Monday, September 17, 2012

Refleksi 1000 Hari Wafat Gus Dur, Koran Tempo, 15-9-2012: MERAWAT SEMANGAT MENGHARGAI PERBEDAAN Artikel Tom Saaptaatmaja ke 977


Pada 25 September 2012, genap 1000 hari Wafat Gus Dur. Terkait ini, baik sebelum maupun sesudah tanggal tersebut, digelar peringatan di berbagai tempat, antara lain di kediaman almarhum di  Ciganjur Jakarta. Seperti diketahui, Gus Dur wafat pada Rabu (30/12/2009) dan dimakamkan di pemakaman Bani Hasyim di Pesantren Tebuireng, Jombang pada akhir tahun 2009. Di makam itu juga telah disemayamkan Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur dan Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. 

Pasca pemakaman itu, merebak usulan Gus Dur ditetapkan sebagai pahlawan nasional.Namun  usulan ini belum bisa direalisasi oleh pemerintah.Kelak bila dinyatakan sebagai pahlawan, dia akan menyusul kakeknya Hasyim Asya'ari (Pendiri NU) dan Wahid Hasyim,  ayah Gus Dur yang sudah dinyatakan sebagai pahlawan nasional.

Namun sejatinya Gus Dur selalu menjadi pahlawan dalam hati siapapun yang mengaguminya. Dalam kamus bahasa Indonesia (Balai Pusaka, 199), pahlawan diberi makna  sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbannya dalam membela kebenaran atau  pejuang yang gagah berani.

Dan di sepanjang hidupnya,  Gus Dur selalu heroik dalam cara berpikir, meski tetap bersikap  moderat.Gus Dur juga selalu bertindak bak pahlawan karena konsistensi perjuangannya pada topik keagamaan, kemanusiaan, pluralitas dan demokrasi.

Kita tidak mungkin meniru almarhum.Biarlah cuma ada satu Gus Dur di muka bumi ini. Yang wajib kita lanjutkan adalah cara hidup, pemikiran dan perjuangannya, bagaimana almarhum selalu membela mereka yang dipinggirkan dan ditindas. Bagaimana Gus Dur mengajarkan tentang keterbukaan guna menjunjungi tinggi harkat dan martabat manusia.

Dan di atas semuanya, bagaimana Gus Dur selalu heroik tiap  membahas tentang pluralitas dan demokrasi yang masih menjadi perjuangan panjang bangsa kita. Ibaratnya lautan, Gus Dur menjadi sosok yang mampu  menampung dan memahami pemikiran atau entitas apapun. Gus Dur tak pernah alergi pada perbedaan. Semasa masih menjabat jadi Presiden, mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001, Gus Dur pernah berkata:”setanpun boleh bertamu di Istana”.

Dialog dan Silaturahmi

Oleh karena itu, dialog, diskusi dua arah dan bukan monolog, selalu digemari oleh Gus Dur. Tidak heran menurut Mbak Yenny, putri almarhum, semasa hidupnya yang membentang selama 69 tahun, nyaris setiap hari Gus Dur selalu punya agenda menerima tamu atau bertamu ke siapa saja. Tiada hari tanpa tamu dalam kehidupan Gus Dur. Semangat mengedepankan dialog,  bersilaturahmi atau berkomunikasi inilah yang perlu kita lanjutkan.

Bahkan, walau sudah tiada, tampaknya Gus Dur seperti terus berkomunikasi dengan mereka yang mengaguminya. Simak saja, di makam Gus Dur yang berada di bagian belakang pekarangan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, ratusan bahkan ribuan orang dari berbagai kalangan tiap hari ramai berjiarah di kompleks pemakaman yang luasnya hanya 100 meter persegi itu. Tahun 2011 lalu, jumlah peziarah di makam Gus Dur diperkirakan mencapai satu juta orang.

Yang menarik, bukan hanya Umat Islam atau warga Nahdliyin saja yang berziarah. Nyaris  semua lapisan, golongan dan agama ada di antara deretan para pejiarah di makam Gus Dur. Ada  pastor, pendeta, biku, penganut Hindu, Budha, umat kristiani dan penghayat aliran kepercayaan atau yang sekuler dan agnostik sekalipun.

Para pejiarah beretnis Tionghoa juga tampak selalu ada, entah yang beragama Konghucu,  Tao atau yang lain.Secara khusus etnis Tionghoa memang sangat berutang budi pada Gus Dur, yang digelari dengan sebutan Bapak Tionghoa Indonesia dan Bapak Pluralisme Indonesia. Harus diakui, karena jasa Gus Dur, segala bentuk diskriminasi, termasuk apa yang disebut pembunuhahan budaya Tionghoa (“cultural genocide”)  yang dilakukan pemerintah Orba dihapus. Memang  sejak Soeharto berkuasa pasca 1965, semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi, termasuk Imlek. Larangan itu tertuang dalam Inpres No 14/1967. Etnis Tionghoapun dipinggirkan dan akhirnya hanya berkutat di bidang ekonomi.Berkat Gus Dur, etnis ini akhirnya kembali dianggap setara dengan anak bangsa yang lain dalam rumah yang bernama Indonesia.

Macam-macam motif orang yang hadir dan berdoa di makam Gus Dur. Namun kebanyakan, para pejiarah memang dipenuhi dengan rasa kagum, rasa hormat dan rasa syukur atas jasa-jasa almarhum bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Merawat dan Merindukan

Dengan kata lain, ramainya para peziarah lintas agama di makam Gus Dur seolah hendak mengungkapkan kerinduan akan hadirnya kembali sosok Gus Dur yang begitu menghargai keragaman dan perbedaan.

Kerinduan semacam ini tentu saja  masuk akal, mengingat negri kita dahulu dikenal sebagai negri yang ramah atas berbagai macam perbedaan (suku, agama, ras, antar golongan atau SARA).Bahkan toleransi dan penghargaan kita pada keberagaman diapresiasi di mana-mana. Namun sayang, hari-hari ini, negeri yang pernah dikenal sebagai negri yang ramah pada perbedaan, kini seolah mengalami kemerosotan sehingga kerap dilanda amarah dan amuk massa karena  kurang  menghargai perbedaan.Seolah perbedaan menjadi musuh.Kebhinekaan menjadi cela yang disesali.

Simak saja, beberapa tempat ibadah disegel dan aksi kekerasan atau teror juga terus menyasar kemana-mana.Orang gampang saling menyesatkan,mengkafirkan bahkan membunuh karena perbedaan agama atau keyakinan.Kekerasan dan spirit komunalisme merebak di seantero negeri.Tawuran antar pelajar/mahasiswa, bentrok antar kampung atau serangan ke kelompok minoritas yang dainggap sesat, menjadi fenomena sehar-hari.

Mengingat Gus Dur tak mungkin dihidupkan kembali, jelas spiritnya yang selalu menghargai perbedaan, harus kita rawat dan pelihara. NKRI dalam bahaya, ketika tiada lagi  penghargaan pada perbedaan, mengingat keragaman adalah keniscayaan kita.

Maka kita yang mengagumi sosok dan pemikiran Gus Dur,  jelas perlu ambil bagian dalam merawat  spirit atau semangat Gus Dur yang inklusif di atas.Sebab penghargaan pada perbedaan dalam dunia yang beragam dewasa ini, terlebih di negeri kita merupakan kunci bagi terciptanya perdamaian dan persaudaraan sejati dan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Dan masa depan Indonesia, bahkan dunia amat tergantung pada sejauh mana pemikiran yang menghargai perbedaan dan keragaman terus diberi ruang. Terimakasih Gus, para Gusdurian akan selalu merindukanmu.

Permohonan Maaf Saya:Di Koran Tempo 15 September, ditulis peringatan 1000 hari wafat Gus Dur jatuh pada 17 September 2021, padahal sesusungguhnya jatuh pada 25 September 2012.

No comments: