Wahyu Susilo ; Aktivis HAM
SUMBER : KOMPAS, 29 Mei 2012
Pada 23 Mei 2012, melalui mekanisme internasional Dewan HAM PBB, Pemerintah Indonesia kembali menyampaikan laporan periodik kinerja penegakan hak asasi manusia dalam forum Universal Periodic Review.
Pelaporan pertama Pemerintah Indonesia dalam forum Universal Periodic Review (UPR) dilakukan pada 9 April 2008. Kita perlu memberi apresiasi terhadap keberanian Pemerintah Indonesia yang sejak 2006 menjadi anggota Dewan HAM PBB, mekanisme baru PBB menggantikan Komisi HAM PBB, yang sudah dua kali menyampaikan laporan kinerja penegakan HAM kepada masyarakat internasional.
Ini merupakan konsekuensi tak terhindarkan bagi Indonesia yang sedang bergulat menuju demokrasi. Tentu tak bisa dihindarkan ada kesan: inisiatif ini bentuk pencitraan Indonesia di mata internasional.
Dua dasawarsa lalu mekanisme HAM di PBB merupakan ladang pembantaian bagi diplomasi Indonesia, yang selalu berha- dapan dengan problem dekoloni- sasi Timor Timur. Diplomat senior Indonesia yang juga mantan menlu, Ali Alatas, bahkan menyebut aral diplomasi Indonesia soal Timor Timur bagaikan ”kerikil di dalam sepatu”.
Tak berarti pascadiplomasi babak belur di masa Orde Baru tak ada lagi persoalan HAM di Indonesia yang mendapat perhatian serius dari masyarakat internasional. Seiring dengan perkembangan politik ekonomi global, persoalan HAM di Indonesia tak lagi memusat pada persoalan kekuasaan militer dan represinya. Namun, lebih menyorot pada bagaimana negara mampu mengelola rasa aman warga negaranya, menghargai, dan memastikan ekspresi keberagaman masyarakat serta memastikan reformasi hukum dan peradilan tetap dalam koridor penghormatan hak sipil dan politik.
Yang Terlupakan
Yang kerap terlupakan dan terpinggirkan dalam upaya penegakan HAM adalah pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang lebih bergantung pada kemampuan pihak eksekutif dan belum punya mekanisme yudisial. Komponen ini kerap tak dianggap sebagai elemen penting HAM dibandingkan dengan hak sipil dan politik yang punya mekanisme peradilan dan penghukuman. Ada beberapa pelajaran penting dari pemantauan langsung mekanisme UPR untuk Indonesia yang dapat diakses melalui fasilitas UNTV dan membandingkannya dengan dokumen hasil UPR untuk Indonesia, April 2008.
Pertama, ihwal perlindungan hak kaum minoritas dan ancam- an intoleransi di Indonesia telah jadi perhatian masyarakat internasional lima tahun terakhir. Ini terlihat dari pertanyaan pada UPR 9 April 2008 dan UPR 23 Mei 2012. Kedua, soal pengarusutamaan HAM dalam reformasi sistem peradilan dan reformasi sektor keamanan. Pertanyaan ini mengkritik apakah ada perubahan signifikan dari seluruh elemen kenegaraan dalam upaya penegakan HAM selama masa transisi politik pascaotoritarian.
Ketiga, masih terkait dengan catatan kedua: keraguan adanya komitmen serius Pemerintah Indonesia mengakhiri impunitas. Ini terlihat dari desakan kuat agar Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma (Pengadilan Kriminal Internasional).
Keempat, ada kecenderungan, Pemerintah Indonesia menganggap elemen pokok penegakan HAM terletak pada legalitas dan kelembagaan. Ini terlihat dari isi laporan dan respons terhadap pertanyaan yang muncul. Sebagian besar isi laporan menyampaikan instrumen internasional apa yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, rencana aksi nasional (RAN Anti-Trafficking), dan lembaga baru yang terbentuk.
Jawaban atas pertanyaan eskalasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua: pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Jauh panggang dari api.
Realitas yang terlihat dari proses yang berlangsung di Dewan HAM PBB itu masih menempat- kan Indonesia dalam tarikan kuat blok negara yang resisten terhadap mekanisme pemantauan internasional untuk HAM: ASEAN, OKI, Timur Tengah, dan Afrika. Itulah pendukung utama Indonesia. Dukungan ini tentu tak cuma-cuma. Suatu saat Indonesia harus balas jasa sesuai dengan keinginan blok tersebut.
Pertanyaan negara lain dan jawaban Indonesia yang relatif sama dalam mekanisme UPR untuk Indonesia (2008 dan 2012) membuktikan bahwa sebenarnya Indonesia tak terlalu menganggap mekanisme ini punya pengaruh penting bagi Indonesia di mata internasional. Mekanisme internasional mengenai HAM di PBB memang tak mengikat secara hukum, kecuali terkait dengan pelanggaran HAM berat serta kejahatan terhadap kejahatan perang dan genosida.
Pada masa IGGI dan dilanjutkan CGI 1967-2006, praktis Indonesia tunduk dan menjalankan rekomendasi konsorsium negara dan lembaga pengutang Indonesia itu. CGI dibubarkan pada 2007. Indonesia tetap menganggap rekomendasi dan syarat donor multilateral dan bilateral sedapat mungkin dijalankan. Rekomendasi dari mekanisme HAM internasional cukup didengar. ●
No comments:
Post a Comment