrisno SJ ; Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia
SUMBER : SINDO, 29 Mei 2012

Kalau kita perhatikan, sifat-sifat negatif kita sudah mengisi berbagai ruang aktivitas kita sehari-hari. Ada beberapa contoh fenomena sifat negatif yang biasa kita temui, misalnya: Pertama, usil dan resek.

Kita suka memperhatikan orang lain dan mau masuk ke urusannya dengan komentar gratis. Misalnya di bandara seorang resepsionis ruang makan GFF berkomentar, “Lho kan baru take off siang, mengapa sudah datang pagi-pagi?” Dalam batin saya, “Suka-suka saya kan,kok usil?” Kedua, bila di depan kita (para lelaki yang sedang duduk-duduk) lewatlah perempuan cantik, mulailah “siulan”, komentar-komentar keluar apalagi celetukan-celetukan mengilas fisik wajah dan lain-lain.

Padahal di negara lain saya tidak menjumpai itu karena edukasi untuk hormat ke orang lain seperti di Filipina atau Eropa Utara. Ketiga, komentar-komentar gratis menyangkut dandanan, rambut, cara berjalan yang menjadikan orang lain sebagai “objek” percakapan. Sementara di peradaban lain orang mengisi waktu tunggunya dengan membaca buku atau laptop dan kini Ipad membuat si pelaku sibuk dengan kerjanya sendiri dan bukan mengobjekkan yang lain.

Keempat, “Wah, apa kabar? Kok gemuk ya kini, apa jarang olahraga?” Coba Anda amati kata per kata rangkaian kalimatnya. Awalnya sapaan, namun ujung-ujungnya mengomentari keadaan tubuh yang sebenarnya bukan menjadi urusannya. Kelima, “Aduh anakmu cakep sekali,” lalu dicubitlah pipi anak dengan gemas sampai merah.

Waktu saya bertemu satu keluarga separuh Indonesia dan separuh Amerika, si anak yang Indonesia benar-benar marah ketika sapaan akrab itu melukai pipinya dengan cubitan dan inilah yang sudah digolongkan tindak harassment ringan. Si anak berkisah traumatik bila bertemu tipe-tipe orang seperti ini. Ia trauma lantaran ungkapan kagum disertai cubitan yang melukai wajahnya.

Mengamati fenomena-fenomena di atas, kami pernah menaruhnya dalam bingkai diskusi behaviorist (sudut pandang perilaku) dan mengontraskan tiadanya garis batas kesadaran antara mana wilayah pribadi dan wilayah publik. Barangkali karena hormat pada ruang privat dan privilese seseorang dalam masyarakat kolektif memang tidak ada, orang tidak merasa aneh “keluar masuk” ke wilayah-wilayah pribadi sesamanya karena semuanya merupakan wilayah umum.

Berikutnya, di balik ungkapan- ungkapan di atas sebenarnya secara positif terungkaplah perhatian atau sikap mau peduli pada kehadiran orang lain. Hanya, ungkapannya ikut campur masuk ruang pribadi orang lain. Ketika budaya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan atau kolektivitas bertemu budaya yang menjunjung individualitas,di situ orang individual akan “tajam” mengkritik sok ingin tahu dan ingin campur tangannya ke wilayah personal orang.

Ketika dosen memberi tahu nilai mahasiswa dengan mengundangnya ke depan melihat daftar nama dan nilainya, sang dosen yang menjunjung ruang pribadi akan menegur si mahasiswa bila sambil melihat nilainya sendiri juga ingin melihat-lihat dan ingin tahu nilai-nilai temannya. Sebab, inilah “pelanggaran” batas antara yang disebut pribadi dan publik. Memasuki secara sadar ke ruang pribadi sesamanya dianggap dan dinilai tidak sopan dan tidak pantas.

Komunitas Kebersamaan

Manakah ciri-ciri komunitas kebersamaan? Pertama, nilai bersama seperti harmoni,rukun dipandang mengatasi dan lebih tinggi, dan harus dihayati daripada pribadi. Kedua, seseorang dalam komunitas kebersamaan merupakan subordinat atau bagian kolektivitas itu. Ketiga, individu “kalah” terhadap kebersamaan, perilaku keluar dari kotak bersama dipandang aneh dan dijadikan objek pergunjingan.

Sanksi juga dikenakan ke mereka yang keluar garis yang perlu “dinormalkan”. Atas dasar ciri-ciri dua komunitas itu, dua dekade yang lalu F Tonnies secara sosiologis-antropologis membagi ada dua macam komunitas yaitu masyarakat atau society yang lebih rasional dengan nama “gesselschaft” sedangkan yang kedua adalah kekerabatan kolektif yaitu “gemeinschaft”.

Almarhum Dr Matulada menggarisbawahi dalam penelitiannya mengenai suku-suku Nusantara bahwa kekerabatan atau perkaumanlah yang menjadi perekat hidup bersama sebagai sesama anggota perkauman. Ada perkauman saudara-i sepayung ketika payung marga dan kaum menjadi perekat dan pusat nilai kebersamaan. Ada pula perkauman bahari dan lautan yang menguji pemimpinnya di saat-saat krisis menakhodai perahu menghadapi gelombang badai.

Perkauman bahari melakukan uji nyata pemilihan ketuanya berdasar kualitas watak karakter dan kemahirannya menjadi nakhoda kapal. Kekerabatan yang legitimasi ketua atau tingkatan yang dituakan disumberkan pada “wahyu keturunan dari yang di langit” akan menghasilkan klan atau kekerabatan hierarkis seperti kekerabatan Jawa misalnya. Konsekuensinya kekeluargaan Jawa yang awalnya dari tradisi keraton dengan kekuasaan tertinggi di tangan raja sebagai “dewa raja” tidak akan menghasilkan relasi setara antara raja dan bawahan.

Maka ekspresinya juga berkata kunci relasi “Gusti” dengan “kawula” (menghamba atau hidup menjadi abdi raja). Sadarkah kita pada pencipta slogan pegawai negeri sebagai abdi negara memuat pengabdian pada negara yang menggaji dan bukan pada warga negara atau rakyat yang semestinya mereka abdi. Karena pajak dan rakyatlah yang “memilih negara” sehingga slogan itu harus diganti menjadi abdi rakyat atau pelayan masyarakat!

Kesadaran Diri

Pokok-pokok renungan di depan sebenarnya menjawab pertanyaan kritis kita bahwa kita memerlukan pendidikan kesadaran mengenai siapa diri kita dalam transisi kekerabatan menuju ke harkat sebagai warga negara. Tanpa itu, kesadaran akan hak sama kedudukannya di depan hukum akan berjalan lambat dalam dinamika hormat menghormati atas dasar kesetaraan sama-sama berharkat sebagai manusia dalam saling berelasi antarsesama.

Permenungan di depan yang membukakan mata sadar kita bahwa bawah sadar kultural kita ini memang memuat ketiadaan hormat antara ruang pribadi dan ruang publik. Karena kita umumnya masih mengedepankan kolektivitas bahkan beberapa gerombolan yang bila terlukai sebagai anggota korps lalu hasrat liar membalas dendam akan meruyak tega berpegang hukum naluri rimba: ”mata harus diganti mata dan gigi diganti gigi apalagi bila yang hilang adalah nyawa”.

Lebih halus, namun membuat jengkel mengenai tidak ada batas hormat ruang pribadi dan ruang publik selalu terbukti pada iklan-iklan SMS menawari berbagai hal yang masuk ke ponsel Anda tidak mengenal waktu.Ada pertanyaan mereka ini mendapatkan nomor-nomor ponsel kita dari mana? Providerkah? Dan lucu serta lebih menjengkelkan lagi setelah masuk ke SMS kita di saat waktu-waktu pribadi kita diganggu benar-benar, di situ ditulis kalimat “maaf mengganggu”.

Sejak kapan kata suci maaf yang awalnya benar-benar bermakna rekonsiliatif serius kini jadi hampa makna dan dipakai sembarangan? Jawabnya sejak uang dan materi, sejak pembangunan ekonomisasi menjadi tuan dan raja yang disembah mengalahkan yang spirit seperti nilai peduli kegotong-royongan, rela membantu tulus.

Di tengah-tengah transisi dari identitas kolektif menuju pribadi yang ingin tetap hormat ke harkat sesama dan toh matang pribadi kunci proses pergulatan antara kesadaran akan ruang pribadi dan kolektivitas memang berada di ranah yang selama ini mengalami krisis yaitu ranah pendidikan.

Pendidikan pemerdekaan setelah merdeka sebagai bangsa lalu tanpa edukasi diri dan kontrol diri maka sia-sialah perjalanan kebangkitan bangsa ini.Pada hal justru ranah kunci edukasi watak dan nurani inilah sejak awal oleh para pendiri bangsa sudah disadar-sadarkan untuk dihayati sabar dan bukan jalan pintas sebagai proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Hanya manusia Indonesia yang sampai tahap cerdas budi dan jernih nuranilah bisa diharapkan bersama sesama anak bangsa mencipta hidup bersama yang lebih baik. Bukankah sistem adalah mengatur dengan budi cerdas dan nurani sebuah kehidupan untuk lebih sejahtera pribadi dan bersama? (A system is a rational ordering of living together by the enlightened and good gentleman and women of Indonesia).

Proses Menghargai

Ketika saya menulis tulisan berjudul menghargai proses, ada dua tanggapan kritis sebagai arusnya.Yang satu bertanya, bagaimana mungkin menghayati hidup sebagai sebuah proses transformasi dengan simbol tahap ulat sutera menjadi kepompong dengan air liurnya yang merajut kepompong (nanti jadi bahan benang tenun sutera) sampai fase puncak menjadi kupu-kupu berwarna? Sementara hidup sehari- hari anak-anak dan kita didominasi oleh nilai-nilai jalan pintas, “instan”, serbacepat, dan yang cepat kilat itulah nilainya?

Arus kedua menanyakan “resep” menghayati hidup sebagai proses itu bagaimana? Karena itulah, maksud utama tulisan ini awalnya adalah tanggapan atas pertanyaan kritis dan kecenderungan mencari “obat mujarab”atau resep tersebut. Pertama-tama yang harus masuk ke dalam kesadaran kita adalah pengiyaan atau sikap sadari dahulu bahwa fakta yang ada adalah saat ini yang dihargai bukan nilai tekun sabar dalam proses, tetapi jalan nilai pintas.

Kursus kilat dan lompatan sukses “terwujud” dalam tempo sesingkat-singkatnya. Setelah mau dengan rendah hati mengakui fakta ini dan menyadarinya lalu terbukalah mata kita pada fakta kedua yaitu sulitnya antarkita untuk saling menghargai sesama dengan kelebihan dan kekurangannya. Gejala pertama, kita menghargai sesama secara negatif. Artinya mengecilkan sesama dengan membesarkan diri kita (looking down other by glorifying myself).

Para pendiri bangsa menunjuk sindrom ini sebagai perasaan rendah diri inlander akibat penjajahan dalam sejarah mentalitas dan kolonialisme. Peneliti kultural Edward Said dan Hommi Bhabha menyebut fenomena “poskolonialisme” yang diidap sebagai sikap hidup yang merasa yang putih dengan simbol kemajuan bule selalu dipersepsi lebih hebat. Contoh nyata, padahal kita punya dongeng-dongeng lokal dan pepatah peribahasa mengenai yang baik, benar, dan suci dalam hidup ini,namun selalu menganggap kisah-kisah putri salju dan Hans Andersen lebih hebat.

Padahal cukup bila kita matang berpendapat bahwa kisah-kisah Andersen memang bagus, namun tidak usah ditambahi bahwa lebih hebat dan lebih tinggi (superior) nilainya. Di sinilah “inferior” berhadapan dengan “superior”. Kedua, proses menghargai hendaknya ditanamdandibatinkan dengan menghormati talenta tiap orang,sisi positifnya, serta sisi negatifnya apa adanya, setara dengan adanya keutamaan dan kekurangan diri kita masing-masing.

Lanjutannya, rajutlah dengan darah teladan dan keringat contoh-contoh menghargai proses hidup yang sabar: dikandung dalam rahim sembilan bulan menjadi bayi, anak, remaja, matang dewasa, sampai kakek-nenek yang siap kembali untuk dipanggil sang pencipta. Proses ini seperti berdarahdarahnya dan berkeringatnya membatik tulis (bukan batik cap atau printing).

Proses ini juga butuh dihargai seperti merajut kain ulos,ikat,kain tenun, dan songket yang butuh ketelitian merajut benang-benang warna-warni menjadi kain indah Lembang. Kemajemukan Indonesia dengan pluralitas khas suku,religi,dan identitasidentitas lokal lain. Yang ketiga,menghargai proses butuh pembatinan melalui senandung lagu,renung nyanyian Belaian Sayang ciptaan almarhum Bing Slamet yang menggores hati,

menunjuk kasih sayang cinta ayah, ibulah yang menamakan ingatan anak akan terima kasihnya kepada ayah-bunda dan bunda-rahimnya yaitu Bumi Pertiwi,Tumpah Darah Tanah Pusaka. Lihatlah lirik-lirik puisi lagu Belaian Sayang itu “Waktu hujan turun, rintik perlahan,bintang pun menyepi awan menebal,kutimang si buyung belaian sayang.Anakku seorang, tidurlah tidur..... // Ibu mendoa .... ayah menjaga. Agar kau kelak jujur melangkah. Jangan engkau lupa tanah pusaka tanah air kita Indonesia.”

Kontrol Budi dan Nurani

Akhirnya menghargai proses adalah keberanian mengolah dengan kontrol budi dan nurani sikap senang-tidak senang dengan kebijaksanaan hidup yaitu, bila kau tidak suka karya sesama dalam wujudbuku atau film karyanya,ya tidak usah melihatnya atau tidak perlu membacanya. Namun, sekali-kali jangan ”menghina” karya itu dengan melemparkannya ke keranjang sampah.

Apa yang terjadi dalam batin Anda ketika tidak pernah belajar menghargai sesama? Arogansi dan kesombongan pintar Andakah? Mengapa tidak membalasnya dengan membuat karya buku untuk apresiasinya? Apalagi bila karya dilawan dengan pembalasan buku! Untunglah era ini sudah menyurut soal bakar membakar buku.Namun, muncul gejala intoleransi lebih gawat lantaran meminjam tangan Allah dan menyitir sabda-sabda suci yang pada ujung-ujungnya mengapa tega menghancurkan hidup sesama bahkan menghilangkan nyawanya?

Intoleransi akan menggugat pesan cinta religi dan mempertanyakan bagaimana wajah kasih apalagi Allah Yang Maharahim diwujudi nyata dalam tindak dan laku manusiawi? Kalau bukan mencoba belajar terus menghormati sesama sebagai wakil Allah di dunia dan sebagai citra gambar-Nya sendiri.

Semogapembelajaranmenghargai proses sama dengan tantangan ikhtiar sabarnya dengan ketika kita di ruang gawat darurat dengan penuh ditancapi selang-selang infus bila berhadapan bahwa yang diinfus adalah anak tercinta kita yang masih bayi. Lalu kita mohon ke Allah agar kita saja yang menggantikannya untuk kesakitan dan deritanya. Bisakah? Doa dan hening prihatin adalah oase pembelajaran toleransi kita pada yang “hidup” ciptaan Allah. ●



Merajut Batin Yang Terkoyak


Koran Jakarta, Rabu, 23 Mei 2012


Keunikan negeri dengan kondisi masyarakat yang plural kini ternodai beberapa kerusuhan bernuansa agama. Realitas pluralisme sebagai anugerah Tuhan yang seharusnya dijunjung tinggi mengalami reduksi makna yang mengacaukan suasana kebatinan berbangsa. Persoalan itu bermula dari tidak jalannya fungsi perlindungan warga dan jaminan kebebasan beragama sehingga kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama terus terjadi.

Misalnya jemaat Ahmadiyah beberapa kali menjadi sasaran kekerasan, terakhir di Tasikmalaya. Masjid jemaat Ahmadiyah diberangus amuk dan api kebencian. Kasus kekerasan seperti itu terjadi secara berulang-ulang di banyak tempat dan cukup meresahkan. Masyarakat merasa tidak aman di negerinya sendiri karena suatu kelompok menjadi teror bagi kelompok lain.

Menurut catatan The Wahid Institute, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2010, terdapat 64 kasus, tahun 2011 menjadi 92 kasus. Bentuk pelanggaran terbesar adalah pelarangan atau pembatasan ibadah. Dari 92 kasus pelanggaran KBB, jemaat Ahmadiyah yang paling banyak menjadi korban, disusul jemaat dari GKI Yasmin. Dalam laporan The Wahid Institute, Jawa Barat (Jabar), masih menjadi daerah yang paling potensial melanggar KBB di mana dari 92 kasus, 58% terjadi di Jabar.

Nasib jemaat GKI Yasmin hingga sekarang juga masih terkatung-katung. Ketika merayakan natal pada tahun 2011, mereka beribadah di pinggir jalan karena tempat ibadahnya disegel kelompok tertentu.

Mendiang Romo YB Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa setiap bangunan ibadah punya bahasa masing-masing, punya warta tentang tugas bangunan itu sendiri, juga tentang siapa dan untuk siapa bangunan itu dibuat. Dalam konteks ini umat beragama diuji kualitas keberagamaannya. Jika rumah ibadah benar-benar sebagai tempat memuliakan keagungan Tuhan, tentu tak mungkin menginjak-injak kemanusiaan sebab orang yang dekat dengan Tuhan tak akan melupakan sifat kemanusiaannya.

Saat ini keterikatan berlebihan terhadap simbol-simbol agama menjadi salah satu karakteristik keberagamaan kita. Simbol agama seperti rumah ibadah telah bergeser sebagai perlambang keangkuhan. Ketika rumah ibadah ada yang menyaingi, pemberangusan terjadi di mana-mana. Dulu masjid berdiri di antara gereja. Kelenteng di antara vihara dan pura. Tapi kini suasana sudah berbeda. Itulah tantangan kita bersama untuk beragama secara toleran dalam kepusparagaman.

Terkoyak

Terkoyaknya rasa kebatinan berbangsa akibat aksi berbau agama membuat kohesi berbangsa tersobek. Hati masyarakat kehilangan penghantar yang baik, lepas kendali, dan melupakan penyelesaian yang manusiawi. Akibatnya, ikatan kebinekaan yang sudah lama diretas masyarakat dari berbagai agama mudah terbakar amarah.

Dimensi-dimensi seperti kegagalan pemerintah mengelola modernisasi dan globalisasi harus direspons secara demokratis dengan memberi ruang hidup bagi kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan lain-lain. Proses demokratisasi harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan adil antarkomponen pluralisme.

Tak dimungkiri menipisnya ikatan kebatinan masyarakat sebagai bangsa beradab tak bisa dipisahkan dari krisis keteladanan pemimpin yang mampu berdiri di tengah-tengah semua golongan. Pemimpin harus tegas membela kaum tertindas meski harus berhadapan dengan kuasa modal dan politik. Tapi, negara ini alpa.

Keluhuran amanah penyelenggara negara tereliminasi hiruk-pikuk elite politik yang sibuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan. Di podium, orasi lantang menyuarakan kerukunan dan demokrasi, tapi sesungguhnya rasis. Mengampanyekan kutukan atas kekerasan agama di layar televisi tak ubahnya tukang obat sehingga sukar dibedakan antara wajahnya yang asli dan palsu.

Pada saat bersamaan prospek keragaman diabaikan. Akibatnya ketidakadilan di mana-mana dan menjadi pemantik kekerasan. Grafik distribusi ekonomi dan keadilan sosial di setiap daerah tidak merata. Komparasi jaminan kesejahteraan warga dengan takaran upeti untuk negara timpang sehingga kedaerahan kerap berbenturan dengan kebijakan nasionalisme yang berpusat di Jakarta. Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya seharusnya dikelola untuk kemakmuran bersama, namun nyatanya dieksploitasi asing.

Persoalan lain, kualitas pelaksanaan otonomi daerah, desentralisasi, serta demokratisasi tidak berjalan maksimal. Keadaan ini turut menstimulasi munculnya radikalisme kedaerahan. Tatkala terjadi penyempitan kesadaran menghayati diri secara inklusif sebagai entitas bangsa, kemungkinan besar kesatuan berdasarkan keragaman suku, agama, dan golongan bisa bercerai-berai. Ini dapat melahirkan ide untuk mengurus diri sendiri secara merdeka. Ini berbahaya. Karena itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah rawan konflik melalui perbaikan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi dan pemerataan pembangunan penting dilakukan.

Kita punya pedoman Pancasila yang paripurna dalam bernegara, tapi tuna-pengamalan. Sila Persatuan Indonesia dirumuskan bertujuan mengangkat martabat dan kehidupan beragama di Indonesia. Wawasan nasional yang sehat meniscayakan sikap menjunjung tinggi kemajemukan dan memperhatikan kepentingan kelompok minoritas yang selama ini terabaikan.

Begitu pula sila Keadilan Sosial mewasiatkan pemerataan pembangunan tanpa unsur monopoli dari oligarki politik. Itulah yang seharusnya menjadi pedoman nilai bagi penyelenggara negara agar tidak terlampau tergelincir dari rel kesejahteraan yang dicita-citakan.

Ketika negara tak lagi hadir dalam benak rakyat, pemberdayaan peran tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai perekat kohesi yang terkoyak penting dilakukan. Melalui jalur kultural mereka dapat melakukan pemurnian kesadaran kolektif tentang hakikat beragama dan berindonesia. Hakikat itu tidak akan ditemukan tanpa menggali jati diri Indonesia dari sejarah lokal. Sejarah yang melewati proses bersatunya agama-agama menjadi sebuah bangsa.

Oleh Achmad Fauzi
Penulis adalah aktivis Interfidei



Merawat Kemajemukan Bangsa

Koran Jakarta, Rabu, 30 Mei 2012


Mengapa sikap tidak toleran akhir-akhir ini menggejala kuat? Padahal, bangsa Indonesia menyumberkan kekayaan kemajemukan pada suku, agama, perbedaan. Ini untuk menghayati realitas berdasar keyakinan dan kebijaksanaan hidup yang menjadi tumpuan awalnya. Dia juga menjadi oase berbangsa seperti terbukti dalam janji Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Dalam beberapa studi dan diskusi mendalam, ada dua jawaban yang muncul dan perlu menjadi fokus tatap budi dan refleksi kesadaran hati. Pertama, berbangsa majemuk dihayati sebagai sesuatu yang dianggap sudah semestinya begitu (taken for granted) hingga lupa merawat dan menghidupinya dalam edukasi penghayatan lebih dari pengertian kognitif.

Kedua, ketika jalan kehidupan bersama terlalu berpusat pada ekonomi dan komoditas, terjadi reduksi nilai benar dan baik hanya pada materi dan yang bisa ditukar dengan duit. Ini mengakibatkan yang intangible melenyap.

Apalagi, ketika politik tidak dimaksudkan untuk mencipta dan mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan adil agar tiap warga "diorangkan". Maka, politik tanpa etika akhirnya menjadi adu rebutan kekuasaan dan kursi semata. Politik hanya menjadi pemuasan hasrat kuasa dan kekayaan untuk kepentingan sendiri atau kelompok dan bukan kepentingan bersama.

Karena itulah, pilihan jalan panjang proses merawat toleransi disadari untuk dikembalikan pada jalan kebudayaan yang merupakan jalan proses pembatinan sejak kecil sampai dewasa. Waktu di mana kita "belajar lagi nilai toreransi akan perbedaan sebagai yang hakiki dari kehidupan".

Nilai

Bahwa sebagai manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan, gambar-Nya yang agung dan cantik, pria dan perempuan serta kalifatullah Allah di dunia ini, sebenarnya telah menemukan "ranah penanaman nilainya" sejak di keluarga.
Apa itu nilai? Nilai adalah yang berharga dan dihayati sebagai yang benar, baik, suci dan indah dalam kehidupan baik sebagai komunitas sosial maupun individu.

Dalam keluarga, manusia itu unik dari sisi watak dan identitasnya, sebenarnya secara tak sadar maupun sadar, manusia sudah mulai merasuki dan dibatini oleh toleransi bahwa sesama itu berbeda dan unik. Maka, untuk melangsungkan hidup bersama dalam perbedaan, ditanamlah sikap menghormati perbedaan watak tiap pribadi.

Lalu edukasi formal dari SD, SLTP, SMA diusahakan untuk terus, secara prinsip menanamkan toleransi ini. Namun, sejak kapan, dalam realitas, mulai muncul pengotakan "di sini kami" dan "di sana mereka"? Jawabnya: sejak kita merasa perbedaan itu taken for granted seperti semangat pendidikan Pramuka yang sebenarnya mempertemukan peserta lintas agama dan suku. Keunikan watak dalam perkembangannya menjadi formalisasi taken for granted dengan kenyataan setelah tahap "penggalang" maka tidak populer lagi "pramuka tua".

Sampai di sini selesailah pendidikan menghayati perbedaan dengan ruang pembatinan toleransi dan dianggap sudah cukup.

Murid lalu masuk ke perguruan tinggi. Mereka berhadapan dan harus hidup dengan arus bahasa agamais dan keyakinan. Di mana itu semua telah diindoktrinkan lewat model penataran Pancasila. Ketika ini dihentikan, belum ada lagi ruang-ruang internasisasi toleransi dengan bahasa yang pas untuk generasi yang hidup di era teknologi visual dan informasi ini.

Ini menurut Baudrillard dan Manuel Castells diibaratkan menghayati hidup dalam zaman keterbelahan real dan maya. Namun, direkatsatukan yang dalam bahasa penelitian sosiologis kultural Castells dinamai real virtuality.

Contoh sederhananya yang bisa berakibat fatal pada anak-anak di bawah lima tahun yang melihat TV. Mereka akan menirukan bermain-main dengan temannya memasukkan teman kecilnya ke dalam kulkas (seperti dilihat di iklan)sehingga temannya nyaris beku. Untunglah ada orang dewasa yang menolongnya.

Yang nyata dan maya di kesadaran anak menyatu dalam make believe maya, tapi nyata dan nyata tetapi maya. Karena itu, pertanyaan penting soal nilai merawat toleransi, bagaimana dalam jalan kultural?

Kesatu, untuk generasi visual dan gadget generation, dibutuhkan esensi nilai toleransi yang dikemas menarik dalam bahasa visual. Ini berisi narasi bahwa Indonesia tanpa kemajemukan akan seperti rajutan proses menenun kain songket dan ulos yang "digunting oleh mereka" yang tidak toleran, kemudian atas nama politik serta kadang meminjam wewenang Yang Ilahi untuk menggunting buah-buah yang telah dirajut nenek moyang.

Lihatlah film Laskar Pelangi Mira Lesmana yang kemudian menjadi pertunjukan musik untuk melanjutkan budaya tulis novel Andrea Hirata menjadi bahasa visual dan nyanyi. Itu semua dapat menyentuh generasi muda. Lihatlah pula kreativitas band Cokelat yang menyanyikan dan mengaransemen ulang lagu-lagu nasional dengan nada yang tepat untuk generasi muda.

Kedua, dari ranah masyarakat, perawatan itu sekarang menjadi gerak-gerik (semoga semakin menjadi "gerakan" dari kesadaran semakin banyak pihak) untuk menghidupi kembali yang tadi sudah dianggap "pasti dimiliki" tentang toleransi. Caranya dengan mengajak kembali ke kesadaran sejarah awal Indonesia merdeka. Ketika itu, sudah ada kemajemukan.

Lalu situs Bandaneira, Boven Digul tempat dibuangnya Bung Hatta dan Bung Sjahrir untuk perjuangan bangsa yang menjadi Indonesia majemuk. Situs Gorontalo, situs Jawa Jeparanya Kartini, atau ekspedisi cicin api Nusantara untuk menautkan lagi betapa kita selalu mudah bersatu dalam perbedaan. Uniknya itu terjadi manakala ada musibah, malapetaka alam, dan bencana. Saat seperti itu, kita menjadi bangsa yang peduli dan toleran.

Tuhan

Tuhan sudah memberi anugerah akal budi dan nurani untuk menimbang yang baik dan buruk. Namun, Castells kembali mengingatkan dalam Self dan The Net serta kekuasaan komunikasi akan kenyataan kita saat ini yang "disatukan oleh pasar yang memprovokasi hasrat membeli komoditas." Sementara komoditas pasar ini sudah melenyapkan nilai manfaat, fungsi, apalagi intrinsik menjadi hanya bernilai tukar berupa uang.

Herankah kini, semangat peduli dan gotong-royong sulit ditemukan, bila tidak dibayar? Tidak ada makan siang yang gratis, kata zaman ini. Tolong dikontraskan dengan pepatah "Ada sama dimakan, tidak ada sama-sama ditahan".

Di sinilah edukasi kultural mesti mulai dengan menyadari betapa Victor E Frankl sudah merangkumkan berdasar pengalaman hidup. Di mana dia nyaris mati ketika ditahan Hitler. Dia bertahan karena ada tiga tekad, yaitu hasrat untuk berkuasa (will to power), kenikmatan hidup (will to pleasure), dan memberi makna pada hidup.

Hasrat untuk memberi nilai pada langkah hidup dengan tujuan akhirnya (will to significances). Maka, perawatan nilai toleransi sudah harus terus dilakukan sejak dini. Namun, terutama terus dipelihara dengan membuat sadar serta menciptakan ruang-ruang dialog lintas agama, berseni, dan semacam TIM.

Ciptakan juga rumah-rumah seni lokal etnik yang membuka pembejaran kembali keragaman kekayaan bangsa. Di antaranya, seni lokal, kebijaksanaan hidup dalam pepatah, peribahasa, gurindam, musik-musik etnis, tari, dan kidung alamnya.

Di sini pula ditemukan jurang antara generasi yang membutuhkan narator-narator, pengisah kultural yang menjembatani jurang antara perjalanan linier bangsa ini dari budaya lisan-lalu tulis. Kemudian, sebelum tulis-menulis tertanam sudah meloncat ke lisan kedua yang bernama visual dengan maya dan nyata bercampur di media elektronika dan teknologi informasi.

Ada kekurangan guru-guru kebudayaan lokal dan nasional yang sayang pada penyusun keragaman Indonesia yang ika. Ini entah keragaman lokal dengan life wisdom-nya yang berbahasa dongeng, tari, pepatah peribahasa serta kisah bernilai untuk merawat alam dan tidak menghancurkannya. Selain itu, juga untuk hormati perbedaan dan tidak menghantam sesama dengan kebencian.

Ada yang sangat sederhana dalam ungkapan orang kecil untuk menghormati perbedaan pendapat atau keyakinan ini. "Bila saudara tidak suka akan buku tulisan sesamamu, ya jangan dibuka dan jangan dibaca. Tetapi, Anda tidak perlu membuang ke kotak sampah".

Kadang mereka yang sederhana lebih bijak dari cendekiawan super rasionalistis yang kerap membuat pembenaran-pembenaran perilakunya dengan rasionalisasi.

Akhirnya, bangsa harus bersyukur diwarisi kebijaksanaan dalam bertoleransi keragaman atas geografi, identitas suku dengan pepatah, "Di mana bumi dipijak, di situlah hendaknya langit dijunjung".

Marilah secara kreatif membahasakan itu lewat media-media faktual yang canggih seperti teve, koran, dst yang dalam bahasa edukasi kulturalnya, yaitu toleransi pada perbedaan.

Oleh Mudji Sutrisno SJ
Penulis adalah Guru Besar STF Driyarkara

Radikalisme Pasca-Orde Baru

Abdil Mughis Mudhoffir ; Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 29 Mei 2012



Satu dasawarsa lebih Indonesia telah melampaui Orde Baru yang otoriter. Akan tetapi, mengapa persoalan radikalisme dan kekerasan agama justru terus meningkat?

Selama ini ada dua perspektif dominan dalam menjelaskan maraknya kekerasan agama di era demokrasi itu: pendekatan kultural dan keamanan. Pendekatan kultural menekankan pada aspek kemampuan masyarakat dalam membangun kerukunan antaragama. Artinya, kekerasan agama terus meningkat karena masyarakat dianggap lemah dalam membina toleransi. Ini, antara lain, dapat dilihat dari munculnya kelompok-kelompok intoleran.

Solusinya dengan mengintensifkan dialog lintas iman, terutama yang dipelopori para pemukanya. Sayangnya, di beberapa tempat, dialog semacam itu sering kali bersifat seremonial. Kekerasan agama tetap saja ada.

Sebaliknya, menurut pendekatan keamanan, meningkatnya kasus intoleransi akibat kapasitas negara kian lemah pasca-Orde Baru dalam menindak kelompok-kelompok intoleran, tak seperti di masa otoriter Soeharto dulu. Konsekuensinya, perlu negara bertangan besi seperti masa Orde Baru untuk dapat menjaga kerukunan umat beragama.

Meski tidak dinyatakan secara sengaja, setidaknya itulah asumsi yang terkandung dalam pendekatan keamanan. Namun, ketakmungkinan untuk kembali ke masa otoriter termanifestasikan dalam pembentukan instrumen- instrumen yang menggambarkan kekuasaan negara yang tak terbatas, seperti dalam pembentukan satuan polisi antiteror (Densus 88). Penjelasan semacam ini dapat dilihat, misalnya, dalam tulisan-tulisan Noorhaidi Hasan (2007; 2008) atau Zachary Abuza (2007).

Kedua pendekatan di atas mengandaikan seperti ada kontradiksi dalam demokrasi. Di satu sisi ruang partisipasi dan kebebasan semakin terbuka, tetapi di sisi lain kondisi itu memberi peluang menguatnya komunalisme (baca: lahirnya kelompok-kelompok radikal intoleran) yang mengancam demokrasi, sementara kapasitas negara dipandang lemah dalam menindak aksi-aksi intoleran.

Ekonomi-Politik

Secara prinsipiil, kedua penjelasan di atas sebenarnya tak jauh berbeda dan memiliki kelemahan yang sama. Pertama, keduanya abai dalam melihat dinamika ekonomi-politik Orde Baru yang turut memengaruhi lahir dan menguatnya radikalisme di era demokrasi. Sikap gamang dalam menerima demokrasi—yang melihat adanya kontradiksi di dalamnya—karena penjelasan yang ada selama ini mengabaikan aspek sejarah itu.

Padahal, kelompok-kelompok intoleran—terutama yang menggunakan simbol-simbol Islam— justru lahir dari dinamika politik era Soeharto. Adanya represi terhadap eksponen-eksponen Islam oleh Orde Baru adalah prakondisi yang melahirkan kelompok-kelompok Islam politik yang intoleran itu.

Jadi, aktor-aktor Islam politik yang ”radikal” dan intoleran bukan produk baru periode demokrasi, melainkan warisan sejarah dalam periode otoritarianisme. Kelompok-kelompok jihadis, terutama yang berorientasi menegakkan negara Islam, berakar dari gerakan Islam pada masa lalu yang terus-menerus ditekan sepanjang Orde Baru. Aksi-aksi radikalisme yang bertajuk ”teror” pun sangat mungkin buah dari marjinalisasi politik pada masa lalu; tidak semata-mata pengaruh ideologi yang diimpor dari luar.

Demikian pula kelompok-kelompok paramiliter yang berorientasi menegakkan nahi mungkar (mencegah kemungkaran) melalui aksi-aksi sweeping, merupakan produk dari dinamika politik Orde Baru. Namun, sebagian di antara kelompok itu tidak berakar pada gerakan Islam politik masa lalu, melainkan pada kelompok-kelompok preman terorganisasi yang dikontrol oleh negara (lihat Ian Wilson, 2008).

Kelemahan kedua, penjelasan-penjelasan di atas juga cenderung mengabaikan perhatiannya atas dinamika ekonomi-politik pasca-Orde Baru dalam kontestasi kekuasaan di tingkat lokal. Padahal, aksi-aksi intoleran, termasuk yang menggunakan cara- cara kekerasan, hampir selalu bersinggungan dengan pertarungan elite akibat fragmentasi kekuasaan di era desentralisasi.

Studi yang dilakukan oleh Robin Bush (2008) dalam tulisannya, Regional Sharia Regulations in Indonesia: Anomaly or Symptom, misalnya, menyimpulkan bahwa kemunculan peraturan daerah bernuansa syariah di beberapa tempat lebih menggambarkan hasil dari kontestasi elite dalam memperebutkan dukungan politik daripada gejala menguatnya radikalisme dan militansi Islam. Ini, misalnya, dapat dilihat dari fakta bahwa sebagian besar perda itu justru lahir dari daerah yang bupati atau wali kotanya berasal dari partai nasionalis (Golkar, PDI-P, PKB).

Alhasil, meningkatnya kekerasan agama tak dapat semata hanya dipahami sebagai persoalan intoleransi, juga produk dari pertarungan kekuasaan yang terfragmentasi. Dan, demokrasi sesungguhnya juga masih membuka peluang tegaknya toleransi asalkan pertarungan kekuasaan di tingkat lokal juga jadi perhatian dalam mengatasi masalah-masalah hubungan antaragama.

Selain itu, jika kita mau belajar dari sejarah Orde Baru, menguatnya radikalisme sesungguhnya akibat dari tindakan rezim yang represif terhadap kelompok tertentu. Dengan demikian, jika orientasi dalam mengatasi radikalisme menggunakan pendekatan keamanan semata, hal itu justru dapat menjadi media bagi semakin tumbuh suburnya ide itu. ●

Empat Dunia yang Membingungkan (2)

Rhenald Kasali; Ketua Program MM UI
SUMBER : SINDO, 10 Mei 2012


Di selatan Amerika Serikat ada sebuah kota yang terbelah dua, dipisahkan oleh pagar kawat yang tinggi dan di atasnya berduri. Pemisahan ini mirip dengan pembagian dua Korea yang terjadi tak lama setelah Perang Dunia II berakhir.

Kota itu bernama Nogales yang terletak di State of Arizona, Santa Cruz County dan disebut Nogales-Arizona. Nogalez-Arizona adalah wilayah Amerika Serikat. Adapun di sebelah selatan kawat pemisah juga bernama Nogales, yaitu Nogales Sonora, yang berada di bawah pemerintahan Meksiko. Nogales-Arizona dan Nogales Sonora menjadi perhatian dua profesor ekonomi, Daron Acemoglu dan James Robinson. Sama tertariknya mereka dengan dua Korea yang berbeda nasib, padahal keduanya berbagi alam dan budaya yang sama.

Mereka memakan makanan yang sama, bernenek moyang sama,dengan DNA serupa, mendengarkan musik yang sama, tetapi rezekinya kok tidak sama. Kedua Nogales dulunya adalah jajahan Spanyol sehingga mereka mempunyai darah Eropa dan berbahasa Spanish. Tapi penduduk Nogales- Arizona menikmati pendapatan per kapita USD30.000, sedangkan Nogales Sonora hanya sepertiganya.

Yang satu lebih banyak senyum, pendidikan yang dapat dicapai masyarakatnya ratarata tinggi, punya akses pada perawatan kesehatan yang tak terbatas, dan tingkat harapan hidupnya 10 tahun lebih tinggi daripada penduduk yang tinggal di daerah tetangganya. Yang satu bebas dari kekhawatiran- kekhawatiran ekonomi atau ketakutan politik, sedangkan yang satunya lagi penuh kekhawatiran terhadap hari ini dan hari esok. Hal yang sama juga terlihat antara Korea Utara dengan Korea Selatan. Tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan keduanya berbeda bak langit dan bumi.Apakah yang membedakan keduanya?

Dunia Isolasi

Bagi saya pengontrasan kedua lokasi seperti itu sangat penting untuk merefleksikan strategi pembangunan apa yang tepat untuk bangsa ini. Pengontrasan adalah sebuah metode yang sering saya pakai untuk ”membantu melihat” atau membukakan mata para pemimpin agar bisa dengan jelas ”melihat yang tak terlihat” dalam melakukan change atau transformasi.Kontras antara dua elemen––bukan lima––yang disandingkan secara tegas akan melahirkan kesadaran perbedaan yang besar.

Sama halnya ketika kita membandingkan dua calon presiden atau dua calon gubernur. Ini jauh lebih mudah untuk memutuskan daripada lima kandidat yang masingmasing diusung partai politik utama dan partai politik pendamping yang berbeda-beda. Rakyatnya bingung, pemimpinnya apalagi. Jadi kontrasnya tidak ada bila tidak fokus.”Kontras” hanya muncul bila kita kerucutkan sebuah masa depan ke dalam dua kelompok saja seperti pilihan antara sekarang atau masa depan, from or to, miskin atau sejahtera, dan berubah atau mati.

Pengontrasan dua dunia menjadi penting. Dari pengamatan itu ditemukan pemahaman bahwa negara-negara atau daerah-daerah yang dimanajemeni dengan cara berbeda akan memberikan hasil berbeda. Jadi bukan soal leadership, melainkan manajemen untuk menghasilkan great leaders ke atas permukaan. Bukan juga soal ”alat-alat” pemberantasan kemiskinan seperti BLT, subsidi, proyek-proyek PNPM atau desa mandiri energi, melainkan bagaimana semua itu dikelola, dimanajemeni.

Manajemen itu ditentukan oleh sistem politik yang dibangun suatu bangsa yang memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin besar dan memungkinkan ”koboi-koboi politik”yang telah melukai hati rakyat tidak terpilih kembali. Jadi ada dunia yang terisolasi, yang selama bertahuntahun hanya heboh menggantiganti rezim tetapi rakyatnya tetap miskin. Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena sistem politik dan manajemennya tidak berubah. Kita di sini sudah mengalami pergantian yang revolusioner dari kekuasaan sentralistik kekuatan reformatif, tetapi sistem politiknya tetap sama, dari sistem yang korup, ke sistem yang mungkin lebih korup.

World 0.0 dan World 1.0

Pankaj Ghemawat menjelaskan dunia telah beralih dalam proses evolusi yang panjang dari World 0.0 yang level hidupnya penuh keterbatasan ke dunia 3.0 yang serbakompetitif. World 0.0 sama seperti kehidupan masyarakat adat di Desa Waeapo Pulau Buru yang sebagian kaum wanitanya bahkan belum mengenal pembalut dan kaum prianya masih mengunyah sirih dan biji pinang. Berbekal tombak dengan dua buah parang di pinggang, berkebun cokelat tetapi tak mengenal cangkul.

World 0.0 yang saya geluti adalah dunia yang dikelola kelompok-kelompok adat kecil dengan 50–75 kepala keluarga di setiap desa dan membentuk sebuah masyarakat adat di bawah kepemimpinan karismatik seorang raja yang menaungi ribuan hektare tanah adat dengan sekitar 1.000 kepala keluarga. Dunia 0.0, kata Pankaj, adalah dunia subsisten dan tak mengenal polisi.Tak ada yang dilaporkan kalau ada ”koboi” dari luar yang mengacung-ngacungkan pistol.

Tentu mereka tidak bebas dari ancaman kalau sewaktu-waktu mendapat serangan. Maka setiap pria di dataran Waeapo membawa parang berukir ke mana pun pergi sebagai senjata. Oleh karena itulah dunia 0.0 berevolusi membentuk a nation state, sebuah kesatuan teritorial yang dijaga undang-undang, teritori, tentara, dan armada-armadanya. Dunia 1.0, bagi Pankaj, adalah dunia yang dibentuk oleh spirit nasionalisme. Tentara dan birokrat, national border dan tentu saja partai-partai yang berbasiskan spirit nasionalisme.

Cara berpikirnya adalah cara berpikir proteksionis dan diperkuat adalah negara. Peran negara yang besar dan kuat. Celakanya dunia 1.0 tidak bebas dari gempuran luar. Sejak Columbus berkelana, bangsa-bangsa Barat menggempur kawasan-kawasan lain menjadi ”pasar” sekaligus sebagai koloni bahan-bahan baku. Dunia 2.0 bertarung melawan dunia 1.0 sampai terbentuk kompromi-kompromi yang terlihat lebih damai.

Dunia 2.0 adalah sebuah awal bagi proses globalisasi. Dunia ini menjadi membingungkan karena sebagian dari kita masih tinggal secara fisik,bahkan secara pikiran, di world 0.0 dan sebagian sudah berada di dunia 2.0. Tapi banyak juga orang yang sudah secara fisik tinggal di dunia 2.0, tetapi pikirannya masih berada di dunia 1.0. Dunia 1.0 adalah perekonomian yang mengagungagungkan peran negara, subsidi, dan pegawai negeri yang uang belanjanya besar dan gemuk.

Adapun dunia 2.0 adalah dunia ekspansionis yang menuntut peran swasta yang besar, peran negara yang terbatas, dan tak terkekang dengan birokrasi.Adapun dunia 0.0 adalah dunia yang membutuhkan uluran tangan dengan gedung sekolah yang hampir ambruk, kandang sapi menyatu dengan ruang tamu, dan rumah tanpa listrik, jalan tanpa aspal,bahkan kaki tanpa alas sepatu. Sampai sekarang tampaknya negara-negara sejahtera sendiri sudah meninggalkan cara berpikir world 1.0 yang menghasilkan birokrasi yang tidak efisien dan politik yang kumuh menjadi world 3.0 yang lebih modern.

World 3.0 melihat kepentingan nasional bukan dari eksploitasi sumber daya alam, melainkan kekuatan modal manusia (human capital) yang inklusif, multirasial, berbasiskan ilmu pengetahuan, dan mengeksplorasi alam semesta dengan pemikiran-pemikiran baru. Yang satu mengagung-agungkan pasar dan peran swasta, yang satunya masih mengagung-agungkan peran teritorial dan negara.Yang satu berteriak-teriak kebebasan, yang satunya lagi antiglobalisasi.

Itu sebabnya kita tidak pernah tuntas, semua bertarung di dalam, membuat dinding-dinding pertahanan mudah berlubang dan masuk angin. Jadi apa yang harus diperbuat dengan logika gado-gado yang tak bermuara pada konsensus? Saya dan Anda tentu punya pilihan, tetapi pilihan yang tak bermuara pada konsensus hanya akan membuat Indonesia berada di seberang pagar garis kesejahteraan.

Sementara di seberang pagar ada Malaysia, Singapura, Thailand, dan China yang memilih hidup di dunia 3.0. Persis seperti Nogales yang terbelah pagar kawat berduri, antara Nogales-Arizona dan Nogales Sonora. Janganlah Indonesia menjadi Sonora, sedangkan Arizonanya dinikmati kapitalis seberang yang memiliki jaringan perbankan, telekomunikasi, dan perkebunan-perkebunan di sini, yang dulu milik kita sendiri. ●

PEMBAWA LENTERA

Gede Prama ; Penulis Buku Simfoni di Dalam Diri, Fasilitator Meditasi di Bali Utara
SUMBER : KORAN TEMPO, 24 Mei 2012


Awan gelap menutupi cahaya, itu analogi tepat bagi sebagian kehidupan kekinian. Naiknya jumlah kasus bunuh diri adalah indikasi ada awan gelap dalam sisi kejiwaan manusia. Keluarga diancam keruntuhan karena maraknya perceraian, menunjukkan adanya awan penghalang dalam hubungan antarmanusia. Lebih-lebih politik, yang gelap dibuat tambah gelap, yang terang ditutupi agar gelap. Sebagian wakil rakyat, yang panggilan alaminya membawa lentera, malah menimbulkan kegelapan melalui korupsi. Digabung menjadi satu, kegelapan hadir di mana-mana, sekaligus menghadirkan kerinduan munculnya pembawa lentera.

Salah satu simbol budaya modern adalah pesawat jet yang memungkinkan manusia bepergian secara cepat. Ini memberi inspirasi bahwa kehidupan didorong agar serba cepat. Sekolah cepat, bekerja cepat. Dan manusia kemudian mengejar. Sebagian besar yang mengejar itu tidak menjumpai apa-apa. Kalaupun ada yang dijumpai, hanya keterasingan. Sebagian orang kaya terkemuka di Barat, seperti Bob Marley, Michael Jackson, dan Whitney Houston, menjadi guru bahwa kekayaan materi menghasilkan keterasingan. Di puncak keterasingan ini, badan sakit, mental tidak stabil, bahkan ada yang mati kecanduan narkoba.

Sebagian guru meditasi di Barat yang setiap hari bergelimang murid sakit kemudian menyebut semua tersebut tipuan budaya modern. Dan yang paling menipu, apa lagi kalau bukan janji palsu kekayaan materi yang seolah-olah bisa memberikan semuanya. Sheila MacLeod dalam The Art of Starvation membuka ironi besar. Sementara di negara terbelakang seperti Afrika banyak manusia kelaparan karena miskin, di Barat, dalam jumlah yang terus naik, manusia juga tidak bisa makan. Terutama karena gangguan akibat paduan kompleks antara kebencian, ketakutan, kegagalan, ketidakberdayaan, keterasingan, serta hasrat untuk menguasai kehidupan secara berlebihan.

Pada momen seperti inilah, manusia perlu "menemukan kembali" dirinya yang telah lama terasing. Sejumlah guru tercerahkan bertutur, di titik ketika kilatan cahaya pencerahan menyala, para guru "menyentuh kembali" tubuhnya. Meminjam Reginald A. Ray dalam Touching Enlightenment, pengertian tubuh bukan hanya tubuh fisik, tapi juga mencakup tubuh interpersonal, sekaligus tubuh kosmik. Penderitaan terjadi karena tubuh manusia didangkalkan hanya menjadi tubuh fisik yang terasing. Tubuh kosmik yang menakutkan--tecermin dari banyaknya kecelakaan, gempa, tsunami--adalah cermin dari tubuh interpersonal yang penuh kekacauan. Sebagai contoh, betapa rumit membuat elite politik agar rukun membangun negeri. Tubuh interpersonal yang kacau adalah cermin dari tubuh personal yang terasing di tengah keadaan yang serba tidak puas.

Dengan demikian, inilah saatnya melakukan gerakan balik berupa keterhubungan. Antropolog sosial Gregory Bateson menyebutnya "the pattern that connects" (pola yang menghubungkan). Fisikawan Fritjoff Capra memberi sebutan "the hidden connections" (keterhubungan yang tersembunyi). Fisikawan David Bohm menyebutkan bahwa health (kesehatan) terkait erat dengan whole (keseluruhan). Sejarawan agama terkemuka Karen Armstrong menemukan bahwa intisari ajaran agama adalah compassion (belas kasih). Dan Thich Nhath Hanh menyebut perlunya inter being (proses menjadi yang saling terkait). Dengan kata lain, "menyentuh kembali" tubuh kosmik tidak hanya menjadi kearifan tua di Timur, tapi juga menjadi kebutuhan mendesak manusia Barat sebagaimana diwartakan ilmuwan.

Sebagai bahan untuk melangkah, meditasi mengenal prinsip sederhana: "pikiran cepat adalah hulu penderitaan, pikiran lambat adalah awal kesembuhan, pikiran yang hening sempurna itulah pencapaian meditasi". Artinya, memelankan pikiran melalui meditasi adalah langkah awal menentukan. Pengertian memelankan pikiran adalah belajar menyaksikan setiap bentuk pikiran, bukan diseret arus pikiran. Caranya sederhana, belajar menjadi saksi yang penuh pengertian terhadap setiap bentuk pikiran. Awalnya sulit karena, selama berkehidupan, manusia biasa diseret arus kuat pikiran. Ketekunan meditasi membuat manusia berenang ke pinggir sungai pikiran, kemudian melompat ke luar menjadi saksi yang penuh pengertian.

Ciri manusia yang sudah menjadi saksi sederhana, bisa melihat ada kebahagiaan dalam kesedihan, ada kesedihan dalam kebahagiaan. Bukankah kesedihan yang membuat kebahagiaan jadi menawan? Bukankah kesedihan hanya amplas yang menghaluskan? Seperti pesan puitik Kahlil Gibran: "Tatkala manusia bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur." Jadi, kesedihan bukan tamu, ia anggota keluarga yang sama dekatnya dengan kebahagiaan. Pesannya kemudian, kesedihan yang sering dibuang adalah awal ketidakseimbangan. Dalam bahasa Carl Jung, semua yang dibuang akan menjadi tubuh bayangan--Sigmund Freud menyebutnya alam bawah sadar--yang akan ikut ke mana pun kita pergi.

Lentera pencerahan mungkin menyala bila manusia belajar memandang semuanya sebagai sebuah totalitas. Ia serupa berjumpa gula dan garam. Tidak mungkin menyebut gula (baca: kebahagiaan) lebih baik dari garam (kesedihan). Keduanya ada tempatnya. Gula sahabatnya teh, garam temannya sayur. Hal serupa terjadi dengan kebahagiaan-kesedihan. Guncangan kosmik terjadi karena manusia hanya mau kebahagiaan menendang kesedihan. Kembali ke cerita menyentuh tubuh kosmik, lentera di dalam menyala saat manusia hidup utuh (complete, holistic, authentic) di saat ini.

Dalam bahasa kesembuhan kejiwaan, tubuh bayangan, alam bawah sadar yang berisi hal-hal yang ditendang, bila saatnya matang, ia akan muncul menimbulkan ketegangan. Tapi, di tangan manusia utuh, kesedihan diperlakukan sama dengan kebahagiaan. Akibatnya, bisa memancarkan kasih sayang baik saat senang maupun sedih. Penghormatan dunia yang besar kepada Muhammad Yunus, Mahatma Gandhi, Marthin Luther King Jr., Y.M. Dalai Lama menunjukkan bahwa dunia merindukan lentera yang penuh kasih sayang. Lentera seperti ini yang didoakan muncul nanti dalam pemilihan presiden RI tahun 2014. ●

Sun Tzu dan karya besarnya

Sun Zu adalah penulis Sun Zu Bingfa (Inggris: Sun Tzu's Art of War), sebuah buku filsafat militer China kuno yang sangat berpengaruh. Dia juga salah seorang realis paling awal dalam bidang ilmu politik.

Sun Tzu bukanlah nama asli, melainkan sebuah sebutan kehormatan seperti halnya Kong Tzu (Konfusius) atau Lao Tzu (Lao Tse).

Satu-satunya sumber mengenai kehidupan Sun Zu yang masih tersisa adalah biografi yang ditulis pada abad ke-2 SM oleh ahli sejarah Sima Qian, yang mendeskripsikannya sebagai jendral yang hidup di negara Wu pada abad ke-6 SM. Namun, biografi ini tidak konsisten dengan sumber-sumber yang lain tentang periode tersebut, dan bentuk dan konteksnya mengindikasikan bahwa biografi ini kemungkinan besar ditulis antara 400 SM dan 320 SM.

Karya Sun Zu sendiri, Sun Zu Bingfa, tampaknya memuat beberapa petunjuk langsung tentang kehidupannya. Contohnya, kereta perang yang dijelaskan Sun Zu digunakan dalam periode yang relatif singkat, yang berakhir pada abad ke-4 SM, yang berarti sebagian buku ini ditulis pada periode tersebut.

Sun Zu Bingfa, atau dikenal pula sebagai Sun Tzu Art of War, adalah sebuah buku filsafat militer yang diperkirakan ditulis pada abad ke-6 oleh Sun Zi. Terdiri dari 13 bab di mana setiap bagian membahas strategi dan berbagai metode perang. Karya ini merupakan karya tulis militer Tiongkok yang paling dihormati dan paling terkenal di luar negeri Tiongkok. Siapa yang menulis buku ini sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para pakar sejarah. Beberapa ahli berpendapat bahwa Sun Zu bukanlah nama asli penulis buku ini, melainkan julukan yang diberikan orang kepada penulis tersebut. Sebab, kata "Zu" pada nama Sun Zu sebenarnya digunakan untuk mengacu pada seorang filsuf sehingga Sun Zu diartikan sebagai "filsuf Sun."

Buku ini juga menjadi salah satu buku strategi militer tertua di dunia dan banyak memberikan pengaruh dalam perencanaan strategi militer baik Dunia Timur maupun Barat, taktik bisnis, dan banyak lagi. Buku yang ditulis sekitar tahun 400—320 SM ini pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 716—735 M. Sementara itu, di Eropa, buku ini diperkenalkan oleh Jean Joseph Marie Amiot, yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Kapten E. F. Calthrop, seorang kapten berkebangsaan Inggris.

Konon, semasa era Sengoku di Jepang, seorang daimyo bernama Takeda Shingen (1521-1573) mampu memenangkan banyak pertempuran tanpa menggunakan senjata api karena ia telah mempelajari Sun Zu Bingfa. Buku ini bahkan memberinya inspirasi untuk aturan pertempuran "Fūrinkazan" yang dibuatnya (Air, Hutan, Api, dan Gunung; berarti: secepat angin, sesunyi hutan, seganas api, dan sekokoh gunung).

Semasa Perang Vietnam, beberapa perwira Vietkong memperlajari Sun Zi Bingfa, dan dilaporkan dapat mengulang kembali seluruh kata dalam buku tanpa membacanya.

Sun Pin, keturunan Sun Zu, juga menulis teks yang berjudul Art of War (Seni Perang), walaupun mungkin judul yang lebih cocok adalah Art of Warfare (Seni Peperangan) karena lebih membahas sisi praktis peperangan. Sedikitnya satu penerjemah menjudulinya The Lost Art of War (Seni Perang yang Hilang), karena buku ini, dalam waktu yang lama, memang hilang.

Monday, May 28, 2012

FILOSOFI SUN TZU

Biografi Singkat

Banyak orang yang terinspirasi oleh buku terkenal The Art of War. Its kebijaksanaan telah membantu banyak orang berhasil dalam bidang yang berbeda dalam kehidupan bahwa dalam banyak kasus tidak ada hubungannya dengan perang yang sebenarnya. Tampaknya taktik di dalamnya bersifat universal dan sangat kuat. Kita semua tahu banyak tentang buku itu, tetapi ada sangat sedikit diketahui tentang pengarangnya. Biografi Sun Tzu adalah heroik, tetapi ada banyak detail hilang. Namun, menarik untuk tahu lebih banyak tentang kehidupan jenderal yang terkenal.

Ia lahir di Cina pada perusahaan Musim Semi dan Gugur yang berlangsung 722-481. Ini adalah apa sumber-sumber kuno negara. Hal ini diyakini bahwa ia berasal dari kaum bangsawan kecil, tapi berhasil mendapatkan pendidikan yang baik. Hal ini masih tidak jelas kapan, bagaimana dan mengapa dia menulis risalah yang terkenal, The Art of War.

Diperkirakan bahwa Sun Tzu adalah seorang militer berbakat yang bangkit untuk umum. Ia menjabat raja Wu - Helu. Jenderal memimpin pasukannya ke medan perang dan menunjukkan kepahlawanan yang besar. banyak kemenangan-Nya kemudian mengilhami dia menggambarkan strategi dan taktik dalam risalah.

Masih ada versi lain dari cerita. Beberapa percaya bahwa Sun Tzu memutuskan untuk menyajikan taktik dan strategi dia telah menemukan sehingga ia dapat menjadi umum. Raja sangat terkesan dengan ide-idenya dan menunjuk dia untuk melatih tentara dan memimpin dalam pertempuran. Setelah menjadi umum Sun Tzu diperluas risalatnya menambahkan lebih dari strategi perang yang cemerlang.

Satu hal yang kita tahu pasti adalah bahwa teori-teori dalam The Art of War terbukti efektif. Biografi Sun Tzu menunjukkan bahwa ia memiliki karir militer sukses dan banyak pengikut. Salah satu keturunannya Sun Bin juga mengabdikan hidupnya untuk mempelajari dan merancang taktik perang.

FILOSOFI
Bab 1 Strategi untuk Menang
Strategi 1

Perdaya Langit untuk melewati Samudera.

Bergerak di kegelapan dan bayang-bayang, menggunakan tempat-tempat tersembunyi, atau bersembunyi di belakang layar hanya akan menarik kecurigaan. Untuk memperlemah pertahanan musuh anda harus bertindak di tempat terbuka menyembunyikan maksud tersembunyi anda dengan aktivitas biasa sehari-hari.
Strategi 2

Kepung Wei untuk menyelamatkan Zhao.

Ketika musuh terlalu kuat untuk diserang, seranglah sesuatu yang berharga yang dimilikinya. Ketahui bahwa musuh tidak selalu kuat di semua hal. Entah dimana, pasti ada celah di antara senjatanya, kelemahan pasti dapat diserang. Dengan kata lain, anda dapat menyerang sesuatu yang berhubungan atau dianggap berharga oleh musuh untuk melemahkannya secara psikologis.
Strategi 3

Pinjam tangan seseorang untuk membunuh. (Bunuh dengan pisau pinjaman.)

Serang dengan menggunakan kekuatan pihak lain (karena kekuatan yang minim atau tidak ingin menggunakan kekuatan sendiri). Perdaya sekutu untuk menyerang musuh, sogok pegawai musuh untuk menjadi pengkhianat, atau gunakan kekuatan musuh untuk melawan dirinya sendiri.
Strategi 4

Buat musuh kelelahan sambil menghemat tenaga.

Adalah sebuah keuntungan, merencanakan waktu dan tempat pertempuran. Dengan cara ini, anda akan tahu kapan dan di mana pertempuran akan berlangsung, sementara musuh anda tidak. Dorong musuh anda untuk menggunakan tenaga secara sia-sia sambil anda mengumpulkan/menghemat tenaga.
Saat ia lelah dan bingung, anda dapat menyerangnya.
Strategi 5

Gunakan kesempatan saat terjadi kebakaran untuk merampok lainnya.
(Merompak sebuah rumah yang terbakar.)

Saat sebuah negara mengalami konflik internal, ketika terjangkit penyakit dan kelaparan,
ketika korupsi dan kejahatan merajalela, maka ia tidak akan bisa menghadapi ancaman dari luar.
Inilah waktunya untuk menyerang.
Strategi 6

Berpura-pura menyerang dari timur dan menyeranglah dari barat.

Pada tiap pertempuran, elemen dari sebuah kejutan dapat menghasilkan keuntungan ganda. Bahkan ketika berhadapan langsung dengan musuh, kejutan masih dapat digunakan dengan melakukan penyerangan saat mereka lengah. Untuk melakukannya, anda harus membuat perkiraan akan apa yang ada dalam benak musuh melalui sebuah tipu daya.
Bab 2 Strategi Berhadapan dengan Musuh
Strategi 7

Buatlah sesuatu untuk hal kosong.

Anda menggunakan tipu daya yang sama dua kali. Setelah beraksi terhadap tipuan pertama dan – biasanya- kedua, musuh akan ragu-ragu untuk bereaksi pada tipuan yang ketiga. Lantarannya, tipuan ketiga adalah serangan sebenarnya untuk menangkap musuh saat pertahanannya lemah.
Strategi 8

Secara rahasia pergunakan lintasan Chen Chang.
(Perbaiki jalan utama untuk mengambil jalan lain.)
contoh: invasi Sekutu di Normandia dan muslihat Pas de Calais.

Serang musuh dengan dua kekuatan konvergen.
Yang pertama adalah serangan langsung, sesuatu yang sangat jelas dan membuat musuh mempersiapkan pertahanannya. Yang kedua secara tidak langsung, sebuah serangan yang menakutkan, musuh tidak mengira dan membagi kekuatannya sehingga pada saat-saat terakhir mengalami kebingungan dan kemalangan.
Strategi 9

Pantau api yang terbakar sepanjang sungai.

Tunda untuk memasuki wilayah pertempuran sampai seluruh pihak yang bertikai mengalami kelelahan akibat pertempuran yang terjadi antara mereka. Kemudian serang dengan kekuatan penuh dan habiskan.
Strategi 10

Pisau tersarung dalam senyum.

Puji dan jilat musuh anda. Ketika anda mendapat kepercayaan darinya,
anda bergerak melawannya secara rahasia.
Strategi 11

Pohon kecil berkorban untuk pohon besar.
(Mengorbankan perak untuk mempertahankan emas.)

Ada suatu keadaan dimana anda harus mengorbankan tujuan jangka pendek untuk mendapatkan tujuan jangka panjang. Ini adalah strategi kambing hitam dimana seseorang akan dikorbankan untuk menyelamatkan yang lain.
Strategi 12

Mencuri kambing sepanjang perjalanan
(Ambil kesempatan untuk mencuri kambing.)

Sementara tetap berpegang pada rencana, anda harus cukup fleksibel untuk mengambil keuntungan dari tiap kesempatan yang ada sekecil apapun.
Bab 3 Strategi Penyerangan
Strategi 13

Kagetkan ular dengan memukul rumput di sekitarnya.

Ketika anda tidak mengetahui rencana lawan secara jelas, serang dan pelajari reaksi lawan.
Perilakunya akan membongkar strateginya.
Strategi 14

Pinjam mayat orang lain untuk menghidupkan kembali jiwanya.
(Menghidupkan kembali orang mati.)

Ambil sebuah lembaga, teknologi, atau satu cara yang telah dilupakan atau tidak digunakan lagi dan gunakan untuk kepentingan diri sendiri. Hidupkan kembali sesuatu dari masa lalu dengan memberinya tujuan baru atau terjemahkan kembali, dan bawa ide-ide lama, kebiasaan dan tradisi ke kehidupan sehari-hari.
Strategi 15

Permainkan harimau untuk meninggalkan sarangnya.

Jangan pernah menyerang secara langsung musuh yang memiliki keunggulan akibat posisinya yang baik. Permainkan mereka untuk meninggalkan sarangnya sehingga mereka akan terjauh dari sumber kekuatannya.
Strategi 16

Pada saat menangkap, lepaslah satu orang.

Mangsa yang tersudut biasanya akan menyerang secara membabi buta. Untuk mencegah hal ini, biarkan musuh percaya bahwa masih ada kesempatan untuk bebas. Hasrat mereka untuk menyerang akan teredam dengan keinginan untuk melarikan diri. Ketika pada akhirnya kebebasan yang mereka inginkan tersebut tak terbukti, moral musuh akan jatuh dan mereka akan menyerah tanpa perlawanan.
Strategi 17

Melempar Batu Bata untuk mendapatkan Giok.

Persiapkan sebuah jebakan dan perdaya musuh anda dengan umpan. Dalam perang, umpan adalah ilusi atas sebuah kesempatan untuk memperoleh hasil.
Dalam keseharian, umpan adalah ilusi atas kekayaan, kekuasaan, dan sex.
Strategi 18

Kalahkan musuh dengan menangkap pemimpinnya.

Jika tentara musuh kuat tetapi dipimpin oleh komandan yang mengandalkan uang dan ancaman, maka ambil pemimpinnya. Jika komandan mati atau tertangkap maka sisa pasukannya akan terpecah belah atau akan lari ke pihak anda. Akan tetapi jika pasukan terikat atas sebuah kepercayaan terhadap pimpinannya, maka berhati-hatilah, pasukan akan dapat melanjutkan perlawanan dengan motivasi balas dendam.
Bab 4 Strategi Kaos
Strategi 19

Jauhkan kayu bakar dari tungku masak.
(Lepaskan pegangan kayu dari kapaknya.)

Ketika berhadapan dengan musuh yang sangat kuat untuk menghadapinya secara langsung anda harus melemahkannya dengan meruntuhkan dasarnya dan menyerang sumberdayanya.
Strategi 20

Memancing di air keruh.

Sebelum menghadapi pasukan musuh, buatlah sebuah kekacauan untuk memperlemah persepsi dan pertimbangan mereka. Buatlah sesuatu yang tidak biasa, aneh, dan tak terpikirkan sehingga menimbulkan kecurigaan musuh dan mengacaukan pikirannya. Musuh yang bingung akan lebih mudah untuk diserang.
Strategi 21

Lepaskan kulit serangga.
(Penampakan yang salah menipu musuh.)

Ketika anda dalam keadaan tersudut, dan anda hanya memiliki kesempatan untuk melarikan diri dan harus menyatukan kelompok, buatlah sebuah ilusi. Sementara perhatian musuh terfokus atas muslihat yang anda lakukan, pindahkan pasukan anda secara rahasia di belakang muka anda yang terlihat.
Strategi 22

Tutup pintu untuk menangkap pencuri.

Jika anda memiliki kesempatan untuk menangkap seluruh musuh maka lakukanlah, sehingga dengan demikian pertempuran akan segera berakhir. Membiarkan musuh untuk lepas akan menanam bibit dari konflik baru. Akan tetapi jika mereka berhasil melarikan diri, berhati-hatilah dalam melakukan pengejaran.
Strategi 23

Berteman dengan negara jauh dan serang negara tetangga.

Jamak diketahui bahwa negara yang berbatasan satu sama lain menjadi musuh sementara negara yang terpisah jauh merupakan sekutu yang baik. Ketika anda adalah yang terkuat di sebuah wilayah, ancaman terbesar adalah dari terkuat kedua di wilayah tersebut, bukan dari yang terkuat di wilayah lain.
Strategi 24

Cari lintasan aman untuk menjajah Kerajaan Guo.

Pinjam sumberdaya sekutu untuk menyerang musuh bersama. Sesudah musuh dikalahkan, gunakan sumberdaya tersebut untuk menempatkan sekutu anda pada posisi pertama –untuk diserang-.
Bab 5 Strategi Pendekatan
Strategy 25

Gantikan balok dengan kayu jelek.

Kacaukan formasi musuh, ganggu metod operasinya, ubah aturan-aturan yang digunakannya, buatlah satu hal yang berlawanan dengan latihan standardnya. Dengan cara ini anda telah meruntuhkan tiang-tiang pendukung yang diperlukan oleh musuh dalam membangun pasukan yang efektif.
Strategi 26

Lihat pada pohon marlberi dan ganggu ulatnya.

Untuk mendisiplinkan, mengawal, dan mengingatkan suatu pihak yang status atau posisinya di luar konfrontasi langsung; gunakan analogi atau sindiran. Tanpa langsung menyebut nama, pihak yang tertuduh tidak akan dapat memukul balik tanpa keberpihakan yang jelas.
Strategi 27

Pura-pura menjadi seekor babi untuk memakan harimau.
(Bergaya bodoh.)

Sembunyi di balik topeng ketololan, mabuk, atau gila untuk menciptakan kebingungan atas tujuan dan motivasi anda. Tipu lawan anda ke dalam sikap meremehkan kemampuan anda sampai pada akhirnya terlalu yakin akan diri sendiri sehingga menurunkan level pertahanannya. Pada situasi ini anda dapat menyerangnya.
Strategi 28

Jauhkan tangga ketika musuh telah sampai di atas
(Seberangi sungai dan hancurkan jembatan.)

Dengan umpan dan tipu muslihat mengacah musuh anda ke dalam daerah berbahaya. Kemudian putus jalur komunikasi dan jalan untuk melarikan diri. Untuk menyelamatkan dirinya, dia harus bertarung dengan kekuatan anda dan sekaligus elemen alam.
Strategi 29

Hias pohon dengan bunga palsu.

Menempelkan kembang sutera di atas pohon memberikan sebuah ilusi bahwa pohon tersebut sehat. Dengan menggunakan muslihat dan penyamaran akan membuat sesuatu yang tak berarti tampak berharga; tak mengancam kelihatan berbahaya; bukan apa-apa kelihatan berguna.
Strategi 30

Buat tuan rumah dan tamu bertukar tempat.

Kalahkan musuh dari dalam dengan menyusup ke dalam benteng lawan di bawah muslihat kerjasama, penyerahan diri, atau perjanjian damai. Dengan cara ini anda akan menemukan kelemahan dan kemudian saat pasukan musuh sedang beristirahat, serang secara langsung ke jantung pertahanannya.
Bab 6 Strategi Kalah

Jebakan indah.
(jebakan bujuk rayu, gunakan seorang perempuan untuk menjebak seorang laki-laki.)

Kirim musuh anda perempuan-perempuan cantik yang akan menyebabkan perselisihan di basis pertahanannya. Strategi ini dapat bekerja pada tiga tingkatan. Pertama, penguasa akan terpesona oleh kecantikannya sehingga akan melalaikan tugasnya dan tingkat kewaspadaannya akan menurun. Kedua, para laki-laki akan menunjukkan sikap agresifnya yang akan menyulut perselisihan kecil di antara mereka, menyebabkan lemahnya kerjasama dan jatuhnya semangat. Ketiga, para perempuan akan termotivasi oleh rasa cemburu dan iri, sehingga akan membuat intrik yang pada gilirannya akan semakin memperburuk situasi.
Strategi 32

Kosongkan benteng.
(Perangkap psikologis, benteng yang kosong akan membuat musuh berpikir bahwa benteng tersebut penuh dengan perangkap.)

Ketika musuh kuat dalam segi jumlah dan situasinya tidak menuntungkan bagi diri anda, maka tanggalkan seluruh muslihat militer dan bertindaklah seperti biasa. Jika musuh tidak mengetahui secara pasti situasi anda, tindakan yang tidak biasanya ini akan meningkatkan kewaspadaan. Dengan sebuah keberuntungan, musuh akan mengendorkan serangan.
Strategi 33

Biarkan mata-mata musuh menyebarkan konflik di wilayah pertahanannya.
(Gunakan mata-mata musuh untuk menyebarkan informasi palsu.)

Perlemah kemampuan tempur musuh anda dengan secara diam-diam membuat konflik antara musuh dan teman, sekutu, penasihat, komandan, prajurit, dan rakyatnya. Sementara ia sibuk untuk menyelesaikan konflik internalnya, kemampuan tempur dan bertahannya akan melemah.
Strategi 34

Lukai diri sendiri untuk mendapatkan kepercayaan musuh.
(Masuk pada jebakan; jadilah umpan.)

Berpura-pura terluka akan mengakibatkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, musuh akan bersantai sejenak oleh karena dia tidak melihat anda sebagai sebuah ancaman serius. Yang kedua adalah jalan untuk menjilat musuh anda dengan berpura-pura luka oleh sebab musuh merasa aman.
Strategi 35

Ikat seluruh kapal musuh secara bersamaan
(Jangan pernah bergantung pada satu strategi.)

Dalam hal-hal penting, seseorang harus menggunakan beberapa strategi yang dijalankan secara simultan. Tetap berpegang pada rencana berbeza-beza yang dijalankan pada sebuah skema besar; dengan cara ini, jika satu strategi gagal, anda masih memiliki beberapa strategi untuk tetap maju.
Strategi 36

Selain dari semua hal di atas, salah satu yang paling dikenal adalah strategi ke 36:
lari untuk bertempur di lain waktu. Hal ini diabadikan dalam bentuk peribahasa Cina:

“Jika seluruhnya gagal, mundur” – Jika keadaannya jelas bahwa seluruh rencana aksi anda akan mengalami kegagalan, mundurlah dan persatukan pasukan. Ketika pihak anda mengalami kekalahan hanya ada tiga pilihan: menyerah, kompromi, atau melarikan diri. Menyerah adalah kekalahan total, kompromi adalah setengah kalah, tapi melarikan diri bukanlah sebuah kekalahan.
Selama anda tidak kalah, anda masih memiliki sebuah kesempatan untuk menang!