Mengenang Munir
Senin, 11 September 2006 | 18:03 WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/09/11/brk,20060911-83785,id.html
Tom S. Saptaatmaja
TEMPO Interaktif, Jakarta:Tidak terasa sudah dua tahun Munir wafat atau tepatnya dibunuh. Sekadar menyegarkan ingatan, pada 7 September 2004 Munir diracun dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta ke Amsterdam. Selama ini, Suciwati, istri Munir, mencoba mencari tahu dalang pembunuhan pejuang hak asasi manusia tersebut.
Yang memprihatinkan, apa yang dilakukan Suci kadang justru mendapat cibiran dan dipertentangkan dengan masalah lain. Penulis masih menyimpan opini seorang penulis Surat Pembaca, Retno Sawitri, dari Jalan Nanas, Bandung, yang mengkritik cara-cara Suci. "Bagi Suci dan kawan-kawan, mengungkap kematian tokoh HAM sekaliber Munir adalah megaproyek vital yang berskala internasional, karena hukum Indonesia dianggap tidak pernah memadai. Kematian Munir adalah mahapenting untuk diinternasionalisasi. Apalagi kalau sampai dikesankan menjual kasus tewasnya Munir ke lembaga-lembaga politik dan lembaga hukum asing, jelas bisa menimbulkan antipati. Jangan sampai timbul kecurigaan adanya agenda terselubung di belakang misi Mbak Suci (Koran Tempo, 4 Juli 2006).
Tentu pendapat itu sah-sah saja dilontarkan, tapi si penulis jelas tidak proporsional lagi ketika mempertentangkan kasus Munir dengan para korban bencana di Yogyakarta. Korban Yogya harus dibantu, tapi kasus Munir jangan dilupakan. Jadi pendapat seperti itu menjadi cerminan betapa kita memang gampang sekali lupa akibat cara pandang yang hanya sepotong-sepotong dan tidak holistik dalam memandang permasalahan Munir ini.
Karena itu, upaya Suci menyuarakan kasus ini ke mancanegara bisa dipahami, karena kita memang terkenal sebagai bangsa yang suka mengidap amnesia, sehingga nyawa orang yang dihilangkan, seperti Munir atau para aktivis lain, kita anggap sebagai soal sepele. Betapa memprihatinkan bahwa dewasa ini banyak peristiwa masa lalu yang amat signifikan untuk diingat justru gampang masuk dalam keranjang sampah dan dilupakan begitu saja. Akibatnya, kita gagal becermin pada masa lalu sehingga dengan mudah terjebak dalam kesalahan yang sama di masa kini dan masa depan. Yang memprihatinkan jika kemudian sosok yang telah melanggar HAM dan mengakibatkan banyak korban nyawa, sekarang justru dipuja-puja sebagai pahlawan. Sementara itu, sosok yang telah memperjuangkan HAM kaum tertindas, seperti Munir, justru dilupakan.
Kasus Munir jangan dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri. Kasus Munir memiliki rangkaian dengan kasus-kaus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut catatan Lembaga Studi Advokasi (Elsam, 2004), banyak pelaku peristiwa masa lalu juga masih gelap. Sebut saja peristiwa pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), pembunuhan misterius terhadap kaum kriminal di berbagai kota (1983-1986), peristiwa Tanjung Priok (1984), penangkapan dan penyiksaan Kelompok Usro (1985-1988), peristiwa Lampung (1989), penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jemaat HKBP (1992-1993), kasus Haor Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993), pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993), Operasi Militer II di Aceh (1989-1998), pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995), peristiwa 27 Juli (1996), tragedi 13-15 Mei 1998 dan tragedi Semanggi I dan I, serta pelanggaran berat di Aceh dan Papua.
Alih-alih bertanggung jawab, pemerintah dan negara justru cenderung "menggantung" semua peristiwa itu dalam kegelapan penuh misteri. Negara ini memang terkenal dalam pembiaran para korban kekerasan negara (state violence) dalam kegelapan serta pembiaran para aktor intelektual dan pelaku tragedi itu tetap bisa ongkang-ongkang kaki tanpa hukuman sama sekali (impunitas). Meski polisi berjanji mengusut peristiwa peracunan Munir, bisa dijamin ujung-ujungnya hanya akan menggantung dalam kegelapan yang absurd. Memang Pollycarpus Budihari Priyanto (Polly), terdakwa kasus pembunuhan Munir, sudah dipenjara, tapi jangan lupa pembunuh aslinya masih bebas berjalan-jalan di alam terbuka.
Tidak tahu mengapa negeri ini suka memberi kekebalan hukum kepada para begundal yang hidupnya sudah dibasahi darah para korban. Pantas Suciwati menulis pertanyaan yang amat menyentak ketika menulis surat untuk Presiden. "Meskipun Bapak telah menyerukan agar semua pihak terbuka terhadap investigasi kasus ini, seruan ini tak lebih sekadar imbauan. Kalau Bapak sebagai seorang presiden saja tidak digubris, bagaimana masyarakat sipil yang tidak punya kuasa apa pun? Akankah kredibilitas bangsa kita dipertaruhkan untuk membela para pengecut yang telah menghilangkan nyawa orang lain?" (Surat Buat Presiden SBY, Tempo, 8 Mei 2005).
Munir memang pejuang HAM sejati, karena memperjuangkan semua orang yang ditindas tanpa memperhitungkan agama dan rasnya. Tidak mengherankan ketika dimakamkan di Batu, Jawa Timur, yang menangisi Munir adalah orang dari beragam etnis dan agama. Memang almarhum adalah sosok muslim yang rahmatan lil alamin, sehingga warga nonmuslim pun merasakan jasanya. Dalam wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla, Munir meyakini Islam harus menjadi rahmat bagi semesta. Untuk itu, Islam harus menjadi energi bagi kaum tertindas untuk melawan penindasan, tapi bukan dalam bentuk perang melawan agama tertentu. Munir menemukan Islam mengakui bahwa dalam relasi sosial ada ketidakadilan. Ada yang menzalimi, ada yang dizalimi. Islam harus berpihak kepada yang dizalimi. Jadi Islam tidak berpihak kepada Islam, tapi kepada yang dizalimi demi menciptakan keadilan (Kompas, 6 Oktober 2004).
Munir memang sudah dua tahun meninggal. Seseorang yang telah berjasa ketika telah tiada justru tampak kian berharga, khususnya bagi orang-orang yang telah ditolongnya. Tapi kita jangan terjebak dalam rasa nostalgia yang naif. Sebab, dalam setiap ingatan akan Munir, kita harus mengenang pula ribuan nama yang nyawanya dicabut atau dihilangkan dengan semena-mena oleh para penguasa di masa lalu. Anehnya, penguasa yang ada sekarang hanya membiarkan hukum serta lembaga peradilan kita dikuasai para mafia, sehingga hukum kita penuh dengan sandiwara menyakitkan bagi para pencari keadilan, seperti Suci dan Ikatan Keluarga Orang Hilang.
Maka setiap kali mengenang almarhum Munir, kita juga harus mengenang para korban HAM lain. Dalam kenangan seperti inilah kita selalu disadarkan bahwa masih belum ada keadilan bagi Munir dan para korban HAM lain. Dengan demikian, kita tak akan bosan untuk terus berjuang melawan kekuasaan lalim. Menurut Milan Kundera, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.
Tom S. Saptaatmaja, Teolog
No comments:
Post a Comment