Wednesday, June 6, 2007

Koran Lumpur Berjuang Sendiri-Sinar Harapan 18 April 2007

Korban Lumpur Berjuang Sendiri
Oleh Tom S Saptaatmaja
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0704/18/opi01.html

Sejak lumpur menyembur di Sumur Banjar Panji 1 Desa Siring Porong gara-gara eksplorasi Lapindo Brantas pada 29 Mei 2006 lalu, apa yang telah dilakukan pemerintah? Lewat keputusannya No. 13 Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang mulai bekerja 8 September 2006 dan resmi berakhir pada 8 Maret 2007, tapi kemudian diperpanjang hingga 8 April 2007.
Timnas ditugaskan untuk menghentikan semburan lumpur, membuang lumpur ke laut, melakukan penanggulan, memperbaiki infrastruktur. Semua tugas itu dinilai gagal.
Lalu usai berakhirnya Timnas, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dipimpin Sunarso, seorang mayor jenderal yang juga staf ahli di Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), di mana Aburizal Bakrie merupakan menterinya. Belum apa-apa, kerja BPLS sudah disambut dengan prasangka, setidaknya oleh para korban lumpur.
Buktinya, ratusan warga korban semburan lumpur panas Sidoarjo terus melakukan aksi untuk rasa di Ibukota. Senin, 16 April, mereka yang sebagian besar warga perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perum TAS) berbaris dari Tugu Proklamasi menuju ke Istana Merdeka. Mereka menuntut keadilan, utamanya diberikan ganti rugi tuntas 100 persen, dan dibayarkan satu bulan setelah demo tersebut. Mereka ogah menerima pembayaran ganti rugi secara mencicil yang dimulai dengan uang muka 20%.
Memang sebagian korban lumpur lain, khususnya dari 4 desa sudah ada yang menerima 20% dari ganti rugi, tapi sejujurnya mereka kebat-kebit apakah pada tahun depan Lapindo akan melunasi 80% sisanya mengingat tidak ada perjanjian hitam di atas putih yang bisa menjerat Lapindo secara hukum, seandainya Lapindo ingkar janji.
Jadi di hati mayoritas korban lumpur hingga saat ini masih penuh keraguan dan kecemasan. Yang pasti hanya masa lalu mereka bersama desa beserta segenap isinya yang telah tenggelam akibat lumpur. Semula ada 4 desa tenggelam, kini hampir 8 desa tenggelam.

Berjuang Sendirian
Keengganan Presiden untuk tidak mau menerima pendemo dari korban lumpur di atas semakin membuktikan bahwa pemerintah terkesan setengah hati menyelesaikan persoalan lumpur. Ini tentu sangat menyakitkan korban yang sejak awal hanya berjuang sendiri.
Memang sudah banyak anggota DPR, bahkan DPRD Jatim membentuk panitia khusus lumpur, tapi sebenarnya anggota dewan hanya memperjuangkan dirinya sendiri. Seperti kita tahu, pembentukan pansus seperti itu berarti ada dana yang cair untuk kocek mereka sendiri. Maka makin lengkaplah kesendirian para korban yang sejak awal hingga kini tidak pernah mendapatkan perhatian dan solusi tuntas dari pemerintah atau dewan.
Mari kita simak perjuangan awal bagaimana para korban lumpur bisa memperoleh tempat pengungsian yang representatif. Hasilnya, mereka ditempatkan di Pasar Baru Porong yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan untuk tempat tinggal.
Berbulan-bulan mereka harus tinggal di sana dengan berbagai problematika sosial dan ekonomi. Bayangkan satu MCK (mandi, cuci, kakus) di Pasar Baru Porong untuk 500 orang lebih. Pendidikan anak-anak terganggu, dan sebagian besar warga harus kehilangan penghidupannya. Penderitaan sedikit berkurang manakala tuntutan mereka agar PT Lapindo memberi dana kontrak dipenuhi.
Namun penderitaan yang lebih besar menghadang para korban, yaitu penderitaan akibat kehilangan harta paling berharga berupa tanah dan rumah. Rumah adalah inti dari kehidupan, karena dari rumahlah semua proses kehidupan diawali.
Manakala rumah hilang, pada hakikatnya sebagian dari proses kehidupan para korban lumpur ini juga turut hilang. Pada titik krusial ini tidak ada satu pun lembaga di luar para korban serius tergerak untuk membantu mencari jalan keluar agar sebagian proses kehidupan yang hilang bisa mereka dapatkan kembali. Lagi-lagi, mereka harus berjuang sendirian.
Yang mengenaskan, di tengah penderitaan mereka, justru ada tangan yang tega berbuat nista. Bayangkan bantuan dari para donatur yang dikelola Satuan Pelaksana dan Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo untuk para pengungsi di Pasar Baru Porong ada indikasi dikorupsi. Indikasi itu terlihat dari jatah nasi sekali makan yang seharusnya Rp 5.000, ternyata yang diberikan hanya seharga Rp 3.000. Beberapa korban seperti ditayangkan sebuah stasiun televisi terpaksa membongkar gudang bantuan di Pasar Baru Porong, karena bantuan dari donatur atau dermawan tidak pernah sampai ke mereka.

Audit Independen
Uang transportasi untuk antarjemput anak korban lumpur yang sekolah juga disunat sehingga banyak anak yang “keleran” akibat tidak dijemput. Pengadaan MCK di tempat pengungsian pun, dananya konon “diembat”, sehingga satu MCK di tempat pengungsian itu dipakai untuk ratusan orang.
Malah yang paling heboh, dalam perbincangan dengan dengan pakar hukum lingkungan Unair Dr Suparto Wijoyo, penulis mendapatkan informasi kemungkinan terjadinya penyelewengan akibat Timnas Penanggulangan Lumpur tidak mempunyai laporan keuangan.
Bayangkan dalam masa kerja Timnas selama tujuh bulan itu, timnas telah menghabiskan dana sekitar US$ 79,8 juta atau sekitar Rp 718,2 miliar yang berasal dari kocek Lapindo Brantas. Sebelum Timnas, Lapindo sudah mengeluarkan dana sebesar Rp 667,8 miliar.
Mengherankan, bahwa untuk penggunakan dana sebesar itu timnas tidak dimintai pertanggungjawaban, ketika masa kerjanya telah berakhir. Pantas semua anggota timnas dulu tidurnya saja di hotel berbintang, yang tak jauh dari tempat tinggal penulis. Kini muncul tuntutan agar diadakan audit independen.
Memang ini masih sebatas indikasi. Apalagi kerepotan juga muncul, apakah lembaga publik yang dibentuk berdasarkan Keppres seperti timnas, tapi keuangannya disokong swasta (dalam hal ini Lapindo) bisa dijerat secara hukum oleh KPK. Pertanyaan ini harus dijawab oleh para ahli hukum.
Bagimanapun kita patut cemas, sebab bantuan untuk korban tsunami Aceh atau korban bencana Yogya saja terbukti bisa dikorupsi. Kepolisian daerah Jatim kabarnya tengah menyelidiki kasus ada tidaknya indikasi korupsi yang dilakukan Timnas Penanggulangan Lumpur.
Belajar dari kasus tersebut, beberapa pihak menuntut BPLS punya akuntan atau tim audit guna mempertanggungjawabkan setiap dana operasional yang kabarnya akan diambilkan dari APBN. Jika memang ada indikasi korupsi yang dilakukan timnas, makin lengkaplah perjuangan dan penderitaan para korban lumpur Sidoarjo.

Penulis adalah aktivis kemanusiaan, tinggal di Surabaya.

No comments: