Kompas, Jumat, 20 Maret 2009 | 05:27
WIB
ERWIN EDHI PRASETYO
Membaca novel Romo Mangun berarti membaca humanisme yang
dikembangkan Mangunwijaya. Dalam
pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel, serta tindakan
konkret Romo Mangun, menunjukkan sosok multidimen- si dan multiperhatian.
Setiap dimensi
itu diisinya dengan penuh kesungguhan dan dengan energi yang hampir tanpa
batas. Melalui novel, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang kemanusiaan
dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat jelas dan memakainya
sesuai kebutuhan. Romo Mangun adalah sosok pendongeng yang murah hati. Ia
bercerita dengan lincah, dengan gaya bahasa sederhana sehingga pembaca dengan
mudah bisa menyelami isi novelnya.
Mangunwijaya
benar-benar merayakan perbedaan cara bertutur di dalam novelnya. Kadang seorang
Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada
cucunya, misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan
riang walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.
Trilogi roman
sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa dibilang merupakan
novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan. Novel ini bisa dinikmati oleh
beragam kalangan yang punya selera rasa berbeda-beda. Ditambah Durga Umayi dan
Burung-burung Manyar, kedua novel itu memenuhi resep manjur cerita, yakni
memiliki karakter terfokus dan terbatas. Ada ketegangan asmara dan soal hidup
mati. Novel-novel ini menunjukkan Romo Mangun adalah pencerita piawai dengan
tetap berusaha menjaga kedalaman sastra.
Teks-teks gelap
Dari sisi gaya
penulisan, Romo Mangun tampak mengambil jalan yang unik. Yang dilakukannya
berbeda dengan kaidah umum tulisan, misalnya dalam dunia media massa, bahwa
paragraf awal harus dibuat semenarik mungkin, sebab paragraf awal bagaikan
sinar yang akan menerangi teks-teks di bawahnya. Romo Mangun, dalam rumusan Ayu
Utami, justru menempatkan ”teks-teks gelap” sebagai paragraf pembuka yang
dinamai sendiri oleh Romo Mangun sebagai teks ”prawayang”.
Di sisi lain,
yang menarik dari novel-novel Mangunwijaya ialah selalu konsisten tidak pernah
menggambarkan tokoh lelaki superideal pujaan setiap wanita. Karakter ini mirip
seperti tokoh Minke dalam tetralogi Pramoe- dya Ananta Toer atau Ahmad dalam
Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Mangunwijaya juga
tak mau terjebak pada stereotip Barat sebelum postmodern yang membagi perempuan
dalam dua karakter utama; perawan murni yang baik-baik dan perempuan penggoda,
perempuan korban dan femme fatale. Ia melukiskan tokoh-tokoh perempuan yang
senang dengan tubuh mereka tanpa mengeksploitasi seksualitas dan birahi
perempuan.
Keindonesiaan
Tidak berbeda
dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti Pramoedya dan Sutan
Takdir, Mangunwijaya di hampir semua karyanya juga bercerita tentang
keindonesiaan, tentang terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis
melalui pemikirannya yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari
kebanyakan kisah-kisah sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, dengan berani
ia membuat dialog yang mengolok-olok mereka yang dianggap pahlawan, tetapi
tanpa ada kebencian di dalamnya.
Meski kini bangsa
Indonesia sudah lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan
fisik, toh cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru,
modernitas, dan kapitalisme global kini gantian memerkosa (Ibu) Pertiwi. Perkosaan
ini menjadikan Pertiwi layu dan tak berdaya, miskin yang selanjutnya melahirkan
kekerasan-demi kekerasan menuntut keadilan. Dari kisah ini pun tertangkap pesan
kamanusiaan Romo Mangun, kekerasan hanya akan menghasilkan perlawanan dan
kekerasan yang lain sehingga akan saling meniadakan dan menghancurkan.
Dalam novel
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, sikap Mangunwijaya terhadap penjajahan jelas
terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses makan dimakan. Ikan besar (hiu)
memakan ikan kecil (ido), ikan kecil (ido) memakan ikan lebih kecil (homa). Oleh
karena itu, Ayu Utami menggolongkan karya sastra Romo Mangun dalam kanon sastra
Indonesia. Mangunwijaya disejajarkan dengan Pramoedya dan Sutan Takdir.
Dengan kanon
sastra itu berarti karya-karya mereka masuk dalam kesusastraan yang wajib
dibaca orang-orang sekolahan untuk memahami keindonesiaan, yang sekaligus juga
menjadi patok, tonggak kebesaran kesusastraan Indonesia. Membaca karya ketiga
tokoh itu akan mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci dunia
melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan identitas
yang kini menjadi pemecah belah manusia.
No comments:
Post a Comment