Etnis Rohingya,
salah satu dari 137 etnis minoritas di Myanmar tengah menjadi sorotan dunia. Sekitar
tiga juta etnis Rohingya kebanyakan beragama Islam Sunni dan menempati Negara
Bagian Rakhine Utara di Myanmar Barat.Etnis ini begitu menderita di bawah rejim
militer Myanmar, sebagaimana penderitaan etnis Karen di Myanmar yang beragama
Kristen.
Bahkan kerap dikabarkan ada pembantaian, pemerkosaan dan
kebiadaban lainnya terhadap warga Rohingya. Konyolnya, polisi dan pasukan
paramiliter Myanmar menembaki kerap warga Rohingya dengan peluru tajam.Padahal,
seharusnya pasukan pemerintah bias bertindak
netral dan menengahi konflik yang terjadi antara warga Rohingya dengan etnis
Arakan yang kebetulan beragama Budha.
Bahkan, sebagai minoritas,
Rohingya sudah terbiasa didiskriminasi,
dipinggirkan, dianggap sebagai warga
negara kelas dua, akses pendidikan dan pekerjaan tertutup. Seolah tak ada masa
depan yang cerah bagi mereka.
Tidak
heran,sebagian etnis Rohingya memilih
meninggalkan daerah mereka serta pergi ke berbagai negara. Saat ini juga ada
ribuan pengungsi Rohingya yang ditampung di berbagai Negara Asean.
Selalu Ditolak
Belakangan ini
publik dunia dikejutkan dengan video perahu pengungsi Rohingya yang terkatung-katung
di tengah laut, karena mau mendarat, tidak ada negeri yang mau menampung. Syurlah kini, hampir 1.800 orang telah diselamatkan di Aceh
dan 1.107 orang mendarat di Pulau Langkawi, Malaysia. Mereka terdiri dari
pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari penindasan dan kekerasan di
Myanmar, juga sebagian ada warga Negara Bangladesh.
Belum selesai
kisah memilukan di atas, kini juga muncul berita yang menyayat hati terkait
keberadaan kuburan massal di Malaysia.Pihak berwenang
Malaysia mengatakan, polisi menemukan sejumlah kuburan massal di dekat Padang
Besar dan Wang Kelian, Negara Bagian Perlis yang berbatasan dengan Provinsi
Songkhla, Thailand bagian selatan. Kepastian itu disampaikan oleh Menteri Dalam
Negeri Malaysia Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi, Minggu (24/5). Media setempat
melaporkan, jumlah kuburan massal mencapai 30 dan telah ditemukan sekitar 100 jenasah,
yang kemungkinan besar beretnis Rohingya.Kemungkinan mereka menjadi korban
perdagangan manusia. (Kompas.com, 25/4).
Derita etnis
Rohingya tidak berhenti sampai di situ.Mereka sudah meninggalkan Rakhine, tapi
tidak tahu apakah ke depan aka nada negeri yang mau menampung mereka.Konyolnya
tidak ada tokoh dunia yang menyuarakan penderitaan mereka. Aung San Suu Kyi,
peraih Nobel Perdamaian asal Myanmar tampak diam membisu.Tidak heran jika
banyak aktivis kemanusiaan bertanya ada apa dengan Suu Kyi sampai dia tidak
menyuarakan derita Rohingya.
Sekitar hampir tiga
juta etnis Rohingya secara ras atau tipologi fisik mirip atau bahkan sama
dengan warga Bangladesh.Bersama para etnis minoritas lain, Rohingya sudah lama
hidup dalam tekanan, sejak negeri yang dahulu bernama Burma itu merdeka pada 4
Januari 1948. Memang etnis
yang paling dominan pengaruhnya di Myanmar adalah etnis Burma.
Konyolnya menurut
Lembaga Hak Asasi Manusia di New York,
Amerika Serikat, pemerintah Myanmar justru seolah mendukung
kampanye terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan kepada Rohingya. Badan
hak asasi manusia PBB pernah mengirimkan utusannya untuk menghentikan kekejaman
terhadap Rohingya 2012 lampau. Namun ternyata sampai 2015, pemerintah Myanmar
tidak melakukan upaya untuk melindungi
warga Rohingya.
Kita berharap,
lewat PBB, akan ada solusi damai untuk masalah etnis Rohingya, sebab selama ini
ASEAN atau OKI (Organisasi Konferensi Islam) juga tak pernah merespons atau
mencoba membantu menyelesaikan masalah Rohingya.
Permasalahan
terkait Rohingya memang sensitif. Intinya
ada minoritas muslim Rohingnya yang kebetulan berkonflik dengan etnis
Arakan yang beragama Budha sejak Juni lalu, sementara pemerintah Myanmar justru
ikut bermain memihak mayoritas Arakan dan menindas minoritas Rohingya.Masalah
kian rumit, karena Rohingya dinilai tidak mau kooperatif dan lebih memilih jalan kekerasan.
Tak heran seolah
ada kesepakatan bersama di antarara etnis-etnis di Myanmar bahwa Rohingya dianggap
bukan asli Myanmar
dan harus kembali ke tanah leluhurnya, yakni Banglades. Konyolnya, ketika ada
sebagian warga Rohingya mengungsi ke Banglades justru dikembalikan lagi ke Myanmar . Jadi di Myanmar,Rohingya tidak diterima.Ke
Bangladespun ditolak. Ke manapun seolah
ditolak. Betapa sangat menderita.
Pelajaran Bagi Kita
Kita mendukung solidaritas untuk Rohingya. Dari perspektif kemanusiaan,
kekejaman darimanapun datangnya layak dikutuk.Dan jika ada yang terkaung-katung
di laut, Indonesia perlu pro aktif menyelamatkan. Bila di jaman Soeharto, ada
Pulau Galang yang disediakan untuk menampung pengungsi Vietnam, ada baiknya,
kita merelakan salah satu pulau kita yang kosong untuk menampung Rohingya.
Yang perlu digarisbawahi, jangan sampai solidaritas untuk Rohingya mengumbar
sentimen keagamaan. Simak saja, kasus Rohingya ini sampai membuat umat Budha di
Tanah Air juga ikut cemas, karena mudahnya orang diseret oleh provokasi dan
pemberitaan yang tendensius.
Maka pemerintahan Jokowi perlu serius dan bijak dalam merespons masalah
Rohingya ini. Kemenlu kita perlu pro aktif memainkan diplomasi sehingga segera
ada solusi konstruktif, paling tidak
penderitaan warga Rohingya di Rakhine bisa dihentikan, sehingga warga Rohingya
tidak akan terus eksodus dan menjadi manusia perahu.
Kecuali itu, Indonesia juga perlu belajar dari kasus Rohingya ini,
mengingat apa yang terjadi atas Rohingnya bisa juga terjadi di negeri kita yang
majemuk dan terdiri dari beragam etnis
dan agama ini.Jangan lupa, meski eskalasinya tidak sebesar yang dialami etnis
Rohingnya, namun sebagian kaum minoritas di negeri kita, seperti warga
Ahmadiyah, Syiah atau umat Kristiani juga akhir-akhir ini merasa dipinggirkan sebagai
minoritas.Mau beribadah di tempat ibadah sendiripun was-was. Jangan lupa di
negeri ini hingga saat ini juga ada yang mengungsi seperti warga Ahmadiyah di
Mataram dan pengungsi Syiah Sampang di Jemundo Sidoarjo.
Memang di Indonesia, yang menjadi Tanah Air bagi 250 juta jiwa ini sangat
rentan juga terjadi konflik SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan). Relasi
antrara kaum mayoritas dengan minoritas bisa tidak harmonis atau merenggang
karena berbagai pemicu. Pesan para pendiri bangsa agar Indonesia jadi rumah
bagi semuapun, bisa dengan mudah diabaikan. Kaum minoritaspun merasa tidak aman dan terpinggirkan.
Terjadinya gesekan atau konflik antar umat beragama sebenarnya muncul
karena kita mulai melupakan UUD 1945 dan Pancasila. Simak saja, di era otonomi
daerah, justru banyak perda atau regulasi yang bertentangan dengan UUD 1945 dan
Pancasila.Gesekan antara mayoritas dan minoritas gampang meledak.Negeri yang
dahulu dinilai penuh toleransi ini, kini juga dinilai sebagai negeri
intolerans.
Maka kita harus belajar dari kasus Rohingya, agar pemerintah kita jangan
malah bersekutu dengan mayoritas untuk menindak minoritas, sebagaimana
dilakukan pemerintah Myanmar.Setiap warga negara, entah apapun latar belakang etnis dan agamanya apa, harus diperlakukan sama atau setara.Tanpa
perlakuan yang setara, apalagi sampai terjadi diskriminasi, jelas akan bisa
merongrong keutuhan NKRI.
*)Kolumnis, Tinggal di Surabayahttp://sinarharapan.co/news/read/150528108/tragedi-minoritas-rohingya