Pada 25 September 2012, genap 1000
hari Wafat Gus Dur. Terkait ini, baik sebelum maupun sesudah tanggal tersebut, digelar peringatan di berbagai tempat, antara lain di kediaman almarhum di Ciganjur Jakarta. Seperti diketahui, Gus Dur
wafat pada Rabu (30/12/2009) dan dimakamkan di pemakaman Bani Hasyim di
Pesantren Tebuireng, Jombang pada akhir tahun 2009. Di makam itu juga telah
disemayamkan Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur dan Wahid Hasyim, ayah Gus Dur.
Pasca pemakaman itu, merebak usulan Gus Dur
ditetapkan sebagai pahlawan nasional.Namun usulan ini belum bisa direalisasi oleh
pemerintah.Kelak bila dinyatakan sebagai pahlawan, dia akan menyusul kakeknya
Hasyim Asya'ari (Pendiri NU) dan Wahid Hasyim, ayah Gus Dur yang sudah dinyatakan sebagai
pahlawan nasional.
Namun sejatinya Gus Dur selalu menjadi pahlawan
dalam hati siapapun yang mengaguminya. Dalam kamus bahasa Indonesia (Balai
Pusaka, 199), pahlawan diberi makna
sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbannya dalam
membela kebenaran atau pejuang yang
gagah berani.
Dan di sepanjang hidupnya, Gus Dur selalu heroik dalam cara berpikir,
meski tetap bersikap moderat.Gus Dur
juga selalu bertindak bak pahlawan karena konsistensi perjuangannya pada topik
keagamaan, kemanusiaan, pluralitas dan demokrasi.
Kita tidak mungkin meniru almarhum.Biarlah cuma
ada satu Gus Dur di muka bumi ini. Yang wajib kita lanjutkan adalah cara hidup,
pemikiran dan perjuangannya, bagaimana almarhum selalu membela mereka yang
dipinggirkan dan ditindas. Bagaimana Gus Dur mengajarkan tentang keterbukaan
guna menjunjungi tinggi harkat dan martabat manusia.
Dan di atas semuanya, bagaimana Gus Dur selalu
heroik tiap membahas tentang pluralitas
dan demokrasi yang masih menjadi perjuangan panjang bangsa kita. Ibaratnya
lautan, Gus Dur menjadi sosok yang mampu menampung dan memahami pemikiran atau entitas
apapun. Gus Dur tak pernah alergi pada perbedaan. Semasa masih menjabat jadi
Presiden, mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001, Gus Dur pernah
berkata:”setanpun boleh bertamu di Istana”.
Dialog dan Silaturahmi
Oleh karena itu, dialog, diskusi dua arah dan
bukan monolog, selalu digemari oleh Gus Dur. Tidak heran menurut Mbak Yenny,
putri almarhum, semasa hidupnya yang membentang selama 69 tahun, nyaris setiap
hari Gus Dur selalu punya agenda menerima tamu atau bertamu ke siapa saja. Tiada
hari tanpa tamu dalam kehidupan Gus Dur. Semangat mengedepankan dialog, bersilaturahmi atau berkomunikasi inilah yang
perlu kita lanjutkan.
Bahkan, walau sudah tiada, tampaknya Gus Dur
seperti terus berkomunikasi dengan mereka yang mengaguminya. Simak saja, di
makam Gus Dur yang berada di bagian belakang pekarangan Pondok Pesantren
Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, ratusan
bahkan ribuan orang dari berbagai kalangan tiap hari ramai berjiarah di
kompleks pemakaman yang luasnya hanya 100 meter persegi itu. Tahun 2011 lalu,
jumlah peziarah di makam Gus Dur diperkirakan mencapai satu juta orang.
Yang menarik, bukan hanya Umat Islam atau warga
Nahdliyin saja yang berziarah. Nyaris semua lapisan, golongan dan agama ada di
antara deretan para pejiarah di makam Gus Dur. Ada pastor, pendeta, biku, penganut Hindu, Budha, umat
kristiani dan penghayat aliran kepercayaan atau yang sekuler dan agnostik
sekalipun.
Para pejiarah beretnis Tionghoa juga tampak
selalu ada, entah yang beragama Konghucu, Tao atau yang lain.Secara khusus etnis
Tionghoa memang sangat berutang budi pada Gus Dur, yang digelari dengan sebutan
Bapak Tionghoa Indonesia dan Bapak Pluralisme Indonesia. Harus diakui, karena
jasa Gus Dur, segala bentuk diskriminasi, termasuk apa yang disebut
pembunuhahan budaya Tionghoa (“cultural genocide”) yang dilakukan pemerintah Orba dihapus. Memang
sejak Soeharto berkuasa pasca 1965,
semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh
dilakukan lagi, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Inpres No 14/1967. Etnis
Tionghoapun dipinggirkan dan akhirnya hanya berkutat di bidang ekonomi.Berkat
Gus Dur, etnis ini akhirnya kembali dianggap setara dengan anak bangsa yang
lain dalam rumah yang bernama Indonesia.
Macam-macam motif orang yang hadir dan berdoa
di makam Gus Dur. Namun kebanyakan, para pejiarah memang dipenuhi dengan rasa
kagum, rasa hormat dan rasa syukur atas jasa-jasa almarhum bagi keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Merawat dan Merindukan
Dengan kata lain, ramainya para peziarah lintas
agama di makam Gus Dur seolah hendak mengungkapkan kerinduan akan hadirnya
kembali sosok Gus Dur yang begitu menghargai keragaman dan perbedaan.
Kerinduan semacam ini tentu saja masuk akal, mengingat negri kita dahulu
dikenal sebagai negri yang ramah atas berbagai macam perbedaan (suku, agama,
ras, antar golongan atau SARA).Bahkan toleransi dan penghargaan kita pada
keberagaman diapresiasi di mana-mana. Namun sayang, hari-hari ini, negeri yang
pernah dikenal sebagai negri yang ramah pada perbedaan, kini seolah mengalami
kemerosotan sehingga kerap dilanda amarah dan amuk massa karena kurang menghargai perbedaan.Seolah perbedaan menjadi
musuh.Kebhinekaan menjadi cela yang disesali.
Simak saja, beberapa tempat ibadah disegel dan
aksi kekerasan atau teror juga terus menyasar kemana-mana.Orang gampang saling
menyesatkan,mengkafirkan bahkan membunuh karena perbedaan agama atau
keyakinan.Kekerasan dan spirit komunalisme merebak di seantero negeri.Tawuran
antar pelajar/mahasiswa, bentrok antar kampung atau serangan ke kelompok minoritas
yang dainggap sesat, menjadi fenomena sehar-hari.
Mengingat Gus Dur tak mungkin dihidupkan
kembali, jelas spiritnya yang selalu menghargai perbedaan, harus kita rawat dan
pelihara. NKRI dalam bahaya, ketika tiada lagi penghargaan pada perbedaan, mengingat
keragaman adalah keniscayaan kita.
Maka kita yang mengagumi sosok dan pemikiran
Gus Dur, jelas perlu ambil bagian dalam
merawat spirit atau semangat Gus Dur yang
inklusif di atas.Sebab penghargaan pada perbedaan dalam dunia yang beragam
dewasa ini, terlebih di negeri kita merupakan kunci bagi terciptanya perdamaian
dan persaudaraan sejati dan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Dan masa depan
Indonesia, bahkan dunia amat tergantung pada sejauh mana pemikiran yang
menghargai perbedaan dan keragaman terus diberi ruang. Terimakasih Gus, para
Gusdurian akan selalu merindukanmu.
Permohonan Maaf Saya:Di Koran Tempo 15 September, ditulis peringatan 1000 hari wafat Gus Dur jatuh pada 17 September 2021, padahal sesusungguhnya jatuh pada 25 September 2012.
Permohonan Maaf Saya:Di Koran Tempo 15 September, ditulis peringatan 1000 hari wafat Gus Dur jatuh pada 17 September 2021, padahal sesusungguhnya jatuh pada 25 September 2012.
No comments:
Post a Comment