Thursday, July 5, 2012

AGAMA DAN KAPOK LOMBOK KORUPSI, Jawa Pos 6 Juli 2012 (Artikel ke 959) Oleh Tom Saptaatmaja


Memikirkan korupsi di negri yang mayoritas umatnya mengaku bertuhan dan beragama, memang meresahkan kita yang masih memiliki hati nurani.Yang terbaru, kita resah dengan kasus korupsi pengadaan Qur’an. Kebetulan terkait kasus ini,, baru saja  penulis memandu talkshownya di Surabaya, dengan narasumber pemimpin Ponpes Tebu Ireng KH Salahuddin Wahid, pengurus PD sekaligus cendekiawan muslim Ulil Abshar Abdalla dan Pengacara senior Trimoelja D Soerjadi (3/7).

Pertama-tama, dengan terungkapnya kasus pengadaan Qur’an, harus dimengerti kasus ini tidak ada kaitannya dengan agama Islam. Korupsi bisa terjadi di manapun. Dalam Gereja juga terjadi korupsi, sebagaimana ditulis George Junus Aditjondro. Maka perlu dibedakan antara agama yang tidak bisa dinodai korupsi dan pemeluknya yang nota bene manusia, yang bisa saja tidak suci dan korupsi.Korupsi bisa di ranah apapun..

Ateis Tak Korupsi

Memang meresahkan memikirkan,  mengapa di negeri yang nyaris 100% warganya percaya Tuhan, justru tinggi  korupsinya.  Sedangkan di negeri yang mayoritas warganya tidak percaya Tuhan (ateis) justru tak ada korupsi. Dalam talkshow, Gus Solah menunjuk Denmark, yang 80% warganya ateis, tapi tak ada korupsi. Lalu Tiongkok, yang ideologi penguasanya komunis, malah ada hukum yang tegas terhadap koruptor, yakni dihukum mati di depan publik.Akibatnya koruptor di Tiongkok menjadi jera atau ”kapok”.

Keresahan kita coba dijawab Ulil. Menurut pengusung Islam Liberal itu, memberikan tali asih, ucapan terimakasih atau gratifikasi merupakan bagian dari peradaban kita. Demokrasi dengan nilai-nilainya, menganggap hal-hal seperti itu sebagai tindak korupsi, terlebih bila yang memberikan tali asih, ucapan terimakasih atau gratifikasi adalah birokrat atau pejabat pemerintah.Yang perlu ditanamkan ke depan, agar orang tidak memberikan tali asih, ucapan terimakasih atau gratifikasi dari uang negara. Di sinilah letak kesulitannya.

Maka ketika orang menjadi pejabat negara, dia harus membuat jarak tegas dan bisa bisa membedakan mana uang pribadi dan mana uang negara, karena batasan korupsi dalam demokrasi modern selalu menekankan unsur kerugian negara.Terkait ini, Trimoelja mengisahkan  pengakuan seorang hakim yang pergi haji dengan uang dari orang yang tengah berperkara di pengadilan. Jelas si hakim, tidak mampu mengambil jarak serta menyalahgunakan jabatannya.Kita tentu juga masih ingat istilah ”habidin”, yakni haji dengan biaya dinas.

Anehnya, para koruptor yang pergi haji seolah merasa sudah  mendapatkan pengampunan dosa dari Tuhan. Tobat di Tanah Suci, lalu kumat di negri sendiri ( haji ”tomat”).Atau kadang mereka tak sempat pergi haji atau ziarah ke tempat kelahiran Yesus (seperti kasus sumbangan dari hasil korupsi oleh politikus PDIP Engelina Pattiasina ke jemaat ziarah ke Israel, Red).Tapi, cukup banyak koruptor yang merasa mendapat pengampunan dosa, lewat tindakan karitatif, seperti menyantuni anak yatim atau  menyumbang pembangunan tempat ibadah. Ada  mekanisme pencucian uang, seolah Tuhan sendiri bisa disuap.Jadi beragama oke, korupsi juga oke.Kenapa demikian?

Pentingnya Keadilan

Konon motif beragama orang Indonesia itu sekedar mencari kesahduan atau romantisme beragama bagi diri sendiri.Beragama dilepaskan dari konteks sosial. Padahal, Tuhan menurunkan agama-agama bukan untuk satu orang.Aspek sosialnya ada. Terkait ini, di semua agama, ada ajaran tentang  keadilan. Ada banyak ayat di Injil atau Qur’an yang menekankan pentingnya keadilan.

Sayangnya, pesan keadilan itu sudah dicoret atau ditiadakan oleh umat beragama di sini. Hukum Tuhan dalam Kitab Suci sudah tidak dipedulikan lagi. Orang hanya mengejar kesucian dan kekayaan bagi diri sendiri.”Yang penting aku suci, aku kaya sendiri. Persetan dengan yang lain!”. Maka  mengembat atau mencuri uang negara (korupsi), terus dilakukan. Para koruptor justru mewariskan tabiat jahatnya pada yang lebih muda sehingga ada regenarasi koruptor.

Padahal korupsi sesungguhnya sangat bertentangan dengan spirit keadilan.Coba bayangkan! Bukankah triliunan uang negara yang dikorup,sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mengentas kaum miskin, memberi gizi pada anak malnutrisi, memberi bea siswa bagi mahasiswa dari keluarga miskin, membangun ribuan gedung sekolah yang nyaris ambruk atau memperbaiki jalan rusak dan fasilitas umum lainnya?

Meski sudah ada fatwa agar jenasah koruptor tidak didoakan atau harta hasil korupsinya disita negara, semua akan tetap sia-sia, jika aparat hukum kita tidak berani menegakkan keadilan. Hukuman yang ringan, di bawah lima tahun, tak akan pernah menimbulkan efek jera.Meski gedung KPK baru diperlukan, tapi sesungguhnya yang lebih diperlukan adalah gebrakan KPK untuk menjatuhkan vonis hukuman berat sehingga  membuat jera para koruptor atau calon koruptor. Selama divonis beberapa tahun (paling banter hanya lima tahun), para koruptor hanya akan “kapok lombok”. Seperti orang yang seakan merasa kapok saat kepedasan makan lombok, esoknya tetap makan sambal.

Maka penegakan hukum adalah kunci utama. Bukan tanggungjawab tokoh agama atau umat beragama untuk menegakan hukum melawan korupsi. Agama hanya bertanggungjawab memberi peringatan atau inspirasi agar orang jangan korupsi, jangan mencuri. Tapi polisi, jaksa, hakim atau aparat hukum kita, termasuk KPK yang seharusnya menghukum berat para koruptor.Namun bila di dunia para koruptor tak dihukum berat, mereka kelak tak akan lolos dari  hukum Tuhan

2 comments:

frangipani said...

Ya, penegakan hukum tanpa pandang bulu harusnya jadi prioritas buat siapapun yang jadi Presiden di negeri ini, kalau perlu tangan besi, tidak ada ampun sehingga menimbulkan efek jera, bila Presiden lembek, ngomong thok tanpa ada kekuatan wah selamanya tidak akan ada perubahan, jatuh sampe cur cur cur pecah berkeping2 ......nah masalahnya siapkah yang bisa jadi Presiden di negeri yang sudah carut marut ini?????????

Unknown said...

Keterorganisasian yang kuat dan berpengaruh dari lembaga keagamaan boleh jadi menjadi penjelasan mengapa manusia terganjal dari tujuan mencapai potensi yang sebenarnya. Klik: http://www.thinkaboutit-knowaboutit.com/2013/08/why-religion-is-corrupt.html