Koran Jakarta, Kamis, 28 Juni 2012
Oleh Abdul Wahid, dosen pascasarjana Unisma Malang
"Jika manusia masih tetap jahat dengan adanya agama, bagaimana lagi
jika tiada agama?" Demikian pernyataan mantan deklarator kemerdekaan Amerika,
Benjamin Franklin. Pernyataan itu mengingatkan atau menohok setiap pemeluk
agama di mana pun agar hidup jauh dari kejahatan.
Masyarakat dari hari ke hari belum menampakkan sebuah komunitas yang
benar-benar religius. Agama lebih banyak hanya pada tataran formalitas.
Agama menjadi sinetron ritualitas.
Bangsa ini sudah terbiasa atau
"mentradisikan" korupsi dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali
di tempat yang berlabel "agama" seperti Kementerian Agama (kemenag). Dari waktu ke waktu, Kemenag memang
menjadi "juara" kebocoran anggaran. Beberapa waktu lalu hal itu juga
ditunjukkan sebuah survei. Yang teranyar adalah dugaan kebocoran dalam
pengadaan kitab suci Al Quran.
Pengadaan barang di suatu kementerian atau institusi memang sulit dikatakan
tak tersentuh dari praktik penyalahgunaan. Dalam kasus di Kemenag, tetap harus
dikedepankan prinsip praduga tak bersalah.
Dugaan kasus korupsi pengadaan di Kemenag itu (jika terbukti) merupakan
sampel bahwa korupsi merupakan penyakit yang sudah menyebar ke mana-mana dan
bisa melibatkan siapa saja. Tokoh apa pun, baik itu agama, politik, budaya,
ekonomi, maupun pendidikan semakin terlihat tidak steril dari kemungkinan
tergoda atau malahan sudah terjerumus dalam sistem dan budaya korupsi.
Seorang sosiolog besar seperti Gunnar Myrdal telah menunjukkan bahwa suatu
negara disebut lembek (soft state) ketika mentalitas kerja birokrat atau
pejabat-pejabat negaranya lamban, indisipliner, dan sering menyalahgunakan
kewenangan. Mentalitas demikian inilah yang membuat kehidupan negara menjadi
karut-marut.
Wajah karut-marut tersebut pun juga dapat terbaca bahkan dalam setiap kali
ada bencana alam atau tragedi kemanusiaan. Dalam kesempatan itu, sudah berulang
kali pejabat yang diadili karena mengorup bantuan yang seharusnya dibagikan
kepada para korban. Dalam situasi seperti itu pun, birokrat yang bermental
tidak baik, sempat-sempatnya memikirkan cara memasukkan bantuan ke kantong
sendiri untuk memperkaya diri.
Ucapan Myrdal tersebut sebenarnya tergolong kritik cerdas terhadap setiap
pelayan masyarakat atau birokrat. Myrdal mengidolakan birokrat yang kuat dalam
mengemban pelayanan publik yang selalu mendahulukan kepentingan masyarakat
daripada kepentingan pribadi dan golongan. Dia mengharap birokrat yang
menempatkan etos kerja sebagai napas utama dalam kinerjanya.
Birokrat yang masih suka melakukan malversasi (penyalahgunaan) kewenangan
atau perannya serta indisipliner merupakan penyakit yang tidak hanya merugikan
masyarakat, tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup bangsa dan negara.
Sebagai elemen pemerintahan, birokrat demikian layak disebut sebagai penyebar
dan pembuat "nestapa negara". Mereka ini dipercaya negara untuk
melayani masyarakat, tapi menyalahgunakannya.
Komitmen dan teguh pendirian merupakan senyawa dan konvergensi nilai-nilai
moralitas luhur yang dijadikan tolok ukur keimanan seseorang. Kalau keteguhan
pada janji dan kinerja bermoral bisa ditegakkan, ini merupakan modal besar.
Birokrat yang seperti itu layak disebut orang beragama atau beriman. Yang
demikian ini tidak memiliki penyakit koruptif dalam konstruksi bermasyarakat
dan bernegara.
Seorang birokrat sangat pantas disebut pendusta agama dan pengkhianat
teologis jika aktivitasnya secara individual maupun struktural tidak berdasar
amanat dan keteguhan pada janji. Norma-norma moral yang sering dijadikan objek
pembelajaran dan diformalisasikan sering hanya menghiasai hapalan di kepala dan
ucapan lisan, tapi tidak sampai terinternalisasi secara empirik dalam
perbuatan.
Setiap kali seseorang dilantik penjadi pejabat (birokrat), dituntut
berjanji untuk menegakkan amanat. Di antaranya, janji akan menjalankan tugas
sebagai pelayan (pengabdi) umat. Janji tidak akan menerima dan meminta sesuatu
dari orang lain yang berhubungan dengan jabatannya. Janji tidak melakukan
perbuatan tercela yang merugikan masyarakat.
Dalam janji yang terucap itu, birokrat sangat fasih melantunkan kata-kata
suci yang melibatkan nama Tuhan di dalamnya. Misalnya "Demi Allah, saya
akan menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya." Janji
ini tidak main-main karena dari ucapannya ini, birokrat menyerahkan dirinya
dalam "perjanjian ketuhanan". Itu memosisikan problem kerakyatan
menjadi muatan istimewa dalam napas dan geraknya.
Janji seperti itu seharusnya merupakan pengejawentahan iman seseorang yang
dilafalkan secara lisan. Namun, itu seharusnya dilanjutkan dan dikembangkan
dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan kerja. Itu juga harus dipraktikkan
dalam aktivitas yang berkaitan dengan peran-peran strategis dan fundamental seperti
menjaga dan mendistribusikan kesejahteraan untuk rakyat secara benar.
Jika janji tersebut diingkari (karena dikalahkan praktik penyelingkuhan
jabatan), perbuatan ini dapat disebut sebagai "korupsi" yang sejati.
Korupsi pengadaan barang merupakan salah satu sampel dari korupsi makro bangsa
yang sudah mengakar dan tampaknya akan terus menjamur.
Ikrar birokrat yang berdimensi religius itu seharusnya menguatkan tekad dan
komitmennya untuk menjadi pengabdi negara dan rakyat, bukannya malah
menjerumuskan diri dalam kriminalisasi jabatan.
Ikrar merupakan sumpah yang secara teologis seharusnya membuat birokrat
mampu berjalan lurus dalam menegakkan kebenaran dan melawan siapa saja yang
bermaksud melakukan kriminal.
Maka dari itu, peristiwa yang menimpa masyarakat harus menjadi amanat utama
yang tidak boleh dikalahkan kepentingan keluarga, apalagi berburu kepentingan
sekunder dan tersier. Sebagai amanat utama, tentu saja birokrat harus
benar-benar bisa memahami "bahasa" kondisi kemaslahatan masyarakat
dan bukan menjadikan kepentingan fundamental sebagai objek rekayasa tipu
muslihat.
Amanat yang diucapkan birokrat dengan janji, yang di dalam janjinya ini
terbingkai perikatan nilai-nilai moral spiritualitas, akan menjadi amanat
kosong atau sebatas "macan kertas" jika kondisi kebuntuan fundamental
masyarakat yang secara umum sudah dipercayakan kepadanya, ternyata dinafikan,
didegradasikan, atau dianggap bukan tanggung jawabnya.
Negeri ini akan semakin kesulitan membersihkan dirinya dari stigma sebagai
republik absolutisme korupsi bilamana setiap elite agamanya juga terjerumus
atau bahkan bangga menikmati korupsi. Korupsi yang dilakukan para penguasa atas
tegaknya moralitas bangsa dapat berdampak kehancuran kredibilitas negara.
Rakyat tidak percaya lagi. Rakyat akan menempatkan negara tak ubahnya
sebagai sumber kejahatan serius dan bukan sebagai organisasi sakral yang
memikirkan nasib rakyat. Kasus dugaaan penyelewengan di Kemenenag harusnya
titik balik meningkatkan kewaspadaan diri bahwa korupsi itu tidak pilih-pilih
tempat.
No comments:
Post a Comment