Wednesday, June 6, 2007

Jilbab, Gereja dan Sekularisme Sinar Harapan 28 April 2004

Jilbab, Gereja, dan Sekularisme
Oleh Tom S. Saptaatmaja
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/28/opi02.html


Rancangan Undang-Undang (RUU) baru tentang pelarangan jilbab, salib dan topi Yahudi di sekolah-sekolah negri telah disetujui parlemen Prancis dengan suara 494 mendukung, 39 menentang. Selanjutnya RUU itu akan diajukan ke majelis tinggi, Senat, untuk disepakati. Sekitar pertengahan Maret, RUU itu akan dikembalikan ke parlemen untuk persetujuan terakhir yang lebih bersifat formalitas. Pelarangan itu berlaku efektif September tahun ini. Sekitar 70 persen rakyat Prancis mendukung RUU ini, termasuk 40 persen perempuan Muslim Perancis seperti diperlihatkan jajak pendapat.
RUU ini membangkitkan reaksi kemarahan di dalam maupun di luar Prancis, terutama dari dunia Islam. Terlihat beberapa elemen muslim di Tanah Air juga giat melakukan demo di kedubes dan konjen Prancis memrotes hal tersebut.
Yang menarik pihak gereja di Prancis juga menentang pelarangan itu. Gereja Katolik Prancis dan gereja denominasi lain di negri mayoritas Katolik itu beroposisi menentang pelarangan itu, karena dianggap melanggar HAM (10/12/03). Paus Yohannes Paulus II juga mengecam, karena itu menunjukkan betapa makin otoriternya sistem sekularisme yang dianut pemerintah Prancis.
”Comission On International Religious Freedom” (CIRF) atau Komisi Kebebasan Keagamaan International juga menyatakan keprihatinan atas rencana larangan atribut keagamaan itu. Michael Young, Ketua lembaga setengah resmi dari Amerika tersebut meminta pemerintah Bush untuk mendesak pemerintah Prancis agar menjamin kebebasan berekspresi dalam beragama. Sikap Gereja ini malah berbeda dengan sikap Syeikh Agung Al-Azhar Prof Dr Mohamed Sayed Tantawi yang justru menyetujui larangan tersebut.
Pro kontra pelarangan itu sebenarnya bukan baru saja muncul dalam beberapa bulan terakhir seperti banyak diberitakan media kita. Pada tahun 1989 misalnya juga pecah kontroversi soal jilbab yang berbuntut tiga gadis berjilbab dikeluarkan dari sekolah ”College de Creil” di Osie tahun 1989. Ketika itu Kardinal Lustiger, Uskup Agung Paris juga berseru: ”Janganlah kita berperang melawan anak-anak itu” (Caping ”Sekuler’ oleh Goenawan Mohamad, Tempo 27/1/02).
Tetapi disyahkannya RUU pelarangan itu sebenarnya merupakan puncak gunung es dari kekecewaan mayoritas masyarakat Prancis atas makin menguatnya gejala komunitarianisme. Ini yang jarang dikemukakan di media kita. Misalnya seorang jendral melaporkan dalam wajib militer, wanita muslim menolak latihan P3K dengan peserta pria. Para suami muslim menolak jika istrinya yang sakit di rumah sakit diperiksa dokter pria.
Para pasien itu juga minta masakannya dimasak koki muslim. Para siswi menolak pelajaran olahraga dengan pakaian sport minim. Dalam pelajaran biologi, para murid Islam menolak diajarkan Teori Darwin. Dalam kasus pengadilan, warga muslim menolak karena dianggap tidak sesuai dengan Qur’an dan sebagainya.
Tidak heran jika Konsul Kebudayaan Prancis di Jakarta Gilles Garachon mengharapkan agar masyarakat Indonesia dapat memahami sudut pandang pemerintah Prancis dalam pelarangan ini. Menurutnya, undang-undang ini bukan untuk mendiskriminasi salah satu agama, tetapi justru untuk mendukung toleransi dan menghindari terjadinya diskriminasi serta gesekan antarumat beragama.

Kenyang Konflik Agama
Keputusan pelarangan itu memang terlahir untuk melindungi prinsip ‘laicite’, salah satu konsep pembentukan Republik Prancis yang tercantum dalam Konstitusi 1905. Prinsip itu terlahir karena Prancis sudah kenyang dengan perang dan konflik antara agama (Katolik vs Protestan, Kristen vs Yahudi). Maka RUU itu sebenarnya hanya untuk menjaga sistem integrasi pemerintah sekuler Prancis yang harus punya satu wadah yang adil dan sama bagi beragam umat beragama di Prancis.
Meski demikian pelarangan jilbab (salib, topi Yahudi) hanya berlaku di sekolah negri. Di sekolah swasta, hal itu tidak berlaku. Maka Gereja Katolik termasuk paling lantang menentang, karena selain dianggap melanggar kebebasan dan HAM, sekolah-sekolah Katolik juga akan menjadi korban pertama dari kebijakan itu. Diperkirakan akan terjadi ‘eksodus’ para siswi muslim ke sekolah-sekolah Katolik.
Karena itu, kebijakan pelarangan itu mau tak mau memang membangkitkan kembali polemik lama dari para agamawan dalam menyikapi sekularisme dan sekularisasi. Bagi umat Katolik dan Yahudi Prancis memang sudah bisa menerima prinsip ‘laicite’ sesuai Konstitusi 1905. Tetapi bagi umat Islam, yang baru datang ke Prancis Pasca-Perang Dunia II, sekitar 60% keberatan dengan kebijakan itu. Berarti masih ada 40% yang bisa menerima.

Memang kontroversi menyangkut sekularisme dan sekularisasi telah menimbulkan polemik besar yang cukup berkepanjangan di kalangan intelektual muslim.
Akibat polemik tersebut muncul dua kelompok dikotomis dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang keras sekularisasi yang dianggap identik dengan sekularisme.
Kelompok kedua disebut kelompok reformis, suatu kelompok yang menolak sekularisme sebagai suatu paham tertutup yang anti-agama, tetapi menerima sekularisasi. Menurut kelompok reformis ini, sekularisasi diartikan sebagai upaya pembebasan masyarakat dari kehidupan magis dan takhyul dengan melakukan desakralisasi alam.
Sekularisme sebenarnya berarti ideologi yang memperjuangkan bahwa dunia ini punya otonomi sendiri (oto=sendiri, nomos=hukum). Pihak agama jangan pernah ikut campur tangan masalah politik dan pemerintahan. Kenapa negara-negara Eropa getol menerapakan sekularisme? Karena sebelum masa ”Aufklarung” (Pencerahan), dengan ideologi teokrasinya, Gereja terlalu mengurusi semua bidang kehidupan.
Akibatnya Galileo hampir mati konyol karena punya teori yang berbeda dengan pandangan gereja. Jadi sekularisme sebenarnya merupakan reaksi balik atas teokrasi Gereja yang berlebihan.
Meski demikikan perlu dibedakan antara sekularisme yang moderat dan yang ekstrem. Pemerintah Inggris dikenal sebagai sekuler yang moderat karena tetap menghargai kebebasan beragama, termasuk dalam pemakaian jilbab. Pemerintah sekuler Turki misalnya termasuk agak ekstrem karena meski mayoritas warganya muslim, jilbab juga dilarang di kantor pemerintah.
Yang paling ektrem adalah sekularisme ala negri-negri komunis almarhum, karena secara prinsipiil dan metodologis mereka menolak memasukkan pengertian Tuhan sama sekali dalam teori dan praktik. Malah dari Revolusi Prancis 1789 sampai Revolusi Bolshewik 1917 bergerak slogan anti-agama: ”Agama adalah candu bagi masyarakat”.
Karena sekularisme menolak Tuhan, maka kata ini dimaknai secara peyoratif atau negatif.
Meski demikian sekularisme harus dibedakan dari sekularisasi. Sekularisasi adalah gerakan sosial yang memperjuangkan proses dunia ini sedang menuju pada otonominya sendiri, tapi masih mau mempertimbangkan dan memperhitungkan peran Tuhan.
Menurut Friedrich Gogarten dalam bukunya Verhangnis und Hoffnung der Meuzeit, Stuttgart (1955), sekularisasi adalah kelanjutan sah dari iman Kristen. Karena berkat kepercayaan akan penyelamatan yang datang dari Allah manusia dibebaskan dari penjara pemahaman dunia religius mitis.
Apalagi iman Kristen juga mendorong manusia untuk mengusahakan dunia dan realitasnya agar dunia menjadi sesuatu yang berharga. Menurut Gogarten, manusia itu milik Allah, tetapi harus hidup di dunia. Untuk itu manusia harus punya sikap yang tepat di hadapan Allah dan dunia.
Sikap yang tepat adalah membiarkan Allah tetap Allah dan dunia tetap dunia. Jangan menukar kedua hal itu. Atau dalam bahasa Cak Nur, yang ‘ukhrawi’ jangan diduniawikan, sebaliknya yang duniawi jangan diukhrawikan.
Meski demikian, secara jujur harus diakui bahwa sikap Gereja (khususnya Katolik) sendiri sebenarnya terlihat masih ambivalen dalam menyikapi sekularisasi. (Kalau terhadap sekularisme, jelas Gereja menolak). Menurut Thomas F.O’Dea dalam The Sociology of Religion, hal. 88, Gereja merupakan pendorong utama sekularisasi sekaligus penentangnya (”The Church was both sponsor and opponent”).
Ketika George W. Bush gemar sekali mengusung simbol-simbol agama dalam kebijakan pemerintahannya, para teolog dan agamawan Katolik di Amerika menyebut ada bahaya bagi sistem pemerintahan sekuler di Amerika.
Sementara itu di sisi lain, Paus seringkali mengungkapkan kegelisahannya bahwa sekularisasi yang sudah membawa kemajuan di bidang iptek itu akhirnya justru menjadi sekularisme, ideologi yang anti-agama dan Tuhan. Cuma Gogarten mengingatkan sekularisasi tidak akan bisa dihadang atau dihapus dengan mengkristenkan (meng-agamakan) dunia kembali. Karena itu
seperti dikatakan Rektor Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, para pemimpin agama baik Islam maupun Kristen dan masyarakat lain seharusnya duduk bersama. Sikap sekularisme anti-religius yang sering didasarkan pada mispersepsi dan distorsi haruslah dihadapai secara bersama-sama (Republika, 5/2). Jadi jangan sampai umat beragama di sini justru bisa diadu domba oleh soal ini.

Penulis adalah, Teolog, Alumnus Seminari St Vincent de Paul.

No comments: