Pernahkah Anda bayangkan kalau ternyata Yesus itu lahir di Indonesia?
Tak terhitung berapa kali saya menonton film “Capitalism: A Love Story” di HBO. Tapi, entah mengapa setiap film itu kembali diputar, saya ingin menyaksikannya lagi dan lagi. Film “Capitalism: A Love Story” dibuat, ditulis, distrudarai, dan juga diperankan oleh Michael Moore pada 2009, tahun di mana Amerika Serikat mengalami krisis keuangan akibat salah kelola manajemen perusahaan-perusahaan besar.
Ini film dokumenter, pada beberapa bagian tampak membosankan, saat banyak menayangkan kutipan dari banyak orang, termasuk praktisi perbankan, industri keuangan besar, akademisi, sampai tokoh agama tentang apa itu kapitalisme. Seorang pendeta yang diwawancarai berujar, “Kapitalisme adalah iblis, dan Anda tidak bisa mengatur iblis. Anda harus melenyapkannya.”
Persoalan menjadi terang-benderang saat cerita mengambil human example mereka yang menjadi korban kapitalisme. Rumahnya disita karena dianggap tak mampu membayar bunga cicilan. Atau isteri korban meninggal yang merasa dana santunannya ditilep perusahaan asuransi.
Inilah potret wajah Amerika sesungguhnya, beda dengan mayoritas film Hollywood lain yang kerap menampilkan sisi heroisme negara Abang Sam. Ini potret negara adidaya yang tak kuasa mengerem fakta bahwa ada 14 ribu orang kehilangan pekerjaan setiap hari. Film ini menampilkan sebuah inspirasi, saat penduduk yang rumahnya dirampas oleh bank mengumpulkan kekuatan untuk merebut kembali tempat tinggalnya.
Pun dapat dilihat dalam adegan pendudukan sembilan hari oleh buruh terhadap sebuah pabrik yang telah bangkru. Aksi pendudukan pabrik ini akhirnya berhasil mempercepat kreditor Bank of Amerika dan JP Morgan Chase untuk menyelesaikan masalahnya dengan mencairkan dana sebesar 1,75 juta dolar Amerika. Sebuah tanda-tanya besar sekaligus hujatan muncul di akhir film: mengapa negara terkaya di atas muka bumi ini tidak mampu menyediakan pekerjaan, jaminan kesehatan, perumahan yang layak, dan pendidikan yang memadai bagi semua rakyat?
Yesus dan kapitalisme
Bicara soal kapitalisme, saya terinspirasi tulisan Jan Windy, seorang kawan di Nusa Tenggara Timur. Ia berkisah, saat Maria dan Yusuf datang dari Soe, di tengah perjalanan Maria merasa akan melahirkan. Mereka pun pergi ke RSU. W.Z. Yohanes Kupang dan mendapati petugas yang menginformasikan bahwa kamar sudah penuh, apalagi saat itu Yusuf tidak memiliki Kartu Askeskin akibat lupa didata kepala desa. Akhirnya Yusuf membawa Maria ke Pasar Kasih Kupang, di sana Yesus dilahirkan dan dibaringkan diatas dedegu tempat menjual sayur pedagang dari Naioni yang baru saja digusur.
Tersiar kabar kelahiran Yesus kemana-mana, sehingga Herodes yang saat itu menjadi gubernur sangat ingin membunuh Yesus, yang menurut ramalan adalah generasi penerus bangsa ini. Menurut kabar juga Yesus adalah pembawa damai, yang akan meneriakan demokratisasi dan kehidupan yang sejahtera bagi rakyat tertindas. Namun Yesus lolos dari incaran Herodes yang ingin membunuhnya.
Setelah Yesus dewasa, banyak mujizat yang dibuat-Nya sehingga banyak orang percaya bahwa Dialah generasi penerus bangsa ini. Yesus memberi makan 5 ribu orang karena saat itu terjadi rawan pangan dan 39 persen anak mengalami gizi buruk. Yesus menyembuhkan orang sakit karena masyarakat tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang sangat tinggi, kalaupun ada Askeskin apotek-apotek selalu kehabisan obat-obat generik dalam resep dokter.
Yesus sempat mampir di rumah Zakheus sang pemungut cukai sehingga Zakheus bertobat, coba saja saat itu ada Gayus Tambunan, mungkin dia juga akan bertobat, tapi saat itu Gayus sementara berlibur ke Bali.
Saat Yesus tertangkap, Dia dijual oleh Yudas. Untung Yudas saat itu bukan calo TKI dari PPJTKI “X” sehingga Yesus tidak dikirim ke Malaysia menjadi pembantu rumah tangga. Yudas menjual Yesus pada kaum Farisi untuk dijadikan kambing hitam kejahatan dan dosa manusia, hingga Yesus diperhadapkan di pengadilan negeri.
Penduduk negara terkaya korban kerakusan ekonomi. Kapitalisme adalah iblis.
Pilatus yang saat itu menjadi hakim ketua menawarkan kepada rakyat apakah harus membebaskan Yesus atau Barabas, sang koruptor APBD. Entah Pilatus terlibat Markus (Makelar Kasus) atau dijanjikan proyek pemda terkait keterlibatannya sebagai Marten Pilatus (Makelar Tender), Pilatus akhirnya membebaskan Barabas.
Yesus tidak sempat meminta penangguhan penahanan, selain harus membayar pengacara yang mahal, Ia juga harus menyediakan uang jaminan lima puluh juta rupiah. Yesus tetap berpijak pada kewajiban-Nya untuk menebus kesalahan manusia, Ia memposisikan diri sebagai penjamin dari kesalahan-kesalahan manusia. Kalaupun Ia meminta penangguhan penahanan tentu akan sangat sulit, karena Yesus bukan pejabat yang bisa mendapatkan perlakuan istimewa dan kebal hukum.
Usai bangkit dari kematian, Yesus naik ke sorga. Petrus dan kawan-kawan ditugaskan untuk memberitakan Injil di seluruh penjuru dunia. Mereka pun melakukan sosialisasi, workshop, FGD, seminar sehari, dan berbagai acara konsinyering. Ceritera kebangkitan Yesus membahana di mana-mana. Banyak pejabat negara datang di pertemuan-pertemuan itu, entah keikutsertaan mereka untuk mendengar kisah Yesus atau hanya sekedar menggunakan momen mencairkan SPPD dan jalan-jalan di Jakarta. Bahkan setelah seminar, diketahui banyak SPPD fiktif. Ada anggaran SPPD yang dicairkan di tapi orangnya tidak pernah berangkat ke Jakarta mengikuti seminar.
Di Sorga, Yesus melakukan monitoring dan evaluasi, melihat keberhasilan-Nya menebus dosa manusia. Ia sontak kaget ketika matanya tertuju ke Indonesia, telinga-Nya hampir ditutup mendengar kesombongan manusia yang membanggakan dosa-dosa. Kapitalisme membutakan semuanya.
No comments:
Post a Comment