Kompas, Jumat, 20 Maret
2009 | 05:24 WIB
A FERRY T
INDRATNO
Konsep
Pasca-Indonesia dan Pasca- Einstein merupakan konsep dasar humanisme
Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis
dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal,
munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak
dewasa.
Dalam bidang
pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta
didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang
menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak
menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.
Romo Mangun
menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan
yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan
sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah
kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai
kini.
Kurikulum
terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai
perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada
yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan
pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing,
tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak
hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis
yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena
yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak
menjadi kehilangan suara.
Model pendidikan
penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo,
dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada
gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk
individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak
berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.
Dampak lain dari
kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap
kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa
merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk
berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai
kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas
kebangsaan.
Upaya SD Mangunan
Melalui
eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia
(PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen
pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan
kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi
anak.
Nilai-nilai yang
disampaikan Romo Mangun melalui penerapan konsep PI dan PE di SD Mangunan tentu
berbeda dari nilai-nilai yang diterapkan negara melalui kurikulum. Budaya
mayoritas yang terwujud dalam kurikulum tidak mendominasi kebiasaan (habitus)
dan arena (field) anak-anak SD Mangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan
nilai budaya yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Melalui penerapan konsep
PI dan PE, budaya massa mayoritas tidak dapat ”dilanggengkan”.
Konsep habitus,
menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi
tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan
reasonable. Habitus adalah struktur subyektif (mental) di mana seorang agen
menghasilkan tindakannya. Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur.
Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk
menghasilkan tindakan.
SD Mangunan
adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif,
eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain
pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai
pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa
mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya
jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus
anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa
mayoritas.
Evolusi
kebudayaan
Dalam pandangan
Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi
kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan
pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak
adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar
perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang
ideologis, strategis-paradigmatis.
Salah satu kunci
terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi
kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya
menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru
lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami
pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai
”anak sebagai anak”.
Mengapa penyiapan
sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada
beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah
dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai
bangsa.
Kedua, suatu
sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan
sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang
kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya
belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.
Ketiga, kenyataan
bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka
dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar,
tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
A FERRY T
INDRATNO Bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment