Thomas Koten ; Sarjana Filsafat dan Teologi
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 12 Juni 2012
SENI dan keindahan sepak bola modern, seperti yang sedang
dihelat pada Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina sekarang ini, tampak
semakin memesona. Atmosfer magnetnya pun begitu tinggi sehingga membuat
permainan sepak bola itu sendiri tidak sekadar menghibur, tetapi juga menjadi
sumber analisis dan bahan studi yang menarik.
Sebab, menganalisis sepak bola, menyitir Leter L Berger dan
Hansfried Kellner (1985), `bukan hanya sebagai mana tampaknya'. Yang tampak
nyata (manifesto) bukanlah merupakan seluruh cerita; ada yang tersembunyi
(laten) yang harus dipelihara dan kemudian dapat dieksplorasi terhadap berbagai
dimensi yang melingkupnya.
Dari dimensi fungsionalisme struktural, sepak bola modern
dapat dikerling sejauh ia memiliki fungsi-fungsi positif yang memberikan
sumbangan langsung atau sekadar inspirasi (football is an inspiration) bagi
kemajuan di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ia juga merupakan
bagian dari sistem sosial yang mampu menambah nilai-nilai ekonomi, sosial,
politik, dan budaya bagi masyarakat. Sepak bola juga memberikan semacam
alternatif, yang lebih dari sekadar sebuah refleksi masyarakat simpel (football
is more then simply reflection on society). Dengan sepak bola masyarakat bisa
eksis dan menunjukkan eksistensi serta harga dirinya.
Di samping itu, sepak bola menyajikan semacam teori klasik
yang merupakan sisi negatif dari olahraga ini. Selain sepak bola dianggap sebagai
candu (football is opiate) bagi masyarakat modern, yang dapat menghilangkan
atau menenggelamkan sejenak manusia dari segala macam keruwetan rutinitas
hidupnya, ia juga memproduksi sejumlah perilaku fanatisme penonton yang
akhirnya dapat membuncahkan berbagai perilaku anarkistis suporter, yang tidak
hanya merugikan masyarakat secara materi, tetapi juga nyawa melayang sia-sia.
Di Belgia (Heysel) atau di Inggris (Shefield), bahkan tahun
1967 sepak bola berujung perang antara El Salvador dan Honduras. Ingat juga
kerusuhan pada pertandingan di Port Said, Mesir, pada 2012 yang menewaskan 74
orang dan 1.000 luka-luka. Juga di Gana (2001) yang menewaskan 126 orang di
Stadion Accra; Afrika Selatan (2001) 43 orang tewas; di Guatemala (1996) 82
orang tewas; di Nepal (1988) menewaskan 90 orang; di Bradford, Inggris, (1985)
56 orang tewas; Moskow, Rusia, (1982) 340 orang tewas; Skotlandia (1971) 66
orang tewas; Peru (1961) 300 orang tewas; dan masih banyak lagi.
Ritualisme Perhelatan
Lebih jauh, daya pikat sepak bola modern, dus acara-acara
pergelaran yang semakin memesona, membuat sosok sepak bola semakin menarik
untuk dielaborasi, khususnya dari sisi ritualisme yang disuguhkan, seperti pada
upacara akbar Piala Eropa atau Piala Dunia. Michael Novack dalam bukunya, The
Joy of Sports (1976), mengatakan perhelatan seperti Piala Dunia tidak lebih
semacam `liturgi' atau upacara-upacara religius.
Mengapa? Karena di sana ada tata cara yang nyaris sakral;
ada askese, yaitu disiplin yang menahan dan mengatur dorongan dari dalam diri
demi aturan dan nilai permainan, ada pula simbol-simbol kebesaran seperti
bendera, lagu kebangsaan, kostum dan lain-lain, serta ada tempat sakral yang
dikhususkan bagi pemain, penonton, dan pelatih.
Secara spesifik, tulis I Bambang Sugiharto (2000), permainan
sepak bola untuk saat ini merupakan ritual liturgis dunia birokrasi. Ia memberi
simbol dan mendramatisasi bentuk masyarakat dengan pembagian kelas-kelas
profesional dan elite teknokratnya. Kelas-kelas profesional disimbolkan
pembagian kerja di lapangan, seperti penjaga gawang, gelandang, penyerang, dan
lain-lain. Elite teknokrat disimbolkan tim pelatih, manajer, dan sebagainya.
Sepak bola mencerminkan pula disiplin, strategi, semangat kelompok, dan kerja
sama, ambisi, dan kekerasan dunia teknokratis.
Ciri ritual sepak bola kolosal juga diakui sosiolog R Real
dalam bukunya, Exploring Media Culture: A Guide (1996). Dikatakannya,
perhelatan sepak bola akbar seperti upacara ritual lainnya menuntut khalayak di
stadion-stadion dan mereka yang menontonnya lewat tayangan TV untuk
berpartisipasi sebagai pengamat sekaligus sebagai peserta yang
mengidentifikasikan diri dengan tim favorit mereka. Para pemain tidak lebih
sebagai sang idola yang dianggap sebagai dewa, sang penyelamat, yang
menyelamatkan mereka keluar dari kejenuhan rutinitas hidup.
Memang, sejak zaman Yunani, sepak bola, khususnya, dan
olahraga, umumnya, sudah dijadikan semacam religi. Pierre de Counbertain,
pendiri Olimpiade modern, pada awalnya mendasarkan Olimpiade itu pada tujuan
religius, yaitu guna mendamaikan berbagai jalur agama besar di dunia yang
sering bertentangan. Untuk itu, dibuatlah Olimpiade semacam ritual religius.
Jadi, misalnya, tempat Olimpiade dianggap semacam liturgi--tempat `ziarah'.
Cara masuk para atlet ke lapangan juga harus semacam `prosesi'. Dan para
panitianya seperti `imam-imam'. Janji atlet semacam ritus penyucian dan para
artis melengkapi aksen `perayaan'.
Tujuan Eksternal Ritualisme
Perhelatan akbar Piala Eropa atau Piala Dunia kini pun
benar-benar dibuatkan semacam Olimpiade, dengan mengedepankan sisi ritual
religius. Hanya, kini semua itu lebih tepat diselenggarakan untuk menciptakan
perdamaian, kebersamaan, dan solidaritas kemanusiaan, dus sebagai manifestasi
kerinduan umat manusia akan satu dunia yang lebih damai dan harmonis.
Tujuan penyelenggaraan Piala Eropa, sama halnya Piala Dunia,
yang semakin akbar dan kolosal ini, juga tidak lebih sebagai tujuan religius
juga; menggapai kehidupan dan kemanusiaan yang utuh lahir batin adalah juga
cita-cita agama. Dengan demikian, perhelatan akbar sepak bola itu, jika
dikerling lebih ke dalam, juga untuk mendamaikan jalur-jalur agama-agama di
dunia yang kerap bertentangan yang disulut rasa curiga.
Meskipun harus dicatat bahwa religiositas dalam olahraga,
seperti Piala Eropa itu, hanya sebatas kemasan ritual lahiriah belaka. Energi
dan emosi-emosi yang bernuansa religius bukan untuk memperdalam spiritualitas
diri sebagai umat beragama, melainkan lebih dimanfaatkan untuk mengabdi
kepentingan-kepentingan ekonomi, ideologi politik, sosial, dan budaya-sebagai
tujuan eksternalnya-yang berujung pada degradasi berganda: religi menjadi tanpa
Allah dan olahraga sepak bola menjadi pendewaan manusia-manusia perkasa
(superstar sepak bola).
Namun, semua itulah yang membuat perhelatan akbar Piala
Eropa menjadi menarik, bukan hanya menikmati seni dan keindahannya yang
menghibur, melainkan juga sebagai media yang terbuka bagi analisis dan sumber
pembelajaran.
Sekurang-kurangnya diharapkan, perhelatan akbar Piala Eropa
empat tahunan seperti Piala Dunia itu semakin menjadi bahasa religius yang
lebih subtil jika dibandingkan dengan bahasa ekonomi dan politik yang kering
dan verbal semata, dus semakin menjadi magnet hubungan antarmanusia yang
memberi inspirasi perdamaian umat manusia. ●
No comments:
Post a Comment