Sindhunata, Wartawan; Tinggal di Yogyakarta
SUMBER : KOMPAS, 28 April 2012
Di mana-mana kini banyak orang, termasuk anak- anak, lebih suka menonton pertandingan sepak bola daripada pergi ke gereja pada akhir pekan. Di Jerman ada anekdot, seorang pastor bertanya kepada Peter, seorang anak, anggota jemaatnya.
”Tahukah kamu, apa yang akan terjadi pada anak laki-laki yang lebih suka bermain sepak bola pada hari Minggu daripada ke gereja?”
”Jelas. Suatu saat, anak-anak itu akan bermain di Bundesliga dan memperoleh uang miliaran,” ucap Peter tegas.
Bola dengan segala gebyarnya memang menggoda. Banyak orang lebih memilih menonton bola daripada ke gereja. Bola seakan melindas ibadat keagamaan. Namun, apakah dengan demikian Tuhan juga menghilang karena bola?
Menarik menyimak komentar Christopher Jamison OSB yang dituangkan dalam Tablet, 24 Maret 2012. Jamison adalah pastor, anggota tarekat kontemplatif Benediktin, dan seorang direktur dari salah satu kesekretariatan Konferensi Wali Gereja di Inggris dan Wales. Komentarnya itu ditulis terkait laga Piala FA, Tottenham Hotspur versus Bolton Wanderers, di Stadion White Hart Lane, London, 17 Maret 2012.
Bolton unggul lebih dahulu lewat gol Darren Pratley. Tak lama kemudian pemain Spurs, Kyle Walker, menyamakan kedudukan, 1-1. Sampai pada menit ke-41, tiba-tiba para penonton menutup mukanya, seperti orang-orang yang tiba-tiba terbenam dalam doa.
Pemandangan ini menyusul kejadian tak terduga, pemain Bolton, Fabrice Muamba, mendadak terjatuh lalu tergeletak. Dia terkena gagal jantung.
Makin para penonton di White Hart Lane tak percaya pemain berusia 23 tahun itu tergeletak tanpa alasan jelas, makin mereka khusyuk berdoa.
Kata Pastor Jamison, ”Sebanyak 30.000 fans bola penonton pertandingan Piala FA antara Spurs dan Bolton itu secara spontan menciptakan sebuah liturgi. Begitu mereka tahu petaka itu bukanlah cedera yang umum terjadi dalam sepak bola, mereka terdiam. Kemudian, ribuan tangan dan mulut bergerak dalam doa hening. Sesudah itu, bagai terbawa daya ritual yang dahsyat, fans dari kedua belah pihak melantunkan lagu. Fa-bri-ce Mu-am-ba. Ini adalah layanan kesembuhan dari 30.000 orang yang melayangkan doanya ’ke atas’ bagi seorang yang sedang sakit.”
Memakai bahasa ritual Kristiani, Jamison menyebut kejadian itu sebagai ”liturgi Sabtu sore di White Hart Lane”.
Tak berhenti di situ. Berita utama koran The Sun, Senin, mencantumkan, ”Praying for Muamba… God is in Control”. Twitter juga penuh dengan undangan #praying for fabrice. Para pemain, fans bola, dan para selebritas juga ikut berdoa bagi kesembuhan Muamba.
Ditambah dengan ekshibisi pemain Chelsea yang, setelah menciptakan gol, menyingkapkan kostumnya. Di situ tertulis ”Pray 4 Muamba”. Bahkan, selebaran Metro dua hari kemudian keluar dengan berita utama, ”Your Prayers are Working”.
Mengapa orang tergerak berdoa bagi Muamba? Kata Jamison, itu tentu tak terlepas dari iman Muamba sendiri. Muamba dikenal sebagai ”pribadi yang sangat percaya kepada Tuhan.” Dia bilang, Tuhan adalah alasan dan sebab dari segala sesuatu yang dia kerjakan dan dia raih. Orang-orang tahu tentang imannya. Karena itu, mereka ikut terbawa dan mendoakannya.
Menurut Jamison, peristiwa Muamba diam-diam menjadi fenomena yang mengingatkan bahwa di dunia yang sekuler ini ternyata masih ada iman walaupun di sana orang sinis terhadap agama. Peristiwa Muamba juga menyentakkan bahwa Tuhan pun ternyata masih ada dan diakui ada-Nya di tengah ingar-bingarnya lapangan hijau. Sekaligus peristiwa itu juga mengatakan bahwa doa adalah insting manusiawi yang ada dalam setiap orang. Sayangnya, agama tidak lagi bisa mengajarkan bagaimana berdoa sesuai dengan insting tersebut.
Singkatnya, peristiwa Muamba menyadarkan akan kebenaran kata-kata yang sering diucapkan orang di tengah dunia sekuler ini. ”Saya ini spiritual, tetapi bukan religius.”
Maksudnya, pengalaman spiritual orang zaman sekarang tak lagi bisa ditangkap oleh wadah-wadah kereligiusan yang institusional. Sangatlah tidak bijaksana mengecap mereka tidak lagi mengenal Tuhan, melulu dari kacamata agama formal belaka. Sebaliknya, lembaga-lembaga agama mesti mencari mana cara-cara beriman yang kiranya cocok dengan situasi orang zaman sekarang.
Itulah sesungguhnya keprihatinan Thomas Merton, rahib biara Trapis, yang dikenal sebagai guru doa zaman modern. Tuhan memang transendental dan berada di luar jangkauan kita. Menurut Merton, dalam ketidakmampuan manusia untuk menjangkau Tuhan, Tuhan tetap dekat dengan kita, dan berada dalam setiap situasi hidup kita. Perjumpaan dan persatuan Tuhan dalam doa adalah mungkin. Doa bukanlah suatu yang mustahil di tengah dunia sekuler ini.
Merton mengatakan, jika kita mengalami Tuhan, kita mengalami-Nya bukan untuk kita sendiri, tapi untuk orang lain. Jadi, doa yang baik adalah doa yang mengarah pada sesama.
Jadi, orang modern ini masih bisa berdoa juga. Ternyata mereka mau diminta berdoa untuk Muamba. Namun, maukah mereka, misalnya, diminta berdoa bagi para politikus, yang berkampanye untuk memperoleh kursi kekuasaan?
Jawab Jamison, rasanya tidak. Malah mereka akan menolaknya dengan sinis. Mungkin, karena mereka tahu, doa baru bisa efektif hanya jika ditujukan bagi mereka yang mau membagi diri bagi sesamanya, bukan bagi mereka yang hanya ingat kepentingan dirinya sendiri, seperti biasa terjadi pada para politikus.
No comments:
Post a Comment