Catatan Redaksi: kalau kita melihat negara-negara yang korup
di kawasan, termasuk negara kita, kita sangat sedih; melihat semua cita-cita
anak bangsa yang ingin memajukan negeri ini agar bisa memberikan kehidupan yang
lebih baik. Dahulu ketika di zaman Orba kita masih bisa bernapas, soal makan
dan papan meski sederhana masih terjangkau. Lalu datang zaman reformasi..zaman
yang kata para politisi zaman keemasan..nyatanya setelah belasan tahun hidup
dalam zaman reformasi, malah semua biangnya korupsi menjadi jadi. Kita tidak
ingin seperti negeri Mesir,tetapi faktanya malah negeri kita lebih payah
korupsinya dari negara itu. Nah ada baiknya anda baca tulisan berikut sebagai
pengobat lara.
Pada awalnya, lembaran itu hanyalah sebuah lukisan. Lukisan
yang berjudul ”Berburu Celeng” karya perupa Djoko Pekik. Ternyata lukisan itu
kemudian menjadi bagaikan ramalan yang memfaalkan karut-marut dan kecemasan
bangsa pada zaman sekarang. Lukisan
itu dibuat setelah kejatuhan Orde Baru. Konteksnya fajar merekahnya era
reformasi. Digambarkan di sana tertangkapnya seekor celeng raksasa.
Dengan badan yang terbalik, celeng itu diikat pada sebilah bambu yang digotong
dua lelaki busung lapar. Kerumunan rakyat menyambut tertangkapnya celeng itu
dengan pesta ria dan sukacita. Menyambut lukisan tersebut, penulis mengeluarkan
sebuah buku berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999).
Seperti halnya rakyat
waktu itu, penulis juga diliputi euforia reformasi. Toh, terpengaruh oleh
kecemasan si pelukis, penulis bertanya: ”Celeng dhegleng sudah tertangkap, tapi
mengapa di depan semuanya tambah gelap?”
Maklum, celeng yang tertangkap rakyat sesungguhnya bukanlah
binatang celeng, melainkan celeng jadi-jadian. Memang dalam masyarakat Jawa ada
yang namanya pesugihan babi ngepet atau bagong liyer atau celeng gontheng.
Seperti halnya kodhok ijo, kandhang bubrah, atau Nyai Blorong, pesugihan babi
ngepet adalah sejenis upaya menumpuk kekayaan dengan cara menyerahkan diri
kepada setan. Sebagai imbalan penyerahan diri, pemilik pesugihan akan dibantu
kekuatan jahat memperoleh kekayaan dunia tanpa batas.
Dengan pesugihan babi ngepet atau celeng gontheng, orang
dapat mengubah dirinya menjadi celeng. Ia dapat berkeliaran ke mana-mana,
mencuri dan mengeruk barang, harta, atau kekayaan tanpa diketahui siapa pun. Ia
bisa mengeduk apa saja, jagung, padi, ketela, dan palawija lain, lalu
membawanya pulang ke rumah untuk dijadikan makanan berlimpah bagi dirinya
sendiri dan sanak keluarga.
Celeng gontheng memang sangat rakus. Di desa-desa, celeng
gontheng dikenal suka mendatangi orang yang sedang punya hajatan. Maklum, di
sana ada banyak uang atau barang hasil hajatan. Dengan mudah, celeng gontheng
itu menyedot semuanya. Karena itu dulu, jika sedang punya hajatan, orang suka menutup
got atau peceren saluran air dan kotoran. Sebab, biasanya di sana celeng
gontheng menunggu, lalu menyedot semua lewat saluran itu.
Sangat sulit menangkap celeng jadi-jadian. Katanya, di
rumah, istri si pemilik pesugihan senantiasa berjaga ketika suaminya merampok
harta orang lain dengan menjelma menjadi celeng. Si istri berjaga, jangan
sampai senthir di hadapannya mati. Kalau senthir mati atau kebat-kebit, berarti
suaminya tertangkap dan mati atau dalam bahaya. Sebaliknya, asal ia bisa
menjaga agar senthir itu tidak mati, suaminya akan selamat dan bisa membawa
banyak harta pulang ke rumah.
Masih gelap
”Berburu Celeng” dilukis ketika masyarakat si pelukis baru
saja keluar dari krisis. Dan, ke depan, belum ada jaminan bahwa akan sirnalah
semua krisis. Malah si pelukis berkata, ”Ngarep isih peteng ndhedhet, Mas (Ke
depan masih gelap gulita, Mas)”. Kiranya dengan memakai celeng jadi-jadian
sebagai idiom lukisan, si pelukis hendak mengingatkan, krisis yang telah dan
akan terjadi bukan berkenaan dengan masalah politik, ekonomi, atau sosial.
Lebih dari itu, krisis itu akibat dari misteri kekuasaan jahat yang bekerja
sama dengan nafsu keserakahan manusia. Pada akhir buku Tak Enteni Keplokmu,
Tanpa Bunga dan Telegram Duka, penulis lalu mengkhayalkan, betapa dahsyat daya
tular celeng jadi-jadian. Diceritakan, lukisan ”Berburu Celeng” itu dipamerkan
dalam sebuah acara pembukaan yang amat meriah dan mewah. Di luar dugaan, acara
pembukaan resmi ini tiba-tiba berubah menjadi chaos. Suasana jadi kacau-balau
karena semua yang hadir berubah menjadi celeng. Tak ada lagi yang malu mengakui
diri celeng. Semua berulah seperti celeng, saling menubruk, menyedot, dan
berkubang di peceren kotor. Lelaki dan wanita bercumbu tanpa malu-malu, seperti
celeng. Mereka bergumul, bergulung-gulung, merintih-rintih keenakan, seperti
celeng. Di langit, bintang gubuk penceng pun ikut berubah menjadi bintang
celeng.
Mengiringi pembukaan pameran lukisan ”Berburu Celeng” karya
Djoko Pekik, panitia mementaskan pergelaran wayang kulit semalam suntuk bersama
Ki Dalang Manteb Sudharsono di Pasar Yakopan, Bentara Budaya Yogyakarta. Ki
Manteb, yang dijuluki ”dalang setan”, memilih lakon ”Pandu Swarga”. Bayangkan,
dalam garapan Ki Manteb, bapak para kesatria Pandawa, Pandu Dewanata, yang
terkenal berbudi luhur akhirnya juga digambarkan sebagai celeng karena semasa
hidup ia juga pernah membuat kesalahan fatal.
Fantastis, pada akhir pentas, Ki Manteb, bersama para sinden
dan penabuh gamelan, tiba-tiba menghadap ke penonton sambil serentak mengenakan
topeng celeng. Semua jadi celeng. Ki dalang pun ternyata celeng. Dan, Ki Manteb
berteriak: Lengji, lengbeh, celeng siji, celeng kabeh! Artinya: Satu celeng,
semuanya celeng!
Lengji, lengbeh adalah ramalan pada awal era reformasi yang
kebenarannya sungguh nyata sekarang. Reformasi yang semula diharapkan menjadi
pintu menuju zaman baru ternyata pamiyaking warana(pembuka tabir misteri) yang
menyatakan siapakah sesungguhnya bangsa ini.
Korupsi melanda bangsa ini sampai ke sumsum-sumsumnya.
Hampir setiap hari koran apa pun memberitakan korupsi. Pejabat yang semula
dikira bersih dan mendapat dukungan rakyat sepenuh hati ternyata terbukti
korupsi. Partai politik yang katanya memperjuangkan nurani rakyat ternyata juga
mempertahankan dirinya dengan korupsi. Tak terlihat sama sekali partai-partai
itu memperjuangkan kepentingan rakyat, seperti dulu dijanjikan.
Kini, bangsa ini sedang dicacah-cacah dengan pertengkaran,
perselisihan, dan perpecahan. Di sana-sini meledak kekerasan yang mengancam hak
hidup kaum minoritas. Namun, negara hanyalah diam, seakan-akan sengaja
melakukan pembiaran sehingga orang bertanya: masihkah ada negara pada saat
bangsa sedang amat membutuhkan ketegasannya? Di manakah para pemimpin bangsa
saat kita meratapkan kesedihan dan penderitaan kita? Negara seakan tidak ada,
padahal di sini hukum sedang menjalankan ketidakadilan dan kekejamannya yang
selalu menistakan dan menyiksa wong cilik seperti Sengkon dan Karta.
Orang-orang kaya dibiarkan makin serakah dengan harta
melimpah-limpah. Sementara orang-orang miskin makin merana dan menderita. Di
manakah negara ketika rakyat kecil sedang menjerit agar keadilan dan pemerataan
kesempatan ditegakkan? Bangsa ini memang sungguh merana karena pemimpin dan
pemuka rakyat sudah kehilangan rasa malu.
Bayangkan, jangankan mengangkat martabat bangsa, mengangkat
martabat sepak bola saja kita tidak bisa. Alangkah malunya kita menyaksikan
ulah pemimpin-pemimpin sepak bola kita. Dunia sepak bola kita hanya cerminan
dari dunia politik kita yang menunjukkan para pemimpin hanya pandai
cakar-cakaran untuk memperebutkan kekuasaan dan melupakan kepentingan bangsa
yang lebih besar.
Sederet litani lain tentang karut-marut bangsa masih bisa
kita tambahkan. Namun, cukuplah apabila dikatakan, reformasi sesungguhnya
adalah kesempatan sejarah yang miyak warana, mengungkapkan tabir misteri siapa
kita: kita adalah bangsa yang sedang menderita serapah lengji lengbeh, celeng
siji celeng kabeh.
Lengji lengbeh karena sedang benarlah sekarang
ramalan-ramalan yang pernah dikatakan tentang bangsa ini. Pernah diramalkan
dalam Jangka Jayabaya, di tanah Jawa ini akan datang saat orang berjumpa dengan
keyong lurik saparan-paran. Keyong lurik adalah bekicot yang diartikan sakebeke
cocot. Uraiannya lagi: para pemuka masyarakat bisanya hanya nyocot alias
membual janji dan omong kosong, sementara rakyat kecil hanya bisa memperoleh
makanan sakebeke cocot, sesuap nasi sekadar untuk memenuhi mulut alias kaliren
atau kelaparan.
Daya agama lumpuh
Kita sedang terkena kutukan lengji lengbeh karena sekarang
kita hidup pada zaman betik mangan manggar. Betik adalah sejenis ikan yang
tinggal di kolam. Bagaimana mungkin ia bisa memakan manggar yang tumbuh di
ketinggian? Inilah bidal atau ibarat tentang zaman, di mana orang biasa, yang
tak mempunyai kompetensi apa-apa, tiba-tiba menjadi pucuk pimpinan. Tidakkah
ini yang terjadi sekarang? Kabupaten atau kota-kota dipimpin bupati atau wali
kota yang tiba-tiba saja mencuat tanpa prestasi kepemimpinan apa pun
sebelumnya. Tak mustahil jika di banyak tempat otonomi daerah hanya makin
menambah sengsara rakyat.
DPR kita dipenuhi betik mangan manggar. Wakil rakyat suka
studi banding yang ujung-ujungnya hanya klenceren, tanpa membawa manfaat bagi
rakyat. Banyak wakil rakyat yang tak malu-malu menjalankan korupsi, menyedot
uang habis-habisan mumpung menjabat, persis seperti orang yang diserakahi
pesugihan celeng. Belum lagi ucapan pimpinan mereka yang kerap melukai hati
rakyat. Alam celeng seakan menggelayuti gedung DPR.
Ketika serapah lengji lengbeh, agama pun dikomersialkan dan
dijadikan alat untuk memainkan kekuasaan, terjadilah ramalan Trajuningtyas
(timbangan batin) dalam ajaran Sabdopalon bahwa Allah mung kanggo boreh, kanggo
kekudung, kanggo pawitan, kanggo aling-aling sepoto, kanggo bregas-bregasan,
kanggo gaib-gaiban, kanggo golek brekatan, kanggo menang-menangan, kanggo
suci-sucian, kanggo bagus-bagusan, kanggo becik-becikan.
Maksudnya Tuhan diucapkan di mana-mana, tetapi sebenarnya
Tuhan hanyalah dijadikan bedak polesan, kudung, modal, persembunyian,
gagah-gagahan, gaib-gaiban, suci-sucian, saleh-salehan, kuat-kuatan, dan sarana
cari rezeki. Orang mengucapkan nama-Nya, tetapi tak sedikit pun manut-miturut,
nggugu mituhu marang pepacuhing Allah (tunduk tawaduk berpegang pada petunjuk
Allah).
Serapah lengji lengbeh membuat daya agama lumpuh. Maklum
terkena serapah itu, mental dan moral manusia anjlok. Manusia lebih
dikendalikan hawa nafsu yang rendah dan menyerodok seperti celeng sehingga tak
mungkinlah ia mendalami kemuliaan dan keluhuran ajaran agama. Maka, para pemuka
agama pun tak bisa menghindar dari lengji lengbeh sehingga benarlah kata
pujangga Ranggawarsita dalam Serat Jaka Lodhang: Wong alim-alim pulasan, njaba
putih njero kuning, ngulama mangsah maksiat, orang alim hanya di luaran,
luarnya putih dalamnya kuning, pemuka agama pun tergoda mengajarkan
kemaksiatan.
Memudarnya masyarakat sipil
Lengji lengbeh adalah sebuah alegori kultural yang dengan
pas menerangkan karut-marut keadaan sekarang. Jika ditafsirkan secara
filosofis, lengji lengbeh bisa dimengerti sebagai die Wiederkehr des Bösen,
kuasa jahat yang datang kembali. Dalam refleksi ahli filsafat dan hukum Günter
Frankenberg dari Universitas Frankfurt (die Zeit, 25/11/1994), kembalinya kuasa
jahat itu tidak pertama-tama berkenaan dengan kejahatan individu, tapi dengan
memudarnya masyarakat sipil.
Memudarnya masyarakat sipil itu ditandai merosotnya tata
cara dan sopan santun peradaban, baik dalam hal sosial maupun politik. Tanda
lain, hilangnya peran negara dalam banyak aspek kehidupan. Negara dipenjara
gerombolan tertentu yang kekuasaannya tak terkendalikan lagi. Hak-hak
masyarakat sipil yang anti-totalitarian diinjak-injak oleh kekuatan gerombolan
tertentu yang memaksakan kehendak secara totaliter dan kalau perlu menjalankan
kekerasan paramiliter. Tidakkah ancaman ini juga sedang terjadi pada masyarakat
sipil kita yang sedang ingin kita bangun? Kita sedang mengalami die Wiederkehr
des Bösen yang telah kita bahasakan dengan lengji lengbeh.
Lengji lengbeh juga bisa dibaca dalam kacamata ajaran
tentang kodrat manusia dari filsuf Thomas Hobbes. Menurut Hobbes, pada dasarnya
kodrat manusia adalah jelek. Manusia adalah serigala bagi sesama, homo homini
lupus, yang berarti lebih kurang sama dengan celeng siji, celeng kabeh. Jika
ini dibiarkan, akan terjadi perkelahian semua melawan semua. Untuk mengatasi
kebuasan manusia yang saling menghancurkan, perlu negara kuat dan totaliter
bagaikan Leviathan.
Selama 30 tahun lamanya di bawah rezim Orde Baru kita pernah
mengalami hidup dalam rezim negara Leviathan yang total otoriter. Ketika Orde
Baru terguling oleh reformasi, kita berpikir, dengan segera kita akan dapat
menjalankan politik yang membangun masyarakat sipil. Ternyata reformasi malah
menjadi pembuka tabir bahwa kita belum becus menjalankan politik kebangsaan.
Politik yang kita impikan justru menjerumuskan kita ke dalam kodrat yang
primitif, kodrat lengji lengbeh.
Menurut Jürgen Habermas (1992), bangsa atau nation lain
dengan sivitas. Nation lebih kurang sama dengan gens atau populus yang merujuk
pada rakyat atau suku yang belum terorganisasikan secara politik. Warga Roma
malah sering menggunakan istilah itu untuk merujuk pada orang-orang barbar,
liar, dan pagan. Dalam peristilahan klasik, nation adalah komunitas orang-orang
yang nenek moyangnya sama, terikat dalam suatu wilayah geografis, bahasa, adat
istiadat, dan tradisi sama, tetapi belum terintegrasikan secara politis menjadi
suatu organisasi negara.
Dalam arti itu nation adalah suatu kesatuan komunitas yang
prapolitik. Baru ketika nation berhasil membentuk diri lewat politik, ia jadi a
nation of citizens, sebuah sivitas, yang jadi dasar dan dinamika sebuah negara.
Dalam arti ini, sebuah bangsa terbentuk bukan karena turunan identitas dan
warisan kultural maupun etniknya, tetapi karena praksis warganya dalam
menjalankan hal-hal kewargaannya. Tak heran jika dalam kaitan ini ada ungkapan
terkenal dari pemikir republikan, Ernest Renan, yakni the existence of a nation
is a daily plebiscite.
Selama 30 tahun kita hidup di bawah rezim totaliter Orde
Baru. Selama itu kita dicekam ketakutan untuk berpolitik dan sama sekali tak
berkesempatan membangun sivitas dan menjalankan hak-hak sipil kita. Dan, ketika
reformasi tiba, ia pun miyak warana, membuka tabir rahasia kita, bahwa kita
belum membentuk suatu nation of citizens dan bahwa kita sesungguhnya masih
berada dalam tahap prapolitik pembentukan bangsa.
Tak heran dalam keadaan prapolitik ini kita masih
dikendalikan kekodratan kita yang primitif, lengji lengbeh, mirip dengan homo
homini lupus itu. Tak heran pula jika dalam keadaan bangsa yang prapolitik ini
pemimpin-pemimpin kita menjalankan politik dengan cara-cara primitif, kasar,
dan belum berkeadaban. Tak heran juga jika keadaan prapolitik ini menjalankan
politik salah kedaden, mirip ulahnya celeng gontheng, menubruk ke sana kemari
sampai merasuki dan menodai bidang yang begitu pribadi, seperti agama.
Reformasi memang memasukkan kita ke alam kebebasan. Namun,
harap diingat, kebebasan seharusnya selalu mengandaikan kesamaan. Hanya dengan
kesamaan orang bisa bebas melontarkan pendapat dan mengutarakan hak-hak. Maka,
tanpa kesamaan, kebebasan hanya menjadi milik mereka yang kuat, kaya, dan
berkuasa.
Pada era reformasi, kesamaan tersebut masih jauh di seberang
mata. Akibatnya, kebebasan hanya digunakan mereka yang kuat untuk memperalat
dan mengesampingkan yang lemah. Mereka yang kuat seenaknya menjalankan politik
memperalat rakyat untuk menumpuk dan menyedot harta. Rasanya kita memang sedang
berada dalam suasana di mana politik berjalan dengan primitivisme pesugihan celeng
gontheng. Lengji lengbeh adalah serapah yang sedang menimpa dan mengingatkan
agar kita berjaga secara istimewa, eling lan waspada lebih dari biasa. Memang
lengji lengbeh adalah die Wiederkehr des Bösen, kuasa jahat yang sedang
mengunjungi. Kita jadi tahu metafisika dan kekodratan kejahatan kita.
Uniknya untuk keluar dari belenggu kuasa jahat itu kita tak
bisa mengharapkan pertolongan kuasa gaib mana pun. Bahkan, keluhuran agama dan
belas kasih Tuhan pun tak dapat menolong. Sebab, akar masalahnya bukan pada
merosotnya martabat individu atau tak berdayanya agama, atau kurangnya rahmat
belas kasih Allah, melainkan pada tiadanya tekad untuk membangun kebersamaan
kita.
Masih berkehendakkah kita membangun masyarakat politik dan
sipil yang beradab? Jika kehendak ini sudah tiada lagi, lengji lengbeh sebagai
kuasa jahat pun akan kembali. Tampaknya Tuhan mengembalikan pada keputusan kita
apakah secara bersama-sama kita mau atau tidak melawan kodrat kejahatan yang
menggoda kita untuk jadi celeng bagi sesama kita. Itulah implikasi dan makna
kebebasan yang dianugerahkan-Nya kepada kita.
Sindhunata Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis,
YogyakartaSumber:kompas /31/5/2011
No comments:
Post a Comment