Koran Jakarta, Rabu, 23 Mei 2012
Keunikan negeri dengan kondisi masyarakat yang plural kini
ternodai beberapa kerusuhan bernuansa agama. Realitas pluralisme sebagai
anugerah Tuhan yang seharusnya dijunjung tinggi mengalami reduksi makna yang
mengacaukan suasana kebatinan berbangsa. Persoalan itu bermula dari tidak
jalannya fungsi perlindungan warga dan jaminan kebebasan beragama sehingga
kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama terus terjadi.
Misalnya jemaat Ahmadiyah beberapa kali menjadi sasaran
kekerasan, terakhir di Tasikmalaya. Masjid jemaat Ahmadiyah diberangus amuk dan
api kebencian. Kasus kekerasan seperti itu terjadi secara berulang-ulang di
banyak tempat dan cukup meresahkan. Masyarakat merasa tidak aman di negerinya sendiri karena suatu kelompok
menjadi teror bagi kelompok lain.
Menurut catatan
The Wahid Institute, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dari
tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2010, terdapat 64 kasus, tahun 2011
menjadi 92 kasus. Bentuk pelanggaran terbesar adalah pelarangan atau pembatasan
ibadah. Dari 92 kasus pelanggaran KBB, jemaat Ahmadiyah yang paling banyak
menjadi korban, disusul jemaat dari GKI Yasmin. Dalam laporan The Wahid
Institute, Jawa Barat (Jabar), masih menjadi daerah yang paling potensial
melanggar KBB di mana dari 92 kasus, 58% terjadi di Jabar.
Nasib jemaat GKI
Yasmin hingga sekarang juga masih terkatung-katung. Ketika merayakan natal pada
tahun 2011, mereka beribadah di pinggir jalan karena tempat ibadahnya disegel
kelompok tertentu.
Mendiang Romo YB
Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa setiap bangunan ibadah punya bahasa
masing-masing, punya warta tentang tugas bangunan itu sendiri, juga tentang
siapa dan untuk siapa bangunan itu dibuat. Dalam konteks ini umat beragama
diuji kualitas keberagamaannya. Jika rumah ibadah benar-benar sebagai tempat
memuliakan keagungan Tuhan, tentu tak mungkin menginjak-injak kemanusiaan sebab
orang yang dekat dengan Tuhan tak akan melupakan sifat kemanusiaannya.
Saat ini
keterikatan berlebihan terhadap simbol-simbol agama menjadi salah satu
karakteristik keberagamaan kita. Simbol agama seperti rumah ibadah telah
bergeser sebagai perlambang keangkuhan. Ketika rumah ibadah ada yang menyaingi,
pemberangusan terjadi di mana-mana. Dulu masjid berdiri di antara gereja.
Kelenteng di antara vihara dan pura. Tapi kini suasana sudah berbeda. Itulah
tantangan kita bersama untuk beragama secara toleran dalam kepusparagaman.
Terkoyak
Terkoyaknya rasa
kebatinan berbangsa akibat aksi berbau agama membuat kohesi berbangsa tersobek.
Hati masyarakat kehilangan penghantar yang baik, lepas kendali, dan melupakan
penyelesaian yang manusiawi. Akibatnya, ikatan kebinekaan yang sudah lama
diretas masyarakat dari berbagai agama mudah terbakar amarah.
Dimensi-dimensi
seperti kegagalan pemerintah mengelola modernisasi dan globalisasi harus
direspons secara demokratis dengan memberi ruang hidup bagi kelompok-kelompok
minoritas seperti Ahmadiyah, GKI Yasmin, dan lain-lain. Proses demokratisasi
harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan adil antarkomponen pluralisme.
Tak dimungkiri
menipisnya ikatan kebatinan masyarakat sebagai bangsa beradab tak bisa
dipisahkan dari krisis keteladanan pemimpin yang mampu berdiri di tengah-tengah
semua golongan. Pemimpin harus tegas membela kaum tertindas meski harus
berhadapan dengan kuasa modal dan politik. Tapi, negara ini alpa.
Keluhuran amanah
penyelenggara negara tereliminasi hiruk-pikuk elite politik yang sibuk
bersembunyi di balik topeng kepalsuan. Di podium, orasi lantang menyuarakan
kerukunan dan demokrasi, tapi sesungguhnya rasis. Mengampanyekan kutukan atas
kekerasan agama di layar televisi tak ubahnya tukang obat sehingga sukar
dibedakan antara wajahnya yang asli dan palsu.
Pada saat
bersamaan prospek keragaman diabaikan. Akibatnya ketidakadilan di mana-mana dan
menjadi pemantik kekerasan. Grafik distribusi ekonomi dan keadilan sosial di
setiap daerah tidak merata. Komparasi jaminan kesejahteraan warga dengan
takaran upeti untuk negara timpang sehingga kedaerahan kerap berbenturan dengan
kebijakan nasionalisme yang berpusat di Jakarta. Bumi, air, dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya seharusnya dikelola untuk kemakmuran bersama, namun
nyatanya dieksploitasi asing.
Persoalan lain,
kualitas pelaksanaan otonomi daerah, desentralisasi, serta demokratisasi tidak
berjalan maksimal. Keadaan ini turut menstimulasi munculnya radikalisme
kedaerahan. Tatkala terjadi penyempitan kesadaran menghayati diri secara
inklusif sebagai entitas bangsa, kemungkinan besar kesatuan berdasarkan
keragaman suku, agama, dan golongan bisa bercerai-berai. Ini dapat melahirkan
ide untuk mengurus diri sendiri secara merdeka. Ini berbahaya. Karena itu,
peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah rawan konflik melalui perbaikan
akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi dan pemerataan pembangunan
penting dilakukan.
Kita punya pedoman Pancasila yang paripurna dalam bernegara,
tapi tuna-pengamalan. Sila Persatuan Indonesia
dirumuskan bertujuan mengangkat martabat dan kehidupan beragama di Indonesia .
Wawasan nasional yang sehat meniscayakan sikap menjunjung tinggi kemajemukan
dan memperhatikan kepentingan kelompok minoritas yang selama ini terabaikan.
Begitu pula sila Keadilan Sosial mewasiatkan pemerataan
pembangunan tanpa unsur monopoli dari oligarki politik. Itulah yang seharusnya
menjadi pedoman nilai bagi penyelenggara negara agar tidak terlampau
tergelincir dari rel kesejahteraan yang dicita-citakan.
Ketika negara tak lagi hadir dalam benak rakyat,
pemberdayaan peran tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai perekat kohesi yang
terkoyak penting dilakukan. Melalui
jalur kultural mereka dapat melakukan pemurnian kesadaran kolektif tentang
hakikat beragama dan berindonesia. Hakikat itu tidak akan ditemukan tanpa
menggali jati diri Indonesia dari sejarah lokal. Sejarah yang melewati
proses bersatunya agama-agama menjadi sebuah bangsa.
Oleh Achmad Fauzi
Penulis adalah aktivis Interfidei
No comments:
Post a Comment