Jumat, 20 Maret 2009 | 05:26 WIB
Berbicara tentang Mangunwijaya berarti berbicara tentang
humanisme, sebuah topik yang senantiasa aktual, tidak lekang, dan terus
diperjuangkan. Humanisme menuntut pembaruan hidup, terlebih-lebih sikap terus
menjadi manusiawi, ziarah kehidupan dari hominisasi menuju humanisasi menurut
istilah Drijarkara.
Melalui pergulatan pemikiran, penghayatan, dan hidup
keseharian dalam kategori sebagai arsitek, novelis, aktivis LSM, pendidik dan
pastor, Romo Mangun melakukan peziarahan tanpa kenal lelah. Rekam jejaknya amat
liat, merasuki segala bidang kehidupan dengan fokus penghargaan tinggi terhadap
harkat manusia, yang tidak terbebas dari kekurangan, tetapi memperoleh
kedudukan tertinggi di atas segala ciptaan.
Lewat karya-karya yang bernapas humanis, dia meninggalkan
warisan secara fisik dalam novel, bangunan arsitektur, dan buku-buku referensi.
Keberpihakannya pada mereka yang miskin (tidak selalu dalam
arti ekonomis) dan terpinggirkan sangat signifikan. Kritik kerasnya tentang
kebangkitan dari rasa rendah diri, inlander bangsa kuli, disampaikan dengan
segala cara, bahkan sering berkesan sarkastis.
Mengenai praksis pendidikan, sebuah istilah yang selalu dia
sampaikan mengutip kosakata temuan Paulo Freire, sikapnya jelas: praksis
pendidikan selama ini membelenggu anak didik. Dari semua jenjang pendidikan,
terpenting adalah pendidikan dasar, terutama sekolah dasar. Fasisme Jepang dan
militerisme era Orde Baru menjadi sasaran tembak kritisnya. Pendidikan harus
membebaskan, kata panelis Supratiknya, sehingga ia melakukan uji coba SD
Mangunan.
Arsitektur di mata Mangunwijaya bukanlah sekadar perwujudan
rancang bangun, melainkan juga bangunan kehidupan. Menurut panelis Eko Prawoto—
salah satu arsitek pengikut fanatik gaya arsitektur Romo Mangun—substansi
arsitektur yang terutama adalah perkara nilai, gagasan, dan sikap batin.
Arsitektur merupakan rangkaian relasi yang majemuk.
Dari semua karya fiksinya, kata panelis Ayu Utami—novelis
yang belum pernah bertatap muka dengan Romo Mangun—tidak pernah ditampilkan
manusia yang sungguh-sungguh keji. Tokoh Durga yang dalam alam pikir orang Jawa
adalah tokoh ”hitam” dia balikkan sebagai tokoh ”putih” yang senantiasa muncul
dalam semua novelnya, tidak hanya dalam novel Durga Umayi.
Konsep kemanusiaan yang padu, demikian Ahmad Syafii Maarif,
membuat kehadiran Romo Mangun mengatasi ruang dan waktu. Kekaguman Romo Mangun
tentang pemikiran dan praksis politik Sutan Sjahrir karena keduanya menempatkan
sisi kemanusiaan sebagai fokus, menurut Maarif, kemanusiaan Sjahrir dilengkapi
dengan pengalaman getir hidup dalam masa penjajahan Belanda, Jepang, dan
kemudian di bawah rezim otoritarian Orde Baru. Bertemulah konsep dunia dan
manusia yang tidak pernah hitam putih dalam Sjahrir maupun Mangunwijaya.
Humanisme yang dikembangkan Mangunwijaya ibarat buku yang
masih terbuka, masih koma, belum titik. Humanisme dengan fokus jati diri
manusia yang abu- abu, tidak hitam-putih, masih perlu terus dikembangkan. Tidak
mudah memang sebab masih berkembang subur kultur budaya feodalisme yang
telanjur mendarah daging, pencampuradukan ”milikku” dan ”milik negara” warisan
feodalisme khas Jawa maupun warisan sebagai bangsa terjajah. Memang, walaupun
belum terjabar luas, Romo Mangun menawarkan konsep manusia humanis dengan
istilah manusia Pasca-Indonesia, Pasca-Nasional, Pasca-Einstein.
Yang dicita-citakan adalah sosok manusia Indonesia yang
terbuka pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Di tengah karut-marut bangsa Indonesia saat ini, humanisme
Mangunwijaya menjadi relevan. Dia ibarat menawarkan tempat menengok pada saat
kehidupan berbangsa dan bernegara belum menempatkan manusia sebagai fokus, di
tengah praktik dehumanis yang hadir dalam keseharian kita. (STS)
No comments:
Post a Comment