Sri Palupi, KETUA INSTITUTE FOR ECOSOC RIGHTS
Sumber : KOMPAS, 9 Desember 2011
Menanggapi Amnesty International terkait konflik dan kekerasan di Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menyatakan tak ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Pernyataan presiden ini memunculkan dua persoalan. Pertama, presiden punya pandangan dan ukuran sendiri soal hak asasi. Kedua, pelanggaran hak asasi dipahami sebatas pelanggaran hak sipil politik yang tampak dalam bentuk tindakan kekerasan. Presiden tak memperhatikan akar soal kekerasan dan konflik berkepanjangan. Padahal, pada banyak kasus, pelanggaran hak sipil politik berakar pada pengabaian atas hak ekonomi, sosial, budaya. Dalam kasus Papua selama ini kita lebih banyak mendengar kematian warga akibat pelanggaran hak sipil politik dalam bentuk kekerasan. Sementara itu, ratusan warga Papua yang mati akibat penyakit dan buruknya pelayanan kesehatan tak cukup mendapat perhatian. Pada 2008, misalnya, tak kurang dari 173 orang Papua tewas akibat kolera.
Kematian akibat penyakit dan buruknya layanan kesehatan masih berlangsung hingga sekarang karena 90 persen desa di Papua tak mendapat akses atas pelayanan publik dan 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam kemiskinan. Sekolah-sekolah tingkat dasar di Papua bertahun-tahun dibiarkan tanpa guru dan buku. Semua kondisi yang menunjukkan penolakan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya ini belum dilihat sebagai persoalan serius terkait pelanggaran HAM.
Tak hanya dalam kasus Papua pemerintah abai terhadap pelaksanaan hak ekonomi, sosial, budaya. Dalam banyak kasus terkait kemiskinan dan pembangunan, pemerintah cenderung menolak hak ekonomi, sosial, budaya. Penolakan itu terjadi sudah sejak dalam pikiran!
Sejak Dalam Pikiran
Penolakan terhadap hak ekonomi, sosial, budaya sudah dimulai sejak pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi dan produk domestik bruto (PDB) sebagai indikator pembangunan. Dengan memilih indikator ini, pemerintah menyadari konsekuensinya: kebijakan dan program pembangunan bias pada kalangan atas yang, meski jumlahnya kecil, berkontribusi tinggi terhadap PDB. Pemerintah mengesampingkan soal ketakadilan!
Dalam pemerintahan yang mengedepankan citra, ketakadilan tentu saja tak boleh terkuak secara telanjang. Perlu ada mekanisme mengaburkannya melalui, misalnya, penetapan indikator kemiskinan dan pengangguran yang terlalu rendah. Pengangguran dihitung dengan ukuran bekerja kurang dari satu jam dalam seminggu, yang jauh dari standar internasional: 35 jam per minggu.
Dalam hal ini pemerintah memaksakan anggapan bahwa dengan bekerja satu jam seminggu orang sudah dapat hidup layak. Sementara itu, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan yang nilainya kurang dari Rp 8.000 sehari. Dengan penghasilan kurang dari Rp 8.000 per hari, orang dianggap bisa makan kenyang dan memenuhi kebutuhan sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Selain tak logis, penggunaan indikator seperti itu juga tak manusiawi dan berpotensi melanggar HAM. Jutaan orang miskin bisa kehilangan akses mendapatkan intervensi dari pemerintah hanya karena kondisi mereka berada sedikit di atas kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Padahal, dalam perspektif hak asasi, kemiskinan bukanlah sekadar perkara kurangnya pendapatan, tetapi juga perkara hilangnya kapabilitas dan peluang hidup bermartabat, rentan, dan tak berdaya. Kemiskinan adalah kondisi tak terpenuhinya hak asasi. Karena itu, dalam mengatasi kemiskinan dengan perspektif HAM, kelompok miskin tak dipandang sebagai korban yang tak punya daya, tetapi sebagai subyek hukum sekaligus aktor yang memiliki hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Indikator (kemiskinan) itu sendiri pada dasarnya memiliki peran sebagai penunjuk arah kebijakan yang perlu diambil pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Dengan memilih indikator yang jauh dari norma hak asasi, pemerintah membatasi kebijakannya sekadar untuk mengatasi kemiskinan absolut dan bukan untuk menjalankan hak ekonomi, sosial, budaya.
Potret pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya tak berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Melambungnya harga bahan kebutuhan pokok melatarbelakangi serangkaian kematian warga miskin pada awal 2011 akibat kegagalan memenuhi kebutuhan dasar pangan. Rentan pangan dan gizi warga tampak dari fakta: dari 33 provinsi, hanya 8 provinsi yang memiliki prevalensi penderita masalah gizi di bawah 15 persen. Mayoritas provinsi masih di atas 20 persen. Angka penderita gizi kronis secara nasional masih sangat tinggi: 35,6 persen.
Meski prevalensi anak balita penderita masalah gizi dinyatakan terus menurun, pemerintah sendiri menilai penurunan itu tak signifikan. Soalnya, komitmen pemerintah membiayai pelayanan kesehatan masih sangat rendah, terlihat dari pos anggaran untuk kesehatan yang kurang dari 2 persen dan menurunnya kegiatan posyandu hingga 40 persen. Selain itu, masih ada problem terkait akurasi data kesehatan dan gizi, termasuk angka kematian ibu.
Rawan Pangan
Di tengah ancaman rawan pangan, para petani selaku produsen pangan utama masih dihadapkan pada konflik agraria. Empat bulan pertama tahun 2011 konflik agraria membuat 11 petani kehilangan nyawa, puluhan petani terluka, ratusan rumah dan tanaman rusak.
Belum lagi peningkatan lahan kritis yang mencapai 2,8 juta hektar per tahun dan alih fungsi lahan yang tak dikendalikan. Tak heran, ketika angka kemiskinan dinyatakan kian turun, orang miskin di pedesaan justru meningkat dari 63,35 persen (2009) menjadi 64,23 persen (2010).
Di sektor lingkungan hidup, kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2011 menunjukkan ada tren peningkatan bencana di Indonesia, dari 190 kejadian (2002) menjadi 930 kejadian (2010). Peningkatan ini tak terlepas dari status Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. Dari 180 juta hektar hutan yang ada di Indonesia, tinggal 23 persen saja atau 43 juta hektar yang masih terbebas dari rusak.
Di sektor perburuhan, pemerintah gagal mewujudkan perlindungan bagi pekerja rumah tangga, baik di dalam maupun di luar negeri. Rendahnya kualitas perlindungan terlihat dari fakta bahwa dalam satu tahun terakhir, 100 TKI meninggal di Arab Saudi tanpa pembelaan.
Sementara itu, Migrant Care mencatat tahun 2009 sedikitnya 1.018 TKI meninggal di luar negeri dan tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 1.075 orang. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, revisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI, dan janji ratifikasi konvensi perlindungan pekerja migran belum jelas nasibnya.
Di bidang pendidikan, akhir 2011 ditandai oleh ambruknya sejumlah bangunan sekolah di daerah dan kota-kota besar. Meski Presiden SBY berjanji perbaikan bangunan sekolah rusak akan selesai pada 2008, kenyataannya masih terdapat 20,97 persen bangunan SD dan 20,06 persen bangunan SMP rusak.
Kalau bangunan sekolahnya saja roboh, sulit bicara soal mutu pendidikan. Dari 201.557 sekolah yang ada, hanya 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan. Bisa dimengerti, peringkat Indonesia dalam Indeks Pembangunan Pendidikan untuk Semua pada 2011 turun dari posisi ke-69 ke posisi ke-65 dari 127 negara. Salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak SD putus sekolah setiap tahun. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia juga merosot tajam, dari posisi ke-108 (dari 169 negara) menjadi ke-124 (dari 187 negara).
Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya menegaskan bahwa negara wajib menjalankan setiap hak yang dijamin dalam kovenan dengan maksimum sumber daya yang ada. Untuk itu, negara wajib melakukan berbagai langkah menjalankan sepenuhnya hak yang ada dalam kovenan melalui langkah legislatif, administratif, yudisial, ekonomi, sosial, dan edukasi.
Selain langkah legislatif, pemerintah belum banyak melakukan kewajiban untuk merealisasikan hak. Salah satu hambatan melaksanakan hak ekonomi, sosial, budaya adalah pilihan kebijakan ekonomi yang pro-pasar bebas, minimnya pendidikan publik terkait hak ekonomi, sosial, budaya, dan berlangsungnya impunitas terhadap pelaku pelanggaran hak.
Berlangsungnya impunitas ini diperburuk belum adanya mekanisme komplain dan penyelesaian pelanggaran hak melalui jalur pengadilan serta pemulihan dan rehabilitasi korban. Berbeda dengan hak sipil politik; hak ekonomi, sosial, budaya masih dianggap bukan hak asasi.
Selain disahkannya UU Penanggulangan Fakir Miskin dan UU Badan Pengelola Jaminan Sosial, satu kemajuan patut dicatat terjadi pada tahun 2011. Pemerintah terbuka mengaku ihwal ketakakuratan data statistik di bidang kesehatan dan gizi, produksi dan konsumsi, guru, dan kemiskinan.
Hak ekonomi, sosial, budaya sudah terjadi sejak dalam pikiran dalam bentuk pengukuran kemiskinan dengan angka: manipulasi angka kemiskinan dan menjadikan pengurangan kemiskinan absolut tujuan utama, bukan pencapaian kesejahteraan.
Friday, March 30, 2012
Pilot yang Salah Pesawat
Sri Palupi, KETUA INSTITUTE FOR ECOSOC RIGHTS
Sumber : KOMPAS, 2 Februari 2012
Para pembantu Presiden SBY menepis tudingan bahwa Indonesia dijalankan dengan otopilot. Bahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memuji SBY sebagai pilot andal.
Alasannya, di tangan SBY, pertumbuhan produk domestik bruto 6,5 persen, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi yang diberikan lembaga pemeringkat internasional.
Tak ada yang salah dengan pujian bahwa SBY pilot andal. Hanya saja, para pemuji SBY tutup mata terhadap kenyataan bahwa sebagai pilot, SBY salah masuk pesawat. Bukan pesawat RI yang ia terbangkan, melainkan pesawat asing yang memuat investor asing, komprador, koruptor, dan kalangan yang diuntungkan kebijakan promodal asing. Rakyat tertinggal di pesawat tanpa pilot, terombang-ambing di tengah badai korupsi dan investasi.
Pesawat Asing
Pemerintahan SBY dikenal paling ramah melayani kepentingan asing. Tak heran, banyak pujian dari asing. Bahkan, demi mencapai target investasi, SBY rela mengorbankan kepentingan hajat hidup rakyat. Target investasi yang dibuat pemerintahan SBY Rp 3.100 triliun sampai 2014. Investasinya belum mencapai Rp 1.000 triliun, 75 persen sumber daya alam kita sudah dikuasai asing. Saham-saham penting milik negara sudah beralih kepemilikan ke korporasi asing.
Kepenguasaan asing di pertambangan emas, perak, dan tembaga mencapai 90 persen. Sektor energi 90 persen dikuasai asing. Perbankan nasional juga jatuh ke tangan asing. Sektor telekomunikasi yang strategis, 90 persen dikuasai asing.
Rantai pangan Indonesia tak terlepas dari penguasaan asing. Aliansi untuk Desa Sejahtera mencatat, korporasi asing telah mengontrol perdagangan pangan Indonesia. Syn- genta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai bibit dan agro- kimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM merajai pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co mencengkeram pengolahan pangan dan minuman. Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco jadi penguasa pasar eceran pangan.
Produk petani dan industri dalam negeri tergusur produk impor. Pasar tradisional terdesak mal dan pusat belanja modern. Pedagang kecil kehilangan sumber hidup. Bahan baku industri yang berlimpah lebih banyak dinikmati asing. Negeri ini hanya jadi pasar barang industri bangsa lain sekaligus pemasok bahan baku industri negara lain. Penguasaan aset negara oleh asing dibuat mulus dengan banyaknya UU pro-kepentingan asing.
Amat banyak UU dibuat dengan mengabaikan amanat konstitusi. Setidaknya 76 UU penting terkait hajat hidup rakyat dibuat dengan intervensi asing. Sebagai bangsa, praktis kita sudah kehilangan kedaulatan. Tak hanya atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam berpikir dan menentukan masa depan sendiri pun, kita sudah defisit kedaulatan. Pertumbuhan ekonomi tinggi, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi kebanggaan pemerintahan SBY tak sebanding dengan risiko dan harga yang harus dibayar bangsa ini.
Saat pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berbagai pujian pihak asing, saat itu pemerintah meningkatkan target pengiriman TKI ke luar negeri dan mengampanyekan program perluasan negara tujuan TKI. Lalu, untuk siapa pertumbuhan ekonomi tinggi dan derasnya arus investasi kalau rakyat terus didorong menjadi budak bangsa lain?
Pesawat Otopilot
Sepanjang sejarah Republik, belum pernah rakyat ditelantarkan negara seperti sekarang. Warga mencuri sandal jepit, pisang, semangka, dan biji kakao hanya sedikit gambaran betapa buruk tingkat kesejahteraan. Jangankan sejahtera, jaminan rasa aman pun kian sulit didapat. Pembunuhan, perampokan, penculikan, pelecehan, dan perkosaan di tempat umum kian marak. Kekerasan atas nama agama dan keyakinan terus dibiarkan. Aparat negara sibuk menggendutkan rekening sendiri.
Yang disebut sebagai pembangunan kini tak lebih dari urusan memfasilitasi dan mendorong kalangan berduit gila berbelanja. Daerah sentra industri berubah wajah jadi daerah wisata belanja, dipadati dengan pusat belanja dan factory outlet yang memasarkan produk impor. Kawasan industri dan sentra industri kecil sepi. Pabrik-pabrik tutup.
Deindustrialisasi memaksa rakyat berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri. Hampir 70 persen tenaga kerja di sektor informal. Buruh dipaksa menerima upah yang bahkan tak cukup untuk makan layak tiga kali sehari.
Arus deras investasi yang dibanggakan pemerintahan SBY kian merampas hak hidup rakyat. Yang terjadi di Mesuji dan Bima hanya puncak gunung es konflik agraria yang tak pernah diselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat: konflik agraria meningkat tajam dari 106 kasus (2010) menjadi 163 kasus (2011), melibatkan 69.975 keluarga dengan luas areal konflik 472.048,44 hektar. Petani tewas meningkat dari 3 orang (2010) jadi 22 orang (2011). Ironis bahwa tanah, hutan, dan kekayaan alam diserahkan kepada pihak asing, sementara rakyat yang hanya mempertahankan sejengkal lahan dipaksa meregang nyawa.
Program memperbanyak pengiriman TKI yang dijalankan pemerintahan SBY sesungguhnya upaya menutupi kegagalan pemerintah membangun sektor pendidikan, pertanian, dan industri. Warga didorong bekerja di luar negeri: mayoritas pendidikan mereka SMP ke bawah.
Sementara itu, kapasitas dan integritas pemerintah dalam melindungi TKI sangat rendah. Pada 2011, misalnya, dari 16.014 TKI berkasus, 72,3 persen pulang dengan masa kerja kurang dari enam bulan. Mereka dipulangkan karena kurang terampil dan tak lolos tes kesehatan. Bahkan, pemerintah membiarkan perempuan hamil dipaksa berangkat. Pada tahun sama, sedikitnya 49.000 TKI diberangkatkan tanpa asuransi. Padahal, TKI dibebani biaya sampai Rp 25 juta, termasuk untuk asuransi.
Kalau saja pilotnya andal, ko- rupsi bisa diberantas ke akar: anggaran dan kekayaan alam benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat dan kita tak perlu lagi mengemis pekerjaan dari bangsa lain. Oh, pilot andal untuk rakyat baru sebatas doa....
Sumber : KOMPAS, 2 Februari 2012
Para pembantu Presiden SBY menepis tudingan bahwa Indonesia dijalankan dengan otopilot. Bahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memuji SBY sebagai pilot andal.
Alasannya, di tangan SBY, pertumbuhan produk domestik bruto 6,5 persen, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi yang diberikan lembaga pemeringkat internasional.
Tak ada yang salah dengan pujian bahwa SBY pilot andal. Hanya saja, para pemuji SBY tutup mata terhadap kenyataan bahwa sebagai pilot, SBY salah masuk pesawat. Bukan pesawat RI yang ia terbangkan, melainkan pesawat asing yang memuat investor asing, komprador, koruptor, dan kalangan yang diuntungkan kebijakan promodal asing. Rakyat tertinggal di pesawat tanpa pilot, terombang-ambing di tengah badai korupsi dan investasi.
Pesawat Asing
Pemerintahan SBY dikenal paling ramah melayani kepentingan asing. Tak heran, banyak pujian dari asing. Bahkan, demi mencapai target investasi, SBY rela mengorbankan kepentingan hajat hidup rakyat. Target investasi yang dibuat pemerintahan SBY Rp 3.100 triliun sampai 2014. Investasinya belum mencapai Rp 1.000 triliun, 75 persen sumber daya alam kita sudah dikuasai asing. Saham-saham penting milik negara sudah beralih kepemilikan ke korporasi asing.
Kepenguasaan asing di pertambangan emas, perak, dan tembaga mencapai 90 persen. Sektor energi 90 persen dikuasai asing. Perbankan nasional juga jatuh ke tangan asing. Sektor telekomunikasi yang strategis, 90 persen dikuasai asing.
Rantai pangan Indonesia tak terlepas dari penguasaan asing. Aliansi untuk Desa Sejahtera mencatat, korporasi asing telah mengontrol perdagangan pangan Indonesia. Syn- genta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai bibit dan agro- kimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM merajai pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co mencengkeram pengolahan pangan dan minuman. Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco jadi penguasa pasar eceran pangan.
Produk petani dan industri dalam negeri tergusur produk impor. Pasar tradisional terdesak mal dan pusat belanja modern. Pedagang kecil kehilangan sumber hidup. Bahan baku industri yang berlimpah lebih banyak dinikmati asing. Negeri ini hanya jadi pasar barang industri bangsa lain sekaligus pemasok bahan baku industri negara lain. Penguasaan aset negara oleh asing dibuat mulus dengan banyaknya UU pro-kepentingan asing.
Amat banyak UU dibuat dengan mengabaikan amanat konstitusi. Setidaknya 76 UU penting terkait hajat hidup rakyat dibuat dengan intervensi asing. Sebagai bangsa, praktis kita sudah kehilangan kedaulatan. Tak hanya atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam berpikir dan menentukan masa depan sendiri pun, kita sudah defisit kedaulatan. Pertumbuhan ekonomi tinggi, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi kebanggaan pemerintahan SBY tak sebanding dengan risiko dan harga yang harus dibayar bangsa ini.
Saat pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berbagai pujian pihak asing, saat itu pemerintah meningkatkan target pengiriman TKI ke luar negeri dan mengampanyekan program perluasan negara tujuan TKI. Lalu, untuk siapa pertumbuhan ekonomi tinggi dan derasnya arus investasi kalau rakyat terus didorong menjadi budak bangsa lain?
Pesawat Otopilot
Sepanjang sejarah Republik, belum pernah rakyat ditelantarkan negara seperti sekarang. Warga mencuri sandal jepit, pisang, semangka, dan biji kakao hanya sedikit gambaran betapa buruk tingkat kesejahteraan. Jangankan sejahtera, jaminan rasa aman pun kian sulit didapat. Pembunuhan, perampokan, penculikan, pelecehan, dan perkosaan di tempat umum kian marak. Kekerasan atas nama agama dan keyakinan terus dibiarkan. Aparat negara sibuk menggendutkan rekening sendiri.
Yang disebut sebagai pembangunan kini tak lebih dari urusan memfasilitasi dan mendorong kalangan berduit gila berbelanja. Daerah sentra industri berubah wajah jadi daerah wisata belanja, dipadati dengan pusat belanja dan factory outlet yang memasarkan produk impor. Kawasan industri dan sentra industri kecil sepi. Pabrik-pabrik tutup.
Deindustrialisasi memaksa rakyat berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri. Hampir 70 persen tenaga kerja di sektor informal. Buruh dipaksa menerima upah yang bahkan tak cukup untuk makan layak tiga kali sehari.
Arus deras investasi yang dibanggakan pemerintahan SBY kian merampas hak hidup rakyat. Yang terjadi di Mesuji dan Bima hanya puncak gunung es konflik agraria yang tak pernah diselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat: konflik agraria meningkat tajam dari 106 kasus (2010) menjadi 163 kasus (2011), melibatkan 69.975 keluarga dengan luas areal konflik 472.048,44 hektar. Petani tewas meningkat dari 3 orang (2010) jadi 22 orang (2011). Ironis bahwa tanah, hutan, dan kekayaan alam diserahkan kepada pihak asing, sementara rakyat yang hanya mempertahankan sejengkal lahan dipaksa meregang nyawa.
Program memperbanyak pengiriman TKI yang dijalankan pemerintahan SBY sesungguhnya upaya menutupi kegagalan pemerintah membangun sektor pendidikan, pertanian, dan industri. Warga didorong bekerja di luar negeri: mayoritas pendidikan mereka SMP ke bawah.
Sementara itu, kapasitas dan integritas pemerintah dalam melindungi TKI sangat rendah. Pada 2011, misalnya, dari 16.014 TKI berkasus, 72,3 persen pulang dengan masa kerja kurang dari enam bulan. Mereka dipulangkan karena kurang terampil dan tak lolos tes kesehatan. Bahkan, pemerintah membiarkan perempuan hamil dipaksa berangkat. Pada tahun sama, sedikitnya 49.000 TKI diberangkatkan tanpa asuransi. Padahal, TKI dibebani biaya sampai Rp 25 juta, termasuk untuk asuransi.
Kalau saja pilotnya andal, ko- rupsi bisa diberantas ke akar: anggaran dan kekayaan alam benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat dan kita tak perlu lagi mengemis pekerjaan dari bangsa lain. Oh, pilot andal untuk rakyat baru sebatas doa....
Kapitalis Global-Lokal
Ferdy Hasiman, PENELITI DI INDONESIA TODAY, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 29 Februari 2012
Banyak pihak di Eropa, Asia, dan Amerika Latin memboikot produk perusahaan transnasional, seperti McDonald’s, Coca-Cola, Pepsi, dan Starbucks, karena mematikan ambisi pebisnis-pebisnis lokal.
Nutrisi yang digadang-gadang dari produk perusahaan transnasional (PT) tak sebanding dengan makanan dan minuman lokal. Produk ini unggul hanya karena embel-embel nama besar negara asalnya: Amerika Serikat.
Kritik Sri Palupi di halaman Opini harian ini pada 2 Februari lalu, ”Pilot yang Salah Pesawat”, berkaitan dengan kondisi Indonesia yang sedang berjumpa dengan kapitalisme. Kritik terutama ditujukan kepada pemimpin kita yang tak berdaya di hadapan kekuasaan PT.
Survei Control Risk Group (2004) menemukan bahwa PT kerap menggunakan tekanan politik dari negara asal untuk mendobrak negara yang bandel. Dari survei itu, hanya 7,6 perusahaan AS dan 9,2 perusahaan negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang tak melalui tekanan politik. Akibatnya, menurut laporan UNCTAD (2007), 78.000 PT berikut produknya membanjiri pasar seluruh dunia dan domestik.
Tak heran jika pedagang aso- ngan yang berjejer di setiap lorong metropolis gagap melihat gerai 7-Eleven, Circle K, dan Lotte Mart. Rumah makan tradisional menjadi tak menarik bagi konsumen karena kehadiran McDonald’s, KFC, Burger King, dan sebentar lagi restoran cepat saji Johnny Rockets (AS) segera hadir di Indonesia. Mobil produk SMK di Solo merupakan produk lokal terbaru yang disambut basa-basi konsumen karena cengkeraman raksasa Honda, Toyota, dan perusahaan mobil Eropa.
Kapitalis Lokal
Palupi hanya menyoroti peru- sahaan asing dan lupa pada peru- sahaan domestik. Padahal, sepak terjang korporasi nasional dan transnasional sama saja: cari untung. Lihat daftar 40 orang kaya Indonesia yang mengakumulasi kekayaan 85,1 miliar dollar AS.
Nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen total PDB 2011: 752 miliar dollar AS. Total kekayaan dan aset mereka terus meningkat. Mereka mengapitalisasi semua bidang pertambangan, eceran, perkebunan, dan pertanian. Tak ada ruang bagi rakyat mengembangkan usaha.
Kapitalis lokal tak susah mencari uang. Mereka bisa cari uang ke bank. Yang menyulitkan mereka: mendapat lahan konsesi dan izin sehingga mereka perlu bersahabat dengan penguasa. Bahkan, ada yang menjadi pengurus dan penguasa partai. Di era otonomi daerah hanya partai yang bisa mengendalikan kepala daerah karena bupati anggota partai tertentu.
Persahabatan kapitalis dan penguasa bukan untuk urusan publik, tetapi untuk kepentingan diri. Kapitalis mendapat kemudahan berbisnis dan penguasa beroleh dana untuk proyek politik selanjutnya. Baik PT maupun korporasi domestik sama-sama buruk: mereka menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepen- tingan privat, membangun kor- poratokrasi merusak demokrasi.
Jika PT memasarkan demokrasi sebagai pintu masuk usahanya ke Indonesia, korporasi lokal malah menjadi pemain dalam sistem demokrasi. Demokrasi bagi korporasi lokal sekadar tunggangan mengakumulasi modal.
Dengan cara seperti itu, mereka mencaplok kekayaan seluruh Nusantara. Genaplah syair Koes Plus, ”orang bilang tanah ki- ta tanah surga”, tetapi dalam genggaman kapitalis, ”tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman”. Dalam genggaman kapitalis lahan dan tanah pertanian warga dicaplok hanya untuk investasi tambang dan pembangunan mal. Maka, baik PT maupun korporasi domestik sama- sama buruk. Keduanya menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepentingan privat, membangun korporatokrasi, dan membuat cita-cita Pancasila dan UUD 1945 jauh dari harapan.
Dalam genggaman kapitalis, model pembangunan kita kian mengarah ke rezim liberal. Liberalisasi membuka pintu bagi pembangunan dari atas ke alas. Model ini menggodai lembaga intermediasi, seperti perbankan, untuk berpihak kepada korporasi berskala raksasa.
Data tahun 2008 menunjukkan betapa bank-bank nasional lebih suka memberi kredit kepada 331 perusahaan raksasa daripada kepada sektor UMKM yang mencapai 44 juta. Rendah- nya akses kredit berakibat langsung pada minimnya daya saing industri dalam negeri. Itu sebab- nya, meski pertumbuhan ekonomi meningkat 6,5 persen dan pendapatan per kapita mencapai Rp 30,8 juta pada 2011, pertumbuhan itu tetap tak menyentuh hidup rakyat kecil.
Secara teoretis, rakyat kecil seperti petani akan mendapat berkah dari pertumbuhan ekonomi jika ekspor digenjot karena menyentuh langsung petani penggarap. Ekspor kita menunjukkan grafik menaik beberapa tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, kenaikan ekspor ditopang beberapa sektor nonmigas seperti kelapa sawit. Persoalannya, meski kelapa sawit salah satu industri yang menopang ekspor Januari-November 2010 (140,65 miliar dollar AS), bukan petani plasma yang mendapat berkah dari kenaikan harga kelapa sawait mentah global, melainkan pengusaha besar sekelas Wilmar Group.
Begitu pun nasib warga sekitar areal tambang emas, nikel, dan mangan. Mereka hanya mendapat secuil berkah kenaikan harga komoditas seperti emas dan mangan. Yang mendapat untung besar: investor tambang. Mengapa warga kecil selalu menjadi korban pembangunan?
Tak Diperhitungkan
Dalam pemerintah korporatokrasi, rakyat kecil tak diperhitungkan. Suara rakyat yang berteriak menegosiasikan hidup mereka di ruang publik tak tersambung ke parlemen. Rakyat hanya konstituen sebelum pemilu. Setelah pemilu, konstituen mereka pemodal yang membiayai mereka dalam kampanye pemilu. Sebab, dalam demokrasi elektoral, pendaftaran partai dan biaya operasional sangat mahal. Perlu dana dari pengusaha, modal asing, dan dana ilegal buat menghidupi partai. Banyaklah politikus terjebak korupsi.
Untuk lolos serbuan KPK, mereka membentuk kartel politik guna melumpuhkan kinerja aparat penegak hukum dan menyabotase setiap aksi pencarian informasi. Kartel politik akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi demokratis. Institusi demokratis tetap dipelihara sebatas simbol tanpa substansi. Pemilu tetap reguler dijalankan, tetapi tak membawa perubahan konkret bagi hidup rakyat kebanyakan. Itu sebabnya, kendati institusi demokratis tampak bekerja, persoalan menyangkut hidup rakyat kebanyakan tak tersentuh kerja institusi itu.
Pemimpin Indonesia perlu belajar dari keberanian mantan Presiden Brasil Lula da Silva mengambil jarak dari kapitalisme global dan menerapkan program prorakyat. Ekonomi Brasil pada 2010 tumbuh 7 persen dan mampu menyerap 2,5 juta angkatan kerja oleh kebijakan perbankan yang baik, proteksi terhadap industri kecil, dan kebijakan land reform yang baik. ●
Sumber : KOMPAS, 29 Februari 2012
Banyak pihak di Eropa, Asia, dan Amerika Latin memboikot produk perusahaan transnasional, seperti McDonald’s, Coca-Cola, Pepsi, dan Starbucks, karena mematikan ambisi pebisnis-pebisnis lokal.
Nutrisi yang digadang-gadang dari produk perusahaan transnasional (PT) tak sebanding dengan makanan dan minuman lokal. Produk ini unggul hanya karena embel-embel nama besar negara asalnya: Amerika Serikat.
Kritik Sri Palupi di halaman Opini harian ini pada 2 Februari lalu, ”Pilot yang Salah Pesawat”, berkaitan dengan kondisi Indonesia yang sedang berjumpa dengan kapitalisme. Kritik terutama ditujukan kepada pemimpin kita yang tak berdaya di hadapan kekuasaan PT.
Survei Control Risk Group (2004) menemukan bahwa PT kerap menggunakan tekanan politik dari negara asal untuk mendobrak negara yang bandel. Dari survei itu, hanya 7,6 perusahaan AS dan 9,2 perusahaan negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang tak melalui tekanan politik. Akibatnya, menurut laporan UNCTAD (2007), 78.000 PT berikut produknya membanjiri pasar seluruh dunia dan domestik.
Tak heran jika pedagang aso- ngan yang berjejer di setiap lorong metropolis gagap melihat gerai 7-Eleven, Circle K, dan Lotte Mart. Rumah makan tradisional menjadi tak menarik bagi konsumen karena kehadiran McDonald’s, KFC, Burger King, dan sebentar lagi restoran cepat saji Johnny Rockets (AS) segera hadir di Indonesia. Mobil produk SMK di Solo merupakan produk lokal terbaru yang disambut basa-basi konsumen karena cengkeraman raksasa Honda, Toyota, dan perusahaan mobil Eropa.
Kapitalis Lokal
Palupi hanya menyoroti peru- sahaan asing dan lupa pada peru- sahaan domestik. Padahal, sepak terjang korporasi nasional dan transnasional sama saja: cari untung. Lihat daftar 40 orang kaya Indonesia yang mengakumulasi kekayaan 85,1 miliar dollar AS.
Nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen total PDB 2011: 752 miliar dollar AS. Total kekayaan dan aset mereka terus meningkat. Mereka mengapitalisasi semua bidang pertambangan, eceran, perkebunan, dan pertanian. Tak ada ruang bagi rakyat mengembangkan usaha.
Kapitalis lokal tak susah mencari uang. Mereka bisa cari uang ke bank. Yang menyulitkan mereka: mendapat lahan konsesi dan izin sehingga mereka perlu bersahabat dengan penguasa. Bahkan, ada yang menjadi pengurus dan penguasa partai. Di era otonomi daerah hanya partai yang bisa mengendalikan kepala daerah karena bupati anggota partai tertentu.
Persahabatan kapitalis dan penguasa bukan untuk urusan publik, tetapi untuk kepentingan diri. Kapitalis mendapat kemudahan berbisnis dan penguasa beroleh dana untuk proyek politik selanjutnya. Baik PT maupun korporasi domestik sama-sama buruk: mereka menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepen- tingan privat, membangun kor- poratokrasi merusak demokrasi.
Jika PT memasarkan demokrasi sebagai pintu masuk usahanya ke Indonesia, korporasi lokal malah menjadi pemain dalam sistem demokrasi. Demokrasi bagi korporasi lokal sekadar tunggangan mengakumulasi modal.
Dengan cara seperti itu, mereka mencaplok kekayaan seluruh Nusantara. Genaplah syair Koes Plus, ”orang bilang tanah ki- ta tanah surga”, tetapi dalam genggaman kapitalis, ”tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman”. Dalam genggaman kapitalis lahan dan tanah pertanian warga dicaplok hanya untuk investasi tambang dan pembangunan mal. Maka, baik PT maupun korporasi domestik sama- sama buruk. Keduanya menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepentingan privat, membangun korporatokrasi, dan membuat cita-cita Pancasila dan UUD 1945 jauh dari harapan.
Dalam genggaman kapitalis, model pembangunan kita kian mengarah ke rezim liberal. Liberalisasi membuka pintu bagi pembangunan dari atas ke alas. Model ini menggodai lembaga intermediasi, seperti perbankan, untuk berpihak kepada korporasi berskala raksasa.
Data tahun 2008 menunjukkan betapa bank-bank nasional lebih suka memberi kredit kepada 331 perusahaan raksasa daripada kepada sektor UMKM yang mencapai 44 juta. Rendah- nya akses kredit berakibat langsung pada minimnya daya saing industri dalam negeri. Itu sebab- nya, meski pertumbuhan ekonomi meningkat 6,5 persen dan pendapatan per kapita mencapai Rp 30,8 juta pada 2011, pertumbuhan itu tetap tak menyentuh hidup rakyat kecil.
Secara teoretis, rakyat kecil seperti petani akan mendapat berkah dari pertumbuhan ekonomi jika ekspor digenjot karena menyentuh langsung petani penggarap. Ekspor kita menunjukkan grafik menaik beberapa tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, kenaikan ekspor ditopang beberapa sektor nonmigas seperti kelapa sawit. Persoalannya, meski kelapa sawit salah satu industri yang menopang ekspor Januari-November 2010 (140,65 miliar dollar AS), bukan petani plasma yang mendapat berkah dari kenaikan harga kelapa sawait mentah global, melainkan pengusaha besar sekelas Wilmar Group.
Begitu pun nasib warga sekitar areal tambang emas, nikel, dan mangan. Mereka hanya mendapat secuil berkah kenaikan harga komoditas seperti emas dan mangan. Yang mendapat untung besar: investor tambang. Mengapa warga kecil selalu menjadi korban pembangunan?
Tak Diperhitungkan
Dalam pemerintah korporatokrasi, rakyat kecil tak diperhitungkan. Suara rakyat yang berteriak menegosiasikan hidup mereka di ruang publik tak tersambung ke parlemen. Rakyat hanya konstituen sebelum pemilu. Setelah pemilu, konstituen mereka pemodal yang membiayai mereka dalam kampanye pemilu. Sebab, dalam demokrasi elektoral, pendaftaran partai dan biaya operasional sangat mahal. Perlu dana dari pengusaha, modal asing, dan dana ilegal buat menghidupi partai. Banyaklah politikus terjebak korupsi.
Untuk lolos serbuan KPK, mereka membentuk kartel politik guna melumpuhkan kinerja aparat penegak hukum dan menyabotase setiap aksi pencarian informasi. Kartel politik akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi demokratis. Institusi demokratis tetap dipelihara sebatas simbol tanpa substansi. Pemilu tetap reguler dijalankan, tetapi tak membawa perubahan konkret bagi hidup rakyat kebanyakan. Itu sebabnya, kendati institusi demokratis tampak bekerja, persoalan menyangkut hidup rakyat kebanyakan tak tersentuh kerja institusi itu.
Pemimpin Indonesia perlu belajar dari keberanian mantan Presiden Brasil Lula da Silva mengambil jarak dari kapitalisme global dan menerapkan program prorakyat. Ekonomi Brasil pada 2010 tumbuh 7 persen dan mampu menyerap 2,5 juta angkatan kerja oleh kebijakan perbankan yang baik, proteksi terhadap industri kecil, dan kebijakan land reform yang baik. ●
Teror Atas Nama Agama
Azyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA; ANGGOTA COUNCIL ON FAITH, WORLD ECONOMIC FORUM, DAVOS
Sumber : KOMPAS, 25 Februari 2012
Anarkisme dan terorisme atas nama agama merupakan salah satu gejala sosio-religius paling menonjol sejak awal milenium 21. Gejala ini terus berlanjut di berbagai bagian dunia, khususnya di negeri semacam Afganistan, Irak, Pakistan, dan—sayangnya—juga di Indonesia.
Di negara kita, ketika terorisme kelihatan kian berhasil diatasi aparat kepolisian, anarkisme atas nama agama cenderung terus bertahan, yang sewaktu-waktu menampilkan diri dalam skala mengkhawatirkan.
Namun, gejala mengkhawatirkan itu kini terlihat berhadapan dengan gejala lain, yaitu bahwa masyarakat Indonesia yang cinta damai tampaknya tidak bisa lagi menerima aksi kekerasan. Hal ini terlihat, misalnya, dari penolakan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah atas kedatangan sejumlah petinggi Front Pembela Islam (FPI) di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, 11 Februari. FPI yang tidak menerima kejadian yang tidak menyenangkan bagi mereka segera melaporkan Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng serta dua pimpinan komunitas Dayak kepada pihak kepolisian.
Peristiwa Palangkaraya itu kelihatan menjadi titik katalis penolakan terhadap anarkisme yang kerap dilakukan FPI. Ini terlihat dari aksi kalangan masyarakat bertema ”Indonesia Tanpa FPI” di Bundaran HI, Jakarta, 14 Februari, yang kemudian disusul pernyataan para pimpinan NU, Muhammadiyah, Ansor, dan Pemuda Muhammadiyah yang menolak anarkisme FPI. Mereka beserta pejabat tinggi—mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Menko Polhukam Djoko Suyanto—mengimbau agar FPI melakukan introspeksi.
Hemat penulis, imbauan pimpinan ormas Islam dan pejabat tinggi yang juga Muslim, dari perspektif Islam, seyogianya dipandang pimpinan dan massa FPI sebagai taushiyyah bi al-haq, pesan kebenaran sesama Muslim. Sikap terbaik yang bisa diambil FPI adalah merenungkannya dengan kepala dingin sembari bermuhasabah atau introspeksi diri, yang juga sangat ditekankan Islam.
Agama Terlihat Jahat
Mengapa harus ada kekerasan atas nama agama? Para pemimpin FPI biasanya menyatakan, aksi kekerasan adalah bagian dari dakwah nahi mungkar, mencegah masyarakat dari kemungkaran dan maksiat. Dalam pemahaman FPI, ormas-ormas Islam lain dalam menghadapi kemungkaran lebih terpaku pada amar makruf, menyeru kepada kebaikan yang sering tidak efektif. Bagi FPI, nahi mungkar paling efektif dilakukan dengan menggunakan yad, ”tangan” atau kekuatan.
Lebih jauh FPI berargumen, mereka ”terpaksa” menggunakan ”tangan” karena menurut mereka aparat kepolisian tidak peduli dan gagal memberantas maksiat, semacam judi dan pelacuran, yang kian merajalela. Atau, bahwa pemerintah tidak tegas atau gagal membubarkan komunitas agama, semacam Ahmadiyah, yang dalam pandangan mereka menyimpang dari Islam. Oleh karena itu, bagi FPI tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan berbagai masalah tersebut dengan ”tangan” mereka sendiri.
Tujuan yang ingin dicapai FPI boleh jadi sah dalam pemahaman Islam tertentu. Akan tetapi, jumhur (mayoritas) ulama menolak penggunaan yad yang dalam praktiknya sering terwujud dalam kekerasan.
Bagi para ulama otoritatif, umumnya, dakwah sebagai upaya menyeru kepada kebajikan dan mencegah atau memberantas kemungkaran harus berdasarkan pada hikmah (kebijakan), maw’izah hasanah (pelajaran yang baik), dan mujadalah (diskusi dan perdebatan yang beradab), seperti digariskan Al Quran, Surat 16 al-Nahl, ayat 125.
Jika tidak berdasarkan ketiga prinsip ini dan sebaliknya lebih menekankan kekuatan, meminjam kerangka Charles Kimball (When Religion Becomes Evil, 2003), Islam bisa terlihat ”jahat” dan menakutkan bagi banyak orang, termasuk mayoritas umat Islam sendiri. Kimball dengan mengangkat pengalaman Yudaisme, Kristianitas, dan Islam sepanjang sejarah mengingatkan, setiap agama ini dapat mengalami kerusakan dan menakutkan ketika di kalangan penganutnya ada lima gejala dan pertanda berikut.
Pertama, klaim kebenaran absolut oleh individu dan kelompok bahwa pemahamannya sendiri paling benar dan mereka saja yang punya akses kepada kebenaran.
Kedua, penetapan waktu sekarang sebagai paling pas bagi individu atau kelompok yang mengklaim memiliki restu Tuhan untuk mengakhiri segala kemungkaran.
Ketiga, taklid buta pada pemahaman, ketentuan praktik keagamaan, dan komando tertentu.
Keempat, menghalalkan cara apa pun untuk melakukan perubahan yang diyakini diperintahkan Tuhan.
Kelima, pemakluman holy war (jihad) terhadap individu atau kelompok yang dianggap ”menyimpang” dari agamanya sendiri atau untuk menyucikan dunia dari kemungkaran.
Adanya kelima gejala itu di lingkungan ketiga agama tadi pastilah tak representatif mewakili agama-agama tersebut. Namun, jelas gejala itu sedikit banyak memberikan kontribusi bagi adanya prisma citra negatif bagi agama bersangkutan.
Penanganan Komprehensif
Anarkisme atas nama agama tidak berdiri sendiri. Meski pemahaman keagamaan seperti di atas terbukti membawa ke dalam kekerasan, ada faktor-faktor lain yang membuat kekerasan atas nama agama menjadi lebih mudah terwujud dan bahkan meningkat dari waktu ke waktu.
Salah satu faktor pokok adalah lemahnya penegakan hukum di Tanah Air dalam disorientasi kebebasan masyarakat, berbarengan dengan penerapan demokrasi. Eksplosi kebebasan terbukti tidak disertai peningkatan kapasitas aparat kepolisian untuk menjamin tegaknya penghormatan kepada hukum, ketertiban dan keadaban secara tegas, berkesinambungan, dan konsisten.
Disorientasi, fragmentasi, dan kontestasi politik di kalangan para pejabat tinggi untuk mendapat simpati massa membuat mereka tidak jarang mengirim pesan keliru kepada publik. Ini terlihat, misalnya, kecenderungan kalangan pejabat tinggi untuk lebih bersikap akomodatif dan kompromistis terhadap ormas anarkistis. Sikap seperti ini pada gilirannya membuatnya merasa ”di atas angin” dan seolah memiliki kekebalan (impunity) di depan hukum.
Mempertimbangkan berbagai faktor itu, perlu dilakukan penanganan komprehensif sejak dari reorientasi pemahaman keislaman dan praksis dakwah yang lebih dapat diterima publik secara keseluruhan, penguatan penegakan hukum, sampai pada peneguhan sikap para pejabat publik untuk tidak permisif terhadap anarkisme. Jika tidak, bukan tidak mungkin anarkisme atas nama agama terus berkelanjutan.
Sumber : KOMPAS, 25 Februari 2012
Anarkisme dan terorisme atas nama agama merupakan salah satu gejala sosio-religius paling menonjol sejak awal milenium 21. Gejala ini terus berlanjut di berbagai bagian dunia, khususnya di negeri semacam Afganistan, Irak, Pakistan, dan—sayangnya—juga di Indonesia.
Di negara kita, ketika terorisme kelihatan kian berhasil diatasi aparat kepolisian, anarkisme atas nama agama cenderung terus bertahan, yang sewaktu-waktu menampilkan diri dalam skala mengkhawatirkan.
Namun, gejala mengkhawatirkan itu kini terlihat berhadapan dengan gejala lain, yaitu bahwa masyarakat Indonesia yang cinta damai tampaknya tidak bisa lagi menerima aksi kekerasan. Hal ini terlihat, misalnya, dari penolakan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah atas kedatangan sejumlah petinggi Front Pembela Islam (FPI) di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, 11 Februari. FPI yang tidak menerima kejadian yang tidak menyenangkan bagi mereka segera melaporkan Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng serta dua pimpinan komunitas Dayak kepada pihak kepolisian.
Peristiwa Palangkaraya itu kelihatan menjadi titik katalis penolakan terhadap anarkisme yang kerap dilakukan FPI. Ini terlihat dari aksi kalangan masyarakat bertema ”Indonesia Tanpa FPI” di Bundaran HI, Jakarta, 14 Februari, yang kemudian disusul pernyataan para pimpinan NU, Muhammadiyah, Ansor, dan Pemuda Muhammadiyah yang menolak anarkisme FPI. Mereka beserta pejabat tinggi—mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Menko Polhukam Djoko Suyanto—mengimbau agar FPI melakukan introspeksi.
Hemat penulis, imbauan pimpinan ormas Islam dan pejabat tinggi yang juga Muslim, dari perspektif Islam, seyogianya dipandang pimpinan dan massa FPI sebagai taushiyyah bi al-haq, pesan kebenaran sesama Muslim. Sikap terbaik yang bisa diambil FPI adalah merenungkannya dengan kepala dingin sembari bermuhasabah atau introspeksi diri, yang juga sangat ditekankan Islam.
Agama Terlihat Jahat
Mengapa harus ada kekerasan atas nama agama? Para pemimpin FPI biasanya menyatakan, aksi kekerasan adalah bagian dari dakwah nahi mungkar, mencegah masyarakat dari kemungkaran dan maksiat. Dalam pemahaman FPI, ormas-ormas Islam lain dalam menghadapi kemungkaran lebih terpaku pada amar makruf, menyeru kepada kebaikan yang sering tidak efektif. Bagi FPI, nahi mungkar paling efektif dilakukan dengan menggunakan yad, ”tangan” atau kekuatan.
Lebih jauh FPI berargumen, mereka ”terpaksa” menggunakan ”tangan” karena menurut mereka aparat kepolisian tidak peduli dan gagal memberantas maksiat, semacam judi dan pelacuran, yang kian merajalela. Atau, bahwa pemerintah tidak tegas atau gagal membubarkan komunitas agama, semacam Ahmadiyah, yang dalam pandangan mereka menyimpang dari Islam. Oleh karena itu, bagi FPI tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan berbagai masalah tersebut dengan ”tangan” mereka sendiri.
Tujuan yang ingin dicapai FPI boleh jadi sah dalam pemahaman Islam tertentu. Akan tetapi, jumhur (mayoritas) ulama menolak penggunaan yad yang dalam praktiknya sering terwujud dalam kekerasan.
Bagi para ulama otoritatif, umumnya, dakwah sebagai upaya menyeru kepada kebajikan dan mencegah atau memberantas kemungkaran harus berdasarkan pada hikmah (kebijakan), maw’izah hasanah (pelajaran yang baik), dan mujadalah (diskusi dan perdebatan yang beradab), seperti digariskan Al Quran, Surat 16 al-Nahl, ayat 125.
Jika tidak berdasarkan ketiga prinsip ini dan sebaliknya lebih menekankan kekuatan, meminjam kerangka Charles Kimball (When Religion Becomes Evil, 2003), Islam bisa terlihat ”jahat” dan menakutkan bagi banyak orang, termasuk mayoritas umat Islam sendiri. Kimball dengan mengangkat pengalaman Yudaisme, Kristianitas, dan Islam sepanjang sejarah mengingatkan, setiap agama ini dapat mengalami kerusakan dan menakutkan ketika di kalangan penganutnya ada lima gejala dan pertanda berikut.
Pertama, klaim kebenaran absolut oleh individu dan kelompok bahwa pemahamannya sendiri paling benar dan mereka saja yang punya akses kepada kebenaran.
Kedua, penetapan waktu sekarang sebagai paling pas bagi individu atau kelompok yang mengklaim memiliki restu Tuhan untuk mengakhiri segala kemungkaran.
Ketiga, taklid buta pada pemahaman, ketentuan praktik keagamaan, dan komando tertentu.
Keempat, menghalalkan cara apa pun untuk melakukan perubahan yang diyakini diperintahkan Tuhan.
Kelima, pemakluman holy war (jihad) terhadap individu atau kelompok yang dianggap ”menyimpang” dari agamanya sendiri atau untuk menyucikan dunia dari kemungkaran.
Adanya kelima gejala itu di lingkungan ketiga agama tadi pastilah tak representatif mewakili agama-agama tersebut. Namun, jelas gejala itu sedikit banyak memberikan kontribusi bagi adanya prisma citra negatif bagi agama bersangkutan.
Penanganan Komprehensif
Anarkisme atas nama agama tidak berdiri sendiri. Meski pemahaman keagamaan seperti di atas terbukti membawa ke dalam kekerasan, ada faktor-faktor lain yang membuat kekerasan atas nama agama menjadi lebih mudah terwujud dan bahkan meningkat dari waktu ke waktu.
Salah satu faktor pokok adalah lemahnya penegakan hukum di Tanah Air dalam disorientasi kebebasan masyarakat, berbarengan dengan penerapan demokrasi. Eksplosi kebebasan terbukti tidak disertai peningkatan kapasitas aparat kepolisian untuk menjamin tegaknya penghormatan kepada hukum, ketertiban dan keadaban secara tegas, berkesinambungan, dan konsisten.
Disorientasi, fragmentasi, dan kontestasi politik di kalangan para pejabat tinggi untuk mendapat simpati massa membuat mereka tidak jarang mengirim pesan keliru kepada publik. Ini terlihat, misalnya, kecenderungan kalangan pejabat tinggi untuk lebih bersikap akomodatif dan kompromistis terhadap ormas anarkistis. Sikap seperti ini pada gilirannya membuatnya merasa ”di atas angin” dan seolah memiliki kekebalan (impunity) di depan hukum.
Mempertimbangkan berbagai faktor itu, perlu dilakukan penanganan komprehensif sejak dari reorientasi pemahaman keislaman dan praksis dakwah yang lebih dapat diterima publik secara keseluruhan, penguatan penegakan hukum, sampai pada peneguhan sikap para pejabat publik untuk tidak permisif terhadap anarkisme. Jika tidak, bukan tidak mungkin anarkisme atas nama agama terus berkelanjutan.
Mengulas Kembali Senjakala Dunia Barat
Shlomo Ben-Ali, MANTAN MENTERI LUAR NEGERI ISRAEL;
WAKIL KETUA TOLEDO INTERNATIONAL CENTRE FOR PEACE,
PENGARANG SCARS OF WAR, WOUNDS OF PEACE: THE ISRAELI-ARAB TRAGEDY
Sumber : KORAN TEMPO, 13 Februari 2012
Sejak diterbitkan pada 1918 jilid pertama The Decline of the West karya Oswald Spengler, nubuat kiamat tak terelakkan dari apa yang dinamakan “Faustian Civilization” itu telah berulang kali menjadi topik para pemikir dan intelektual publik. Krisis yang sekarang melanda Amerika Serikat dan Eropa--esensinya akibat gagalnya etika yang inheren dalam diri kapitalisme AS, serta akibat disfungsi Eropa--mungkin dianggap memberikan kredibilitas kepada pandangan Spengler mengenai tidak memadainya demokrasi, dan kepada penolakannya yang pada intinya menganggap peradaban Barat sebagai peradaban yang pada intinya didorong oleh nafsu yang korup mengejar harta.
Tapi determinisme dalam sejarah selalu dikalahkan oleh kekuatan kemauan keras manusia yang tidak bisa diprediksi, dan dalam hal ini oleh kemampuan luar biasa Barat untuk memperbarui diri, bahkan setelah mengalami kekalahan yang membawa perubahan besar. Benar bahwa Barat bukan lagi satu-satunya kekuatan yang mendikte agenda global, dan nilai-nilai yang dibawakannya pasti bakal mendapat tantangan yang semakin kuat dari kekuatan-kekuatan baru. Tapi kemunduran Barat ini bukan suatu proses yang linear, bergaris lurus dan tidak bisa berbalik kembali.
Tidak diragukan lagi bahwa keunggulan militer dan ekonomi Barat telah mengalami kemunduran serius akhir-akhir ini. Pada 2000, PDB Amerika delapan kali lipat PDB Cina; sekarang tinggal cuma dua kali lebih besar. Lebih parah lagi, ketidaksetaraan penghasilan yang lebar, kelas menengah yang terimpit, dan bukti meluasnya kehilangan etika dan kebalnya suatu kelompok dari hukuman, telah mendorong timbulnya kekecewaan yang berbahaya terhadap demokrasi dan semakin hilangnya kepercayaan terhadap “American Dream” akan kemajuan dan peningkatan diri.
Namun ini bukan pertama kalinya nilai-nilai yang dibawakan Amerika menghadapi dan berhasil mengatasi ancaman populisme di masa krisis ekonomi. Variasi agenda fasis yang serupa pernah muncul di Amerika pada 1930-an ketika kaum populis di bawah pimpinan Pendeta Charles Coughlin menyerang Franklin Roosevelt yang mereka tuduh “beraliansi dengan para bankir”. National Union for Social Justice pimpinan Coughlin, yang anggotanya mencapai jumlah jutaan orang, pada akhirnya dikalahkan oleh sistem antibodi demokrasi Amerika yang kuat itu.
Mengenai Eropa, krisis kawasan euro yang terjadi saat ini telah mengungkapkan kelemahan demokrasi dalam menangani darurat ekonomi, serta cacat yang ada dalam rancangan terbentuknya Uni Eropa. Di Italia dan Yunani, teknokrat-teknokrat telah mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan para politikus yang gagal. Di Hungaria, Perdana Menteri Viktor Orbon telah mendesak ”didirikannya kembali negara” yang otoriter. Kasus-kasus semacam ini tampaknya menuju pada kembalinya masa lalu Eropa di mana gagalnya demokrasi telah membuka jalan timbulnya bentuk-bentuk pemerintahan yang lebih menguntungkan sesaat.
Meski demikian, sementara Eropa masih merupakan tanda tanya besar, pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan kerja, betapapun rapuhnya, sudah kembali di Amerika. Lagi pula bahkan jika Cina menjadi ekonomi paling besar di dunia, katakan pada 2018, Amerika masih tetap bakal lebih kaya dari Cina, dengan PDB per kapita di Amerika empat kali lebih besar daripada di Cina.
Yang pasti, ketidaksetaraan penghasilan dan ketidakadilan sosial merupakan bagian yang mengiringi budaya kapitalis di seluruh dunia Barat. Tapi para penantang, seperti Cina dan India, tidak pantas memberikan khotbah. Dibandingkan dengan kapitalisme India, gagalnya etika kapitalisme di negara-negara lain tidak seberapa. Di India, seratus orang kaya dari sekelompok kecil oligarki menguasai aset setara dengan 25 persen PDB negeri itu, sementara 800 juta rakyat lainnya bertahan hidup dengan uang yang kurang dari satu dolar sehari. Politikus dan hakim bisa dibeli, dan sumber daya alam yang bernilai triliunan dolar dijual kepada korporasi-korporasi besar dengan harga obral.
Memiliki ekonomi paling besar vital bagi suatu negara yang ingin mempertahankan keunggulan militer dan kemampuan menentukan tata hubungan internasional. Menurunnya kekuatan Barat berarti semakin beratnya upaya menegakkan relevansi komponen-komponen utama sistem nilainya, seperti demokrasi dan hak universal.
Eropa, dengan mentalitasnya yang hampir pasca-sejarah itu, telah lama menanggalkan pretensi sebagai suatu kekuatan militer. Keadaan yang sama tidak bisa dikatakan mengenai Amerika. Setback yang dialami Amerika di Irak dan Afganistan bukannya mencerminkan menurunnya keunggulan militernya, melainkan merupakan akibat kebijakan salah arah yang berusaha menggunakan hard power untuk menyelesaikan konflik yang tidak bisa dicapai dengan kekerasan.
Pengurangan besar-besaran anggaran pertahanan AS baru-baru ini tidak berarti menunjukkan penurunan. Ia bisa berarti dilancarkannya era baru smart defense (pertahanan yang cerdas), yang mengandalkan ide-ide yang inovatif, aliansi yang kuat, dan membangun kemampuan negara-negara mitra. Bergesernya prioritas militer AS ke kawasan Asia-Pasifik merupakan penyeimbangan kembali strategi yang bisa dipahami, mengingat fokus Amerika yang berlebihan pada Timur Tengah dan dipertahankannya kehadiran militer Amerika yang tidak perlu di Eropa.
Terlunakkan oleh kelelahan petualangan-petualangan di seberang lautan, nafsu Amerika untuk menyelamatkan dunia dari otokrat-otokrat yang kejam di negeri-negeri lain bakal banyak berkurang. Cina otomatis bakal mengambil alih wilayah yang ditinggalkan Amerika. Walaupun ada pengurangan belanja pertahanan, anggaran pertahanan Amerika masih lima kali lebih besar daripada anggaran Cina. Lebih penting lagi, strategi jangka panjang Cina mensyaratkan ia berfokus dalam jangka pendek pada pemenuhan kebutuhannya akan energi dan bahan mentah.
Jangan salah menarik kesimpulan: Sentrisme-Euro dan kebanggaan Barat yang arogan telah mengalami pukulan berat pada tahun-tahun terakhir ini. Tapi, bagi mereka di Barat yang sudah mengalami fatalisme, menyerah kepada nasib dan keragu-raguan diri, suatu pesan harapan sekarang datang dari Musim Bunga Arab dan dari dimulainya kembali di Rusia revolusi yang belum selesai dalam mengakhiri komunisme. Begitu juga, ketidakkonsistenan antara kapitalisme Cina dan tidak adanya kebebasan sipil di negeri itu belum terselesaikan. Kemungkinan terjadinya Musim Bunga Cina tidak bisa dikesampingkan.
Barat menghadapi tantangan yang serius--seperti yang sudah selalu dialaminya. Tapi nilai-nilai kebebasan dan martabat yang mendorong peradaban Barat tetap didambakan sebagian besar umat manusia. ●
WAKIL KETUA TOLEDO INTERNATIONAL CENTRE FOR PEACE,
PENGARANG SCARS OF WAR, WOUNDS OF PEACE: THE ISRAELI-ARAB TRAGEDY
Sumber : KORAN TEMPO, 13 Februari 2012
Sejak diterbitkan pada 1918 jilid pertama The Decline of the West karya Oswald Spengler, nubuat kiamat tak terelakkan dari apa yang dinamakan “Faustian Civilization” itu telah berulang kali menjadi topik para pemikir dan intelektual publik. Krisis yang sekarang melanda Amerika Serikat dan Eropa--esensinya akibat gagalnya etika yang inheren dalam diri kapitalisme AS, serta akibat disfungsi Eropa--mungkin dianggap memberikan kredibilitas kepada pandangan Spengler mengenai tidak memadainya demokrasi, dan kepada penolakannya yang pada intinya menganggap peradaban Barat sebagai peradaban yang pada intinya didorong oleh nafsu yang korup mengejar harta.
Tapi determinisme dalam sejarah selalu dikalahkan oleh kekuatan kemauan keras manusia yang tidak bisa diprediksi, dan dalam hal ini oleh kemampuan luar biasa Barat untuk memperbarui diri, bahkan setelah mengalami kekalahan yang membawa perubahan besar. Benar bahwa Barat bukan lagi satu-satunya kekuatan yang mendikte agenda global, dan nilai-nilai yang dibawakannya pasti bakal mendapat tantangan yang semakin kuat dari kekuatan-kekuatan baru. Tapi kemunduran Barat ini bukan suatu proses yang linear, bergaris lurus dan tidak bisa berbalik kembali.
Tidak diragukan lagi bahwa keunggulan militer dan ekonomi Barat telah mengalami kemunduran serius akhir-akhir ini. Pada 2000, PDB Amerika delapan kali lipat PDB Cina; sekarang tinggal cuma dua kali lebih besar. Lebih parah lagi, ketidaksetaraan penghasilan yang lebar, kelas menengah yang terimpit, dan bukti meluasnya kehilangan etika dan kebalnya suatu kelompok dari hukuman, telah mendorong timbulnya kekecewaan yang berbahaya terhadap demokrasi dan semakin hilangnya kepercayaan terhadap “American Dream” akan kemajuan dan peningkatan diri.
Namun ini bukan pertama kalinya nilai-nilai yang dibawakan Amerika menghadapi dan berhasil mengatasi ancaman populisme di masa krisis ekonomi. Variasi agenda fasis yang serupa pernah muncul di Amerika pada 1930-an ketika kaum populis di bawah pimpinan Pendeta Charles Coughlin menyerang Franklin Roosevelt yang mereka tuduh “beraliansi dengan para bankir”. National Union for Social Justice pimpinan Coughlin, yang anggotanya mencapai jumlah jutaan orang, pada akhirnya dikalahkan oleh sistem antibodi demokrasi Amerika yang kuat itu.
Mengenai Eropa, krisis kawasan euro yang terjadi saat ini telah mengungkapkan kelemahan demokrasi dalam menangani darurat ekonomi, serta cacat yang ada dalam rancangan terbentuknya Uni Eropa. Di Italia dan Yunani, teknokrat-teknokrat telah mengambil alih kendali pemerintahan dari tangan para politikus yang gagal. Di Hungaria, Perdana Menteri Viktor Orbon telah mendesak ”didirikannya kembali negara” yang otoriter. Kasus-kasus semacam ini tampaknya menuju pada kembalinya masa lalu Eropa di mana gagalnya demokrasi telah membuka jalan timbulnya bentuk-bentuk pemerintahan yang lebih menguntungkan sesaat.
Meski demikian, sementara Eropa masih merupakan tanda tanya besar, pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan kerja, betapapun rapuhnya, sudah kembali di Amerika. Lagi pula bahkan jika Cina menjadi ekonomi paling besar di dunia, katakan pada 2018, Amerika masih tetap bakal lebih kaya dari Cina, dengan PDB per kapita di Amerika empat kali lebih besar daripada di Cina.
Yang pasti, ketidaksetaraan penghasilan dan ketidakadilan sosial merupakan bagian yang mengiringi budaya kapitalis di seluruh dunia Barat. Tapi para penantang, seperti Cina dan India, tidak pantas memberikan khotbah. Dibandingkan dengan kapitalisme India, gagalnya etika kapitalisme di negara-negara lain tidak seberapa. Di India, seratus orang kaya dari sekelompok kecil oligarki menguasai aset setara dengan 25 persen PDB negeri itu, sementara 800 juta rakyat lainnya bertahan hidup dengan uang yang kurang dari satu dolar sehari. Politikus dan hakim bisa dibeli, dan sumber daya alam yang bernilai triliunan dolar dijual kepada korporasi-korporasi besar dengan harga obral.
Memiliki ekonomi paling besar vital bagi suatu negara yang ingin mempertahankan keunggulan militer dan kemampuan menentukan tata hubungan internasional. Menurunnya kekuatan Barat berarti semakin beratnya upaya menegakkan relevansi komponen-komponen utama sistem nilainya, seperti demokrasi dan hak universal.
Eropa, dengan mentalitasnya yang hampir pasca-sejarah itu, telah lama menanggalkan pretensi sebagai suatu kekuatan militer. Keadaan yang sama tidak bisa dikatakan mengenai Amerika. Setback yang dialami Amerika di Irak dan Afganistan bukannya mencerminkan menurunnya keunggulan militernya, melainkan merupakan akibat kebijakan salah arah yang berusaha menggunakan hard power untuk menyelesaikan konflik yang tidak bisa dicapai dengan kekerasan.
Pengurangan besar-besaran anggaran pertahanan AS baru-baru ini tidak berarti menunjukkan penurunan. Ia bisa berarti dilancarkannya era baru smart defense (pertahanan yang cerdas), yang mengandalkan ide-ide yang inovatif, aliansi yang kuat, dan membangun kemampuan negara-negara mitra. Bergesernya prioritas militer AS ke kawasan Asia-Pasifik merupakan penyeimbangan kembali strategi yang bisa dipahami, mengingat fokus Amerika yang berlebihan pada Timur Tengah dan dipertahankannya kehadiran militer Amerika yang tidak perlu di Eropa.
Terlunakkan oleh kelelahan petualangan-petualangan di seberang lautan, nafsu Amerika untuk menyelamatkan dunia dari otokrat-otokrat yang kejam di negeri-negeri lain bakal banyak berkurang. Cina otomatis bakal mengambil alih wilayah yang ditinggalkan Amerika. Walaupun ada pengurangan belanja pertahanan, anggaran pertahanan Amerika masih lima kali lebih besar daripada anggaran Cina. Lebih penting lagi, strategi jangka panjang Cina mensyaratkan ia berfokus dalam jangka pendek pada pemenuhan kebutuhannya akan energi dan bahan mentah.
Jangan salah menarik kesimpulan: Sentrisme-Euro dan kebanggaan Barat yang arogan telah mengalami pukulan berat pada tahun-tahun terakhir ini. Tapi, bagi mereka di Barat yang sudah mengalami fatalisme, menyerah kepada nasib dan keragu-raguan diri, suatu pesan harapan sekarang datang dari Musim Bunga Arab dan dari dimulainya kembali di Rusia revolusi yang belum selesai dalam mengakhiri komunisme. Begitu juga, ketidakkonsistenan antara kapitalisme Cina dan tidak adanya kebebasan sipil di negeri itu belum terselesaikan. Kemungkinan terjadinya Musim Bunga Cina tidak bisa dikesampingkan.
Barat menghadapi tantangan yang serius--seperti yang sudah selalu dialaminya. Tapi nilai-nilai kebebasan dan martabat yang mendorong peradaban Barat tetap didambakan sebagian besar umat manusia. ●
Gerakan Politik Fundamentalisme (Reportase Ceramah Thomas Meyer)
Saidiman Ahmad, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 9 Desember 2011
Fundamentalisme tidak terkait dengan satu agama. Ia ada pada semua agama. Demikian Prof. Dr. Thomas Meyer (Universitas Dortmund, Jerman) mengenai salah satu karakter fundamentalisme. Pandangan itu dikemukakan dalam ceramah dan diskusi publik bertajuk “What is Fundamentalism?” 22 November 2011. Acara ini diselenggarakan oleh Jaringan Islam Liberal berkerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung. Selain Thomas Meyer, hadir pula Ulil Abshar-Abdalla sebagai pembanding.
Pada kesempatan itu, Thomas Meyer mengemukakan Sembilan karakter fundamentalisme. Pertama, fundamentalisme merupakan gejala yang ada di semua agama. Ia tidak terkait dengan agama tertentu. Bahkan sebenarnya fundamentalisme hanya salah satu cara memahami agama.
Kedua, fundamentalisme lebih sebagai ideology politik ketimbang agama. Dalam banyak sekali kasus, nuansa politik gerakan fundamentalisme sangat kuat. Mereka membangun framing ketertindasan ummat yang kemudian mereka jadikan kerangka gerakan. Mereka mendesakkan suatu sistem politik baru. Tak jarang di antara mereka bermetamorfosis menjadi partai politik dan ikut serta dalam pemilihan umum yang demokratis.
Bagi Meyer, fundamentalisme sesungguhnya adalah bagian dari modernitas. Ia merupakan respon langsung terhadap modernism. Ia adalah bentuk modern dan anti-modernisme. “Fundamentalis is a modern form of anti-modernism,” tegas Meyer.
Karakter ketiga fundamentalisme, menurut Meyer, adalah bahwa ia lahir sebagai respon terhadap krisis. Ada pengandaian bahwa dunia sekarang ini sedang berada pada situasi kacau balau baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Krisis kepemimpinan dalam segala ranah kehidupan itulah yang mendorong lahirnya gerakan fundamentalisme.
Keempat, fundamentalisme ditandai dengan suatu prinsip superioritas diri atas yang lain. Di sini politik identitas mewujud. Kaum fundamentalis selalu merasa diri mengatasi yang lain. Mereka menganggap diri sebagai yang paling benar, yang paling saleh, yang paling lurus. Selebihnya adalah kesesatan dan penyimpangan.
Meyer juga menyebut, kelima, bahwa ciri yang kuat pada fundamentalisme adalah mereka begitu anti dan membenci kampanye kesetaraan gender dan pluralisme. Itulah yang menjelaskan kenapa semua gerakan fundamentalisme selalu menyasar pengungkungan terhadap perempuan. Peraturan-peraturan yang mereka desakkan hampir selalu berkaitan dengan bagaimana perempuan diatur. Mereka begitu bebal dan tak mau menerima gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia sama apapun latar belakang seks dan budayanya.
Ciri keenam dari fundamentalisme, menurut Meyer, adalah resistance identity. Ini yang kemudian menjustifikasi kenapa gerakan fundamentalisme selalu mengarah pada totalitarianism. Ciri ketujuh adalah bahwa fundamentalisme selalu melakukan penolakan terhadap identitas dan menolak budaya demokrasi.
Kedelapan, kaum fundamentalis merasa terjebak dalam ketidak-amanan. Ini pula yang biasa disebut sebagai mental terkepung. Ada kekuatan di luar sana yang mereka sangka akan menghancurleburkan mereka. Akibatnya, mereka sangat reaktif dan acapkali agressif.
Meyer menjelaskan bahwa bahwa demokrasi bukanlah majoritarian rule melainkan rule of law. Memang betul bahwa ada pemilihan umum. Tapi bukan berarti penguasa terpilih harus selalu menjalankan amanat kelompok mayoritas. Demokrasi justru memilih pemimpin untuk bergerak dalam koridor hukum. Rule of law adalah unsur paling penting dalam demokrasi. Kaum fundamentalis dicirikan, kesembilan, oleh penolakannya terhadap rule of law. “Jika kau ingin menyaksikan bahwa semua orang bisa menjalankan ibadah secara bebas, maka yang pertama yang harus ditegakkan adalah rule of law,” demikian Meyer. Meyer mencontohkan bagaimana kekuatan fundamentalis tahun 1920-an dan 1930-an di Jerman begitu kuat dan mereka menegakkan suatu demokrasi mayoritarianisme yang tak lain adalah totalitarianisme.
Ulil Abshar-Abdalla memberi tanggapan atas paparan Prof. Meyer. Menurut Ulil, ada kesamaan antara fundamentalisme Islam dan komunisme serta Marxisme. Fundamentalisme Islam ditandai dengan klaim ideology komprehensifnya. Semua hal hendak diatur. Semua hal hendak dikontrol.
Hal lain, menurut Ulil, yang menarik adalah bahwa gerakan fundamentalisme (terutama Islam) pada praktiknya sangat terobsesi untuk mengatur wilayah privat, bukan wilayah publik. Kampanye yang mereka usung sejauh ini justru sangat didominasi oleh isu-isu ruang privat, misalnya moralitas, pakaian perempuan, minuman keras, perzinahan, dan seterusnya. Mereka justru tidak terlalu peduli dengan persoalan publik.
Prof. Meyer menimpali bahwa sebenarnya kaum fundamentalis ingin mendominasi kehidupan publik untuk mengatur kehidupan privat.
Ulil menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai gerakan fundamentalisme adalah suatu realitas yang sungguh-sungguh dinamis. Idealisasi dari kaum fundamentalis ternyata tidak terbukti dalam realitas kehidupan politik. Ketika para fundamentalis terjun ke dunia politik, mereka tak bisa menghindarkan diri dari kompromi sebagaimana yang lazim terjadi di dunia politik praktis.
Pada intinya, Ulil hendak menyatakan bahwa fundamentalisme adalah barang yang terus bergerak dan berubah. Ia tidak diam di tempat dan membatu. ●
Kuburan Pemikir(an) Ahmad Wahib
Binhad Nurrohmat, Penyair, Tinggal di Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 25 Maret 2012
Pada awal dasawarsa 1980, Ummu Kultum dari Sampang, Madura, pergi ke Jakarta untuk berziarah ke kuburan anaknya, Ahmad Wahib (1942–1973), di Tempat Permakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Ia tak tahu, sebelum kedatangannya ke Jakarta ketika itu, kuburan Wahib sudah hilang lantaran tergusur satu proyek pelebaran jalan raya yang memotong sebagian kompleks pekuburan itu.
Demi menjaga perasaan Ummu Kultum, seorang sepupu Wahib mengantarkan ibu itu ke satu pusara orang lain di pekuburan itu yang ia akui sebagai kuburan Wahib. Sampai saat ini, sisa-sisa artefak kuburan Wahib tak diketahui keberadaannya, barangkali telah sirna untuk selamanya.
Hilangnya kuburan Wahib bukan hanya kisah sedih. Ini juga kenyataan ironis dan tragis. Ketika Ummu Kultum akan menziarahinya, Wahib merupakan satu nama penting perintis tradisi pembaruan pemikiran Islam bercakrawala kebudayaan di Indonesia. Ketika itu pula Wahib sedang dibicarakan banyak orang dan merangsang polemik pemikiran keagamaan di Tanah Air lantaran percikan-percikan kecil yang kuat dari pemikirannya dalam catatan-catatan hariannya yang diterbitkan oleh rekan-rekannya setelah kematiannya, Pergolakan Pemikiran Islam (1981).
Kuburan rekan segenerasi dengan Wahib, Soe Hok Gie, di TPU Karet, Jakarta, juga mengalami penggusuran. Namun, nisan demonstran itu sempat dipindahkan dan terjaga sampai sekarang di Taman Prasasti, Jakarta. Mereka adalah aktivis-pemikir militan yang gelisah, otentik, mati muda, dan kesepian, sebagaimana tersurat dalam tulisan di nisan Hok Gie: Nobody knows the troubles I’ve seen, nobody knows my sorrow. Dua tokoh muda ini dikenal sebagai pemberontak dalam dunia pemikiran dan merupakan legenda yang hidup dan menyala sampai sekarang.
Watak berani dan berontak Wahib bisa jadi menurun dari nilai-nilai tradisi ksatria leluhurnya dari garis ayah yang mendidiknya, Sulaiman. Wahib merupakan generasi ke-7 trah Trunajaya dari Madura. Trunajaya memberontak terhadap rezim Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Kedua penguasa Mataram ini sangat kejam. Mereka bersekongkol dengan otoritas VOC serta menangkap dan membunuh para ulama yang melawan kebijakan kekuasaan mereka. Setelah melakukan perlawanan sekian lama, Trunajaya kemudian ditangkap oleh pasukan VOC dan dihukum mati pada usia 31 tahun oleh Amangkurat II.
Sementara kedekatan Wahib dengan khazanah agama Islam kemungkinan besar terwarisi dari Ummu Kultum yang merupakan salah satu keturunan santri pendiri pesantren di Kampung Segit, Sampang, Madura. Di kampung ini, Wahib menimba pengetahuan agama pada masa kanak-kanak. Selain itu, ayahnya Wahib juga dikenal sebagai pribadi reformis dan kritis terhadap dogma-dogma tradisi dan ibunya Wahib mengajarkan kepada anak-anaknya sikap anti-feodal, misalnya melarang anggota keluarganya berbahasa krama.
Feodalisme
Terkait dengan ihwal feodalisme, dalam salah satu catatan hariannya, Wahib mengapresiasi gagasan Rendra yang sempat mendiskusikan ide ”urakan” di komunitas diskusi internal dan terbatas di Yogyakarta pada 1970. Wahib menulis, ”Rendra menekankan bahwa ’kekurangajaran’ atau humor kasar orang-orang urakan bisa berfungsi sebagai penyegar dan pembaru kebudayaan.” Namun kebersetujuan Wahib terhadap ide ”urakan” Rendra juga memunculkan sikap kritis Wahib terhadap kehadiran para urakan yang tak otentik atau gadungan. ”Menjadi pertanyaan, apakah mereka yang meniru-niru ingin jadi urakan betul-betul paham akan tujuannya,” kata Wahib.
Percikan-percikan pemikiran Wahib dalam catatan hariannya tak sempat ia perdalam dan perluas lantaran kematiannya pada usia muda. Wahib meninggal setelah tertabrak sepeda motor di Jakarta. Warisan utama Wahib bukan hanya buku catatan hariannya itu, melainkan juga keberanian dan spirit pembaruan pemikiran Islam pada masanya serta sesudahnya. Wahib kritis terhadap keislaman ataupun pemikiran Barat. Pemikiran Wahib dalam sejumlah hal pokok dan mendasar ikut memengaruhi, setidaknya segaris, dengan pemikiran Islam inklusif dari Nurcholish Madjid dan pemikiran pribumisasi Islam dari Abdurrahman Wahid.
Wahib adalah pribadi yang gelisah. Ia memikirkan secara mendalam agamanya, dalam konteks dinamika serta kaitannya dengan kehidupan multi-agama dan beragam tradisi yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Cakrawala kebudayaan pemikiran keislaman Wahib ini penting dan aktual hingga saat ini. Semua ini menjadi renungan pribadi yang ia ungkapkan dalam kelompok diskusi terbatas dan catatan hariannya.
Kenapa catatan harian? Wahib menyadari ada pemikiran tertentu yang perlu menimbang ”kesiapan” masyarakat, bukan karena takut menyatakannya kepada khalayak luas. Wahib mengingatkan bahwa pembaruan pemikiran terhenti jika kaum pembaru sibuk menyerang kaum tradisional yang pahamnya sudah lama tersusun; dan kaum pembaru menyebarkan pemikiran yang belum matang serta utuh.
Pluralisme dan toleransi antar-agama serta tradisi, kebebasan berpikir, keintelektualan, ataupun sikap kebudayaan merupakan bahan-bahan penting pergulatan renungan Wahib yang sekarang kerap mengalami guncangan, kemunduran, dan bahkan terancam karam. Renungan Wahib tentang itu semua berisi penguatan, dukungan, dan kritik.
Hilangnya kuburan Wahib memang tidak berarti lenyapnya pluralisme dan toleransi antar-agama serta tradisi, kebebasan berpikir, keintelektualan, ataupun sikap kebudayaan di negeri ini. Namun, sikap abai ini merupakan salah satu cermin kurang hidupnya tradisi penghargaan masyarakat (khususnya kaum pemikir dan intelektual) terhadap makna kultural-simbolis kuburan seorang pemikir seperti Wahib. Bila bukan pelupaan dan pelenyapan, hilangnya kuburan Wahib merupakan bentuk pengabaian (artefak) sejarah.
Kuburan bukan tempat membuang bangkai manusia. Kuburan merupakan artefak otentik terakhir manusia yang pernah hidup di planet ini. Peradaban-peradaban besar memberikan penghormatan besar terhadap kuburan, tidak untuk dijadikan sesembahan, tetapi dijadikan jejak atau situs untuk mengenang biografi seseorang. Inilah salah satu makna penting kultural-simbolis kuburan.
Tak heran, kuburan para tokoh besar dan pahlawan diberikan tempat khusus yang pada masa lampau berupa piramida tempat penyimpanan mumi raja, candi untuk penyimpan abu, dan saat ini berupa kompleks makam pahlawan nasional untuk menguburkan mereka yang dianggap berjasa besar kepada kebudayaan masyarakatnya. ●
SUMBER : KOMPAS, 25 Maret 2012
Pada awal dasawarsa 1980, Ummu Kultum dari Sampang, Madura, pergi ke Jakarta untuk berziarah ke kuburan anaknya, Ahmad Wahib (1942–1973), di Tempat Permakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Ia tak tahu, sebelum kedatangannya ke Jakarta ketika itu, kuburan Wahib sudah hilang lantaran tergusur satu proyek pelebaran jalan raya yang memotong sebagian kompleks pekuburan itu.
Demi menjaga perasaan Ummu Kultum, seorang sepupu Wahib mengantarkan ibu itu ke satu pusara orang lain di pekuburan itu yang ia akui sebagai kuburan Wahib. Sampai saat ini, sisa-sisa artefak kuburan Wahib tak diketahui keberadaannya, barangkali telah sirna untuk selamanya.
Hilangnya kuburan Wahib bukan hanya kisah sedih. Ini juga kenyataan ironis dan tragis. Ketika Ummu Kultum akan menziarahinya, Wahib merupakan satu nama penting perintis tradisi pembaruan pemikiran Islam bercakrawala kebudayaan di Indonesia. Ketika itu pula Wahib sedang dibicarakan banyak orang dan merangsang polemik pemikiran keagamaan di Tanah Air lantaran percikan-percikan kecil yang kuat dari pemikirannya dalam catatan-catatan hariannya yang diterbitkan oleh rekan-rekannya setelah kematiannya, Pergolakan Pemikiran Islam (1981).
Kuburan rekan segenerasi dengan Wahib, Soe Hok Gie, di TPU Karet, Jakarta, juga mengalami penggusuran. Namun, nisan demonstran itu sempat dipindahkan dan terjaga sampai sekarang di Taman Prasasti, Jakarta. Mereka adalah aktivis-pemikir militan yang gelisah, otentik, mati muda, dan kesepian, sebagaimana tersurat dalam tulisan di nisan Hok Gie: Nobody knows the troubles I’ve seen, nobody knows my sorrow. Dua tokoh muda ini dikenal sebagai pemberontak dalam dunia pemikiran dan merupakan legenda yang hidup dan menyala sampai sekarang.
Watak berani dan berontak Wahib bisa jadi menurun dari nilai-nilai tradisi ksatria leluhurnya dari garis ayah yang mendidiknya, Sulaiman. Wahib merupakan generasi ke-7 trah Trunajaya dari Madura. Trunajaya memberontak terhadap rezim Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Kedua penguasa Mataram ini sangat kejam. Mereka bersekongkol dengan otoritas VOC serta menangkap dan membunuh para ulama yang melawan kebijakan kekuasaan mereka. Setelah melakukan perlawanan sekian lama, Trunajaya kemudian ditangkap oleh pasukan VOC dan dihukum mati pada usia 31 tahun oleh Amangkurat II.
Sementara kedekatan Wahib dengan khazanah agama Islam kemungkinan besar terwarisi dari Ummu Kultum yang merupakan salah satu keturunan santri pendiri pesantren di Kampung Segit, Sampang, Madura. Di kampung ini, Wahib menimba pengetahuan agama pada masa kanak-kanak. Selain itu, ayahnya Wahib juga dikenal sebagai pribadi reformis dan kritis terhadap dogma-dogma tradisi dan ibunya Wahib mengajarkan kepada anak-anaknya sikap anti-feodal, misalnya melarang anggota keluarganya berbahasa krama.
Feodalisme
Terkait dengan ihwal feodalisme, dalam salah satu catatan hariannya, Wahib mengapresiasi gagasan Rendra yang sempat mendiskusikan ide ”urakan” di komunitas diskusi internal dan terbatas di Yogyakarta pada 1970. Wahib menulis, ”Rendra menekankan bahwa ’kekurangajaran’ atau humor kasar orang-orang urakan bisa berfungsi sebagai penyegar dan pembaru kebudayaan.” Namun kebersetujuan Wahib terhadap ide ”urakan” Rendra juga memunculkan sikap kritis Wahib terhadap kehadiran para urakan yang tak otentik atau gadungan. ”Menjadi pertanyaan, apakah mereka yang meniru-niru ingin jadi urakan betul-betul paham akan tujuannya,” kata Wahib.
Percikan-percikan pemikiran Wahib dalam catatan hariannya tak sempat ia perdalam dan perluas lantaran kematiannya pada usia muda. Wahib meninggal setelah tertabrak sepeda motor di Jakarta. Warisan utama Wahib bukan hanya buku catatan hariannya itu, melainkan juga keberanian dan spirit pembaruan pemikiran Islam pada masanya serta sesudahnya. Wahib kritis terhadap keislaman ataupun pemikiran Barat. Pemikiran Wahib dalam sejumlah hal pokok dan mendasar ikut memengaruhi, setidaknya segaris, dengan pemikiran Islam inklusif dari Nurcholish Madjid dan pemikiran pribumisasi Islam dari Abdurrahman Wahid.
Wahib adalah pribadi yang gelisah. Ia memikirkan secara mendalam agamanya, dalam konteks dinamika serta kaitannya dengan kehidupan multi-agama dan beragam tradisi yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Cakrawala kebudayaan pemikiran keislaman Wahib ini penting dan aktual hingga saat ini. Semua ini menjadi renungan pribadi yang ia ungkapkan dalam kelompok diskusi terbatas dan catatan hariannya.
Kenapa catatan harian? Wahib menyadari ada pemikiran tertentu yang perlu menimbang ”kesiapan” masyarakat, bukan karena takut menyatakannya kepada khalayak luas. Wahib mengingatkan bahwa pembaruan pemikiran terhenti jika kaum pembaru sibuk menyerang kaum tradisional yang pahamnya sudah lama tersusun; dan kaum pembaru menyebarkan pemikiran yang belum matang serta utuh.
Pluralisme dan toleransi antar-agama serta tradisi, kebebasan berpikir, keintelektualan, ataupun sikap kebudayaan merupakan bahan-bahan penting pergulatan renungan Wahib yang sekarang kerap mengalami guncangan, kemunduran, dan bahkan terancam karam. Renungan Wahib tentang itu semua berisi penguatan, dukungan, dan kritik.
Hilangnya kuburan Wahib memang tidak berarti lenyapnya pluralisme dan toleransi antar-agama serta tradisi, kebebasan berpikir, keintelektualan, ataupun sikap kebudayaan di negeri ini. Namun, sikap abai ini merupakan salah satu cermin kurang hidupnya tradisi penghargaan masyarakat (khususnya kaum pemikir dan intelektual) terhadap makna kultural-simbolis kuburan seorang pemikir seperti Wahib. Bila bukan pelupaan dan pelenyapan, hilangnya kuburan Wahib merupakan bentuk pengabaian (artefak) sejarah.
Kuburan bukan tempat membuang bangkai manusia. Kuburan merupakan artefak otentik terakhir manusia yang pernah hidup di planet ini. Peradaban-peradaban besar memberikan penghormatan besar terhadap kuburan, tidak untuk dijadikan sesembahan, tetapi dijadikan jejak atau situs untuk mengenang biografi seseorang. Inilah salah satu makna penting kultural-simbolis kuburan.
Tak heran, kuburan para tokoh besar dan pahlawan diberikan tempat khusus yang pada masa lampau berupa piramida tempat penyimpanan mumi raja, candi untuk penyimpan abu, dan saat ini berupa kompleks makam pahlawan nasional untuk menguburkan mereka yang dianggap berjasa besar kepada kebudayaan masyarakatnya. ●
Perginya Bapak Toleransi Mesir
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 29 Maret 2012
Pada hari Sabtu, 17 Maret 2012, berita duka datang dari Mesir, mengembuskan rasa berkabung ke seluruh dunia. Berita duka itu tak lain adalah meninggalnya Paulus Shenouda III, pemimpin tertinggi Kristen Koptik Alexandria, Mesir, dalam usia 89 tahun.
Surat kabar harian terkemuka di Mesir, Al-Ahram, melansir sejumlah ucapan belasungkawa dan duka mendalam dari banyak pihak. Mulai dari tokoh-tokoh terkemuka di Mesir, dunia Arab, hingga dari Gedung Putih, Amerika Serikat.
Bahkan, para pemimpin Ikhwan Muslimin yang dalam beberapa tahun lalu (sebelum terjadi revolusi 25 Januari 2011) kerap bersitegang dengan kelompok Kristen Koptik juga menyampaikan rasa kehilangan atas meninggalnya Shenouda III (Al-Ahram, 18/3).
Simbol Toleransi
Bagi pihak-pihak yang mengimani pentingnya toleransi demi terwujudnya kehidupan umat beragama yang damai, ramah, dan saling menghormati, wafatnya Paulus Shenouda III tak sekadar peristiwa kematian biasa. Lebih dari itu, wafatnya Paulus Shenouda III bisa berarti juga meninggalnya toleransi. Khususnya di Mesir mutakhir pascarevolusi yang sampai sekarang terus dilanda pelbagai macam aksi kekerasan. Baik kekerasan yang bersifat sosial-politik maupun kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.
Paulus Shenouda III selama ini berperan sangat besar bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Mesir, khususnya antara umat Islam dan kalangan Kristen Koptik. Bersama-sama dengan tokoh keagamaan lain di Mesir, Paulus Shenouda III terus berjuang untuk menumbuhkan dan menjaga rasa persaudaraan di kalangan masyarakat Mesir. Hingga akhirnya masyarakat Mesir tidak terjebak dalam semangat sektarianistik yang bisa memecah belah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok agama, keyakinan, aliran, dan lainnya.
Sungguh tidak berlebihan apabila Imam Besar Syeikh Al-Azhar sekarang, Dr Ahmad Thayyib, menyebut wafatnya Paulus Shenouda III sebagai berita duka bagi seluruh masyarakat Mesir, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Bahkan, Ahmad Thayyib menyebut Paulus Shenouda III sebagai simbol dan contoh tokoh toleransi sejati.
Selama lebih kurang empat tahun di Mesir (1999-2004), penulis menyaksikan dan merasakan langsung teladan toleransi dari tokoh agama di Mesir—termasuk Paulus Shenouda III—yang senantiasa mendapatkan liputan masif dari media di sana. Khususnya pada momen-momen keagamaan, seperti Lebaran bagi umat Islam dan Natal bagi umat Kristiani.
Pada momen-momen penting seperti hari besar keagamaan, segenap pemuka agama di Mesir kerap memberikan ucapan selamat secara bergantian. Paulus Shenouda III, contohnya, kerap mengucapkan selamat merayakan ibadah puasa atau berlebaran bagi umat Islam. Sebaliknya, para pemuka umat Islam, seperti mantan Imam Besar Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi (yang telah meninggal dunia lebih dulu), juga kerap menyampaikan ucapan selamat Natal bagi umat Kristiani.
Teladan toleransi keagamaan seperti di atas mempunyai dampak psikis yang sangat besar bagi kehidupan umat beragama sehingga tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati di kalangan umat beragama. Apalagi, teladan toleransi dari para pemuka agama tersebut kerap mendapatkan liputan yang cukup besar oleh media setempat.
Inilah yang sampai sekarang belum banyak terjadi di dunia Islam lain, termasuk di Indonesia.
Di satu sisi, teladan toleransi dari para pemuka agama harus diakui memang masih sangat terbatas di Indonesia; justru yang jamak adalah pengharaman ucapan selamat atas hari raya umat agama lain. Sementara di sisi lain, pemberitaan media tentang toleransi juga masih sangat terbatas; justru yang jamak adalah pemberitaan tentang kawin-cerai artis, korupsi para elite bangsa, dan berita kriminalitas atau kekerasan.
Oleh karena itu, jangan heran apabila kehidupan masyarakat di negeri ini penuh dengan suasana konfliktual yang bersifat destruktif, bahkan anarkistis. Hal itu dimungkinkan mengingat mereka memang sangat jarang mendapatkan suguhan yang bersifat positif, seperti teladan toleransi. Alih-alih, yang terjadi justru segenap elite dan para pemimpin bangsa kerap mempertontonkan hal-hal yang sangat tidak pantas dilihat oleh masyarakat luas.
Krisis Tokoh
Dalam kondisi seperti sekarang, meninggalnya Paulus Shenouda III akan semakin menambah berat beban tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Mesir ke depan. Setidaknya, wafatnya Paulus Shenouda III akan semakin membuat Mesir masuk lebih dalam ke jurang ”krisis tokoh panutan”.
Sebagaimana dimaklumi, pascarevolusi 25 Januari 2011, Mesir mengalami krisis tokoh panutan yang sangat serius. Di kalangan para pemuda yang menjadi motor utama revolusi, misalnya, hampir tidak ada tokoh panutan yang disegani. Justru yang banyak ditemukan adalah ”orang-orang biasa” yang kerap mengklaim sebagai ”tokoh panutan”.
Inilah yang bisa menjelaskan pelbagai macam rentetan aksi kekerasan yang senantiasa terjadi di Mesir pasca-lengsernya Hosni Mubarak. Mulai dari aksi kekerasan yang terjadi di pusat-pusat pemerintahan hingga aksi kekerasan yang terjadi di lapangan sepak bola. Mulai dari kekerasan yang bersifat sosial-politik hingga kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.
Terlebih lagi reformasi seperti yang terjadi di Mesir saat ini memberikan kebebasan kepada siapa pun dan kelompok apa pun untuk memperjuangkan apa yang diyakininya, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok terlarang, seperti Ikhwan Muslimin dan kelompok salafi yang justru berhasil menguasai hampir 70 persen kursi parlemen.
Dalam kondisi seperti ini, Mesir sangat membutuhkan adanya tokoh panutan untuk memastikan bahwa semua kebebasan yang diperjuangkan hanya untuk kemaslahatan bangsa, persatuan nasional, serta kerukunan masyarakat di semua agama dan keyakinannya. Jika tidak, kebebasan yang ada hanya akan memicu pelbagai macam aksi kekerasan seperti yang selama ini kerap terjadi.
Apa boleh buat, kematian tetaplah kematian. Jika waktunya tiba, ia pasti terjadi tanpa memperhatikan kondisi di sekitarnya. Kematian tidak dapat ditahan oleh kebaikan atau bahkan oleh keyakinan.
Kini, Paulus Shenouda III telah mencapai finis kehidupan dan perjuangannya. Beliau tidak tahan untuk tidak segera menyusul teman seperjuangannya, Muhammad Sayyid Thanthawi, mantan Iman Besar Al-Azhar, yang telah pergi terlebih dahulu sejak dua tahun lalu.
Selamat jalan Bapak Toleransi. Semoga yang ditingggalkan dapat melalui jalan toleransi yang telah engkau lapangkan, termasuk bangsa Indonesia.... ●
SUMBER : KOMPAS, 29 Maret 2012
Pada hari Sabtu, 17 Maret 2012, berita duka datang dari Mesir, mengembuskan rasa berkabung ke seluruh dunia. Berita duka itu tak lain adalah meninggalnya Paulus Shenouda III, pemimpin tertinggi Kristen Koptik Alexandria, Mesir, dalam usia 89 tahun.
Surat kabar harian terkemuka di Mesir, Al-Ahram, melansir sejumlah ucapan belasungkawa dan duka mendalam dari banyak pihak. Mulai dari tokoh-tokoh terkemuka di Mesir, dunia Arab, hingga dari Gedung Putih, Amerika Serikat.
Bahkan, para pemimpin Ikhwan Muslimin yang dalam beberapa tahun lalu (sebelum terjadi revolusi 25 Januari 2011) kerap bersitegang dengan kelompok Kristen Koptik juga menyampaikan rasa kehilangan atas meninggalnya Shenouda III (Al-Ahram, 18/3).
Simbol Toleransi
Bagi pihak-pihak yang mengimani pentingnya toleransi demi terwujudnya kehidupan umat beragama yang damai, ramah, dan saling menghormati, wafatnya Paulus Shenouda III tak sekadar peristiwa kematian biasa. Lebih dari itu, wafatnya Paulus Shenouda III bisa berarti juga meninggalnya toleransi. Khususnya di Mesir mutakhir pascarevolusi yang sampai sekarang terus dilanda pelbagai macam aksi kekerasan. Baik kekerasan yang bersifat sosial-politik maupun kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.
Paulus Shenouda III selama ini berperan sangat besar bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Mesir, khususnya antara umat Islam dan kalangan Kristen Koptik. Bersama-sama dengan tokoh keagamaan lain di Mesir, Paulus Shenouda III terus berjuang untuk menumbuhkan dan menjaga rasa persaudaraan di kalangan masyarakat Mesir. Hingga akhirnya masyarakat Mesir tidak terjebak dalam semangat sektarianistik yang bisa memecah belah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok agama, keyakinan, aliran, dan lainnya.
Sungguh tidak berlebihan apabila Imam Besar Syeikh Al-Azhar sekarang, Dr Ahmad Thayyib, menyebut wafatnya Paulus Shenouda III sebagai berita duka bagi seluruh masyarakat Mesir, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Bahkan, Ahmad Thayyib menyebut Paulus Shenouda III sebagai simbol dan contoh tokoh toleransi sejati.
Selama lebih kurang empat tahun di Mesir (1999-2004), penulis menyaksikan dan merasakan langsung teladan toleransi dari tokoh agama di Mesir—termasuk Paulus Shenouda III—yang senantiasa mendapatkan liputan masif dari media di sana. Khususnya pada momen-momen keagamaan, seperti Lebaran bagi umat Islam dan Natal bagi umat Kristiani.
Pada momen-momen penting seperti hari besar keagamaan, segenap pemuka agama di Mesir kerap memberikan ucapan selamat secara bergantian. Paulus Shenouda III, contohnya, kerap mengucapkan selamat merayakan ibadah puasa atau berlebaran bagi umat Islam. Sebaliknya, para pemuka umat Islam, seperti mantan Imam Besar Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi (yang telah meninggal dunia lebih dulu), juga kerap menyampaikan ucapan selamat Natal bagi umat Kristiani.
Teladan toleransi keagamaan seperti di atas mempunyai dampak psikis yang sangat besar bagi kehidupan umat beragama sehingga tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati di kalangan umat beragama. Apalagi, teladan toleransi dari para pemuka agama tersebut kerap mendapatkan liputan yang cukup besar oleh media setempat.
Inilah yang sampai sekarang belum banyak terjadi di dunia Islam lain, termasuk di Indonesia.
Di satu sisi, teladan toleransi dari para pemuka agama harus diakui memang masih sangat terbatas di Indonesia; justru yang jamak adalah pengharaman ucapan selamat atas hari raya umat agama lain. Sementara di sisi lain, pemberitaan media tentang toleransi juga masih sangat terbatas; justru yang jamak adalah pemberitaan tentang kawin-cerai artis, korupsi para elite bangsa, dan berita kriminalitas atau kekerasan.
Oleh karena itu, jangan heran apabila kehidupan masyarakat di negeri ini penuh dengan suasana konfliktual yang bersifat destruktif, bahkan anarkistis. Hal itu dimungkinkan mengingat mereka memang sangat jarang mendapatkan suguhan yang bersifat positif, seperti teladan toleransi. Alih-alih, yang terjadi justru segenap elite dan para pemimpin bangsa kerap mempertontonkan hal-hal yang sangat tidak pantas dilihat oleh masyarakat luas.
Krisis Tokoh
Dalam kondisi seperti sekarang, meninggalnya Paulus Shenouda III akan semakin menambah berat beban tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Mesir ke depan. Setidaknya, wafatnya Paulus Shenouda III akan semakin membuat Mesir masuk lebih dalam ke jurang ”krisis tokoh panutan”.
Sebagaimana dimaklumi, pascarevolusi 25 Januari 2011, Mesir mengalami krisis tokoh panutan yang sangat serius. Di kalangan para pemuda yang menjadi motor utama revolusi, misalnya, hampir tidak ada tokoh panutan yang disegani. Justru yang banyak ditemukan adalah ”orang-orang biasa” yang kerap mengklaim sebagai ”tokoh panutan”.
Inilah yang bisa menjelaskan pelbagai macam rentetan aksi kekerasan yang senantiasa terjadi di Mesir pasca-lengsernya Hosni Mubarak. Mulai dari aksi kekerasan yang terjadi di pusat-pusat pemerintahan hingga aksi kekerasan yang terjadi di lapangan sepak bola. Mulai dari kekerasan yang bersifat sosial-politik hingga kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.
Terlebih lagi reformasi seperti yang terjadi di Mesir saat ini memberikan kebebasan kepada siapa pun dan kelompok apa pun untuk memperjuangkan apa yang diyakininya, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok terlarang, seperti Ikhwan Muslimin dan kelompok salafi yang justru berhasil menguasai hampir 70 persen kursi parlemen.
Dalam kondisi seperti ini, Mesir sangat membutuhkan adanya tokoh panutan untuk memastikan bahwa semua kebebasan yang diperjuangkan hanya untuk kemaslahatan bangsa, persatuan nasional, serta kerukunan masyarakat di semua agama dan keyakinannya. Jika tidak, kebebasan yang ada hanya akan memicu pelbagai macam aksi kekerasan seperti yang selama ini kerap terjadi.
Apa boleh buat, kematian tetaplah kematian. Jika waktunya tiba, ia pasti terjadi tanpa memperhatikan kondisi di sekitarnya. Kematian tidak dapat ditahan oleh kebaikan atau bahkan oleh keyakinan.
Kini, Paulus Shenouda III telah mencapai finis kehidupan dan perjuangannya. Beliau tidak tahan untuk tidak segera menyusul teman seperjuangannya, Muhammad Sayyid Thanthawi, mantan Iman Besar Al-Azhar, yang telah pergi terlebih dahulu sejak dua tahun lalu.
Selamat jalan Bapak Toleransi. Semoga yang ditingggalkan dapat melalui jalan toleransi yang telah engkau lapangkan, termasuk bangsa Indonesia.... ●
Thursday, March 15, 2012
Warisan Tan Malaka
Kompas, Sabtu, 29 Maret 2008 | 00:37 WIB
Yandry Kurniawan Kasim
Kunjungan Harry A Poeze ke Indonesia disambut bak bangsawan
oleh para pengagum Tan Malaka. Poeze berhasil menghadirkan sosok Tan Malaka di
Indonesia, bahkan dunia internasional dengan utuh, lengkap, dengan berbagai
romansa yang mengiringi alur kehidupannya.
Melalui berbagai karya Poeze, khalayak mengenal sosok Tan
Malaka yang misterius dan/atau kegemilangan gagasan yang seolah bersemburan
dari tubuh kurus, kecil, dan sakit-sakitan. Bagi kita, pengetahuan tentang Tan
Malaka justru dibentangkan oleh seorang Belanda, bangsa yang dilawan dan
berusaha diusir selama hidup Tan Malaka. Sebuah ironi, tetapi begitu humanis.
Gagasan Tan Malaka
Penghargaan tanpa batas harus diberikan kepada berbagai
gagasan Tan Malaka. Namun, tanpa mengurangi arti keluhuran buah pikirnya,
gagasan-gagasan itu dapat dipahami dan dimaknai secara lebih proporsional pada
dua tataran, filosofis dan strategis.
Pada tataran filosofis, gagasan Tan Malaka begitu progresif
dan visioner, melampaui zamannya. Ini ditunjukkan minimal oleh dua karya Tan
Malaka, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) ditulis di
Kanton tahun 1925, dan Madilog (Materialisme, Logika, Dialektika) ditulis tahun
1942-1943.
Melalui karya pertama, tak berlebihan jika Moh Yamin
menyebut Tan Malaka sebagai ”Bapak Republik Indonesia”. Di sini Tan Malaka
tidak hanya mencanangkan Indonesia merdeka, tetapi sekaligus menetapkan
Indonesia merdeka itu kelak akan berbentuk republik.
Menuju Republik Indonesia ditulis delapan tahun lebih awal
dari Ke Arah Indonesia Merdeka yang ditulis Moh Hatta tahun 1932 dan sembilan
tahun lebih awal dari Mentjapai Indonesia Merdeka yang ditulis Soekarno tahun
1933.
Sementara Madilog berawal dari kegelisahan Tan Malaka dalam
memahami nasib bangsanya sebagai resultan feodalisme, kolonialiasme, dan
kepercayaan terhadap takhayul yang bercampur ilmu akhirat yang tanggung.
Madilog memberi jalan keluar dengan mengenalkan
dialektika-materialisme dalam tradisi keilmuan Barat, dengan menonjolkan
penguatan logika sebagai tahap awal. Pada dasarnya, Madilog berupaya menawarkan
satu kerangka pikir modern sebagai alat pembongkar (dekonstruksi dan
rekonstruksi) bongkahan keterbelakangan intelektual masyarakat Indonesia pada
masa itu.
Pada tataran strategis, gagasan Tan Malaka begitu radikal,
nonkooperatif, bahkan konfrontatif dengan highest call yang begitu tinggi,
seperti dituangkan dalam Minimum Program yang dicanangkannya tahun 1946.
Gagasan pada tataran ini dapat ditelaah dari dua sisi pandang.
Pertama, tuntutan radikal, nonkooperatif, dan konfrontatif
akan berguna dalam membakar semangat persatuan dan perjuangan kaum muda dalam
mempertahankan republik yang masih bayi.
Kedua, dari sisi pragmatisme penyelenggaraan negara yang
baru lahir beserta seluruh keterbatasan sumber daya dan faksionalisme yang
begitu tajam, Minimum Program menafikan realitas sifat hubungan antarnegara
dalam sistem internasional.
Dengan semangat kebijakan yang radikal, nonkooperatif, dan
konfrontatif, sulit untuk membayangkan Indonesia akan mendapat dukungan
internasional, terutama dari negara adidaya ketika itu untuk bertahan.
Secara empiris, sejarah memperlihatkan tidak ada negara
setelah Perang Dunia II yang dapat berdiri sendiri tanpa bantuan internasional
(khususnya Amerika Serikat), baik negara pemenang maupun kalah perang di Eropa
maupun Pasifik. Kebijakan-kebijakan politik (terutama politik luar negeri dalam
bernegosiasi dengan aktor eksternal) yang dipaksakan Tan Malaka saat itu sangat
membatasi (kalau tidak menghilangkan) ruang gerak serta alternatif pendekatan
dan pilihan solusi.
Warisan Tan Malaka
Terlepas dari semua kegemilangan maupun kontroversinya,
gagasan Tan Malaka adalah pemikiran orisinal anak bangsa yang ditujukan untuk
kemajuan peradaban bangsanya dan mendapat tempat yang mendunia. Keseluruhan
gagasan Tan Malaka harus diapresiasi sebagai sebuah kesempurnaan olah budi
sehingga harus dilestarikan dalam taman sari khazanah intelektual bangsa
Indonesia.
Dalam konteks kekinian, ada dua pilihan moderat untuk
melestarikan warisan Tan Malaka.
Pertama, memopulerkannya sebagai kajian akademik, khususnya
di perguruan-perguruan tinggi. Gagasan Tan Malaka akan memperkaya ilmu sosial
dan politik yang telah berkembang di Indonesia.
Kedua, menjadikannya sebagai rujukan dalam setiap bentuk
moral enterpreneur dalam setiap gerakan civil society berdampingan secara
harmonis dengan paham-paham humanisme lainnya.
Gagasan Tan Malaka pada tataran filosofis tak tergantikan
meski pada tataran strategis perlu perdebatan lebih dalam, apalagi jika
disandingkan dengan dinamika Indonesia modern saat ini. Namun, di atas semua
itu, gagasan (bahkan ajaran) Tan Malaka harus tetap lestari dan berkontribusi
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keunggulan olah budi itu jangan hanya berakhir menjadi fosil
sejarah di balik pigura dalam ruang hampa dan tidak tersentuh gerak peradaban,
yang akhirnya hanya dipatut-patut oleh generasi penerus sepanjang zaman.
Setelah 57 tahun sejak kematiannya, setelah lebih dari setengah
abad, misteri kematian Tan Malaka baru terungkap. Syahdan seorang bijak pernah
berkata, ”revolusi memakan anak kandungnya sendiri”, maka Tan Malaka adalah
anak kandung yang menjadi korban revolusi perjuangan. Ia menjadi korban meski
seluruh hidup dan kehidupannya telah didedikasikan untuk negara merdeka 100
persen yang dicita-citakannya.
Yandry Kurniawan Kasim Peneliti Pusat Kajian Global Civil
Society-Universitas Indonesia
Pedagogi Humanisme Mangunwijaya
Kompas, Jumat, 20 Maret
2009 | 05:24 WIB
A FERRY T
INDRATNO
Konsep
Pasca-Indonesia dan Pasca- Einstein merupakan konsep dasar humanisme
Mangunwijaya yang dilandasi keprihatinannya. Kita masih suka berpikir dehumanis
dalam bentuk pemikiran yang sempit, terkotak-kotak, bercita rasa dangkal,
munafik, tidak fair, tidak jujur, serakah, manipulatif, tidak cerdas, dan tidak
dewasa.
Dalam bidang
pendidikan, situasi tersebut mengakibatkan generasi muda, khususnya peserta
didik, tidak mendapatkan tanah tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang
menjadi semakin cerdas dan manusiawi. Seluruh iklim masyarakat tidak
menguntungkan untuk menjadi manusia cerdas berkarakter tinggi.
Romo Mangun
menolak sistem pendidikan yang membuat anak menjadi seragam karena pendidikan
yang menyeragamkan akan mengakibatkan dehumanisme pada diri anak. Pendidikan
sejati, dalam arti yang humanis seperti yang dirintis generasi ’28, telah
kehilangan makna dan menyimpang sejak Orde Baru yang sisa-sisanya masih ada sampai
kini.
Kurikulum
terselubung—tempat penguasa menyalurkan kemauan politiknya—dari TK sampai
perguruan tinggi, adalah sistem komando, sistem taat, dan sistem hafalan kepada
yang memberi instruksi. Meskipun dalam ketentuan kurikulum tingkat satuan
pendidikan kegiatan pembelajarannya bisa dikembangkan di daerah masing-masing,
tetap saja standarnya ditentukan secara terpusat dan diuji secara nasional. Anak
hanya menjadi obyek yang mengabdi pada kepentingan penguasa. Suasana dialogis
yang diharapkan terdapat dalam proses belajar-mengajar tidak terjadi karena
yang dijalankan di dalam kelas adalah sistem komando, taat dan hapalan. Anak-anak
menjadi kehilangan suara.
Model pendidikan
penyeragaman hanya menghadirkan sosok dehumanis, kader-kader penghafal, pembeo,
dan ”katak dalam tempurung”. Terjadi kesempitan cakrawala pandang yang pada
gilirannya akan melahirkan fundamentalisme dan chauvinisme yang membentuk
individu-individu fasis yang bermental penyamun, perompak, penggusur tak
berperikemanusiaan, yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.
Dampak lain dari
kesempitan pandangan adalah ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap
kebenaran: orang merasa enak saja berbohong, korupsi, dan sebagainya tanpa
merasa bersalah. Sementara di kalangan muda semakin lenyap kemauan untuk
berpikir luas, eksploratif, dan kreatif. Muncul rasa rendah diri yang disertai
kecenderungan primordial yang pada gilirannya melunturkan rasa solidaritas
kebangsaan.
Upaya SD Mangunan
Melalui
eksperimen pendidikan di SD Mangunan, diimplementasikan konsep Pasca-Indonesia
(PI) dan Pasca-Einstein (PE). Melalui implementasi konsep itu dalam eksperimen
pendidikan terjadi tinjauan kritis atas dominasi pemerintah dan kebijakan
kurikulum yang menyeragamkan, mendomestifikasi, menstupidifikasi, dan mendehumanisasi
anak.
Nilai-nilai yang
disampaikan Romo Mangun melalui penerapan konsep PI dan PE di SD Mangunan tentu
berbeda dari nilai-nilai yang diterapkan negara melalui kurikulum. Budaya
mayoritas yang terwujud dalam kurikulum tidak mendominasi kebiasaan (habitus)
dan arena (field) anak-anak SD Mangunan karena mereka memiliki pengetahuan dan
nilai budaya yang berbeda dari budaya massa mayoritas. Melalui penerapan konsep
PI dan PE, budaya massa mayoritas tidak dapat ”dilanggengkan”.
Konsep habitus,
menurut Bourdieu, adalah pembiasaan (pikiran, persepsi, aksi) dalam kondisi
tertentu. Habitus membuat tindakan seorang individu menjadi sensible dan
reasonable. Habitus adalah struktur subyektif (mental) di mana seorang agen
menghasilkan tindakannya. Bourdieu menyebutnya sebagai disposisi terstruktur.
Artinya, habitus adalah struktur kepatuhan atau kesiapsediaan seseorang untuk
menghasilkan tindakan.
SD Mangunan
adalah sebuah SD yang menghasilkan anak- anak yang kreatif,
eksploratif-komunikatif, dan integral, juga telah menghasilkan berbagai desain
pembelajaran, lembar kerja, materi pelajaran, alat peraga, dan berbagai
pelajaran khas serta pola pengasuhan siswa yang berbeda dari budaya massa
mayoritas. Hasil-hasil eksperimen itu merupakan nilai alternatif, khususnya
jiwa kreatif, eksploratif-komunikatif, dan integral adalah sebuah habitus
anak-anak SD Mangunan yang dipakai untuk mendekonstruksi kultur massa
mayoritas.
Evolusi
kebudayaan
Dalam pandangan
Romo Mangun, pembaruan pendidikan perlu ditempatkan di dalam kerangka evolusi
kebudayaan yang menjadi sasaran utama pendidikan adalah perubahan dan
pembentukan sikap-sikap dan kebudayaan yang baru. Maka, yang paling mendesak
adalah perbaikan secara menyeluruh dan intensif pendidikan dasar. Bukan sekadar
perbaikan masalah teknis didaktik-metodik, melainkan juga hal-hal yang
ideologis, strategis-paradigmatis.
Salah satu kunci
terpenting dalam rangka mewujudkan pembaruan pendidikan dalam rangka evolusi
kebudayaan semacam itu adalah faktor manusia yang secara formal dipercaya
menjalankan peran sebagai guru. Selain memiliki penguasaan teknis, seorang guru
lebih-lebih harus merupakan seorang pribadi humanis yang sudah mengalami
pencerahan sehingga ia mampu mengembalikan situasi pendidikan yang menghargai
”anak sebagai anak”.
Mengapa penyiapan
sosok manusia PI dan PE dipilih melalui sekolah dasar? Menurut Romo Mangun, ada
beberapa alasan. Pertama, yang mendasar itu sekolah dasar. Jenjang sekolah
dasar merupakan ekosistem dan basis yang strategis bagi evolusi kita sebagai
bangsa.
Kedua, suatu
sistem pendidikan sekolah dasar yang cocok bagi anak-anak miskin akan merupakan
sejenis pengalaman baseline yang pasti bisa diterapkan bagi anak-anak yang
kaya. Sebaliknya, sistem pendidikan sekolah dasar yang baik untuk anak-anak kaya
belum tentu cocok diterapkan untuk anak-anak miskin.
Ketiga, kenyataan
bahwa di kalangan seluruh penduduk negeri kita, mayoritas anak-anak mereka
dalam jangka waktu cukup lama masih akan hanya mencapai jenjang sekolah dasar,
tak mampu melanjutkan belajar ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
A FERRY T
INDRATNO Bekerja di Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta
Mangunwijaya Memihak yang Tersingkir
Kompas Jumat, 20 Maret 2009 | 05:25 WIB
ST SULARTO
Yusuf Bilyarto Mangunwijaya dan Sutan Sjahrir sama-sama
humanis. Mangunwijaya termasuk salah satu pengagum Sjahrir. Apresiasi
Mangunwijaya yang disampaikan dalam berbagai kesempatan lisan maupun tulisan
selalu merujuk Sjahrir.
Mangunwijaya dan Sjahrir memiliki filosofi dasar yang mirip.
Kemanusiaan harus dibela dengan
segala risiko. Perbedaannya, yang satu seorang rohaniwan, satunya lagi tidak
begitu hirau dengan agama. Sjahrir yang humanis menjadi korban politik
kekuasaan, sementara Mangunwijaya yang muncul kemudian menempatkan konflik
politik Sjahrir vs Soekarno dalam ungkapan yang berimbang, secara tidak
langsung merupakan nuansa humanisme. Bagi Romo Mangun, Sjahrir dan Soekarno adalah
dua tokoh nasional yang saling memperkaya dan saling melengkapi.
Paham humanisme
mempersatukan Sjahrir dan Mangun. Humanisme bukan paham yang monolitik, tetapi
berbentuk dalam berbagai model kendati semuanya mengedepankan paham dimensi
esensial manusia universal. Terbentang sejak gerakan humanisme Renaisans di
Eropa abad ke-16 hingga ke-17, humanisme kosmopolitan, humanisme Pencerahan,
hingga humanisme baru pascamodernisme, humanisme Mangunwijaya memungut unsur
positif semua humanisme.
Praksis pendidikan,
bidang yang bagi Romo Mangunwijaya merupakan bidang paling strategis untuk
penghargaan harkat kemanusiaan diperkaya sisi-sisi positif humanisme. Dari
humanisme Renaisans yang mengagungkan rasionalitas dia pungut hak dasar yang
harus dimiliki setiap anak manusia, utamanya hak pendidikan dasar bagi anak
miskin.
Sejalan dengan
humanisme baru pascamodernisme dan Pencerahan, Mangun menekankan metode
pendidikan yang mampu menumbuhkan dalam diri anak kesadaran tentang
multidimensionalitas dan pluralitas. Metode yang dianjurkan adalah metode
pencarian bersama, antara guru dan murid, metode pendidikan yang ditemukan dan
disarankan oleh tokoh-tokoh seperti Freire, Ivan Illich, Montesori; sesuatu
yang kemudian sebagai referensi praksis pendidikan yang dikembangkan SD
Mangunan dengan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Anak didik adalah subyek
sekaligus obyek praksis pendidikan. Pilihan Romo Mangun menjadi salah satu
penggagas-pemikir sekaligus praktisi pendidikan bagi anak miskin merupakan
sesuatu yang tidak dipersiapkan secara sengaja. Dia memasuki wilayah itu
sebagai semacam serendipitas (serendipity) atau kecelakaan di tengah
pergulatannya mendampingi rakyat kecil.
Konsep kegunaan
Ketika praksis
pendidikan menjadi salah satu lahan pengembangan humanisme, konsep arsitektur
dia bongkar tidak sekadar hasil rekayasa bangunan, melainkan dengan konsep guna
dan citra. Dia tekankan fungsi sebuah bangunan. Istilah arsitektur dia
singkiri, diganti dengan istilah ”wastu” yang bermuatan lebih hakiki,
menyeluruh, dan berkait langsung dengan pemanusiawian manusia. Konsep kegunaan
menunjuk pada manfaat, keuntungan, dan pelayanan yang diperoleh dari bangunan.
Kebiasaan dan
keberanian menggunakan bahan-bahan lokal seperti yang selalu dipraktikkan Romo
Mangun, termasuk juga dalam memanfaatkan teknologi lokal menggunakan tenaga
sekitar, dengan tidak meninggalkan sentuhan modern, dari sisi lain merupakan
bentuk representasi lain keberpihakan pada peningkatan harkat manusia miskin. Ditempatkan
dalam zaman kini, dengan penekanan kepentingan aspek ekonomi sebagai panglima,
maka ada kecenderungan mengukur kemanusiaan dan arsitektur sebatas aspek
ekonomi. Konsep ini, menurut Romo Mangun, berarti mereduksi aspek kehidupan
yang seharusnya merupakan sesuatu yang utuh dan membangun relasi kebersamaan
dengan sekitar.
Panelis yang
arsitek sekaligus penerus fanatik gaya Mangunwijaya merefleksikan beberapa ciri
yang disebutnya sebagai pesan sekaligus roh yang ingin disampaikan atas nama
humanisme.
Obsesi
kemanusiaannya tidak saja diwujudkan dalam konsep bangunan, gagasan, dan
praksis pendidikan, tidak hanya lewat berbagai seminar dan khotbah di gereja,
tidak hanya dalam novel-novelnya, tetapi juga dalam segala kegiatan praksis
politik advokasi. Advokasinya untuk rakyat Kedungombo dan pinggir Kali Code
menegaskan keberpihakan, termasuk dukungannya pada ide federalisme dan
reformasi Indonesia.
Romo Mangun
berpolitik, tidak berpolitik dalam arti mencari, membesarkan, dan melanggengkan
kekuasaan sebagai virtue yang dianjurkan Machiavelli. Dalam berpolitik Romo
Mangun menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikan demi
kesejahteraan umum, kemaslahatan, dan kebaikan bersama.
Semua kegiatan
dan perjuangan Romo Mangun perlu dibaca sebagai keberpihakan yang tulus kepada
manusia miskin, tersingkir, dan tergusur. Seorang panelis berspekulasi,
sekiranya tidak berlatar belakang seorang rohaniwan, tidak mustahil ia
menggunakan marxisme sebagai senjata untuk membela kaum tertindas. Karena iman
Katolik-lah terutama, Romo Mangun mengkritik PKI, sebuah partai yang tidak
pernah mau mengakui Sjahrir sebagai politikus yang bersih dan jujur.
Meski sangat
kritis terhadap perkembangan negeri ini, Romo Mangun optimistis di tengah
pesimisme rakyat kecil. Ia masih membayangkan pada tahun 1998, tanggal 26 Mei,
beberapa hari setelah Soeharto melengserkan diri, membabak dua tahap Indonesia
tampil sebagai negara besar setelah sekian tahun sia-sia membuang energi. Di
usia 100 tahun Sumpah Pemuda, tahun 2020 dan 205 di usia 100 tahun Indonesia
Merdeka, katanya, negeri ini akan mencapai a truly democratic Indonesia has
taken shape. Semata-mata kemerdekaan politik tidak cukup. Kemerdekaan sejati
adalah kemerdekaan seluruh warga secara penuh dalam iklim demokrasi yang
memberi keadilan kepada semua warga tanpa pilih kasih.
Warisan yang ditinggalkan, setelah 10 tahun Romo
Mangunwijaya ”berangkat” adalah sebuah buku yang terbuka dengan halaman-halaman
kosong untuk diisi oleh generasi kemudian; kalimat-kalimatnya masih koma, yang
tidak saja perlu diperkaya, diaktualisasikan, tetapi juga perlu dilaksanakan.
Tantangan atas dehumanisme ada di depan mata! Praktik pemerintahan yang kurang
berpihak pada rakyat akan memperparah keterpinggiran kita, tidak saja oleh sisi
negatif globalisasi anak kandung neoliberalisme tetapi juga oleh keterpicikan
berseteru di antara kawan sendiri! Melik nggendong lali!
Mangunwijaya dalam Novel
Kompas, Jumat, 20 Maret 2009 | 05:27
WIB
ERWIN EDHI PRASETYO
Membaca novel Romo Mangun berarti membaca humanisme yang
dikembangkan Mangunwijaya. Dalam
pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel, serta tindakan
konkret Romo Mangun, menunjukkan sosok multidimen- si dan multiperhatian.
Setiap dimensi
itu diisinya dengan penuh kesungguhan dan dengan energi yang hampir tanpa
batas. Melalui novel, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang kemanusiaan
dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat jelas dan memakainya
sesuai kebutuhan. Romo Mangun adalah sosok pendongeng yang murah hati. Ia
bercerita dengan lincah, dengan gaya bahasa sederhana sehingga pembaca dengan
mudah bisa menyelami isi novelnya.
Mangunwijaya
benar-benar merayakan perbedaan cara bertutur di dalam novelnya. Kadang seorang
Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada
cucunya, misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan
riang walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.
Trilogi roman
sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa dibilang merupakan
novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan. Novel ini bisa dinikmati oleh
beragam kalangan yang punya selera rasa berbeda-beda. Ditambah Durga Umayi dan
Burung-burung Manyar, kedua novel itu memenuhi resep manjur cerita, yakni
memiliki karakter terfokus dan terbatas. Ada ketegangan asmara dan soal hidup
mati. Novel-novel ini menunjukkan Romo Mangun adalah pencerita piawai dengan
tetap berusaha menjaga kedalaman sastra.
Teks-teks gelap
Dari sisi gaya
penulisan, Romo Mangun tampak mengambil jalan yang unik. Yang dilakukannya
berbeda dengan kaidah umum tulisan, misalnya dalam dunia media massa, bahwa
paragraf awal harus dibuat semenarik mungkin, sebab paragraf awal bagaikan
sinar yang akan menerangi teks-teks di bawahnya. Romo Mangun, dalam rumusan Ayu
Utami, justru menempatkan ”teks-teks gelap” sebagai paragraf pembuka yang
dinamai sendiri oleh Romo Mangun sebagai teks ”prawayang”.
Di sisi lain,
yang menarik dari novel-novel Mangunwijaya ialah selalu konsisten tidak pernah
menggambarkan tokoh lelaki superideal pujaan setiap wanita. Karakter ini mirip
seperti tokoh Minke dalam tetralogi Pramoe- dya Ananta Toer atau Ahmad dalam
Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisjahbana.
Mangunwijaya juga
tak mau terjebak pada stereotip Barat sebelum postmodern yang membagi perempuan
dalam dua karakter utama; perawan murni yang baik-baik dan perempuan penggoda,
perempuan korban dan femme fatale. Ia melukiskan tokoh-tokoh perempuan yang
senang dengan tubuh mereka tanpa mengeksploitasi seksualitas dan birahi
perempuan.
Keindonesiaan
Tidak berbeda
dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti Pramoedya dan Sutan
Takdir, Mangunwijaya di hampir semua karyanya juga bercerita tentang
keindonesiaan, tentang terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis
melalui pemikirannya yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari
kebanyakan kisah-kisah sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, dengan berani
ia membuat dialog yang mengolok-olok mereka yang dianggap pahlawan, tetapi
tanpa ada kebencian di dalamnya.
Meski kini bangsa
Indonesia sudah lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan
fisik, toh cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru,
modernitas, dan kapitalisme global kini gantian memerkosa (Ibu) Pertiwi. Perkosaan
ini menjadikan Pertiwi layu dan tak berdaya, miskin yang selanjutnya melahirkan
kekerasan-demi kekerasan menuntut keadilan. Dari kisah ini pun tertangkap pesan
kamanusiaan Romo Mangun, kekerasan hanya akan menghasilkan perlawanan dan
kekerasan yang lain sehingga akan saling meniadakan dan menghancurkan.
Dalam novel
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, sikap Mangunwijaya terhadap penjajahan jelas
terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses makan dimakan. Ikan besar (hiu)
memakan ikan kecil (ido), ikan kecil (ido) memakan ikan lebih kecil (homa). Oleh
karena itu, Ayu Utami menggolongkan karya sastra Romo Mangun dalam kanon sastra
Indonesia. Mangunwijaya disejajarkan dengan Pramoedya dan Sutan Takdir.
Dengan kanon
sastra itu berarti karya-karya mereka masuk dalam kesusastraan yang wajib
dibaca orang-orang sekolahan untuk memahami keindonesiaan, yang sekaligus juga
menjadi patok, tonggak kebesaran kesusastraan Indonesia. Membaca karya ketiga
tokoh itu akan mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci dunia
melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan identitas
yang kini menjadi pemecah belah manusia.
Humanisme Mangunwijaya Buku yang Terbuka
Jumat, 20 Maret 2009 | 05:26 WIB
Berbicara tentang Mangunwijaya berarti berbicara tentang
humanisme, sebuah topik yang senantiasa aktual, tidak lekang, dan terus
diperjuangkan. Humanisme menuntut pembaruan hidup, terlebih-lebih sikap terus
menjadi manusiawi, ziarah kehidupan dari hominisasi menuju humanisasi menurut
istilah Drijarkara.
Melalui pergulatan pemikiran, penghayatan, dan hidup
keseharian dalam kategori sebagai arsitek, novelis, aktivis LSM, pendidik dan
pastor, Romo Mangun melakukan peziarahan tanpa kenal lelah. Rekam jejaknya amat
liat, merasuki segala bidang kehidupan dengan fokus penghargaan tinggi terhadap
harkat manusia, yang tidak terbebas dari kekurangan, tetapi memperoleh
kedudukan tertinggi di atas segala ciptaan.
Lewat karya-karya yang bernapas humanis, dia meninggalkan
warisan secara fisik dalam novel, bangunan arsitektur, dan buku-buku referensi.
Keberpihakannya pada mereka yang miskin (tidak selalu dalam
arti ekonomis) dan terpinggirkan sangat signifikan. Kritik kerasnya tentang
kebangkitan dari rasa rendah diri, inlander bangsa kuli, disampaikan dengan
segala cara, bahkan sering berkesan sarkastis.
Mengenai praksis pendidikan, sebuah istilah yang selalu dia
sampaikan mengutip kosakata temuan Paulo Freire, sikapnya jelas: praksis
pendidikan selama ini membelenggu anak didik. Dari semua jenjang pendidikan,
terpenting adalah pendidikan dasar, terutama sekolah dasar. Fasisme Jepang dan
militerisme era Orde Baru menjadi sasaran tembak kritisnya. Pendidikan harus
membebaskan, kata panelis Supratiknya, sehingga ia melakukan uji coba SD
Mangunan.
Arsitektur di mata Mangunwijaya bukanlah sekadar perwujudan
rancang bangun, melainkan juga bangunan kehidupan. Menurut panelis Eko Prawoto—
salah satu arsitek pengikut fanatik gaya arsitektur Romo Mangun—substansi
arsitektur yang terutama adalah perkara nilai, gagasan, dan sikap batin.
Arsitektur merupakan rangkaian relasi yang majemuk.
Dari semua karya fiksinya, kata panelis Ayu Utami—novelis
yang belum pernah bertatap muka dengan Romo Mangun—tidak pernah ditampilkan
manusia yang sungguh-sungguh keji. Tokoh Durga yang dalam alam pikir orang Jawa
adalah tokoh ”hitam” dia balikkan sebagai tokoh ”putih” yang senantiasa muncul
dalam semua novelnya, tidak hanya dalam novel Durga Umayi.
Konsep kemanusiaan yang padu, demikian Ahmad Syafii Maarif,
membuat kehadiran Romo Mangun mengatasi ruang dan waktu. Kekaguman Romo Mangun
tentang pemikiran dan praksis politik Sutan Sjahrir karena keduanya menempatkan
sisi kemanusiaan sebagai fokus, menurut Maarif, kemanusiaan Sjahrir dilengkapi
dengan pengalaman getir hidup dalam masa penjajahan Belanda, Jepang, dan
kemudian di bawah rezim otoritarian Orde Baru. Bertemulah konsep dunia dan
manusia yang tidak pernah hitam putih dalam Sjahrir maupun Mangunwijaya.
Humanisme yang dikembangkan Mangunwijaya ibarat buku yang
masih terbuka, masih koma, belum titik. Humanisme dengan fokus jati diri
manusia yang abu- abu, tidak hitam-putih, masih perlu terus dikembangkan. Tidak
mudah memang sebab masih berkembang subur kultur budaya feodalisme yang
telanjur mendarah daging, pencampuradukan ”milikku” dan ”milik negara” warisan
feodalisme khas Jawa maupun warisan sebagai bangsa terjajah. Memang, walaupun
belum terjabar luas, Romo Mangun menawarkan konsep manusia humanis dengan
istilah manusia Pasca-Indonesia, Pasca-Nasional, Pasca-Einstein.
Yang dicita-citakan adalah sosok manusia Indonesia yang
terbuka pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Di tengah karut-marut bangsa Indonesia saat ini, humanisme
Mangunwijaya menjadi relevan. Dia ibarat menawarkan tempat menengok pada saat
kehidupan berbangsa dan bernegara belum menempatkan manusia sebagai fokus, di
tengah praktik dehumanis yang hadir dalam keseharian kita. (STS)
BOHONG ADALAH LAKNAT, SINDHUNATA
Kompas Jumat, 24 Feb 2012 08:15 WIB
Bohong! Kata inilah yang sekarang sedang naik
daun. Memang, rakyat sedang muak dengan ”drama kebohongan”, di mana aktor dan
aktrisnya adalah politikus-politikus yang nuraninya sudah bebal terhadap
kebenaran.
Lah, wong rakyat kecil dan anak-anak saja
tergila-gila ingin memiliki Blackberry (BB), bagaimana mungkin orang percaya
bahwa seorang pesohor dan legislator sekelas Angelina Sondakh mengaku tak
memiliki Blackberry sebelum akhir 2010?
Bagaimana kita tidak gemas ketika dalam sidang
perkara korupsi wisma atlet dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin, Rabu (15/2),
Angelina Sondakh sebagai saksi dengan enteng terus menyangkal semua fakta yang
menunjukkan keterlibatannya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki
bukti rekaman pembicaraan Angelina dengan Mindo Rosalina melalui BBM
(perpesanan dengan BB). Ketika bukti itu disinggung, Angelina kembali
menyangkal, mengaku tak mengenali pembicaraan tersebut. Saking jengkelnya,
pengacara Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea, mencemooh, ”Apa hantu yang mengirim
BBM ini?”
Angelina juga mengaku tak paham kode-kode
permintaan uang kepada Mindo seperti ”apel malang”, ”apel washington”, dan
”semangka”. Padahal, menurut Mindo, kode-kode itu jelas-jelas digunakan dalam
percakapan mereka.
Seperti Angelina, Mahyudin, politikus Partai
Demokrat dan Ketua Komisi X DPR, juga menyangkal keterlibatannya. Terhadap
pertanyaan majelis hakim, jaksa, dan pengacara, Mahyudin—yang juga Guru Besar
Universitas Sriwijaya itu—menjawab, ”Tidak tahu, lupa, atau tidak ingat.”
Alasan lupa adalah ia pernah terserang
stroke. Dalam pertemuan dengan Andi Mallarangeng, Nazaruddin, dan Angelina
Sondakh, yang ia ingat adalah makanan udang. ”Katanya stroke, tetapi malah
ingat udang.” ”Masa orang yang lupa dipercaya jadi pemimpin komisi DPR.”
Lagi-lagi, begitu cemooh Hotman Paris Hutapea.
Kita tentu masih
harus menunggu hasil sidang lanjutan perkara Nazaruddin. Semua orang tahu,
perkara ini sarat muatan politik. Tak
heran jika mereka yang berkepentingan mengatur mekanisme begitu rupa agar
skandal politik yang lebih besar tidak terbongkar. Rakyat yang paling sederhana
pun tahu, perkilahan Angelina Sondakh dan kelupaan Mahyudin adalah bagian dari
mekanisme kebohongan itu.
Kanker ganas
Di mana-mana politik memang tak bisa
terpisahkan dari kebohongan. Kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena
politik memang tidak berkenaan dengan kebenaran, tetapi dengan naluri
mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Itulah yang dibahas filsuf politik
Hannah Arendt dalam bukunya Wahrheit und Lüge in der Politik—Kebenaran dan
Kebohongan dalam Politik (1971).
Menurut Arendt, politik bergerak sedemikian
rupa sehingga mendepak kebenaran. Politik menjadi sekadar upaya mempertahankan
kekuasaan malah cenderung jadi permainan. Hakikatnya adalah ”Who get
What, When, How”.
Machiavelli lebih
realistis lagi. Menurut dia, seorang penguasa boleh mengingkari janjinya
apabila janji itu ternyata merugikannya dan apabila tiada lagi alasan untuk
tetap berpegang teguh pada janjinya. Jika semua manusia adalah baik, usul itu
keliru. Namun, berhubung manusia tidak baik dan tidak bisa memegang
kata-katanya sendiri, penguasa juga tidak perlu berpegang pada kata-kata yang
dijanjikan. Juga apabila belum ada alasan yang benar secara hukum, penguasa
bisa saja menutupi ingkar janjinya dengan kebohongan.
Kita boleh tidak
setuju dengan pendapat Machiavelli itu. Namun, jika kita terima sebagai sinisme
terhadap kekuasaan, pendapat itu akan membuat kita realistis terhadap fakta
bahwa kekuasaan tak lepas dari kebohongan. Kata Machiavelli, kekuasaan terkait
dengan kodrat manusia yang suka bohong.
Memang, bohong,
kebohongan, dan pembohongan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Tak ada
larangan yang begitu sering dilanggar seperti larangan jangan berbohong. Di
dunia ini ada manusia yang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berselingkuh,
tetapi tak pernah ada manusia yang tak berdusta atau berbohong. Maka, kata
novelis dan esais Jean Paul, bohong adalah kanker ganas di bibir hati terdalam
manusia. Kata penyair Heinrich Heine, kebohongan bahkan bisa menyelip ke dalam
ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan
manis.
Oli kebohongan
Kebohongan bisa menyelip ke mana-mana, apalagi
ke dalam politik. Itulah yang sesungguhnya kita alami sekarang ini. Politik
kita memang sedang bermantelkan kebohongan. Meminjam kata-kata sutradara teater
dan esais di Paris dan Berlin, Benjamin Korn, politik kita bagaikan mesin yang
olinya adalah kebohongan. Dalam politik macam ini, para politikus tidak lagi
berpikir tentang rakyat, tetapi hanya bagaimana meningkatkan kerakusan dan
berahi kekuasaan. Caranya dengan mempraktikkan kebohongan.
Kalaupun relasi politik kelihatan lancar, itu
bukan karena para politikus menepati norma dan etika kebenaran, melainkan
karena hubungan itu dilumasi terus dengan oli kebohongan. Sekali pelumasan
kebohongan berhenti, mesin politik akan macet. Jika macet, mesin politik hanya
merugikan. Maklum, politik kita berjalan tidak semata-mata untuk mempertahankan
kekuasaan, tetapi juga memanfaatkan kekuasaan untuk mengumbar nafsu ketamakan
akan harta dan uang.
Maka, roda gila kebohongan bergerak semakin
cepat, sampai kita tidak kuasa lagi mengeremnya. Kita diseret untuk hidup dalam
sistem kebohongan. Kita pun tertipu dan terjerat total oleh kebohongan itu
sampai kita seakan tak dapat lagi keluar. Kita jengkel, tetapi tak tahu mana
jalan keluar. Lama-lama kita juga terninabobokkan oleh kebohongan itu. Itulah
mungkin maksud Henrich Heine ketika ia bilang, ”Penipuan itu manis, tetapi
ketertipuan lebih manis lagi rasanya.”
Itukah yang terjadi ketika kita menyaksikan
sidang yang menghadirkan saksi Angelina Sondakh? Kita jengkel mendengar
kilahnya, tetapi seperti masokis yang suka disakiti, kita menikmatinya juga.
Rasanya seperti ketika kita jengkel dan muak dengan segala superfisialitas
kontes putri ayu Indonesia, tetapi toh kita menikmati peragaan kecantikan dan
kemolekannya.
Ibu segala dosa
Kebohongan memang
sulit diberantas. Filsuf Imannuel Kant mengibaratkan kebohongan bagaikan kayu
bengkok, tidak mungkin ditukangi untuk diluruskan.
Kalau demikian,
mestikah kita membiarkan saja kebohongan? Sama sekali tidak. Sebab, kata Kant,
pembohong dan kebohongannya telah melukai, menistakan, dan meniadakan martabat
manusia. Lebih lanjut, ujar Kant, juga jika terjadi dengan maksud baik,
kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Dengan
jatuhnya ketidakpercayaan, roboh pula sendi-sendi hukum. Kemanusiaan akan
menderita karenanya. Bohong itu merugikan, tidak hanya karena merugikan orang
lain, tetapi juga karena ia mengeringkan sumber-sumber hukum.
Tak usah kita berguru
kepada pemikir Barat untuk mengutuk kebohongan. Guru bangsa kita, Prof Dr
Hamka, sudah mengulas habis kebohongan dalam bukunya, Bohong di Dunia (cetakan
III, 1971). Hamka mengulas apa itu kebohongan; bagaimana sikap agama-agama
Nasrani, Yahudi, dan Islam terhadap kebohongan; bohong dalam ilmu jiwa; dan
pendapat para filsuf, Aristoteles, Rosseau, dan Stanley Hall, tentang
kebohongan.
Dalam pengantar buku
tersebut—ditulis di Bukittinggi tahun 1949—Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad
SAW, ”Dusta adalah ibu daripada segala dosa.” Hamka prihatin, betapa pada waktu
itu kebohongan sudah bersimaharajalela dan betapa karena kebohongan, bangsa ini
tetap melarat dan tidak bisa maju.
Menurut Hamka, pada
fitrahnya, manusia sesungguhnya adalah benar dan jujur. Suara hati yang asli
adalah jujur dan tidak mau berbohong. Keadaan lain yang datang tiba-tiba
memaksa manusia menempuh jalan bohong. Lalu, diberikannya gambaran tentang
kebenaran. Gambaran Hamka tentang pentingnya kebenaran dan seruannya untuk
melawan kebohongan ini harus tetap berkumandang:
”Cobalah menoleh ke
mana saja pun tuan mau, tuan akan melihat bahwasanya kebenaranlah yang jadi
sendi segala macam bidang kehidupan. Saudagar yang pembohong hanya berlaba
sebentar, ekonom yang sejati harus bergantung pada kejujuran, amanat, keteguhan
janji, dan keberesan buku perniagaan yang dijalankan dengan segala macam kicuh
tidak memberikan ketenteraman bagi jiwa dan tidak kemakmuran. Saudagar penipu
hanya berlaba amat sedikit dan rugi lebih banyak karena dia memandang
keuntungan yang sekejap bukan laba yang berlama. Tukang yang pemungkir janji
dan tidak meladeni kehendak langganan lekas ditinggalkan orang. Majikan yang
pembohong diboikot anak semangnya. Guru yang pembohong ditinggalkan muridnya.”
Dan, betapa kata-kata
Hamka tentang kebohongan dalam dunia hukum ini seperti memantulkan kembali
karut-marut hukum kita dewasa ini: ”Hakim yang pembohong mengacaukan jalan
perkara dan menghilangkan rasa keamanan rakyat. Si tertuduh yang berdusta
mempersulit jalan perkara. Kesaksian dusta pun lebih mengacaukan lagi: keadilan
tersembunyi, orang yang benar teraniaya, dan orang yang bersalah terlepas dari
hukuman. Bangsa yang pembohong membawa merosot seluruh kebangsaannya dan
kemuliaan negaranya.”
Hamka mengatakan
bahwa bohong itu dinamai juga khianat. Dan, untuk itu ia mengutip sabda Nabi
Muhammad SAW: ”Amatlah besarnya khianatmu jika engkau cakapkan kepada saudaramu
suatu perkara, yang dia menyangka perkataanmu benar. Padahal, engkau sendiri
merasa bahwa engkau berdusta.”
Sekali lagi, betapa
relevannya kata-kata ini bagi dunia persidangan korupsi kita akhir-akhir ini:
khianat adalah laknat.
Jembatan kejujuran
Bohong adalah kanker
di hati manusia. Dan, bohong itu bermuara di bibirnya. Karena itu, kebijakan
Jawa mengajar: Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (harga
diri manusia ada dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya). Orang boleh
berdandan secantik Putri Indonesia, tetapi apabila ia tidak bisa menjaga
bibirnya—artinya suka berbohong—ia tidak berharga sama sekali. Keelokan hanya
pada busana dan raganya dan keelokan macam ini hanyalah luaran belaka sejauh tidak
dibarengi keelokan bibirnya: bukan karena olesan lipstik mahal, melainkan
karena menjadi muara kejujuran hatinya.
Memang kita harus
hati-hati dengan bibir kita. Dalam Serat Kancil, pujangga Raden Panji Natarata
menulis tentang uwot (jembatan) siratalmustakim. Dalam khazanah Jawa, jembatan
itu juga disebut uwot ogal-agil. Jembatan itu selalu goyang karena lebarnya
hanya sehelai rambut dibelah seribu. Siapa gagal melewati jembatan, ia akan
tercemplung ke dalam neraka jahanam. Dalam pengadilan di hari akhir, setiap
orang harus melewatinya. Mana mungkin? Mungkin saja jika berhati tulus dan
jujur.
Menurut Raden Panji
Natarata, ujian lewat jembatan itu tidak harus datang pada akhir zaman.
Katanya, uwot siratalmustakim aneng tutukmu samana kang sanyata (jembatan
siratalmustakim itu nyata-nyata ada di bibirmu sekarang). Dengan kata lain,
siapa bicara benar, sekarang juga ia lulus. Sebaliknya, siapa bicara bohong,
berarti ia gagal meniti jembatan penguji kebaikan dan kejahatan manusia itu.
Tidak usah menunggu pengadilan terakhir, sekarang juga ia terpelanting ke dalam
neraka kenistaan.
Sekarang bangsa ini
sedang meniti uwot siratalmustakim. Jika para pemimpin bangsa yang menuntun
kita tak lagi berhati jujur dan mulutnya terus membualkan kata-kata dusta, mereka
tidak hanya menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kenistaan, tetapi juga
mencemplungkan kita ke dalam kenistaan. Harga diri bangsa akan terhina dan kita
hidup dalam neraka saling ketidakpercayaan.
Dengan hati
berdebar-debar kita mengikuti jalannya sidang. Inilah saat kritis, di mana kita
dijemput untuk meniti uwot siratalmustakim. Semoga para politikus, jaksa,
hakim, pengacara, dan pemuka bangsa yang terlibat sudi anyirnakake ati goroh
minangka laku tapane, menyingkirkan hati yang bohong sebagai tindak asketisnya.
[kps]
SINDHUNATA, Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Subscribe to:
Posts (Atom)