Memikirkan korupsi di negri yang mayoritas umatnya mengaku bertuhan dan
beragama, memang meresahkan kita yang masih memiliki hati nurani.Yang terbaru,
kita resah dengan kasus korupsi pengadaan Qur’an. Kebetulan terkait kasus ini,,
baru saja penulis memandu talkshownya di
Surabaya, dengan narasumber pemimpin Ponpes Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid,
pengurus PD sekaligus cendekiawan muslim Ulil Abshar Abdalla dan Pengacara
senior Trimoelja D Soerjadi (3/7).
Pertama-tama, dengan terungkapnya kasus pengadaan Qur’an, harus dimengerti
kasus ini tidak ada kaitannya dengan agama Islam. Korupsi bisa terjadi di
manapun. Dalam Gereja juga terjadi korupsi, sebagaimana ditulis George Junus
Aditjondro. Maka perlu dibedakan antara agama yang tidak bisa dinodai korupsi
dan pemeluknya yang nota bene manusia, yang bisa saja tidak suci dan
korupsi.Korupsi bisa di ranah apapun..
Ateis Tak Korupsi
Memang meresahkan memikirkan, mengapa di negeri yang nyaris 100% warganya
percaya Tuhan, justru tinggi korupsinya.
Sedangkan di negeri yang mayoritas
warganya tidak percaya Tuhan (ateis) justru tak ada korupsi. Dalam talkshow,
Gus Solah menunjuk Denmark, yang 80% warganya ateis, tapi tak ada korupsi. Lalu
Tiongkok, yang ideologi penguasanya komunis, malah ada hukum yang tegas
terhadap koruptor, yakni dihukum mati di depan publik.Akibatnya koruptor di
Tiongkok menjadi jera atau ”kapok”.
Keresahan kita coba dijawab Ulil. Menurut pengusung Islam Liberal itu,
memberikan tali asih, ucapan terimakasih atau gratifikasi merupakan bagian dari
peradaban kita. Demokrasi dengan nilai-nilainya, menganggap hal-hal seperti itu
sebagai tindak korupsi, terlebih bila yang memberikan tali asih, ucapan
terimakasih atau gratifikasi adalah birokrat atau pejabat pemerintah.Yang perlu
ditanamkan ke depan, agar orang tidak memberikan tali asih, ucapan terimakasih
atau gratifikasi dari uang negara. Di sinilah letak kesulitannya.
Maka ketika orang menjadi pejabat negara, dia harus membuat jarak tegas dan
bisa bisa membedakan mana uang pribadi dan mana uang negara, karena batasan
korupsi dalam demokrasi modern selalu menekankan unsur kerugian negara.Terkait
ini, Trimoelja mengisahkan pengakuan
seorang hakim yang pergi haji dengan uang dari orang yang tengah berperkara di
pengadilan. Jelas si hakim, tidak mampu mengambil jarak serta menyalahgunakan
jabatannya.Kita tentu juga masih ingat istilah ”habidin”, yakni haji dengan
biaya dinas.
Anehnya, para koruptor yang pergi haji seolah merasa sudah mendapatkan pengampunan dosa dari Tuhan.
Tobat di Tanah Suci, lalu kumat di negri sendiri ( haji ”tomat”).Atau kadang
mereka tak sempat pergi haji atau ziarah ke tempat kelahiran Yesus (seperti
kasus sumbangan dari hasil korupsi oleh politikus PDIP Engelina Pattiasina ke
jemaat ziarah ke Israel, Red).Tapi, cukup banyak koruptor yang merasa mendapat
pengampunan dosa, lewat tindakan karitatif, seperti menyantuni anak yatim
atau menyumbang pembangunan tempat
ibadah. Ada mekanisme pencucian uang, seolah
Tuhan sendiri bisa disuap.Jadi beragama oke, korupsi juga oke.Kenapa demikian?
Pentingnya Keadilan
Konon motif beragama orang Indonesia itu sekedar mencari kesahduan atau
romantisme beragama bagi diri sendiri.Beragama dilepaskan dari konteks sosial.
Padahal, Tuhan menurunkan agama-agama bukan untuk satu orang.Aspek sosialnya
ada. Terkait ini, di semua agama, ada ajaran tentang keadilan. Ada banyak ayat di Injil atau
Qur’an yang menekankan pentingnya keadilan.
Sayangnya, pesan keadilan itu sudah
dicoret atau ditiadakan oleh umat beragama di sini. Hukum Tuhan dalam Kitab
Suci sudah tidak dipedulikan lagi. Orang
hanya mengejar kesucian dan kekayaan bagi diri sendiri.”Yang penting aku suci,
aku kaya sendiri. Persetan dengan yang lain!”. Maka mengembat atau mencuri uang negara (korupsi),
terus dilakukan. Para koruptor justru mewariskan tabiat
jahatnya pada yang lebih muda sehingga ada regenarasi koruptor.
Padahal korupsi sesungguhnya
sangat bertentangan dengan spirit keadilan.Coba bayangkan! Bukankah triliunan
uang negara yang dikorup,sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mengentas kaum
miskin, memberi gizi pada anak malnutrisi, memberi bea siswa bagi mahasiswa
dari keluarga miskin, membangun ribuan gedung sekolah yang nyaris ambruk atau
memperbaiki jalan rusak dan fasilitas umum lainnya?
Meski sudah ada fatwa agar
jenasah koruptor tidak didoakan atau harta hasil korupsinya disita negara,
semua akan tetap sia-sia, jika aparat hukum kita tidak berani menegakkan
keadilan. Hukuman yang ringan, di bawah lima tahun, tak akan pernah menimbulkan
efek jera.Meski gedung KPK baru diperlukan, tapi sesungguhnya yang lebih diperlukan
adalah gebrakan KPK untuk menjatuhkan vonis hukuman berat sehingga membuat jera para koruptor atau calon
koruptor. Selama divonis beberapa
tahun (paling banter hanya lima tahun), para koruptor hanya akan “kapok
lombok”. Seperti orang yang seakan merasa kapok saat kepedasan makan lombok,
esoknya tetap makan sambal.
2 comments:
Ya, penegakan hukum tanpa pandang bulu harusnya jadi prioritas buat siapapun yang jadi Presiden di negeri ini, kalau perlu tangan besi, tidak ada ampun sehingga menimbulkan efek jera, bila Presiden lembek, ngomong thok tanpa ada kekuatan wah selamanya tidak akan ada perubahan, jatuh sampe cur cur cur pecah berkeping2 ......nah masalahnya siapkah yang bisa jadi Presiden di negeri yang sudah carut marut ini?????????
Keterorganisasian yang kuat dan berpengaruh dari lembaga keagamaan boleh jadi menjadi penjelasan mengapa manusia terganjal dari tujuan mencapai potensi yang sebenarnya. Klik: http://www.thinkaboutit-knowaboutit.com/2013/08/why-religion-is-corrupt.html
Post a Comment