Wednesday, June 6, 2007

In Memoriam Paus Yohanes Paulus II Jawa Pos 4 April 2007

Jawa Pos, 4 April 2005
In Memoriam Paus Yohanes Paulus II
oleh Tom Saptaatmaja *
http://yesaya.indocell.net/id736.htm
Paus Yohannes Paulus II, salah satu Paus yang menjabat paling lama dalam sejarah, meninggal dunia pada usia 84 tahun. Paus kelahiran 18 Mei 1920 itu wafat di kediamannya di Vatikan Sabtu malam, 2 April 2005, pukul 21.37 waktu setempat atau Minggu pagi, 3 April 2005, pukul 02.37 WIB, dengan dikelilingi sejumlah pembantu paling dekatnya yang berasal dari Polandia. Paus berdarah Polandia itu dipilih 16 Okotber 1978, Senin sore, tepat pukul 18.18 waktu setempat, menggantikan Paus Yohannes Paulus I yang hanya memerintah selama 33 hari.

Mengiringi kepergian Paus, TV, radio, hingga koran dipastikan memberikan liputan besar kepada tokoh yang popularitasnya melebihi selebritis dunia itu. Apalagi, tokoh bernama asli Karol Josef Wojtyla tersebut merupakan tokoh yang memiliki modus vivendi, tokoh yang bisa dibaca dari segala sudut baca.

Karena yang lain sudah banyak dibahas, saya hendak melihat sosok yang dianggap meruntuhkan komunisme di Eropa Timur itu dari perspektif dunia Islam. Sebab, yang satu ini jarang dibicarakan di media kita.

Mengapa? Sebab, dalam kunjungannya ke 123 negara di dunia, Paus ternyata tidak hanya menjumpai umatnya, tetapi juga umat dari beragam agama, termasuk umat Islam. Pada 1988, Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim menjadi negara ke-76 yang dikunjungi Paus. Bagi sosok yang ditinggal mati orang tuanya sejak umur 9 tahun itu, Islam dan umat muslim punya posisi signifikan.

Pertama-tama, di tengah pandangan minor di Barat, yang suka mendegradasi Islam sebagai agama teror, Paus dengan nama panggilan Lolek itu pernah mengungkapkan, Islam adalah agama keselamatan dan cinta damai.

Karena itu, Paus selalu mengajak muslim dan umat Kristiani yang punya kehendak baik untuk berlomba-lomba mendatangkan kebaikan bagi dunia ini, yang kini rawan dari segala macam ancaman teror, konflik, dan perang.

Ketika (Presiden) Gus Dur bertemu Paus Yohannes Paulus II 5 Februari 2000 lalu, keduanya berbicara tentang semangat dialog agama dan rasa kebersamaan di antara Islam dan Katolik. Paus juga menyebut konflik di Ambon atau Poso bukan konflik Islam-Kristen, tetapi sebagai konflik sosial yang sebenarnya lebih disebabkan faktor-faktor di luar agama, seperti persaingan ekonomi. Ketika perang Iraq, Paus juga lantang mengecam kepongahan pemerintahan Amerika.

Kedua, Paus juga berpandangan, Islam sebagai agama yang setara dengan Kristen. Itu bukan pendapat saya, tetapi pendapat Ibrahim M. Abu Rabi, profesor studi Islam di Hartford Seminari Amerika, tempat Menko Kesra Alwi Shihab pernah menjadi dosen tamu.

Menurut Ibrahim, At heart, the Pope comes to the conclusion that Islam has to be treated as a religion in its own right, and he therefore does not call openly for the conversion of Muslims to Christianity.

Jadi menurut Paus, Islam adalah agama yang memiliki kebenaran sendiri (otonom) yang harus dihormati. Karena itu, Paus tidak pernah mencoba menjadikan orang Islam berganti agama jadi Kristen. Itu perlu ditekankan karena seperti kita tahu, Kristen atau Nasrani memiliki banyak denominasi atau aliran.

Katolik sebagai mainstream besar dalam agama Kristen tegas menghargai Islam dan menolak segala pemaksaan berpindah agama dengan beragam dalih. Tentu saja, Paus atau Gereja Katolik tidak bisa berbuat apa-apa jika gereja-gereja di luar Katolik gencar melakukan Kristenisasi di negara-negara Islam.

Ucapan pengakuan Paus itu bukanlah basa-basi, tetapi diwujudkan langsung dalam tindakan nyata. Bayangkan setelah diktator Mussolini tidak mengizinkan masjid dibangun di atas Kota Roma, Paus Yahonnes Paulus II justru mengizinkan berdirinya masjid di kota Roma pada awal dekade 1990-an. Yohannes Paulus II juga menjadi Paus pertama yang pernah memasuki masjid ketika mengunjungi Masjid Ummayah di Damaskus dalam lawatannya di Syria pada 2000 lalu.

Malah pada saat memimpin misa di gereja kelahiran Nativity Betlehem pada 23 Maret 2000 dan terdengar azan dari sebuah masjid dekat Manger Square, di luar Gereja Kelahiran Kristus Betlehem, Paus duduk serta diam.

Mendiang juga meminta para pembantunya yang terdiri atas beberapa kardinal, uskup, dan pastor untuk berdiam diri mengikuti sikapnya hingga azan tadi berakhir. Umat, termasuk Presiden Palestina (saat itu) Yasser Arafat dan istrinya Suha yang duduk di jajaran terdepan dari umat, langsung bertepuk tangan.

Terkait perjuangan Palestina, Vatikan selalu berada di garis depan sebagai pengecam Israel. Tidak heran ketika mendengar wafat Paus, juru bicara Hammas juga mengungkapkan duka cita (TV7, 3 April).

Ketika di Eropa Barat terjadi kemerosotan moral sehingga gereja-gereja di sana banyak yang kosong, Paus juga selalu menjadikan Islam sebagai model untuk dicontoh. Paus memuji kekhusyukan doa umat muslim yang setia dengan lima waktunya.

Karena itu, Paus tidak senang jika di Barat umat Islam direpresi dan didiskriminasi. Ketika ribut-ribut soal pelarangan jilbab di Prancis, Gereja Katolik tampil sebagai penentang utama. Paus memang termasuk lantang dalam memperjuangkan kebebasan beragama sehingga dia mendorong dijadikannya Eropa sebagai kawasan kondusif bagi semua umat beragama, termasuk Islam. Buktinya, entah itu karena sikap Paus atau bukan, populasi Islam di Eropa tahun-tahun belakangan ini meningkat tajam.

Di Inggris, ada 1,3 juta, Jerman 3,2 juta, Prancis 4,2 juta, dan Amerika 7 juta. Beberapa pemerintah, seperti Inggris dan Prancis, bahkan membuat badan untuk melindungi kepentingan muslim, seperti perlindungan dari tindak kebencian (The Economist, August 10-16 2002).

* Tom Saptaatmaja, teolog, pegiat lintas agama, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang dan seminari St Vincent de Paul.

No comments: