Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 07 Juli 2012
Pada 2011, Kementerian Agama dinilai sebagai lembaga negara yang paling korup dalam sebuah survei oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini masyarakat kembali dibuat kaget ketika KPK mengumumkan akan memulai penyelidikan tentang penyimpangan proyek pengadaan salinan kitab suci Al-Quran di Kemenag. KPK telah menetapkan anggota Komisi VIII, Zulkarnaen Djabar, sebagai tersangka. KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap tersangka lain yang juga putra sulung Zulkarnaen, Dendy Prasetya. Dendy adalah Direktur Utama PT Sinergi Alam Indonesia yang memenangi tender pengadaan Al-Quran senilai Rp 20 miliar pada 2011 dan proyek alat laboratorium madrasah tsanawiah Rp 30 miliar.
Sungguh mengejutkan bahwa skandal korupsi kini tidak main-main dan sekadar melabrak jalur profan semata. Hal-hal yang dianggap umat Islam sakral seperti Al-Quran juga tak kalah telak dibabat habis oleh kasus suap tersebut. Bisa dikatakan bahwa skandal korupsi pengadaan kitab suci Al-Quran tersebut merupakan potret dari model dan ekspresi keberagamaan umat yang terbelah (split religiousness). Dalam konteks ini, skandal korupsi kitab suci tersebut sejatinya menjelaskan sejumlah hal kepada masyarakat.
Pertama, mengendurnya spirit monoteistik di kalangan sementara pejabat Islam. Dalam konteks Islam, spirit monoteistik ini disebut tauhid. Kekuatan tauhid tegak di atas konsepihsan atau muraqabah, yang selalu memiliki kesadaran utuh tentang keberadaan Ilahi kapan dan di mana saja. Kesadaran tauhid membuat seseorang mandiri dan tidak terjebak pada mentalitas shortcut yang mendorong pelanggaran--korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau kezaliman--terlepas dari ada-tidaknya pengawasan melekat. Hadirnya pelbagai penyimpangan di Kemenag ini agaknya terkait erat dengan pemahaman akidah dan proporsi tauhid yang mulai parsial. Allah cuma dihadirkan pada dimensi ibadah mahdhah (murni) dan dilupakan dalam ranah ibadah ghairu mahdhah(bukan murni ritual); Allah disembah ketika salat, namun diabaikan dalam layanan publik; lengkap-tidaknya syarat dan rukun puasa diperhatikan, namun penyimpangan administrasi publik dianaktirikan.
Ketakutan menjadi miskin atau tak mendapatkan jatah rezeki sehingga membuat oknum politikus dan pejabat Kemenag korupsi menunjukkan bahwa mereka lebih galau dengan keterbatasan manusiawi daripada keyakinan ilahiah yang menyandarkan diri kepada Allah sebagai sumber pemberi rezeki yang Maha Adil. Dalam beberapa hal, kuatnya kecenderungan fikihisme di kalangan umat Islam menyumbang atas menguatnya pola pikir dan kecenderungan hitam-putih dalam memahami teks-teks Tuhan. Hal tersebut menyebabkan orang beribadah sekadar menggugurkan kewajiban, namun lengah pada substansiasi pesan-pesan Al-Quran. Korupsi dan penyalahgunaan jabatan hanyalah efek dari keberagamaan umat yang cenderung mementingkan legalitas atau orientasi fikih an sich, sehingga menutup pintu bagi transformasi ayat-ayat Allah dalam kehidupan masyarakat.
Kedua, menguatnya sekularisme dalam lembaga-lembaga keagamaan. Persoalan sekularisme memang masih menjadi perdebatan sengit di kalangan Islam. Sejatinya, sekularisme memisahkan agama sebagai wilayah privat dan terpisah dari urusan publik seperti kenegaraan atau pemerintahan. Hanya, benih-benih sekularisme di Kemenag atau politikus muslim yang korup timbul dalam bentuk pemberhalaan terhadap sisi spiritualisme seremonial yang menisbikan aspek humanisme yang merupakan bagian dari wilayah publik. Penekanan aspek spiritualitas secara ekstrem menyebabkan kegagapan dalam menghadapi tuntutan modernitas. Bobroknya penyelenggaraan ibadah haji, korupsi pengadaan Al-Quran tersebut, dan dugaan proyek alat laboratorium madrasah tsanawiah menunjukkan bahwa profesionalisme, sebagai bagian penting modernitas, betul-betul menjadi kredo yang lepas dari keimanan.
Sekularisme ala Kemenag dan politikus korup ini tidak bakal mampu menciptakan spirit aktivisme di tubuh lembaga negara tersebut. Apalah artinya dana besar-besaran untuk Musabaqah Tilawatil Quran dan perayaan hari-hari besar Islam tanpa mampu melakukan transformasi umat. Tanpa disadari sikap nir-profesionalisme, sebuah upaya yang sebetulnya menutup diri terhadap modernitas, pada gilirannya akan membentuk struktur institusi agamis yang bersifat imajiner. Dengan kata lain, bersikap menolak sekularisme dengan cara menjadi sekuler, menolak sistem etik sekuler tapi bertindak dengan etika sekuler; antusiasme ibadah ritual namun apatisme ibadah sosial, mengadakan acara keagamaan dengan biaya besar, sedangkan warga banyak kelaparan.
Ketiga, tumpulnya model keberagamaan yang rasional. Ciri utama rasionalitas keberagamaan adalah menempatkan akal pikiran sebagai salah satu pemandu beribadah, sehingga orang tidak beragama secara ikut-ikutan. Banyaknya fenomena pejabat dan politikus muslim yang tampak berkepribadian ganda dalam beragama--berkerudung atau menggunakan kopiah haji di pengadilan setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, rajin memberikan donasi atau charity tapi juga kerap melakukan praktek suap dan tukang palak rakyat--menunjukkan bahwa pola keberagamaan mayoritas pejabat atau politikus berseberangan dengan logika dan rasionalitas pesan-pesan Allah. Pudarnya keberagamaan rasional berkelindan dengan kecenderungan sebagian pejabat atau umat Islam sendiri atas pentingnya prinsip kontinuitas (istimrar) dalam beragama. Beragama secara emosional lazimnya melahirkan keimanan yang naik-turun secara drastis karena melupakan prinsip utama bahwa ibadah dalam beragama adalah aktivitas jangka panjang, bukan parsial, dan tidak bersifat moody.
Lebih lanjut, absennya keberagamaan rasional ini kian memperluas jurang diskrepansi antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan antar-manusia--kuat dalam ibadah ritual tapi korupsi jalan terus--sehingga menimbulkan kesan bahwa ada kalanya agama dibela mati-matian, tapi lain kali agama diposisikan sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Pendeknya agama lalu tidak menjadi sumber pencerahan. Kuat dugaan bahwa redupnya rasionalitas keberagamaan ini terkait erat dengan lengahnya umat terhadap pentingnya filsafat dalam beragama. Konsekuensinya adalah banyak yang beragama sekadar nglakoni yang ada tanpa disertai pemikiran kritis. Lemahnya pengaruh filsafat dalam beragama telah mengerangkeng mindset pemikiran umat secara "hitam-putih", sehingga berujung tidak hanya pada konflik di antara kelompok-kelompok yang berbeda paham, tapi juga membuat disconnected antara loyalitas Ilahi dan dedikasi kemanusiaan.
Standar-standar keberagamaan dualistis, yang terlihat dari perilaku politikus dan pejabat muslim yang korup dan menyalahgunakan jabatannya, tak akan lahir dari rahim keberagamaan yang rasional. Model keberagamaan demikian memandang bahwa wilayah sakral dan profan adalah entitas yang saling menggenapi, dan bukan sesuatu yang kontras dalam memenuhi panggilan Ilahi yang Maha Suci
No comments:
Post a Comment