Wednesday, April 18, 2012

Ideologi dan Kekerasan

Ian Buruma, Guru Besar Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Bard College, New York; Pengarang Buku Taming The Gods: Religion and Democracy on Three Continents
SUMBER : KORAN TEMPO, 16 April 2012



Apa yang membuat Mohammed Merah, seorang remaja muslim Prancis, membunuh tiga anak sekolah dan seorang rabi Yahudi serta tiga orang tentara, yang dua di antaranya sesama muslim? Apa yang membuat Anders Breivik menembak mati lebih dari 60 remaja di sebuah perkemahan musim panas di Norwegia tahun lalu? Pembunuhan-pembunuhan ini begitu luar biasa, sehingga orang menuntut penjelasan.

Menamakan pembunuh-pembunuh ini "monster", seperti yang banyak dilakukan orang, tidak menjelaskan persoalan. Pembunuh-pembunuh ini bukan monster, mereka anak-anak muda. Dan menamakan mereka orang-orang gila juga tidak menjelaskan persoalan. Jika mereka secara klinis dinyatakan gila oleh dokter, tidak perlu ada penjelasan lagi.

Dua penjelasan menonjol, dua-duanya menyangkut persoalan sosio-politik. Satu dikemukakan aktivis muslim Tariq Ramadan. Ia menyalahkan masyarakat Prancis, khususnya menyalahkan kenyataan bahwa anak-anak muda dari keluarga muslim di Prancis telah dimarginalkan karena agama dan warna kulitnya.

Walaupun mereka memiliki paspor Prancis, warga-warga muslim ini diperlakukan sebagai orang asing yang tidak dikehendaki. Ketika Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, yang juga merupakan anak seorang imigran, mengatakan terlalu banyak orang asing yang tinggal di Prancis, ia makin memojokkan anak-anak muda, seperti Merah. Sekelompok kecil di antara mereka yang tersisihkan ini, seperti Merah, mungkin akan bereaksi keras dalam keputusasaan.

Penjelasan lainnya, yang disenangi Sarkozy, adalah menerima apa yang dikatakan Merah sendiri. Merah menyatakan memprotes operasi-operasi militer yang dilakukan Prancis di negara-negara muslim dan membalas dendam pembunuhan anak-anak Palestina. Ia ingin meruntuhkan negara Prancis sebagai seorang pejuang muslim. Ia terinspirasi oleh Al-Qaidah. Jadi mengapa tidak percaya saja pada apa yang diucapkannya? Itulah alasan keputusan yang diambil Sarkozy untuk menangkap warga muslim lainnya yang dicurigai sebagai muslim ekstremis dan melarang imam-imam tertentu menghadiri konferensi keagamaan di Prancis.

Mereka yang memandang ekstremisme muslim sebagai masalah cenderung menyalahkan pembunuh-pembunuh muda, seperti Merah, sebagai bukti gagalnya integrasi. Mereka dianggap tidak cukup menunjukkan diri sebagai warga Prancis. Imigran-imigran ini harus dipaksa mengemban bersama "nilai-nilai Barat".

Meskipun tidak ada yang berargumentasi bahwa Anders Breivik tidak cukup menunjukkan diri sebagai warga Norwegia, ia juga bisa diterima sesuai dengan apa yang diucapkannya. Retorika yang dikemukakan demagog anti-imigran telah meyakinkan Breivik bahwa ia harus membunuh anak-anak elite sosial demokrat untuk melindungi peradaban Barat atas bahaya multikulturalisme dan Islam. Pembunuhan yang dilakukannya merupakan akibat ekstrem pandangan yang berbahaya.

Kedua alasan itu tidak sepenuhnya salah. Banyak anak muda muslim merasa tidak diterima di negara tempat mereka dilahirkan, dan bahasa yang ekstrem, baik yang digunakan kelompok islamis maupun kelompok lawan mereka, ikut menciptakan iklim kekerasan.

Tapi, baik Ramadan maupun Sarkozy terlalu simplistis dalam penilaian mereka, karena mereka mereduksi pembunuhan-pembunuhan yang luar biasa ini dalam penjelasan tunggal. Bahkan, ketika mereka dihadapkan pada penolakan, sebagian besar anak muda muslim itu tidak menjadi pembunuh massal. Merah adalah anomali yang sangat tidak pantas dijadikan contoh yang khas dari suatu apa pun, termasuk diskriminasi ras atau agama.

Merah, yang sama sekali bukan seorang fanatik agama, beranjak remaja sebagai seorang kriminal cilik yang sama sekali tidak menunjukkan minat pada agama. Daya tarik ekstremisme islamis mungkin glorifikasinya pada kekerasan, bukan pada kandungan agama itu sendiri. Merah menikmati video-video yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan kelompok jihadi. Ia mencoba masuk tentara Prancis dan legiun asing. Tentara menolaknya karena catatan kriminalnya. Jika Prancis tidak menghendakinya, ia akan ikut pejuang-pejuang jihadi: apa saja yang memberinya kekuatan dan alasan untuk memenuhi dorongan kekerasan dalam dirinya.

Banyak anak muda yang tertarik pada fantasi kekerasan, tapi sedikit sekali di antara mereka yang merasa perlu mewujudkannya. Ideologi bisa menjadi excuse atau pembenaran, tapi jarang merupakan sumber utama tindak kekerasan individu. Pembunuhan lebih sering merupakan bentuk balas dendam pribadi-–pecundang yang ingin meledakkan dunia di sekelilingnya, karena merasa dihinakan atau ditolak, apakah itu sifatnya sosial, profesional, atau seksual.

Kadang-kadang pembunuh itu tampaknya tidak memiliki excuse sama sekali, seperti dalam kasus Eric Harris dan Dylan Klebold, yang pada 1999 menembak 12 orang sesama siswa dan seorang guru di suatu sekolah menengah di Columbine, Colorado, Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, orang menyalahkan video game dan film sadistis yang disaksikan para pembunuh itu. Namun sebagian penggila jenis hiburan ini sebenarnya tidak berkeliaran dan membunuhi orang.

Breivik memendam fantasi seorang kesatria yang berjuang melawan musuh-musuh Barat. Merah berimajinasi sebagai seorang jihadi. Siapa yang tahu apa yang ada dalam benak pembunuh-pembunuh di Columbine itu ketika mereka melakukan kekerasan. Tapi alasan mengapa mereka membunuh itu terletak di dalam diri mereka sendiri, dan tidak bisa dikaitkan terutama dengan hiburan dan materi-materi lainnya yang mereka konsumsi.

Melarang materi-materi seperti itu, yang jelas punya daya tarik estetika, tentu tak tepat. Tapi toko-tokoh publik yang menyerukan kekerasan harus dikutuk. Pidato yang menanamkan kebencian dan ideologi yang menganjurkan kekerasan bukan tidak irelevan. Tapi terlalu membesar-besarkannya dalam kasus-kasus seperti yang dilakukan Merah atau Brevik bisa menyesatkan.

Sensor tidak mungkin menyelesaikan persoalan. Melarang Mein Kampf–nya Hitler atau melarang peragaan simbol-simbol Nazi tidak berhasil menghalangi neo-Nazi di Jerman membunuh para imigran. Melarang pornografi yang menonjolkan kekerasan tidak akan menghentikan pemerkosa dan pembunuh di sekolah-sekolah menengah. Mencegah demagog menyerang muslim dan multikulturalisme tidak akan mencegah seorang Anders Breivik baru melakukan kekerasan serupa di masa depan. Dan melarang imam-imam radikal masuk Prancis tidak akan mencegah seorang Merah lainnya melakukan kekerasan serupa pula.

Sebenarnya, membandingkan tindak pembunuhan yang dilakukan Merah dengan pembunuhan yang terjadi pada 11 September 2001, seperti yang diutarakan Sarkozy, berarti memberikan penghargaan yang terlalu tinggi kepada pembunuh tersebut. Tidak ada bukti bahwa Merah adalah bagian dari suatu kelompok yang terorganisasi atau memelopori suatu gerakan revolusi. Menggunakan kasus Merah untuk membangkitkan ketakutan akan ancaman kelompok islamis terhadap masyarakat mungkin berarti bagi Sarkozy pada saat bakal dilakukan pemilihan presiden yang baru di Prancis. Tapi membangkitkan ketakutan jarang menjadi resep yang baik untuk menghindarkan terjadinya kekerasan lebih lanjut. Sebaliknya, ia mungkin akan lebih mengobarkan ketakutan itu. ●

No comments: