Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 29 Maret 2012
Pada hari Sabtu, 17 Maret 2012, berita duka datang dari Mesir, mengembuskan rasa berkabung ke seluruh dunia. Berita duka itu tak lain adalah meninggalnya Paulus Shenouda III, pemimpin tertinggi Kristen Koptik Alexandria, Mesir, dalam usia 89 tahun.
Surat kabar harian terkemuka di Mesir, Al-Ahram, melansir sejumlah ucapan belasungkawa dan duka mendalam dari banyak pihak. Mulai dari tokoh-tokoh terkemuka di Mesir, dunia Arab, hingga dari Gedung Putih, Amerika Serikat.
Bahkan, para pemimpin Ikhwan Muslimin yang dalam beberapa tahun lalu (sebelum terjadi revolusi 25 Januari 2011) kerap bersitegang dengan kelompok Kristen Koptik juga menyampaikan rasa kehilangan atas meninggalnya Shenouda III (Al-Ahram, 18/3).
Simbol Toleransi
Bagi pihak-pihak yang mengimani pentingnya toleransi demi terwujudnya kehidupan umat beragama yang damai, ramah, dan saling menghormati, wafatnya Paulus Shenouda III tak sekadar peristiwa kematian biasa. Lebih dari itu, wafatnya Paulus Shenouda III bisa berarti juga meninggalnya toleransi. Khususnya di Mesir mutakhir pascarevolusi yang sampai sekarang terus dilanda pelbagai macam aksi kekerasan. Baik kekerasan yang bersifat sosial-politik maupun kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.
Paulus Shenouda III selama ini berperan sangat besar bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Mesir, khususnya antara umat Islam dan kalangan Kristen Koptik. Bersama-sama dengan tokoh keagamaan lain di Mesir, Paulus Shenouda III terus berjuang untuk menumbuhkan dan menjaga rasa persaudaraan di kalangan masyarakat Mesir. Hingga akhirnya masyarakat Mesir tidak terjebak dalam semangat sektarianistik yang bisa memecah belah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok agama, keyakinan, aliran, dan lainnya.
Sungguh tidak berlebihan apabila Imam Besar Syeikh Al-Azhar sekarang, Dr Ahmad Thayyib, menyebut wafatnya Paulus Shenouda III sebagai berita duka bagi seluruh masyarakat Mesir, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Bahkan, Ahmad Thayyib menyebut Paulus Shenouda III sebagai simbol dan contoh tokoh toleransi sejati.
Selama lebih kurang empat tahun di Mesir (1999-2004), penulis menyaksikan dan merasakan langsung teladan toleransi dari tokoh agama di Mesir—termasuk Paulus Shenouda III—yang senantiasa mendapatkan liputan masif dari media di sana. Khususnya pada momen-momen keagamaan, seperti Lebaran bagi umat Islam dan Natal bagi umat Kristiani.
Pada momen-momen penting seperti hari besar keagamaan, segenap pemuka agama di Mesir kerap memberikan ucapan selamat secara bergantian. Paulus Shenouda III, contohnya, kerap mengucapkan selamat merayakan ibadah puasa atau berlebaran bagi umat Islam. Sebaliknya, para pemuka umat Islam, seperti mantan Imam Besar Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi (yang telah meninggal dunia lebih dulu), juga kerap menyampaikan ucapan selamat Natal bagi umat Kristiani.
Teladan toleransi keagamaan seperti di atas mempunyai dampak psikis yang sangat besar bagi kehidupan umat beragama sehingga tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati di kalangan umat beragama. Apalagi, teladan toleransi dari para pemuka agama tersebut kerap mendapatkan liputan yang cukup besar oleh media setempat.
Inilah yang sampai sekarang belum banyak terjadi di dunia Islam lain, termasuk di Indonesia.
Di satu sisi, teladan toleransi dari para pemuka agama harus diakui memang masih sangat terbatas di Indonesia; justru yang jamak adalah pengharaman ucapan selamat atas hari raya umat agama lain. Sementara di sisi lain, pemberitaan media tentang toleransi juga masih sangat terbatas; justru yang jamak adalah pemberitaan tentang kawin-cerai artis, korupsi para elite bangsa, dan berita kriminalitas atau kekerasan.
Oleh karena itu, jangan heran apabila kehidupan masyarakat di negeri ini penuh dengan suasana konfliktual yang bersifat destruktif, bahkan anarkistis. Hal itu dimungkinkan mengingat mereka memang sangat jarang mendapatkan suguhan yang bersifat positif, seperti teladan toleransi. Alih-alih, yang terjadi justru segenap elite dan para pemimpin bangsa kerap mempertontonkan hal-hal yang sangat tidak pantas dilihat oleh masyarakat luas.
Krisis Tokoh
Dalam kondisi seperti sekarang, meninggalnya Paulus Shenouda III akan semakin menambah berat beban tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Mesir ke depan. Setidaknya, wafatnya Paulus Shenouda III akan semakin membuat Mesir masuk lebih dalam ke jurang ”krisis tokoh panutan”.
Sebagaimana dimaklumi, pascarevolusi 25 Januari 2011, Mesir mengalami krisis tokoh panutan yang sangat serius. Di kalangan para pemuda yang menjadi motor utama revolusi, misalnya, hampir tidak ada tokoh panutan yang disegani. Justru yang banyak ditemukan adalah ”orang-orang biasa” yang kerap mengklaim sebagai ”tokoh panutan”.
Inilah yang bisa menjelaskan pelbagai macam rentetan aksi kekerasan yang senantiasa terjadi di Mesir pasca-lengsernya Hosni Mubarak. Mulai dari aksi kekerasan yang terjadi di pusat-pusat pemerintahan hingga aksi kekerasan yang terjadi di lapangan sepak bola. Mulai dari kekerasan yang bersifat sosial-politik hingga kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.
Terlebih lagi reformasi seperti yang terjadi di Mesir saat ini memberikan kebebasan kepada siapa pun dan kelompok apa pun untuk memperjuangkan apa yang diyakininya, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok terlarang, seperti Ikhwan Muslimin dan kelompok salafi yang justru berhasil menguasai hampir 70 persen kursi parlemen.
Dalam kondisi seperti ini, Mesir sangat membutuhkan adanya tokoh panutan untuk memastikan bahwa semua kebebasan yang diperjuangkan hanya untuk kemaslahatan bangsa, persatuan nasional, serta kerukunan masyarakat di semua agama dan keyakinannya. Jika tidak, kebebasan yang ada hanya akan memicu pelbagai macam aksi kekerasan seperti yang selama ini kerap terjadi.
Apa boleh buat, kematian tetaplah kematian. Jika waktunya tiba, ia pasti terjadi tanpa memperhatikan kondisi di sekitarnya. Kematian tidak dapat ditahan oleh kebaikan atau bahkan oleh keyakinan.
Kini, Paulus Shenouda III telah mencapai finis kehidupan dan perjuangannya. Beliau tidak tahan untuk tidak segera menyusul teman seperjuangannya, Muhammad Sayyid Thanthawi, mantan Iman Besar Al-Azhar, yang telah pergi terlebih dahulu sejak dua tahun lalu.
Selamat jalan Bapak Toleransi. Semoga yang ditingggalkan dapat melalui jalan toleransi yang telah engkau lapangkan, termasuk bangsa Indonesia.... ●
No comments:
Post a Comment