Tidak terasa,
sudah 1000 hari, kita ditinggal dua sosok besar negeri ini.Pertama KH
Abdurrahman Wahid yang 1000 harinya jatuh pada 25/9/2012.Kedua Frans Seda yang
1000 harinya pada 26/9/ 2012.
Seperti diketahui, Gus Dur yang
lahir 4/8/1940, wafat pada Rabu (30/12/2009) dan dimakamkan di Jombang pada
akhir tahun 2009.Sedangkan Frans Seda yang lahir di Flores, 4/10/1926, meninggal pada 31/12/2009. Almarhum dimakamkan
San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, Sabtu (2/1/2010).Selain Menkeu di awal
Orde Baru (1966-1968), Frans juga Menteri Perkebunan (1963-1964) dan Menteri
Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Gus Dur dan Frans merupakan putra
terbaik bangsa ini.
Jembatan
Banyak hal bisa ditulis tentang
kedua tokoh ini. Namun, yang menonjol bahwa hidup keduanya ibarat jembatan yang
menghubungan banyak orang dari segala lapisan, dalam upaya untuk membangun
kehendak baik, mengembangkan semangat dialog, menjalin talisilaturahmi, memperjuangkan perdamaian dan kerukunan di sebuah dunia yang
rentan terjadi kekerasan, konflik dan kesalahpahaman.
Relasi yang intens antara Gus Dur
dengan Gereja, dimulai ketika terjadi
kerusuhan Situbondo pada 1996 (Greg Barton, “Gus Dur:The Authorized Biography
of Abduraahman Wahid”,2002, hal 287 dan 288).Dalam kerusuhan yang ditujukan
pada gereja dan umat kristiani itu, Gus Dur sebagai Ketua PBNU bahkan berani
meminta maaf..
Namun kerusuhan itu membawa hikmah, mulai
terjalinnya komunikasi antara umat Islam, khususnya kaum Nahdlyin dengan umat
kristiani. Gus Dur berpesan pada tokoh dan umat kristiani:”Anda kehilangan
sejumlah gereja yang indah tapi Anda memiliki sesuatu yang lebih berharga,
yakni hubungan yang lebih baik dengan umat Islam”.
Mendiang Frans Seda tentu sependapat dengan pesan Gus Dur. Karena
sejak dulu, setiap anggota gereja seperti Frans justru didorong berkomunikasi
dengan pihak lain, sebagaimana diamanatkanKonsili Vatikan.
Dalam dokumen Nostra Aetate (NA), yang merupakan
salah satu dokumen penting yang dihasilkan Konsili Vatikan II, Gereja Katolik
berani mengakui kebenaran agama-agama lain, seperti Islam. Bahkan menyangkut
relasinya yang buruk di masa lalu dengan Islam, NA mencatat: ”Mengingat dalam
peredaran zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit
antara Islam dengan Kristen, Gereja Katolik mengajak semua pihak untuk
melupakan dan berani mengusahakan saling pengertian yang jujur serta mengajak
memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan persaudaraan antar
manusia” (Dokumen Nostra Aetate, Roma 28/1/1965).
Perbedaan Bukan Kendala
Komunikasi antara Gus Dur dan kaum
Nahdliyinnya dengan gereja, yang
didalamnya ada peran Frans,semakin membaik dari hari ke hari.Perbedaan mendasar
dalam ajaran iman tidak menjadi kendala.Karena sesungguhnya baik Islam atau
Katolik memiliki komitmen yang sama pada kemanusiaan, meskipun ada perbedaan
terkait dogma atau akidah.
Perbedaan itu memang tidak perlu
diubah. Perbedaan itu justru rahmat Sang Pencipta, agar kita yang berbeda suku,
ras, agama dan golongan justru bisa saling mengisi dan berbagi kebaikan.
Jadi perbedaan tidak pernah menghapus peluang untuk
membangun tali silaturahmi, persaudaran sejati dan mengupayakan hal-hal yang
positif bagi masyarakat.Dengan demikian, agama tidak jatuh menjadi slogan atau
terdegradasi menjadi alat untuk memecah belah umat manusia, namun memberi
kontribusi positif bagi kehidupan kita.
Rasanya spirit Gus Dur atau Frans
yang selalu bisa menghargai perbedaan, guna mengupayakan kebaikan bersama, masih
begitu relevan dengan kondisi negeri kita hari-hari ini. Kita prihatin
menyaksikan masih ada kekerasan atas nama sentimen SARA (suku, agama, ras dan
antar golongan) yang marak belakangan ini. Maka spirit atau ide-ide kegamaan,
kemanusiaan dan kebangsaan Gus Dur atau Frans jangan ikut terkubur. Indonesia
membutuhkan lebih banyak Gus Dur dan Frans Seda yang lain, agar tetap satu
dalam damai, kasih dan persaudaraan, dalam NKRI
yang berdasar Pancasila.