Rumadi ; Peneliti Senior the Wahid Institute;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 14 Mei 2012
Di tengah semakin meningkatnya iklim intoleransi kehidupan beragama di sejumlah wilayah, saya justru menemukan teladan kehidupan toleransi beragama di sebuah kampung yang jauh dari ingar-bingar perkotaan.
Jika di Bekasi ada Kampung Sawah yang merupakan potret mini masyarakat Betawi yang plural, saling membantu meski berbeda agama, di Gorontalo ada desa bernama Banuroja. Letaknya di Kabupaten Pohuwato. Desa ini layak dijadikan contoh bagaimana mengelola keragaman suku, agama, dan budaya dengan bermodal kearifan sosial.
Desa ini cukup terpencil. Untuk sampai ke desa ini perlu sekitar empat jam perjalanan mobil dari Gorontalo dengan medan jalan yang cukup berat.
Posisi Kabupaten Pohuwato yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah juga menarik diperhatikan. Ketika konflik bernuansa agama di Sulawesi Tengah merembet ke sejumlah wilayah di Sulawesi, ia tak mampu menembus Pohuwato. Hal ini terjadi karena tokoh-tokoh agama Pohuwato punya kesadaran yang cukup tinggi. Mereka paham bahwa konflik yang terjadi di Palu dan pada awal 2000-an adalah konflik kepentingan elite yang mengorbankan rakyat jelata dengan menggunakan simbol-simbol agama. Pernyataan demikian penulis dengar berulang-ulang dari tokoh-tokoh agama di sana.
Desa Banuroja sendiri singkatan dari Bali, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, dan Jawa. Tidak jelas siapa yang pertama memberi nama itu. Namun, yang jelas desa transmigrasi itu memang dihuni orang dari sejumlah wilayah Indonesia dengan keragaman suku, budaya, dan agama.
Memasuki Desa Banuroja, kita akan merasa memasuki perkampungan di Bali. Rumah-rumah dengan pura di halaman berderet sepanjang jalan. Beberapa ratus meter kemudian ada pesantren dan masjid cukup megah. Santrinya tak kurang dari 800 orang. Pesantren bernama Salafiyah Syafi’iyah itu diasuh seorang kiai transmigran dari Cirebon, KH Abdul Ghafir Nawawi.
Kiai Ghafir, demikian biasa disebut, merintis pesantren itu sejak awal 1980-an. Kini dialah yang menjadi jangkar dari Desa Banuroja. Pandangan-pandangan keagamaannya yang toleran, terbuka, menjadikan Kiai Ghafir tempat ”berteduh” masyarakat setempat yang sangat beragam.
Tidak jauh dari pesantren berdiri pura desa yang cukup luas. Di sebelahnya lagi ada Gereja Protestan Indonesia Gorontalo dan Gereja Pentakosta.
Ketika berdialog dengan tokoh-tokoh agama di sana, muncul kesan mereka punya modal sosial yang cukup kuat untuk menjaga keharmonisan kehidupan beragama. Namun, tersirat juga kekhawatiran adanya pengaruh-pengaruh dari luar, terutama munculnya gerakan-gerakan radikal yang bisa mereka lihat melalui televisi. Seorang ustaz di pesantren Salafiyah Syafi’iyah bahkan kini mengkhawatirkan masuknya gerakan intoleran ke desa mereka yang sudah mereka jaga selama lebih dari 30 tahun.
Modal Sosial
Cerita dari Desa Banuroja menunjukkan masyarakat kita punya modal sosial yang cukup kuat untuk membangun toleransi. Penulis percaya, masih banyak perkampungan di berbagai pelosok negeri ini yang bisa membangun kehidupan toleransi dan kerukunan hidup beragama tanpa mempersoalkan apakah ada aturan atau UU yang mengatur soal kerukunan. Terkait kehidupan beragama, masyarakat Indonesia pada dasarnya masyarakat yang toleran dan moderat. Sikap intoleran dan ekstrem bukan karakter asli masyarakat Indonesia.
Dalam kaitan dengan munculnya intoleransi ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, terjadinya perpindahan masyarakat dan pergeseran representasi. Perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Namun, perpindahan itu selalu membawa implikasi sosial yang sering tidak diperhitungkan.
Perpindahan itu bukan hanya persoalan yang bersifat fisikal, melainkan juga ideologi, pemikiran, dan cara pandang. Perpindahan ini juga akan berimplikasi pada perubahan pola representasi kelompok-kelompok masyarakat yang biasanya diikuti dengan goncangan politik karena menyodok kesadaran primordial (Key Deaux dan Shaun Wiley, 2007). Goncangan ini juga bisa membawa implikasi berikutnya berupa konflik dan ketegangan, bahkan kekerasan.
Perpindahan masyarakat dan pergeseran representasi tidak hanya mengubah komposisi populasi secara kuantitatif, tetapi juga mengubah komposisi kualitatif, bahkan simbolis. Sebutlah seperti munculnya paham-paham keagamaan baru yang sering ditumpangi berbagai kepentingan.
Kedua, fenomena tersebut akan berujung pada penguatan identitas primordial, yang menuntut adanya identifikasi diri dan kelompoknya secara eksklusif untuk membedakan dengan orang atau kelompok lain. Proses identifikasi secara eksklusif akan memunculkan ketegangan, permusuhan, bahkan kekerasan untuk melindungi atau mendapat sumber daya tertentu. Wujudnya tak selalu materiil, tapi juga bisa berupa spiritual, bahkan sumber daya yang bersifat simbolis.
Ketiga, masyarakat kita biasanya belum punya daya tahan dan imunitas dari pengaruh buruk perpindahan masyarakat itu. Daerah-daerah yang dulu dikenal damai, tapi tiba-tiba terjadi konflik keagamaan, biasanya karena kurang menyadari adanya implikasi moving people sehingga mereka tak menyiapkan imunisasi untuk menangkal dampak buruknya yang bisa merusak modal sosial masyarakat. Banuroja yang di awal tulisan ini saya ilustrasikan sebagai desa yang damai bukan tak mungkin akan terinfiltrasi gerakan radikal yang bisa berakibat adanya ketegangan sosial.
Di sinilah pentingnya memberikan daya imunitas kepada masyarakat yang berkarakter toleran tersebut dari pengaruh kelompok intoleran. Hal ini penting untuk jadi perhatian bersama. Jika tidak, jangan kaget kalau suatu saat bangsa ini berubah menjadi bangsa yang intoleran.
Bagaimanapun, di tengah situasi kehidupan keagamaan yang kian mengkhawatirkan, ternyata teladan toleransi itu masih kita temukan di kampung-kampung. Itulah yang menjadikan kita masih optimistis untuk menata kehidupan di masa depan. ●
No comments:
Post a Comment