Sunday, May 31, 2009

BIBI DAN PROSES PERDAMAIAN TIMTENG Suara Pembaruan 6 April 2009


BIBI DAN PROSES PERDAMAIAN TIMTENG
Oleh: Tom Saptaatmaja

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu resmi dilantik Selasa 31 Maret 2009, pasca-Pemilu 10 Februari 2009. Bibi, pangilan akrab PM baru Israel, berjanji melanjutkan perundingan perdamaian dengan Palestina. Ia mengemukakan kelanjutan perdamaian setelah Partai Buruh yang berhaluan kiri tengah berjanji bergabung dengan kabinet berhaluan kanan..

Bibi bisa dilantik sebagai PM setelah ada kepastian Partai Buruh yang semula menolak berkoalisi, akhirnya menerima ajakan Bibi. Ehud Barak dari Partai Buruh menerima pos menteri pertahanan. Naiknya Bibi di kursi PM juga berkat dukungan dari Avigdor Lieberman, Ketua Partai Yisrael Beiteinu (artinya Israel Rumah Kita) yang beraliran ultra kanan. Dengan dukungan Lieberman, Bibi mendapat "suntikan" dukungan baru 65 anggota dari 120 anggota parlemen Israel. Lieberman menduduki kursi wakil Perdana Menteri dan Menlu. Sedangkan Partai Kadima memilih jadi oposan.

Naiknya Bibi, berarti merupakan comeback yang sukses dari politisi kelahiran Tel Aviv, 21 Oktober 1949 itu. Seperti diketahui, Ketua Partai Likud yang konservatif itu pernah menduduki kursi Perdana Menteri pada periode Juni 1996 hingga Juli 1999. Dari kursi PM, ia turun menjadi menduduki jabatan Menteri Keuangan Israel di bawah PM Ariel Sharon hingga 9 Agustus 2005. Ia mundur dari kursi Menkeu sebagai protes atas penarikan mundur sepihak Israel dari Jalur Gaza. Rekor juga dipegang Bibi, karena ia satu-satunya Perdana Menteri Israel yang lahir pascaberdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948.

Pertanyaan kita, benarkah Bibi akan melanjutkan proses perdamaian? Meskipun Bibi sudah mengatakannya di atas, yakni akan melanjutkan proses perdamaian, namun sebagian besar dunia Arab dan Palestina khususnya, tidak begitu antusias menyambut Bibi sebagai PM Israel dan Lieberman sebagai wakil PM. Uni Eropa juga, karena pandangan Lieberman yang rasis. Juga sebagian warga Arab Israel yang menjadi pendukung loyal Partai Kadima yang dipimpin Livni pesimis menyambut Bibi.

Ketidakantusiasan atau pesimisme itu terkait dengan janji dan pidato Bibi sewaktu kampanye sebelum pemilu lalu. Bibi pernah berjanji, bila terpilih jadi PM kembali dia tak akan mau bernegosiasi dengan Hamas. Bibi hanya fokus bernegosiasi dengan Presiden Mahmud Abbas dan lebih mengutamakan masalah keamanan di Tepi Barat. Ia juga tidak akan menyerahkan dataran tinggi Golan kepada Suriah, seperti diminta PBB. Golan direbut dari Suriah pada Perang Enam Hari, 1967.


Penuh Pesimisme

Memang bagi warga Palestina khususnya dan dunia Arab umumnya, siapa pun yang jadi Perdana Mentri Israel pasti akan direspons dengan nada penuh pesimisme. Namun, kadar pesimisme itu kian bertambah besar, ketika nama Bibi yang jadi PM. Boleh jadi ini terkait dengan track record Bibi sendiri yang sejak awal menjadi pendukung konsep "Eretz Yisrael" (Israel Raya) yang tidak bisa dibagi-bagi, apalagi dalam dua negara.

Jangan lupa Bibi punya ayah bernama Ben-Zion Netanyahu, profesor sejarah Yahudi dan bekas pembantu senior dari Zeev Jabotinsky. Nama terakhir adalah sosok penggagas Zionisme Revisionis yang menghalalkan segala cara, termasuk cara kekerasan untuk mengusir warga Palestina, ketika tanah Palestina ditetapkan sebagai tempat bagi berdirinya negara Israel yang harus menampung kembalinya orang Israel (dispora) dari seluruh dunia.

Zeev Jabotinsky juga mendirikan banyak sayap militer seperti Irgun, organisasi teroris dan militan di bawah tanah. Bibi jelas sangat terpengaruh Jabotensky. Apalagi, Partai Likud merupakan pengusung ide-ide nasionalis kaum Zionis Revisionis yang digagas oleh Zeev Jabotinsky.

Tidak heran, Bibi dan Likud menjadi pendukung utama untuk agresi Israel ke Gaza (27 Desember 2008 - 17 Januari 2009) guna menghancurkan Hamas. Sikap Bibi yang tak mau bernegosiasi dengan Hamas jelas sama dengan sikap Hamas yang tak mau bernegosiasi langsung dengan Pemerintah Israel. Dengan demikian bisa ditebak sendiri, prospek perdamaian tengah memasuki tahapan yang penuh absurditas. Malah mungkin meredup tanpa harapan jelas.

Kalau Livni yang maju sebagai PM Israel, prospek perdamaian akan sedikit lebih jelas. Pasalnya, Livni setuju sekali dengan penarikan Israel dari Jalur Gaza dan Tepi Barat. Livni juga tidak setuju cap teroris pada setiap pejuang Palestina yang berjuang bagi berdirinya negara Palestina. Livni juga sudah lama ikut aktif jadi perunding perdamaian Palestina- Israel. Ia sudah pasti didukung warga Arab tahun 1948 yang menjadi anggota Partai Kadima. Menurut Majali Wahbah, anggota Knesset yang juga deputi menlu dari warga Arab, sebagian besar warga Arab lebih mendukung Livni daripada Bibi, karena Livni bersikap moderat terhadap Palestina.

Livni juga pernah berkata: "Saya menjalani hidup dengan kata hati, bangsa Palestina berhak untuk memiliki negara!". Maka bila Livni terpilih jadi PM, dia akan menaikkan status Otoritas Palestina di Tepi Barat, bahkan membantu mewujudkan impian berdirinya negara Palestina yang berdaulat. Apalagi, dia mendukung gagasan dua negara untuk dua bangsa di bumi Palestina.

Tidak heran Livni agak tak bergairah menyambut pelantikan Bibi jadi PM. Livni juga menolak pos Menlu di bawah PM Bibi, padahal Presiden Shimon Peres sudah meminta dia untuk mau berada di pos Menlu, sebagaimana Peres dulu menjadi Menlu pada era PM Ariel Sharon, meski berbeda ideologi politik (Jerusalem Post, 19/2/2009).

Jadi, dengan naiknya Bibi, bisa dipastikan upaya untuk mewujudkan perdamaian di bumi Palestina menghadapi jalan yang kian terjal. Nasib warga Palestina pun akan tetap tidak pasti. Kepastian pada mereka hanya hari-hari panjang dalam penderitaan sebagai bangsa yang belum memiliki negara sendiri yang berdaulat.

Penulis adalah aktivis Perdamaian

No comments: