"All men are created equal; that they are
endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are
life, liberty, and the pursuit of happiness (Thomas Jefferson)
Akhirnya usai sudah perhelatan akbar Euro 2012.
Selamat kepada pemenang. Dan bagi timnas yang kalah, yang berjumlah 15 negara,
tidak perlu berputus asa. Masih ada harapan untuk menggapai kemenangan empat
tahun mendatang di ajang Euro 2016, yang akan digelar di Prancis.Toh, baik
menang atau kalah,sama-sama merupakan bagian dari permainan.
Namun ada satu hal yang belum bisa dikalahkan
di Euro 2012, yakni rasisme.Jika berbicara isu satu ini, seolah ada kontradiksi.
Di satu sisi, sepak bola, di ajang
manapun, termasuk Euro, hendak mempromosikan semangat persaudaraan antar
manusia. Namun di sisi lain, justru masih terjadi
rasisme yang merendahkan martabat manusia.
Seperti diketahui, rasisme lahir dari etnosentrisme
yang mengagungkan superioritas ras
tertentu atas ras lain. Ini naluri primitif yang ada dalam semua peradaban.
Orang Haiti misalnya, yakin merekalah orang pertama yang diciptakan para dewa,
baru kemudian suku bangsa lain. Orang kulit hitam, yang kerap dijadikan sasaran
rasis, juga diyakini oleh apra rasis kulit putih sebagai orang yang tidak memiliki
jiwa.
Menyedihkan bahwa rasisme masih terus terjadi
dan dibawa ke ranah bola. Padahal seorang Mario Balotelli, Theo Walcott, Asley
Cole atau pemain bola berkulit hitam di Euro kali ini tidak bisa memilih hendak
lahir berkulit apa. Tapi toh Tuhan sudah menciptakan manusia berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku, agar kita saling mengisi dan berbagi. Sayang dalam kenyataan,
perbedaan ras dan warna kulit, justru diselewengkan sehingga terciptalah tindakan
rasis.
Upaya Otoritas Bola
FIFA, otoritas tertinggi sepak bola dunia
pernah menunjuk Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010.Salah satu
tujuannya agar perhelatan akbar sepak bola dunia bisa efektif melawan rasisme,
karena untuk pertama kali digelar di benua hitam. Apalagi Afsel dulu amat rasis karena rejim apartheid-nya. FIFA
juga terus gencar mengkampanyekan slogan “Say No To Racism”. Tiap nonton siaran
langsung Euro, kita juga diajak “Unite Againts Racism”.
Tapi rasisme tak mudah dikalahkan.Kita tentu
merasakan betapa pahitnya orang yang dihina sebagai monyet, dilempari pisang, hanya
karena warna kulitnya. Pantas Mario Balotelli, anak imigran asal Ghana yang membela
Italia, sebelum Euro dimulai, sudah
mengancam akan membunuh siapapun yang berlaku rasis terhadap dirinya. Balotelli
atau pemain lain, merasakan benar sakitnya dicemooh sebagai “kera”. Maka
EUFA-pun memberi denda tinggi pada asosiasi sepak bola peserta Euro, yang
suporternya berlaku rasis, seperti Rusia atau Kroasia.
Para rasis
ini jelas ingin dengan sengaja merusak dan menodai citra sepakbola sebagai
olahraga yang mempersatukan umat manusia.
Jika
dikaji lebih dalam, rasisme jelas
bertentangan akal sehat dan spirit multikulturalisme. Sepakbola merupakan
olahraga yang sangat cocok dengan ‘spirit’ multikulturalisme, karena semua ras,
semua umat beragama, bahkan yang ateis atau agnotis sekalipun tidak dilarang
untuk menyukai sepak bola. Bahkan bermainpun tidak dilarang.
Maka di ajang Euro kali ini, kita juga melihat contoh betapa spirit multikulturalisme juga mendapat
tempat. Kita bisa melihat semangat itu
dari keragaman latar belakang warna kulit, etnis, kultural, dan bahkan agama
para pemain dalam sebuah timnas..Hampir tidak ada satu timnaspun yang pemainya
berlatar belakang etnis atau ras yang homogen. Menurut paradigma
multikulturalisme, dalam sepak bola-seorang pemain dihargai dan diakui
sepakterjangnya bukan berdasarkan warna kulit, tetapi berdasarkan prestasi dan kemampuannya.
Semangat multikulturalisme juga ingin menghargai keragaman dan perbedaan
sebagai rahmat. Simak saja ke 16 peserta Euro 2012, masing-masing tim selalu
memiliki pemain berkulit hitam atau bukan murni ras kulit putih khas Eropa.Kita
sudah melihat bagaimana pemain bola yang berkulit putih atau hitam ternyata
bisa bekerja sama melahirkan kemenangan.Perbedaan warna kulit ternyata bukan
merupakan sebuah kutukan.
Multikulturalisme memang bertujuan agar manusia
yang beragam dan berbeda bisa menciptakan kerjasama, kesederajatan dan saling mengapresiasi
di dalam sebuah dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.
Unite Againts Racism
Meski demikian, multikultarisme tidak ada
artinya jika kita tidak terus melakukan perlawanan lewat jalur humanisasi.
Lewat slogan “Katakan tidak pada rasisme”, FIFA sesungguhnya tengah melakukan
humanisasi agar sepakbola menjadi sarana
untuk mewujudkan nilai-nilai dan harapan universal umat manusia yang setara
derajatnya. Bila hingga Euro kali ini, rasisme belum bisa dikalahkan, kita
jangan menyerah.Menurut Presiden Barack Obama, yang kenyang jadi korban
rasisme, perjuangan melawan rasisme merupakan perjuangan panjang.Maka kita harus bersatu
melawan rasisme.
Maka di tengah euforia Euro, kalimat Thomas Jefferson di awal tulisan ini bisa dijadikan “warning”. Jangan lupa rasisme juga terjadi di sepak bola kita. Menurut filsuf dan deklarator kemerdekaan Amerika itu, “Manusia diciptakan setara. Mereka juga dianugerahi Sang Pencipta, hak pasti yang tak boleh dirampas orang lain, yakni hak akan kehidupan, kebebasan dan kebahagiaan”
No comments:
Post a Comment