A Hasyim Muzadi ; Sekjen ICIS; Presiden WCRP
SUMBER : SINDO, 5 Juni 2012
Berita mengejutkan datang dari sidang Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di Jenewa, Swiss, pekan lalu. Sejumlah negara menyoroti persoalan penegakan HAM di Indonesia.
Persoalan yang disoroti terutama soal intoleransi beragama di Indonesia. Selain intoleransi beragama, hal lain yang disoroti adalah keadilan bagi kelompok etnik minoritas seperti di Papua. Dalam sidang itu, sejumlah negara seperti Korea Selatan, Swedia, Swiss, dan Timor Leste secara spesifik mengangkat isu itu. Bahkan, permintaan spesifik disampaikan delegasi Swedia yang mempertanyakan masalah intoleransi beragama yang kerap terjadi di Indonesia.
Mereka meminta Pemerintah Indonesia bisa merevisi seluruh peraturan perundang-undangan yang dinilai berpotensi memicu persoalan terkait isu intoleransi. Adapun delegasi Swiss meminta Pemerintah Indonesia, bisa lebih menghormati toleransi beragama dan hak-hak kelompok etnik minoritas. Selain itu, Swiss secara spesifik meminta Indonesia segera membebaskan para aktivis Papua, karena menurut mereka apa yang mereka lakukan sebelumnya sekadar mengekspresikan pendapat secara damai.
Selaku presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) dan sekjen International Conference of Islamic Scolars (ICIS), saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi beragama di Indonesia yang diungkapkan peserta sidang PBB di Swiss. Saya meyakini, pembahasan di forum dunia itu pasti berdasarkan laporan pihak-pihak tertentu dari dalam negeri Indonesia sendiri. Tuduhan itu jelas tidak sesuai dengan kenyataan situasi Indonesia selama ini. Indonesia masih menjadi negara yang paling toleran di dunia.
Selama puluhan tahun berkeliling dunia, saya belum pernah menemukan negara dengan penduduk muslim terbesar, yang setoleran Indonesia dalam beragama. Indonesia sampai sekarang masih menjadi contoh bagi dunia internasional dalam menjaga kerukunan beragama. Yang perlu dipertanyakan adalah dasar yang dipakai peserta sidang PBB sehingga muncul tuduhan Indonesia intoleran dalam beragama. Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, hal itu jelas tak bisa dipakai ukuran. Sebab, Ahmadiyah memang menyimpang dari pokok ajaran Islam, tetapi selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat.
Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia. Kasus GKI Yasmin Bogor juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia intoleran dalam beragama. Saya berkali kali datang ke sana untuk mencari akar masalah dan mencari jalan keluarnya, namun tampaknya mereka yang terkait dengan persoalan tersebut tidak ingin masalah segera selesai. Ada pihak-pihak yang lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan(?) daripada masalahnya selesai . Lalu, kalau ukuran intoleransi beragama itu pendirian gereja, faktornya adalah lingkungan.
Perlu diketahui, di Jawa, pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. Selaku Sekjen ICIS dan Presiden WCRP, saya selalu melakukan mediasi untuk mencari jalan keluar terhadap masalah-masalah muncul terkait isu agama. Selanjutnya, jika yang dijadikan ukuran peserta kongres PBB adalah protes terhadap konser Lady Gaga dan diskusi Irshad Manji, maka bangsa Indonesia berhak menjaga tata nilai dan norma bangsa agar tidak dirusak orang lain.
Pertanyaannya, bangsa mana yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan intelektualisme kosong? Kalau ukurannya HAM di Papua, kenapa TNI, Polri, dan imam masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM? Perlu diketahui, Indonesia lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan menara masjid. Saat berkunjung ke PBNU, 14 Oktober 2009, Duta besar Swiss untuk Indonesia Bernardino Regazzoni sempat menjelaskan masalah prakarsa pelarangan menara masjid yang diajukan oleh komite independen yang mewakili berbagai partai politik pada 8 Juli 2008.
Prakarsa itu ditandatangani 113.540 orang. Saat itu, Regazzoni juga menjelaskan, pemerintah dan parlemen menentang keberadaan prakarsa itu dan merekomendasikan pemilik hak suara untuk menentangnya. Namun, kenyataannya, lebih dari 57% rakyat Swiss mendukung larangan itu. Usulan larangan itu juga didukung oleh provinsi-provinsi utama, sehingga disahkan sebagai undang-undang. Larangan mendirikan menara masjid di Swiss juga patut disayangkan. Sebab, itu menunjukkan kurang toleransinya masyarakat Swiss terhadap kebebasan beragama, di saat sikap saling menghormati berbagai agama sedang tumbuh di dunia.
Diskriminasi dalam bentuk yang lain dikhawatirkan merembet ke negara-negara Eropa lainnya. Indonesia juga lebih baik dari Prancis yang masih mempersoalkan perempuan muslim mengenakan jilbab. Kebijakan pelarangan jilbab yang disahkan sejak 2010 itu disetujui Parlemen Dewan Perwakilan Prancis. Dari 336 pemilih untuk rancangan undang-undang tersebut, hanya satu yang menentangnya di dalam Majelis Nasional. Para penentang berpendapat bahwa undang-undang tersebut melanggar legislasi hak-hak asasi manusia Prancis dan Eropa.
Prancis memiliki populasi muslim terbesar di Eropa, diperkirakan sekitar 5 juta dari keseluruhan jumlah penduduk 64 juta orang. Dan, sebagian muslimah Prancis menggunakan jilbab dalam keseharian. Pelarangan yang merupakan bentuk intoleransi beragama itu sangat disayangkan karena bisa meluas ke negara Eropa lain. Kemudian, Indonesia juga lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia yang tidak menghormati agama, karena di sana ada Undang-undang perkawinan sejenis. Perkawinan sejenis bukan hanya bertentangan dengan nilai agama-agama, tapi juga bertentangan dengan kodrat.
Di Eropa Barat dan Amerika, gerakan ini dinakhodai oleh kaum atheis. Homoseksual dan lesbian adalah penyakit kejiwaan dan sosial yang harus disembuhkan dengan psikoterapi dan pembinaan, bukan dilegalisir. Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia dan kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas membedakan HAM yang benar (humanisme) dan HAM yang sekadar westernisme. Dewasa ini yang paling sering menaiki HAM adalah kelompok yang selalu menggunakan ukuran western.
Karena kalau ukurannya humanisme seharusnya kecaman seimbang antara kecaman terhadap Timur dan Barat. Sekarang ini mana ada HAM westernis mengecam Israel? Sebenarnya yang paling Indonesiawi adalah HAM di Indonesia haruslah untuk kepentingan Indonesia dalam hal nilai, norma, hukum, budaya, dan sebagainya. Bukan malah menjadi monster untuk menghancurkan semuanya itu
No comments:
Post a Comment