Amir Machmud NS ; Wartawan Suara Merdeka
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 7 Juni 2012
MOMEN demi momen sepak bola seolah-olah menjadi “menara”
pemersatu fokus umat manusia, namun juga tak pernah berhenti menyembulkan
paradoks tentang “luka”. Inilah ruang yang memberi jaminan kebersatuan segala
macam “sekte” yang menggelayuti bawah sadar manusia: tak ada sekat agama,
politik, status sosial-ekonomi, golongan, dan sekat kesukuan.
Bukankah tak akan ada
yang mempermasalahkan, apa agamamu maka kamu menoleh ke Polandia-Ukraina untuk
menikmati Piala Eropa? Tak pula ada kelompok fanatikus agama yang
mempersoalkan, mengapa kamu mengidolakan kesebelasan tertentu yang berbeda
ideologi denganmu. Tak akan ada yang menggugat mengapa kamu mendukung Mario
Ballotelli dan bukan Thomas Mueller. Mengapa pula Jerman menerima keberadaan
Mesut Oziel dan Sami Khedira; Prancis tak menyoal eksistensi Franck Ribery,
Samir Nasri, dan Karim Benzema; atau Belanda tak kehilangan kondusivitas karena
beda keyakinan agama Robin van Persie dari rata-rata anggota tim Oranye.
Ya, karena sejatinya
sepak bola adalah “taman bunga” dengan semerbak dan keelokan warna-warninya.
Football without frontier, sepak bola tanpa batas. Ia menyatukan umat manusia
dalam hakikat multikultur: kesamaan, kesetaraan; menjadikan panggung bola
sebagai milik semua. Fasisme, chauvinisme, atau segala macam ideologi pemuja
keunggulan tak pernah mendapat tempat. Uber alles bukan matra yang diterima
jika dipahami dari konteks arogansi ras tertentu. Keultrakananan Marie Jean Le
Pen yang melecehkan Zinedine Zidane dan kawan-kawan di tim juara dunia Prancis
1998 misalnya, bukankah hanya berbalas kecaman?
Jadi apa artinya
ketika seorang Mario Ballotelli menyampaikan ancaman untuk meninggalkan lapangan
jika mendapat hinaan rasis di lapangan, dan ancaman itu dikuatkan oleh dukungan
sikap seluruh anggota tim Italia?
Pendirian striker
yang diberi nomor punggung 9 oleh pelatih Cesare Prandelli itu tidak
berlebihan. Rasisme, yang masih menghantui liga-liga Eropa, kini juga
ditengarai menjadi virus pengancam di Polandia-Ukraina.
Inilah paradoks
kemuliaan sepak bola: realitas setback justru ketika Amerika Serikat dan
negara-negara Barat tak berhenti mengampanyekan dan “mengekspor” demokrasi
dengan aneka justifikasinya, termasuk ke negara-negara tertentu yang malah
menimbulkan komplikasi kedaulatan.
Di lapangan, kisah
Rio Ferdinand yang membela adiknya, Anton dari cercaan rasis John Terry, atau
sikap striker Liverpool Luis Suarez terhadap kapten Manchester United Patrice
Evra adalah contoh hipokritas justru di jantung arena yang mengedepankan
nilai-nilai sportmanship. Pemain asal Kamerun, Samuel Eto’o, tak henti meradang
ketika masih bermain di Spanyol. Suara dan gerakan meniru monyet, lemparan
kulit pisang, atau spanduk penistaan merupakan sikap verbal yang nyata-nyata
mengekspresikan penelikungan elan multikultur sepak bola.
Simaklah kegelisahan
Franklin Foer, editor senior The New Republic, dalam Memahami Dunia lewat Sepak Bola (2006), “...
saya mulai curiga bahwa globalisasi sebenarnya tengah memperkuat
entitas-entitas lokal dengan cara yang tidak selalu bagus...”
Perlawanan Terakhir
Memilih mereaksi
perlakuan rasis dengan meninggalkan lapangan merupakan perlawanan terakhir,
ketika kampanye “Say No to Racism” belum mampu menyentuh hati mereka yang
merasa diberkahi kemuliaan hanya karena berkulit warna tertentu.
Tak sedikit contoh
betapa fakta-fakta perlakuan itu menumpahkan air mata, menguak luka, dan
menindas kepercayaan diri manusia.
Hukuman organisasional
berupa larangan bermain untuk beberapa laga, atau peradilan seperti yang
dihadapi oleh John Terry, terbukti belum menjadi terapi penjera, karena
antirasisme hanya akan efektif jika tumbuh menginternal sebagai sikap.
Bukankah pelatih
Spanyol di Piala Eropa 2008, Luis Aragones justru memperkuat paradoks lewat
caranya memotivasi Jose Antonio Reyes, dengan menyebut pembanding Thiery Henry
dari warna kulitnya? Fabio Capello juga digugat para aktivis di Inggris karena
mempertahankan ban kapten John Terry yang diduga melecehkan Anton Ferdinand.
Kini, walaupun beralasan murni pilihan teknis, keputusan pelatih Inggris Roy
Hodgson membawa Terry dan menepikan Rio Ferdinand juga banyak dipertanyakan.
Di satu sisi,
dinamika menggembirakan muncul dari keputusan para pelatih yang membangun
“taman bunga” seperti Prancis di Piala Dunia 1998, Piala Eropa 2000, juga tim
Euro 2012; atau skuad Jerman di Afrika Selatan 2010 dan sekarang.
Sikap Cesare
Prandelli yang men-support ancaman Ballotelli juga menjadi angin segar bagi
kesadaran melawan rasisme.
Pada sisi lain,
“luka” dari cemooh, cerca, dan sikap para pemain yang masih banyak meletupkan
hipokritas, juga suporter-suporter ultras yang “sok putih”, memaparkan latar
kenyataan lain betapa sepak bola masih menjadi ruang perjuangan untuk menjaga
konsistensi stamina menyetarakan semua.
Dalam masyarakat
multikultural, tulis Richard Giulianotti dalam Sepak Bola: Pesona Sihir
Permainan Global (2006), heterogenitas suara nasionalis khususnya sangat
mencolok. Contohnya, saat Prancis memenangi Piala Dunia 1998 di Tanah Airnya,
kemenangan itu disambut oleh berbagai corak pendapat etnis dan politis; rakyat
keturunan Afrika Utara membentangkan bendera tiga warna bersama dengan bendera
nasional Aljazair.
Intinya adalah
ketulusan keberterimaan. Pada saatnya, sikap antirasisme itu harus membentuk
penghayatan: orang-orang di lingkungan industri sepak bola Eropa menerima ras
berbeda bukan sekadar lantaran kehebatan skill dan gol-golnya melainkan karena
para pemain yang “dibedakan” itu adalah bagian dari mereka.
Sepak bola hanya forum kecil dari banyak
medium penyadaran tentang keindahan persaudaraan sejati... ●
No comments:
Post a Comment