Thursday, May 28, 2015

Tragedi Minoritas Rohingya Sinar Harapan,28 Mei 2015

Etnis Rohingya, salah satu dari 137 etnis minoritas di Myanmar tengah menjadi sorotan dunia. Sekitar tiga juta etnis Rohingya kebanyakan beragama Islam Sunni dan menempati Negara Bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat.Etnis ini begitu menderita di bawah rejim militer Myanmar, sebagaimana penderitaan etnis Karen di Myanmar yang beragama Kristen.

Bahkan kerap  dikabarkan ada pembantaian, pemerkosaan dan kebiadaban lainnya terhadap warga Rohingya. Konyolnya, polisi dan pasukan paramiliter Myanmar menembaki kerap warga Rohingya dengan peluru tajam.Padahal, seharusnya pasukan pemerintah  bias bertindak netral dan menengahi konflik yang terjadi antara warga Rohingya dengan etnis Arakan yang kebetulan beragama Budha.  

Bahkan, sebagai minoritas, Rohingya  sudah terbiasa didiskriminasi, dipinggirkan, dianggap sebagai  warga negara kelas dua, akses pendidikan dan pekerjaan tertutup. Seolah tak ada masa depan yang cerah bagi mereka.

Tidak heran,sebagian etnis Rohingya  memilih meninggalkan daerah mereka serta pergi ke berbagai negara. Saat ini juga ada ribuan pengungsi Rohingya yang ditampung di berbagai Negara Asean.

Selalu Ditolak

Belakangan ini publik dunia dikejutkan dengan video perahu pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di tengah laut, karena mau mendarat, tidak ada negeri yang mau menampung. Syurlah kini, hampir 1.800 orang telah diselamatkan di Aceh dan 1.107 orang mendarat di Pulau Langkawi, Malaysia. Mereka terdiri dari pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari penindasan dan kekerasan di Myanmar, juga sebagian ada warga Negara Bangladesh.

Belum selesai kisah memilukan di atas, kini juga muncul berita yang menyayat hati terkait keberadaan kuburan massal di Malaysia.Pihak berwenang Malaysia mengatakan, polisi menemukan sejumlah kuburan massal di dekat Padang Besar dan Wang Kelian, Negara Bagian Perlis yang berbatasan dengan Provinsi Songkhla, Thailand bagian selatan. Kepastian itu disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Malaysia Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi, Minggu (24/5). Media setempat melaporkan, jumlah kuburan massal mencapai 30 dan telah ditemukan sekitar 100 jenasah, yang kemungkinan besar beretnis Rohingya.Kemungkinan mereka menjadi korban perdagangan manusia. (Kompas.com, 25/4).

Derita etnis Rohingya tidak berhenti sampai di situ.Mereka sudah meninggalkan Rakhine, tapi tidak tahu apakah ke depan aka nada negeri yang mau menampung mereka.Konyolnya tidak ada tokoh dunia yang menyuarakan penderitaan mereka. Aung San Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian asal Myanmar tampak diam membisu.Tidak heran jika banyak aktivis kemanusiaan bertanya ada apa dengan Suu Kyi sampai dia tidak menyuarakan derita Rohingya.

Sekitar hampir tiga juta etnis Rohingya secara ras atau tipologi fisik mirip atau bahkan sama dengan warga Bangladesh.Bersama para etnis minoritas lain, Rohingya sudah lama hidup dalam tekanan, sejak negeri yang dahulu bernama Burma itu merdeka pada 4 Januari 1948. Memang etnis yang paling dominan pengaruhnya di Myanmar adalah etnis Burma.

Konyolnya menurut  Lembaga Hak Asasi Manusia di New York, Amerika Serikat, pemerintah Myanmar justru seolah  mendukung  kampanye terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kepada Rohingya. Badan hak asasi manusia PBB pernah mengirimkan utusannya untuk menghentikan kekejaman terhadap Rohingya 2012 lampau. Namun ternyata sampai 2015, pemerintah Myanmar tidak melakukan upaya untuk  melindungi warga Rohingya.

Kita berharap, lewat PBB, akan ada solusi damai untuk masalah etnis Rohingya, sebab selama ini ASEAN atau OKI (Organisasi Konferensi Islam) juga tak pernah merespons atau mencoba membantu menyelesaikan masalah Rohingya.

Permasalahan terkait Rohingya memang sensitif. Intinya  ada minoritas muslim Rohingnya yang kebetulan berkonflik dengan etnis Arakan yang beragama Budha sejak Juni lalu, sementara pemerintah Myanmar justru ikut bermain memihak mayoritas Arakan dan menindas minoritas Rohingya.Masalah kian rumit, karena Rohingya dinilai tidak mau kooperatif dan lebih  memilih jalan kekerasan.

Tak heran seolah ada kesepakatan bersama di antarara etnis-etnis di Myanmar bahwa Rohingya dianggap bukan asli Myanmar dan harus kembali ke tanah leluhurnya, yakni Banglades. Konyolnya, ketika ada sebagian warga Rohingya mengungsi ke Banglades justru dikembalikan lagi ke Myanmar. Jadi di Myanmar,Rohingya tidak diterima.Ke Bangladespun  ditolak. Ke manapun seolah ditolak. Betapa sangat menderita.

Pelajaran Bagi Kita

Kita mendukung solidaritas untuk Rohingya. Dari perspektif kemanusiaan, kekejaman darimanapun datangnya layak dikutuk.Dan jika ada yang terkaung-katung di laut, Indonesia perlu pro aktif menyelamatkan. Bila di jaman Soeharto, ada Pulau Galang yang disediakan untuk menampung pengungsi Vietnam, ada baiknya, kita merelakan salah satu pulau kita yang kosong untuk menampung Rohingya.

Yang perlu digarisbawahi, jangan sampai solidaritas untuk Rohingya mengumbar sentimen keagamaan. Simak saja, kasus Rohingya ini sampai membuat umat Budha di Tanah Air juga ikut cemas, karena mudahnya orang diseret oleh provokasi dan pemberitaan yang tendensius.

Maka pemerintahan Jokowi perlu serius dan bijak dalam merespons masalah Rohingya ini. Kemenlu kita perlu pro aktif memainkan diplomasi sehingga segera ada  solusi konstruktif, paling tidak penderitaan warga Rohingya di Rakhine bisa dihentikan, sehingga warga Rohingya tidak akan terus eksodus dan menjadi manusia perahu.

Kecuali itu, Indonesia juga perlu belajar dari kasus Rohingya ini, mengingat apa yang terjadi atas Rohingnya bisa juga terjadi di negeri kita yang majemuk dan  terdiri dari beragam etnis dan agama ini.Jangan lupa, meski eskalasinya tidak sebesar yang dialami etnis Rohingnya, namun sebagian kaum minoritas di negeri kita, seperti warga Ahmadiyah, Syiah atau umat Kristiani  juga akhir-akhir ini merasa dipinggirkan sebagai minoritas.Mau beribadah di tempat ibadah sendiripun was-was. Jangan lupa di negeri ini hingga saat ini juga ada yang mengungsi seperti warga Ahmadiyah di Mataram dan pengungsi Syiah Sampang di Jemundo Sidoarjo.

Memang di Indonesia, yang menjadi Tanah Air bagi 250 juta jiwa ini sangat rentan juga terjadi konflik SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan). Relasi antrara kaum mayoritas dengan minoritas bisa tidak harmonis atau merenggang karena berbagai pemicu. Pesan para pendiri bangsa agar Indonesia jadi rumah bagi semuapun, bisa dengan mudah diabaikan. Kaum minoritaspun  merasa tidak aman dan terpinggirkan.

Terjadinya gesekan atau konflik antar umat beragama sebenarnya muncul karena kita mulai melupakan UUD 1945 dan Pancasila. Simak saja, di era otonomi daerah, justru banyak perda atau regulasi yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.Gesekan antara mayoritas dan minoritas gampang meledak.Negeri yang dahulu dinilai penuh toleransi ini, kini juga dinilai sebagai negeri intolerans.

Maka kita harus belajar dari kasus Rohingya, agar pemerintah kita jangan malah bersekutu dengan mayoritas untuk menindak minoritas, sebagaimana dilakukan pemerintah Myanmar.Setiap warga negara, entah apapun latar belakang  etnis dan agamanya  apa, harus diperlakukan sama atau setara.Tanpa perlakuan yang setara, apalagi sampai terjadi diskriminasi, jelas akan bisa merongrong keutuhan NKRI.