Sepotong catatan Leonardo da Vinci, di akhir abad ke-15:
”…manusia, yang dengan rasa ingin tahu yang riang
berharap mendapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan yang
baru selamanya... tak tahu bahwa dalam kerinduannya itulah terbawa kuman
kematiannya sendiri.”
Sebuah
pandangan hidup yang muram mungkin, tapi Da Vinci tak berhenti di situ. Baginya,
kita tak harus menyesali, justru harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh
harapan yang tak pernah sampai. ”Kerinduan” itulah, kata Da Vinci, ”sifat dasar
kehidupan,” dan ”Manusia adalah sebuah tauladan bagi dunia.”
Ya, pelukis
Italia itu menyebut manusia sebagai ”tauladan”, sebagaimana laiknya seorang
seniman zaman Renaissance. Dan ia menulis ”Manusia” dengan ”M”, bukan ”m”. Kita
tahu abad ke-15 di Italia adalah abad narsisme: manusia memandang ke dunia, dan
yang ia temukan wajahnya sendiri, makhluk yang mengagumkan.
Di zaman
itulah teknik melukis dengan perspektif dikembangkan. Di kanvas, orang tak lagi
menggambar gunung yang jauh terletak rapat dengan pohon yang dekat. Ruang
disusun jadi stabil dengan ukuran yang pasti, berdasarkan posisi pandang sang
pelukis. Dunia seakan-akan dihadirkan kembali (”re-presentasi” ), tapi
sebenarnya dibentuk. Ia dikonstruksikan oleh sudut pandang si empunya mata.
Manusialah yang mengendalikan costruzione legittima. Sejak itu, seni rupa tak
lagi berpusat dalam Tuhan, melainkan dalam manusia. Manusia, dengan ”M”,
adalah ukuran segala-galanya.
Itu juga pandangan Michel Angelo. Pelukis ini pernah
menulis sepotong sajak; di dalamnya ia katakan bahwa Tuhan hanya menampakkan
diri lewat ”cadarnya yang indah”, yakni manusia. Maka ketika Paus memesannya
untuk menghiasi Kapela Sistina di Roma dengan satu karya fresko, ia gambarkan
Tuhan di langit-langit bangunan itu dengan paras seorang tua yang gagah.
Kita bisa menyangka, di situ Michel Angelo (dan juga Sri
Paus) lupa akan satu adegan dalam Alkitab, di hari ketika Musa dan Bani Israel
datang ke kaki Gunung Sinai ”untuk menjumpai Allah”. Tapi gunung itu sepenuhnya
ditutupi asap; Tuhan ”turun ke atasnya dalam api”. Seluruh gundukan bumi itu gemetar. Bunyi
sangkakala terdengar, kian lama kian keras. Syahdan, Allah pun memanggil Musa
ke puncak. Ia peringatkan agar manusia jangan coba menembus asap untuk
mendapatkan dan melihat-Nya. Di saat itu juga turunlah firman: ”Jangan membuat
bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada
di bumi bawah, atau yang ada di dalam air….”
Sejak itu haramlah patung atau gambar, apalagi yang
disembah. Tapi tak mudah firman Allah itu dipatuhi. Bahkan ketika Musa masih di
puncak Sinai, dan belum ada tanda-tanda akan turun, Bani Israel membuat sebuah
patung lembu emas yang mereka sembah sebagai pengganti Tuhan yang tak kunjung
tampak. Tak ayal, Musa pun turun dan
menjatuhkan hukuman yang mengerikan: mereka yang ”memihak kepada Tuhan” harus
membunuh saudara, teman, dan tetangga mereka sendiri. Tertulis dalam Keluaran
32: 28: ”Pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu orang….”
Sejarah
ikonoklasme—yang kelak akan dipraktekkan dengan garang ketika orang-orang
Kristen dan Islam menghancurkan patung dan gambar sebagai berhala—mendapatkan
momen dramatisnya di kaki Sinai hari itu.
Tapi apa
sebenarnya yang dilarang: membuat patung dan gambar, atau membuat berhala untuk
disembah? Dalam sejarah Gereja, Yesus dan Maria dan bahkan Allah bisa dilukis,
tapi gambar-gambar itu tak diperlakukan sebagai sesembahan. Seni Michel Angelo
dan Da Vinci tak dilihat sebagai ikhtiar mimetik, usaha meniru sang sosok yang
dilukis. Mereka tak diperlakukan sebagai re-presentasi, melainkan sebagai
ekspresi.
Ekspresi itu
tentu saja ekspresi manusia di suatu masa, di suatu tempat. Apalagi di zaman
ketika, seperti kata Leonardo, ”Manusia” hadir sebagai tauladan, juga dalam
imajinasi.
Itu sebabnya
ketika Da Vinci ingin menghidupkan suasana adegan Perjamuan Terakhir dalam
Injil, ia—yang hidup beratus-ratus tahun setelah peristiwa di Yerusalem
itu—menampilkan Al Masih dengan menggunakan seorang bangsawan dari keluarga
Kardinal Mortaro sebagai model. Latar dan alam benda yang tergambar dengan
tempera itu bertaut erat bukan dengan kemelaratan para rasul di Palestina, tapi
dengan zaman Italia abad ke-15: gelas anggur, pisau, garpu, dan keramik cantik
terletak di taplak meja yang bersulam. Semuanya mirip benda yang digunakan para
penghuni biara Santa Maria delle Grazie di Milano, tempat lukisan itu muncul di
dinding batu.
Memang ada
ambiguitas di sini: kekekalan itu disampaikan dalam kekinian—satu hal yang juga
dilakukan oleh Emil Nolde, pelukis ekspresionis Jerman di awal abad ke-20, yang
melukis Perjamuan Terakhir dengan goresan kuas yang kasar, warna merah yang
pedih, garis yang bersahaja, dan suasana persatuan penuh tekad seperti dalam poster
perjuangan buruh. Leonardo—yang melukis adegan Injil di biara itu bukan atas
pesanan Gereja, melainkan penguasa Milano, Ludovico Sforza—tentu juga sadar
bahwa karyanya hidup dalam zaman yang disebut Walter Benjamin sebagai masa
”pasca-aura”. Ia, yang juga seorang ilmuwan, tak hendak membuat berhala, tak
ingin membuat aikon.
Beda antara
berhala (l’idole) dan aikon (l’icône) seperti yang dipaparkan Jean-Luc Marion,
filosof Katolik dari Prancis itu, pada dasarnya beda cara bersikap terhadap
Tuhan. Berhala adalah ketika tatapan dan konsep manusia merasa mampu
merumuskan-Nya. Aikon adalah peristiwa ketika Allah memberikan diri-Nya sebagai
karunia cahaya yang demikian berlimpah, hingga manusia tak mampu melihat-Nya,
dan yang terasa adalah gelap—ya, gelap yang gemilang.
Di situlah
manusia ada dalam kerinduannya yang tak sampai. Leonardo telah mencatat hal itu
pada suatu hari di abad ke-15.
Goenawan Mohamad
No comments:
Post a Comment