Thomas Koten ; Pembelajar Filsafat, Penggemar Sepak Bola
Sumber : SUARA KARYA,
15 Juni 2012
Sepak bola modern, dengan segala suguhan teknik permainan
tingkat tinggi, dus dengan daya seni dan keindahan yang menghipnotis dan
menghibur, kemudian terus berkembang dalam balutan kepentingan politik,
ekonomi, dan sosial budaya, seperti telah mengalahkan segala-galanya. Piala
Eropa yang kini sedang berlangsung di Polandia dan Ukraina, serta Piala Dunia,
misalnya, telah sanggup menenggelamkan manusia di seantero dunia dari
rutininitasnya yang membosankan untuk ikut terlibat sebagai penonton, entah itu
hanya lewat layar televisi maupun menonton langsung di stadion-stadion yang
megah bagaikan gedung pertunjukkan seni.
Daya pikat sepak bola yang begitu tinggi, yang mampu
mnghipnotis miliaran pasang mata di bawah kolong langit itulah, kemudian mampu
menyedot selera dan keinginan orang untuk lebih mamilih menonton sepak bola
ketimbang pergi mengikuti kebaktian di gereja. Di Eropa, khususnya di mana
industri sepak bola begitu mendominasi, telah membuat para jemaat lebih suka
menonton pertandingan sepak bola yang disuguhi tim-tim kesayangannya daripada
pergi ke gereja pada akhir pekan.
Maka, kata sejumlah sosiolog, sepak bola dengan segala
gebyarnya bukan saja semakin menggoda dan menghipnotis manusia, tetapi seakan
telah mampu melindas ibadat keagamaan. Apalagi, dalam perhelatan-perhelatan
sepak bola berskala besar seperti Piala Eropa, Piala Dunia atau Olimpiade,
tersaji aneka acara baik pada pembukaan, penutupan maupun pada saat sedang
berlangsungnya pertandingan, bak ritual keagamaan yang bernuansa sakral.
Michael Novack, dalam bukunya The Joy Sport (1976)
mengatakan perhelatan olahraga akbar tidak lebih semacam liturgi atau upacara riligius
agama-agama. Di sana ada tatacara yang nyaris sakral; ada askese, ada
simbol-simbol kebesaran negara-negara seperti bendera, lagu kebangsaan, kostum,
dan lain-lain, serta ada tempat sakral yang dikhususkan bagi para pemain,
penonton, pelatih dan lain-lain yang tidak dapat diganggu gugat. Ketika si
pemain mengenakan kostumnya, maka ia menjadi semacam 'imam' bagi para fansnya,
yang tidak lebih merupakan 'wakil umat beriman' yang harus 'dihormati'.
Para pemain atau para bintang lapangan hijau yang mampu
menjebol gawang lawan, yang memenangkan pertandingan, dan mengharumkan nama
bangsanya, kerap digambarkan sebagai 'orang suci' dan 'penyelamat'. Sementara para fans mereka sering
dilukiskan sebagai 'orang-orang beriman dan berbudi luhur' yang selalu dengan
sepenuh hati berziarah ke stadion-stadion. Dan, stadion-stadion bak panggung
teater atau gedung-gedung pertunjukkan seni seperti di Eropa, khususnya di
Jerman yang sering disebut heiliger rasen, yang secara gamblang dapat diartikan
'lapangan rumput yang nan suci atau sakral'. Stadion-stadion sepak bola
yang megah sering pula disebut 'katedral', Katedral Bernebeu, New Camp, Old
Strafford, D Alfonso Henriques, Olympic Stadium, katedral Municipal, dan
lain-lain.
Dan, siapa pun yang mengamati sepak bola akbar (ritual
keagamaan) di stadion (tempat ibadah) akan mengakui ekspresi para penonton
seperti orang yang sedang berdoa khuzuk atau bersorak memuji Sang Ilahi. Dan,
para pemain tatkala menjebol gawang lawan, kerap juga memberikan tanda salib
atau bersujud syukur di lapangan. Tak jarang terlihat juga para penonton
terdiam, merentangkan tangan sambil mulut bergerak dalam doa hening. Semua itu
seperti terbawa dalam daya rirual magnis nan dahsyat.
Itulah yang kemudian dikatakan Sindhunata dalam sebuah
tulisannnya, bahwa berbagai peristiwa religious atau ritual di lapangan hijau,
semakin menyadarkan akan kebenaran kata-kata yang sering diucapkan orang di
tengah dunia sekuler ini, "Saya ini spiritual tetapi bukan religius."
Lantaran meski di tengah hingar-bingar dan sorak-sorai menyaksikan serunya
pertandingan sepak bola, orang terus menunjukkan perilaku keagamaannya sambil
berdoa baik untuk keselamatan para pemain pujaannya atau bagi kemenangan
timnya.
Maksudnya, pengalaman spiritual orang modern sekarang tidak
lagi bisa ditangkap oleh wadah-wadah kereligiusan yang institusional. Sangatlah
tidak bijaksana mengecap mereka tidak lagi mengenal Tuhan, melulu dari agama
formal belaka. Alias mereka telah menciptakan lapangan hijau sebagai tempat
berdoa, dan dalam moment tertentu, mereka menjalankan aktivitas keagamaanya,
ibarat di padang rumput itulah mereka beragama, dan menunjukkan eksistensi
keagamaannya.
Pencarian cara baru beriman yang dimaksudkan di sini dalam
situasi tertentu memang semakin cocok di Eropa. Mengingat seperti ditulis
Ibrahim Ado-Kurawa dalam Theorizing the Football Religion (2004), bahwa
orang-orang Eropa kini lebih memilih menonton sepak bola daripada ke gereja. Di
Inggris, jumlah jemaat yang datang ke gereja hanya sekitar 13 persen pada tahun
1992. Dan, kini jumlah itu terus menurun. Banyak riset konvensional juga
menyimpulkan bahwa popularitas gereja kalah oleh popularitas sepak bola.
Para sosiolog yang mengamati dimensi sosial sepak bola
menegaskan bahwa salah satu fungsi sepak bola memang mempertahankan dan
mengembangkan tatanan sosial. Fungsi ini juga kerap diperankan oleh agama.
Dalam ritual sepak bola lahir semangat kemanusiaan seperti kedamaian,
persaudaraan dan solidaritas di antara pemain dan penonton. Bahkan dalam ranah
politik, sepak bola semakin dikemas menjadi alat diplomasi politik.
Yang terakhir ini, memang sepak bola dan olahraga lainnya
oleh banyak pemimpin dunia semakin dijadikan sebagai arena untuk menunjukkan
eksistensi, kemuliaan dan kehormatan bangsanya. Bahkan, sejak 1960 Robert
Kennedy di depan United Stated mengatakan, sepak bola dapat dipandang sebagai
suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana suatu bangsa di mata internasional. ●
No comments:
Post a Comment