Burhanuddin
Muhtadi ; Pengajar FISIP UIN Jakarta,
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 11 Juni 2012
Perhelatan Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina resmi
dibuka pada 8 Juni 2012 dengan ditandai laga pembuka tuan rumah Polandia
melawan Yunani yang berakhir seri 1-1.
Gemuruh bola yang terjadi di Benua Eropa terasa setrumnya
hingga ke Indonesia. Hal itu dimungkinkan oleh gencarnya pemberitaan media
massa seputar pertandingan hingga pernak-pernik Piala Eropa, mulai pembukaan
hingga pertandingan sejak babak penyisihan di setiap grup sampai babak puncak.
Ulasan demi ulasan sebelum dan setelah pertandingan semua ditayangkan televisi.
Sepak bola memang sangat populer, tidak hanya di Nusantara,
tapi juga di belahan dunia lainnya. Kemenangan dan kekalahan akan membawa
dampak luar biasa. Masih ingat ketika tim Arab Saudi dibantai tanpa ampun oleh
Jerman 0-8 di Piala Dunia 2002? `Kekalahan itu sebuah skandal', tulis koran
Asharqul Awsath. `Arab Saudi bermain tanpa penyerang, tanpa gelandang, tanpa
pertahanan, bahkan tanpa penjaga gawang', demikian tulis koran-koran di negara
petrodolar sehari setelah kekalahan memalukan itu.
Setali tiga uang dengan kita. Di sini gairah sepak bola bisa
menghipnosis sebagian besar lapisan masyarakat kita. Jangankan pertunjukan
sekelas Piala Eropa, pertandingan Liga Primer dan La Liga hingga kompetisi
tingkat lokal pun mampu menarik animo publik yang besar. Lihat saja dukungan
para suporter terhadap klub-klub lokal kita. Tak jarang mengandung sentimen
emosional dan fanatisme membabi buta yang rentan melahirkan holiganisme, bahkan
menimbulkan kematian seperti yang terjadi berapa waktu lalu.
Jangan Lupakan
Ingar-bingar Piala Eropa yang berlangsung hingga 1 Juli 2012
tampaknya bakal disyukuri juga oleh politisi yang sedang tertimpa isu kurang
sedap terkait dengan masalah korupsi politik. Bagi penggemar sepak bola, Piala
Eropa bisa menghilangkan rasa penat dan katalisator dari kepenatan hidup. Namun
bagi politisi bermasalah, ajang di Benua Biru itu bisa dijadikan sebagai rehat
sejenak untuk mengalihkan sorotan publik atas kasus-kasus yang melilit mereka.
Namun, demi kepentingan bangsa yang lebih luas, publik dan
media tak boleh mengendurkan perhatian dari kasus-kasus politik-hukum yang
melilit politisi bermasalah. Jangan biarkan mereka bernapas barang sejenak
untuk mengalihkan atau bahkan mengonsolidasi taktik lepas dari jeratan
kasus-kasus yang mengimpit mereka. Publik harus terus-menerus menolak lupa.
Memori publik tidak boleh pendek, apalagi menyangkut isu-isu politik-hukum yang
menyangkut hajat hidup banyak orang di negeri ini.
Setidaknya ada beberapa kasus besar yang membetot perhatian
publik, tapi hingga kini proses penyelesaian akhirnya masih belum tuntas. Kasus
Century masih juga menggantung secara hukum meski secara politik DPR sudah
mengetuk palu tanda adanya dugaan pelanggaran dalam pemberian dana talangan
sebesar Rp6,7 triliun.
Drama Nazaruddin juga baru agak terlihat juntrungannya dalam
kasus Wisma Atlet di Palembang. Kasus-kasus lain seperti korupsi mafia
Nazaruddin dan Angelina Sondakh di seputar proyek pengadaan laboratorium di
banyak universitas juga belum jelas ujung pangkalnya. Mafia Banggar DPR yang
dipicu terkuaknya suap terhadap Wa Ode Nurhayati juga baru melibas sekrup kecil
dari jalinan sistematis perampok yang menjarah uang negara.
Kasus Hambalang lebih ironis. Kemenpora dan Komisi X DPR
saling melempar tanggung jawab atas dugaan rasuah terhadap proyek triliunan
rupiah di Bukit Hambalang. Aneh bin ajaib jika proyek pembangunan Hambalang
bisa dibangun tanpa persetujuan DPR. Kasus cek pelawat memang memasuki babak
baru dengan penahanan Miranda Goeltom. Namun, publik masih bertanya-tanya
mampukah KPK menjerat orang kuat di balik miliaran rupiah yang digelontorkan
kepada anggota-anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, dan PPP dalam
pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Hal itu belum termasuk kasus moralitas pribadi. Tersebarnya
video porno yang diduga melibatkan anggota DPR makin menampar wibawa DPR. Akan
tetapi, sang pelaku masih enggan mengakui dan berjiwa besar mundur dari
jabatannya.
Deret Ukur
Berkembangbiaknya kasus-kasus korupsi politik makin
menegaskan pemberantasan korupsi di negeri ini baru mengikuti deret hitung,
padahal modus korupsi dan percepatan tindakan korupsi mengikuti deret ukur.
Dengan kata lain, instrumen dan institusi dalam memberantas korupsi seperti KPK
tidak sebanding dengan perkembangbiakan korupsi yang memutus urat nadi bangsa
dari pusat hingga daerah.
Pada saat yang sama, politisi bermasalah sudah putus urat
kemaluan. Mereka enggan mengundurkan diri dari jabatan dan berkukuh menunggu
keputusan hukum yang bersifat tetap. Politisi kita lupa bahwa politik bukanlah
melulu persoalan hukum formalistis. Politik adalah persepsi. Politik adalah
masalah kepercayaan dan legitimasi sosial di mata publik. Seorang tersangka
koruptor mungkin bisa selamat dari meja pengadilan, tapi secara sosial dia
telah kehilangan kredibilitas di mata masyarakat.
Coba kita bandingkan dengan etika politik di negara lain.
Presiden Jerman Christian Wulff beberapa waktu lalu mundur karena sering
diberitakan media menerima hadiah sewaktu menjadi pejabat di Negara Bagian
Lower Saxony. Mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun malah bunuh diri karena
tuduhan media dia menerima suap sebesar ‘hanya’ setara Rp55 miliar. Meski Roh
menolak tuduhan itu, isu suap tersebut telah merusak kredibilitasnya hingga
pada titik nadir. Lihat juga pejabat negara di ‘Negeri Samurai’ (Jepang).
Mereka juga mengundurkan diri jika isu miring mulai menerpa, bukannya malah
menunggu proses hukum selesai sambil mencari-cari celah lepas dari jeratan
hukum.
Tiadanya budaya malu di kalangan politisi kita plus upaya
pemberantasan korupsi yang kurang mendapatkan political will membuat kasus
korupsi seperti beranak-pinak. Satu kasus belum selesai ditangani, muncul
kasus-kasus berikutnya dengan skala dan tingkat perampokan yang tak kalah
besar.
Kita juga sering bersibuk-sibuk ria menghabiskan energi
untuk berbicara tentang pemberantasan korupsi pada hilirnya, tapi kurang
memberi perhatian pada pemberantasan korupsi di hulunya.
Hulu korupsi, menurut Klitgaard, merupakan monopoli
kekuasaan (monopoly of power), ditambah diskresi pejabat (discretion of
official) tanpa diikuti pengawasan memadai (minus account ability) akan
mendorong terjadinya korupsi. Partai merupakan hulu dan sumber korupsi karena
memiliki banyak peran strategis dalam menentukan hitam-putihnya negara, tapi
tidak diikuti dengan instrumen yang memadai untuk mencegah korupsi politik yang
melibatkan partai. Makin krusialnya kewenangan partai tidak diikuti dengan
transparansi sumber pendanaan partai. Partai memerlukan dana besar untuk
memenuhi kebutuhan campaign finance dan party finance.
Besarnya dana yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan
sumber penerimaan yang dibolehkan menurut aturan. Menurut UU, ada tiga sumber
keuangan partai: iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan
negara. Pada praktiknya, iuran anggota tidak berjalan secara maksimal. Partai
lebih banyak bergantung pada `belas kasihan' sumbangan pihak ketiga, baik
perorangan maupun perusahaan.
Anehnya, DPR malah membuka ruang ketergantungan yang makin
besar dari pihak ketiga dengan menyetujui Revisi UU Partai Politik yang
menaikkan batas atas sumbangan partai dari perusahaan hingga Rp7,5 miliar. DPR
juga tidak mengatur pembatasan pengeluaran kampanye dan iklan dalam Revisi UU
Pemilu. Lahirlah sistem politik berbiaya mahal, tanpa diikuti transparansi dan
akuntabilitas serta reformasi pendanaan partai.
Akibatnya, proyek-proyek di pos-pos kementerian menjadi
ajang `penjarahan', belum lagi ratusan BUMN dengan aset ribuan triliun rupiah
yang membuat air liur politisi jahat terus menetes.
Semoga di tengah gegap-gempita Piala Eropa di Polandia dan
Ukraina kita tidak melupakan sengkarut kasus-kasus korupsi politik yang terjadi
di depan mata. Jangan biarkan
politisi bermasalah menghirup napas lega barang sejenak karena kasus mereka
tertimpa hiruk-pikuk perhelatan sepak bola di Eropa. ●
No comments:
Post a Comment