Friday, June 8, 2007

Pelajaran dari Hamas dan Hosam (Kristen dan Muslim Palestina)-Koran Tempo 11 Maret 2006

Koran Tempo,Sabtu, 11 Maret 2006
http://www.korantempo.com/korantempo/2006/03/11/Opini/krn,20060311,58.id.html
Pelajaran dari Hamas dan Hosam
Tom S. Saptaatmaja
Teolog

Hamas dan nasib Palestina terus menjadi perhatian media dunia. Setelah 19 tahun memilih jalur perang melawan Israel, Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah), yang didirikan pada 1987, memilih jalur politik dengan mengikuti pemilu legislatif pada 25 Januari 2006. Hamas merebut 76 dari 132 kursi parlemen. Yang menarik, di antara 76 kandidat Hamas yang terpilih ke parlemen, ada satu nama aneh. Dialah Hosam al-Taweel, 40, warga Kristen Palestina yang terpilih dari distrik Gaza. Hosam dikenal sebagai kolumnis harian Al-Quds dan aktivis gerakan internasional Young Men's Christian Association selama 30 tahun di Gaza. Sejak awal, banyak yang skeptis Hosam bakal didukung massa Hamas, yang dikenal radikal. Tapi dia mampu merebut satu kursi dari jatah enam kursi untuk minoritas Kristen di Palestina. Lima lainnya dikuasai kandidat Fatah.

Apa makna dan relevansi kemenangan Hamas dan kemunculan Hosam bagi kita? Seperti kita tahu, isu apa pun menyangkut Palestina selalu bergema di Indonesia. Kita memang punya komitmen pada perjuangan rakyat Palestina. Tidak aneh jika demo-demo menyuarakan perjuangan mereka sering digelar di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Tapi sayang bahwa kita sering salah kaprah dalam memandang masalah Palestina, khususnya dalam perjuangannya melawan penjajahan Israel. Maka kemenangan Hamas dan terpilihnya Hosam bisa kita jadikan inspirasi untuk memberikan pendidikan politik dan sikap toleransi, sehingga perbedaan agama tidak menjadi kendala bagi sebuah perjuangan menentang kezaliman.

Di mana salah kaprah itu? Sering umat muslim dan kristiani di Indonesia keliru dalam mempersepsikan negara Israel dan bangsa Palestina. Beberapa orang kristiani menganggap negara Israel identik dengan bangsa Israel yang disebutkan dalam Alkitab, sehingga mereka justru tidak bersimpati pada perjuangan Palestina. Di sisi lain, sebagian muslim di sini berpikir bahwa negara Israel adalah negara Kristen yang menindas bangsa Palestina. Tak aneh, tokoh agama seperti Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi sering menegaskan bahwa konflik di Palestina bukanlah konflik antara Islam dan Kristen.

Harus kita pahami, Israel adalah sebuah negara modern sekuler dengan ideologi politik Zionisme. Secara teologis dan ideologis, Israel modern berbeda dengan konsep "bangsa Israel" dalam Alkitab atau Al-Quran. Salah persepsi ini perlu diluruskan karena dalam konflik Israel-Palestina yang jadi korban justru warga Palestina yang Islam dan Kristen. Sering kali juga tidak disadari oleh umat kristiani dan muslim di sini bahwa banyak warga Arab dan Palestina beragama Kristen yang berdoa, menyanyi, dan membaca Alkitab dalam bahasa Arab. Kekristenan mereka bukan buah dari para misionaris Barat, melainkan langsung sejak zaman Yesus. Bahkan, 600 tahun sebelum Islam, mereka sudah jadi Kristen.

Meskipun minoritas, makna dan posisi Kristen Palestina begitu signifikan. Mengingat mereka begitu menderita di bawah pemerintahan Zionis Israel (sejak 1948), belakangan banyak yang memilih berimigrasi ke Amerika Serikat dan ke tempat lain. Tidak aneh, belakangan banyak seruan agar dunia Kristen memperhatikan nasib mereka. Sebab, kalau Kristen Palestina tidak ada, akan ada yang kurang dalam sejarah kekristenan karena kedekatan mereka dengan Yesus dan sejarah awal Gereja. Tekanan ekonomi pada Palestina oleh AS atau Israel akan menyengsarakan mereka, baik Islam maupun Kristen.

Jadi semoga kini menjadi jelas bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan politis bagi kemerdekaan dan kesejahteraan, tanpa menonjolkan peran agama tertentu. Karena itu, solidaritas kita dengan mereka seharusnya terdorong oleh alasan kemanusiaan dan bukan semata alasan agama. Namun, jika agama hendak dibawa-bawa, kita bisa melihat bahwa sebenarnya tidak ada masalah serius dalam relasi antara umat kristiani dan muslim Palestina. Malah kita mungkin bisa belajar dari mereka tentang toleransi, saling menghargai dan menghormati. Contohnya, sosok seperti Hosam yang Kristen justru bisa berkolaborasi dengan Hamas.

Menarik kiranya dicamkan pendapat Hosam yang disampaikan kepada media: "Kami semua, Islam dan Kristen, sama-sama menginginkan Palestina yang merdeka. Nenek moyang kami (Kristen) juga pernah bekerja sama dengan pemimpin Islam Salahuddin (al-Ayyubi) melawan tentara salib. Kami juga sama-sama menderita di bawah pendudukan Israel. Tapi, yang pasti, kami saling menghargai keyakinan masing-masing. Kakek saya pernah menjadi anggota General Palestinian Government yang menentang resolusi PBB soal pembagian Palestina menjadi Arab dan Yahudi pada 1948"(Al-Jazeera.net, 25 Januari 2006).

Bukan hanya di level perjuangan politik, kerja sama antara Islam dan Kristen Palestina terjadi dalam aspek kehidupan lain. Misalnya, 70 persen universitas Kristen dihuni mahasiswa Palestina Kristen. Jika di sini ada yang mengharamkan mengucapkan Natal, Hamas biasa memberikan kado Natal kepada warga Kristen Palestina. Apalagi dalam tradisi Palestina juga ada silaturahmi erat antara warga Islam dan Kristen pada setiap hari raya seperti pada Idul Fitri dan Natal. Pada Natal 2005, misalnya, Presiden Mahmud Abbas juga ke Gereja Kelahiran Yesus di Bethlehem. Ini kedatangan pertama kali pemimpin Palestina ke gereja itu, mengingat sebelumnya Israel menerapkan larangan bagi Arafat sejak 2001. Meski Arafat tidak bisa datang, di gereja itu selalu tersedia satu kursi kosong dan sebuah kafiyeh untuk menghormati Arafat, yang wafat pada 11 November 2004.

Bahkan nama Kristen Palestina selalu merupakan campuran antara nama Islam dan Kristen. Contohnya mendiang Edward Said, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB disebut sebagai Pembela Islam di Barat meski dia Kristen. Perpaduan nama ini menyiratkan spirit harmoni dan kerukunan yang bukan basa-basi. Pokoknya, relasi mereka tidak ada masalah. Bishara Awad, yang Kristen Palestina sekaligus dekan di Bethlehem Bible College, juga menyetujui hal ini. Mereka juga punya moto, "Pertama-tama kami adalah bangsa Palestina." Jadi jangan mencoba membenturkan Islam dan Kristen terkait dengan isu Palestina.

koran

No comments: