Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008 | 00:37 WIB
Yandry Kurniawan Kasim
Kunjungan Harry A Poeze ke Indonesia disambut bak bangsawan
oleh para pengagum Tan Malaka. Poeze berhasil menghadirkan sosok Tan Malaka di
Indonesia, bahkan dunia internasional dengan utuh, lengkap, dengan berbagai
romansa yang mengiringi alur kehidupannya.
Melalui berbagai karya Poeze, khalayak mengenal sosok Tan
Malaka yang misterius dan/atau kegemilangan gagasan yang seolah bersemburan
dari tubuh kurus, kecil, dan sakit-sakitan. Bagi kita, pengetahuan tentang Tan
Malaka justru dibentangkan oleh seorang Belanda, bangsa yang dilawan dan
berusaha diusir selama hidup Tan Malaka. Sebuah ironi, tetapi begitu humanis.
Gagasan Tan Malaka
Penghargaan tanpa batas harus diberikan kepada berbagai
gagasan Tan Malaka. Namun, tanpa mengurangi arti keluhuran buah pikirnya,
gagasan-gagasan itu dapat dipahami dan dimaknai secara lebih proporsional pada
dua tataran, filosofis dan strategis.
Pada tataran filosofis, gagasan Tan Malaka begitu progresif
dan visioner, melampaui zamannya. Ini ditunjukkan minimal oleh dua karya Tan
Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) ditulis di
Kanton tahun 1925, dan Madilog (Materialisme, Logika, Dialektika) ditulis tahun
1942-1943.
Melalui karya pertama, tak berlebihan jika Moh Yamin
menyebut Tan Malaka sebagai ”Bapak Republik Indonesia”. Di sini Tan Malaka
tidak hanya mencanangkan Indonesia merdeka, tetapi sekaligus menetapkan
Indonesia merdeka itu kelak akan berbentuk republik.
Menuju Republik Indonesia ditulis delapan tahun lebih awal
dari Ke Arah Indonesia Merdeka yang ditulis Moh Hatta tahun 1932 dan sembilan
tahun lebih awal dari Mentjapai Indonesia Merdeka yang ditulis Soekarno tahun
1933.
Sementara Madilog berawal dari kegelisahan Tan Malaka dalam
memahami nasib bangsanya sebagai resultan feodalisme, kolonialiasme, dan
kepercayaan terhadap takhayul yang bercampur ilmu akhirat yang tanggung.
Madilog memberi jalan keluar dengan mengenalkan
dialektika-materialisme dalam tradisi keilmuan Barat, dengan menonjolkan
penguatan logika sebagai tahap awal. Pada dasarnya, Madilog berupaya menawarkan
satu kerangka pikir modern sebagai alat pembongkar (dekonstruksi dan
rekonstruksi) bongkahan keterbelakangan intelektual masyarakat Indonesia pada
masa itu.
Pada tataran strategis, gagasan Tan Malaka begitu radikal,
nonkooperatif, bahkan konfrontatif dengan highest call yang begitu tinggi,
seperti dituangkan dalam Minimum Program yang dicanangkannya tahun 1946.
Gagasan pada tataran ini dapat ditelaah dari dua sisi pandang.
Pertama, tuntutan radikal, nonkooperatif, dan konfrontatif
akan berguna dalam membakar semangat persatuan dan perjuangan kaum muda dalam
mempertahankan republik yang masih bayi.
Kedua, dari sisi pragmatisme penyelenggaraan negara yang
baru lahir beserta seluruh keterbatasan sumber daya dan faksionalisme yang
begitu tajam, Minimum Program menafikan realitas sifat hubungan antarnegara
dalam sistem internasional.
Dengan semangat kebijakan yang radikal, nonkooperatif, dan
konfrontatif, sulit untuk membayangkan Indonesia akan mendapat dukungan
internasional, terutama dari negara adidaya ketika itu untuk bertahan.
Secara empiris, sejarah memperlihatkan tidak ada negara
setelah Perang Dunia II yang dapat berdiri sendiri tanpa bantuan internasional
(khususnya Amerika Serikat), baik negara pemenang maupun kalah perang di Eropa
maupun Pasifik. Kebijakan-kebijakan politik (terutama politik luar negeri dalam
bernegosiasi dengan aktor eksternal) yang dipaksakan Tan Malaka saat itu sangat
membatasi (kalau tidak menghilangkan) ruang gerak serta alternatif pendekatan
dan pilihan solusi.
Warisan Tan Malaka
Terlepas dari semua kegemilangan maupun kontroversinya,
gagasan Tan Malaka adalah pemikiran orisinal anak bangsa yang ditujukan untuk
kemajuan peradaban bangsanya dan mendapat tempat yang mendunia. Keseluruhan
gagasan Tan Malaka harus diapresiasi sebagai sebuah kesempurnaan olah budi
sehingga harus dilestarikan dalam taman sari khazanah intelektual bangsa
Indonesia.
Dalam konteks kekinian, ada dua pilihan moderat untuk
melestarikan warisan Tan Malaka.
Pertama, memopulerkannya sebagai kajian akademik, khususnya
di perguruan-perguruan tinggi. Gagasan Tan Malaka akan memperkaya ilmu sosial
dan politik yang telah berkembang di Indonesia.
Kedua, menjadikannya sebagai rujukan dalam setiap bentuk
moral enterpreneur dalam setiap gerakan civil society berdampingan secara
harmonis dengan paham-paham humanisme lainnya.
Gagasan Tan Malaka pada tataran filosofis tak tergantikan
meski pada tataran strategis perlu perdebatan lebih dalam, apalagi jika
disandingkan dengan dinamika Indonesia modern saat ini. Namun, di atas semua
itu, gagasan (bahkan ajaran) Tan Malaka harus tetap lestari dan berkontribusi
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keunggulan olah budi itu jangan hanya berakhir menjadi fosil
sejarah di balik pigura dalam ruang hampa dan tidak tersentuh gerak peradaban,
yang akhirnya hanya dipatut-patut oleh generasi penerus sepanjang zaman.
Setelah 57 tahun sejak kematiannya, setelah lebih dari setengah
abad, misteri kematian Tan Malaka baru terungkap. Syahdan seorang bijak pernah
berkata, ”revolusi memakan anak kandungnya sendiri”, maka Tan Malaka adalah
anak kandung yang menjadi korban revolusi perjuangan. Ia menjadi korban meski
seluruh hidup dan kehidupannya telah didedikasikan untuk negara merdeka 100
persen yang dicita-citakannya.
Yandry Kurniawan Kasim Peneliti Pusat Kajian Global Civil
Society-Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment