Ini Bukan Epik atau kisah heroik. Ini hanya kisah anak desa dan ibunya.
Tiap orang tidak lahir dari batu akik atau pohon bambu. Pasti ada ibu yang melahirkan kita. Silahkan menilai macam-macam, namun entahlah tiap dengar lagu apapun yang berisi tentang kasih ibu, seperti "Mama's Coat" oleh George Baker Selection, kelopak mataku pasti akan basah, terkenang akan simbok atau ibuku almarhumah yang berjuang membesarkan 9 anaknya, termasuk aku, sepeninggal ayah pada 18 Februari 1982.Sehari setelah Hari Ibu, 23 Desember 1991, jenasahnya kupangku saat dimandikan, diiringi air hujan dan kesedihan yang menikam ulu hatiku.Ketika mengangkat jenasahnya saat diantar ke pemakanan desa, jiwaku juga serasa melayang. Kini setiap ada masalah berat, aku paling suka datang di pemakanan ibu, yang berdampingan dengan makam ayahku.Di kuburan itulah, kita diingatkan akan kebesaran Tuhan dan betapa manusia lebih kecil daripada debu tanah.
Simbok memang selalu jadi kebanggaanku, walau dunia mencatat ada begitu banyak wanita hebat seperti Bunda Teresa.Banyak hal yang kuingat akan sepak terjang simbok. Yang terhebat, dia pernah menjual apa saja,mulai dari sawa, "jarik",daun pisang,bahkan rambutnya sendiri, agar anak-anaknya bisa makan atau sekolah.
Simbok juga dikenal sebagai tukang pijit yg sering dibayar dengan beras. Dengan beras itulah kami biasa makan.Namun mengingat tak cukup, sering nasi masih dicampur tiwul atau jagung.Itupun masih dibagi bagi agar cukup bagi anak anaknya.Sering jatah makanku kurang,apalagi aku laki-laki.Tapi bagaimana lagi, nasi sudah dibagi sesuai piring masing masing anaknya. Sedang untuk lauknya bisa ambil dedaunan apa saja.Yang berkesan adalah sayur "lompong"(dahan bentoel),daun luntas,daun kates,sayur batang pisang, sayur terong dan "bothok teri".
Ketika aku sakit parah mulai 5 September 1988-1990 yang menyebabkan duka dan luka di hatinya , dia melakukan apapun demi kesembuhanku.
Yang menyesakkan, Simbok pernah bilang meski pernah menderita banyak hal sebelumnya, namun ketika aku sakit, itulah penderitaan terberat yang pernah ia rasakan di sepanjang hidupnya.Akupun sering dilanda rasa bersalah telah mengakibatkan kesedihan bagi wanita yang melahirkan diriku itu. Simbok juga susah memikirkan masa depanku karena jari jemariku terlalu halus,tidak sebesar tiga kakak lelakiku.Sering kulihat airmata simbok menggenang tiap usai sholat lima waktu.
Kami tinggal di rumah tua di pojok desa Gambyok-Grogol-Kediri, dalam kondisi amat sengsara. Untungnya tidak sampai meminta minta, karena sering kami memilih diam dan mengnadu pada Tuhan untuk setiap hal yang menyesakkan jiwa. Doa tekun simbok,juga doaku, sungguh jadi obat mujarab sampai akhirnya aku bisa sembuh,kuliah lagi,menikah dan kerja..
Setan atau Malaikat ya?
Di tengah derita, kadang simbok juga menghiburku.Dia berkisah bagaimana dulu dia melahirkan aku di Simpang Kanan-Gisting-Lampung Barat pada awal 1964. Simbok bilang, wajahku yang ganteng konon karena selama hamil dia sungguh berdoa pada Tuhan agar wajahku kelak seperti wajah ganteng dokter yang pernah memeriksanya.
Simbok juga menuturkan, penderitaan apapun, jika sungguh dihayati, mampu mengasah hati manusia.Sebab hanya orang yang hatinya pernah ditikam penderitaan dan matanya dibasuh oleh air mata duka, akan mampu dengan mudah berempati pada penderitaan sesama dan tak tega semena-mena pada sesama.
Simbok juga cerita bagaimana suatu malam kala mengandung aku, dia pergi ke sungai di dekat hutan, buat buang air besar.Dia merasa sudah ditemani ayahku, bahkan sempat berbincang panjang lebar tentang masa depanku dengan sosok yang dia sangka adalah ayahku.Ternyata, sesampai di rumah, ayahku yang asli, sedang mendengkur dalam tidurnya. Simbok nyaris pingsan. Dia bertanya-tanya:"mahluk itu malaikat ataukah setan ya?.Kalau setan, kok banyak bicara yang baik tentang masa depanmu".
Maka aku yakin saja mahluk itu malaikat.Terbukti dari berbagai pengalaman hidupku selanjutnya, aku sering merasa diselamatkan dari kondisi kritis atau berbahaya. Misalnya, ketika melahirkan aku, air susu ibu (ASI) tidak keluar. Jadi aku tidak pernah mendapatkan ASI. Konon bayi yang tidak mendapat asupan ASI, akan menjadi bodoh, bahkan idiot. Syukurlah sejak sekolah, aku justru selalu dipandang pintar dri Seolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Ini jelas keajaiban.
Lagi, ketika aku sakit , semua orang sudah menyangka hidupku akan hancur dan berakhir,tidak bisa melanjutkan kuliah atau berkeluarga, ternyata tidak.Bahkan ketika ada beberapa orang memfitnah atau mencoba mencelakakan aku, sering orang-orang itu justru yang berakhir tragis tanpa aku melakukan sesuatupun, Ada yang menabarak mobil yang sedang parkir, ada yang terkena serangan penyakit mematikan dsb. Padahal aku tak pernah mengingingkan hal buruk terjadi pada mereka, mski mereka sudah menyakitiku.Tak pernah aku membalas yang jahat dengan kejahatan.Tapi entahlah, seolah selalu ada yang membela diriku di setiap kondisi kritis.
Juga ketika seolah jalan sudah buntu, sering muncul malaikat tak bersayap membantu, sampai detik ini.Misalnya ketika hendak melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, pada 1991, sama sekali tak ada uang. Memang aku pernah dihibur kakakku bahwa perkara biaya kuliah lagi itu nanti akan ditanggung oleh rektor seminari tinggi, yang memang pernah menjanjikan hal itu. Namun ternyata janji itu hanya tinggal janji,semoga Tuhan memaafkannya.
Dua Bulan Makan Pangsit Mie Tiap Malam
Maka dengan bekal sangat minim sekali, aku berangkat naik bis dari Kediri menuju terminal Landungsari Malang di bawah guyuran hujan dan halilintar. Aku sempat mau kembali lagi ke desaku, karena tak punya uang untuk bayar tempat kos. Tapi bagaimana? Dalam kebingungan, akhirnya di dekat kuburan Karang Besuki, aku beroleh tempat kos. Bapak kos tidak minta uang muka, karena mungkin percaya penampilaku yang memang mirip orang kaya. Padahal, selama dua bulan pertama, di Malang aku hanya makan sekali tiap malam. Itupun selalu dengan pangsit mie seharga Rp 150 per porsi di kawasan Karang Besuki.Jangan tanya rasanya.
Syukurlah kondisi susah itu tidak berlangsung lama. Di tengah mikir biaya uang kuliah, datang malaikat, yakni Romo Prof DR John Tondowidjojo CM yang menyisihkan gajinya mengajar di STFT tiap bulan, sebesar Rp 60.000 untuk biaya kos dan makanku. Pengusaha Almarhum Rudy Hadinata dan nyonya Sioe Hadinata, serta ibunya yang bernama Paring (Ny Goei Tiong An) dari Jakarta Barat, juga menjadi orangtua asuh selama aku menyelesaikan dua semester di STFT.
Ternyata uang tak jadi masalah, apalagi aku juga mulai bisa menulis lagi di koran seperti sebelum sakit. Bahkan pada Desember 1991, empat tulisanku dimuat koran besar ketika itu, yakni Surabaya Post. Per tulisan diberi honor Rp 80.000 (besar juga untuk ukuran waktu itu, karena harga celana Levis saja Rp 40.000 dan harga beras Rp 750 per kilogram). Tak lupa akupun memberi pada simbokku yang kutinggalkan di Kediri.
Simbok sangat gembira.Bukan hanya karena aku sudah bisa memberi uang, tapi aku bisa melanjutkan kuliah,apalagi kini tulisan-tulisanku yang dimuat koran sudah hampir 1200 tulisan. Bila simbok dengan jari-jarinya pernah memijati orang orang sedesaku, kini putranya yang berjari-jari lembut, memijati huruf-huruf sehingga jadi tulisan yang tersebar di berbagai koran, majalah dan media online di seluruh dunia.Silahkan googling (klik kata Tom Saptaatmaja)
Terimakasih cintamu Simbok, maafkan anakmu yg tak sempat membahagiakanmu.
1 comment:
Pertinyiinnyi om tom...
1. Sakit apakah gerangan sang tokoh penulis disini?
2. Jadi pengen viewer pangsit di karang besuki ,apa nama warung pangsit nya?
3. Tante anastasia anak nomor ke berapa?
4. Apakah untuk mahir menulis harus punya jari jemari yang lembut?��
Post a Comment