Koran Jakarta, Rabu, 30 Mei 2012
Mengapa sikap tidak toleran akhir-akhir ini menggejala kuat? Padahal, bangsa Indonesia menyumberkan kekayaan kemajemukan pada suku, agama, perbedaan. Ini untuk menghayati realitas berdasar keyakinan dan kebijaksanaan hidup yang menjadi tumpuan awalnya. Dia juga menjadi oase berbangsa seperti terbukti dalam janji Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam beberapa studi dan diskusi mendalam, ada dua jawaban yang muncul dan perlu menjadi fokus tatap budi dan refleksi kesadaran hati. Pertama, berbangsa majemuk dihayati sebagai sesuatu yang dianggap sudah semestinya begitu (taken for granted) hingga lupa merawat dan menghidupinya dalam edukasi penghayatan lebih dari pengertian kognitif.
Kedua, ketika jalan kehidupan bersama terlalu berpusat pada ekonomi dan komoditas, terjadi reduksi nilai benar dan baik hanya pada materi dan yang bisa ditukar dengan duit. Ini mengakibatkan yang intangible melenyap.
Apalagi, ketika politik tidak dimaksudkan untuk mencipta dan mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera dan adil agar tiap warga "diorangkan". Maka, politik tanpa etika akhirnya menjadi adu rebutan kekuasaan dan kursi semata. Politik hanya menjadi pemuasan hasrat kuasa dan kekayaan untuk kepentingan sendiri atau kelompok dan bukan kepentingan bersama.
Karena itulah, pilihan jalan panjang proses merawat toleransi disadari untuk dikembalikan pada jalan kebudayaan yang merupakan jalan proses pembatinan sejak kecil sampai dewasa. Waktu di mana kita "belajar lagi nilai toreransi akan perbedaan sebagai yang hakiki dari kehidupan".
Nilai
Bahwa sebagai manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan, gambar-Nya yang agung dan cantik, pria dan perempuan serta kalifatullah Allah di dunia ini, sebenarnya telah menemukan "ranah penanaman nilainya" sejak di keluarga.
Apa itu nilai? Nilai adalah yang berharga dan dihayati sebagai yang benar, baik, suci dan indah dalam kehidupan baik sebagai komunitas sosial maupun individu.
Dalam keluarga, manusia itu unik dari sisi watak dan identitasnya, sebenarnya secara tak sadar maupun sadar, manusia sudah mulai merasuki dan dibatini oleh toleransi bahwa sesama itu berbeda dan unik. Maka, untuk melangsungkan hidup bersama dalam perbedaan, ditanamlah sikap menghormati perbedaan watak tiap pribadi.
Lalu edukasi formal dari SD, SLTP, SMA diusahakan untuk terus, secara prinsip menanamkan toleransi ini. Namun, sejak kapan, dalam realitas, mulai muncul pengotakan "di sini kami" dan "di sana mereka"? Jawabnya: sejak kita merasa perbedaan itu taken for granted seperti semangat pendidikan Pramuka yang sebenarnya mempertemukan peserta lintas agama dan suku. Keunikan watak dalam perkembangannya menjadi formalisasi taken for granted dengan kenyataan setelah tahap "penggalang" maka tidak populer lagi "pramuka tua".
Sampai di sini selesailah pendidikan menghayati perbedaan dengan ruang pembatinan toleransi dan dianggap sudah cukup.
Murid lalu masuk ke perguruan tinggi. Mereka berhadapan dan harus hidup dengan arus bahasa agamais dan keyakinan. Di mana itu semua telah diindoktrinkan lewat model penataran Pancasila. Ketika ini dihentikan, belum ada lagi ruang-ruang internasisasi toleransi dengan bahasa yang pas untuk generasi yang hidup di era teknologi visual dan informasi ini.
Ini menurut Baudrillard dan Manuel Castells diibaratkan menghayati hidup dalam zaman keterbelahan real dan maya. Namun, direkatsatukan yang dalam bahasa penelitian sosiologis kultural Castells dinamai real virtuality.
Contoh sederhananya yang bisa berakibat fatal pada anak-anak di bawah lima tahun yang melihat TV. Mereka akan menirukan bermain-main dengan temannya memasukkan teman kecilnya ke dalam kulkas (seperti dilihat di iklan)sehingga temannya nyaris beku. Untunglah ada orang dewasa yang menolongnya.
Yang nyata dan maya di kesadaran anak menyatu dalam make believe maya, tapi nyata dan nyata tetapi maya. Karena itu, pertanyaan penting soal nilai merawat toleransi, bagaimana dalam jalan kultural?
Kesatu, untuk generasi visual dan gadget generation, dibutuhkan esensi nilai toleransi yang dikemas menarik dalam bahasa visual. Ini berisi narasi bahwa Indonesia tanpa kemajemukan akan seperti rajutan proses menenun kain songket dan ulos yang "digunting oleh mereka" yang tidak toleran, kemudian atas nama politik serta kadang meminjam wewenang Yang Ilahi untuk menggunting buah-buah yang telah dirajut nenek moyang.
Lihatlah film Laskar Pelangi Mira Lesmana yang kemudian menjadi pertunjukan musik untuk melanjutkan budaya tulis novel Andrea Hirata menjadi bahasa visual dan nyanyi. Itu semua dapat menyentuh generasi muda. Lihatlah pula kreativitas band Cokelat yang menyanyikan dan mengaransemen ulang lagu-lagu nasional dengan nada yang tepat untuk generasi muda.
Kedua, dari ranah masyarakat, perawatan itu sekarang menjadi gerak-gerik (semoga semakin menjadi "gerakan" dari kesadaran semakin banyak pihak) untuk menghidupi kembali yang tadi sudah dianggap "pasti dimiliki" tentang toleransi. Caranya dengan mengajak kembali ke kesadaran sejarah awal Indonesia merdeka. Ketika itu, sudah ada kemajemukan.
Lalu situs Bandaneira, Boven Digul tempat dibuangnya Bung Hatta dan Bung Sjahrir untuk perjuangan bangsa yang menjadi Indonesia majemuk. Situs Gorontalo, situs Jawa Jeparanya Kartini, atau ekspedisi cicin api Nusantara untuk menautkan lagi betapa kita selalu mudah bersatu dalam perbedaan. Uniknya itu terjadi manakala ada musibah, malapetaka alam, dan bencana. Saat seperti itu, kita menjadi bangsa yang peduli dan toleran.
Tuhan
Tuhan sudah memberi anugerah akal budi dan nurani untuk menimbang yang baik dan buruk. Namun, Castells kembali mengingatkan dalam Self dan The Net serta kekuasaan komunikasi akan kenyataan kita saat ini yang "disatukan oleh pasar yang memprovokasi hasrat membeli komoditas." Sementara komoditas pasar ini sudah melenyapkan nilai manfaat, fungsi, apalagi intrinsik menjadi hanya bernilai tukar berupa uang.
Herankah kini, semangat peduli dan gotong-royong sulit ditemukan, bila tidak dibayar? Tidak ada makan siang yang gratis, kata zaman ini. Tolong dikontraskan dengan pepatah "Ada sama dimakan, tidak ada sama-sama ditahan".
Di sinilah edukasi kultural mesti mulai dengan menyadari betapa Victor E Frankl sudah merangkumkan berdasar pengalaman hidup. Di mana dia nyaris mati ketika ditahan Hitler. Dia bertahan karena ada tiga tekad, yaitu hasrat untuk berkuasa (will to power), kenikmatan hidup (will to pleasure), dan memberi makna pada hidup.
Hasrat untuk memberi nilai pada langkah hidup dengan tujuan akhirnya (will to significances). Maka, perawatan nilai toleransi sudah harus terus dilakukan sejak dini. Namun, terutama terus dipelihara dengan membuat sadar serta menciptakan ruang-ruang dialog lintas agama, berseni, dan semacam TIM.
Ciptakan juga rumah-rumah seni lokal etnik yang membuka pembejaran kembali keragaman kekayaan bangsa. Di antaranya, seni lokal, kebijaksanaan hidup dalam pepatah, peribahasa, gurindam, musik-musik etnis, tari, dan kidung alamnya.
Di sini pula ditemukan jurang antara generasi yang membutuhkan narator-narator, pengisah kultural yang menjembatani jurang antara perjalanan linier bangsa ini dari budaya lisan-lalu tulis. Kemudian, sebelum tulis-menulis tertanam sudah meloncat ke lisan kedua yang bernama visual dengan maya dan nyata bercampur di media elektronika dan teknologi informasi.
Ada kekurangan guru-guru kebudayaan lokal dan nasional yang sayang pada penyusun keragaman Indonesia yang ika. Ini entah keragaman lokal dengan life wisdom-nya yang berbahasa dongeng, tari, pepatah peribahasa serta kisah bernilai untuk merawat alam dan tidak menghancurkannya. Selain itu, juga untuk hormati perbedaan dan tidak menghantam sesama dengan kebencian.
Ada yang sangat sederhana dalam ungkapan orang kecil untuk menghormati perbedaan pendapat atau keyakinan ini. "Bila saudara tidak suka akan buku tulisan sesamamu, ya jangan dibuka dan jangan dibaca. Tetapi, Anda tidak perlu membuang ke kotak sampah".
Kadang mereka yang sederhana lebih bijak dari cendekiawan super rasionalistis yang kerap membuat pembenaran-pembenaran perilakunya dengan rasionalisasi.
Akhirnya, bangsa harus bersyukur diwarisi kebijaksanaan dalam bertoleransi keragaman atas geografi, identitas suku dengan pepatah, "Di mana bumi dipijak, di situlah hendaknya langit dijunjung".
Marilah secara kreatif membahasakan itu lewat media-media faktual yang canggih seperti teve, koran, dst yang dalam bahasa edukasi kulturalnya, yaitu toleransi pada perbedaan.
Oleh Mudji Sutrisno SJ
Penulis adalah Guru Besar STF Driyarkara
No comments:
Post a Comment